Keadaan hati Namira berangsur membaik. Perasaan gugup itu hilang seketika, tergantikan dengan keinginannya menyelesaikan masalah ini dengan segera. “Salah satu alasan kita pulang karena mau bahas ini kan, Mas?”Wajah yang setiap hari ia lihat, ekspresi yang selalu menghadirkan kenyamanan, serta perkataan yang memberikan ketenangan. Namira tidak mau kehilangan itu semua hanya karena beberapa hal yang belum ia ceritakan secara lengkap.Masalah yang terjadi sekarang ini tidak bisa sepenuhnya ia katakan menguntungkan. Namun memang ada untungnya dengan beberapa kesalahpahaman yang tak jarang menyulut emosi keduanya. Sebab kali ini Namira bisa dengan leluasa menceritakan segala keresahan dan ketakutan yang selama ini ia rasakan.“Mas harus tahu kalau selama ini aku sulit melupakan Iyan. Dia itu mantan terindahku.”Tubuh Arhan seketika berubah tegap atas pengakuan istrinya. Wajahnya menunjukkan keterkejutan dengan sorot mata yang tidak percaya.Namira sudah menduga reaksi yang akan diberikan
“Kamu sampe segitunya nggak mau nikah sama aku?”Namira berhasil membawa percakapan tentang masalah yang belakangan ini menyulut emosi keduanya menjadi obrolan santai yang bisa sambil dinikmati dengan secangkir kopi.Wanita yang sejak tadi sibuk bercerita itu tersenyum. “Mas juga kan awalnya nggak mau sama perjodohan ini.”Arhan balas tersenyum. Cerita panjang sang istri berhasil menariknya kembali ke masa itu. Euforia yang membuat hatinya berdebar kencang setelah bertatapan langsung dengan mata bulat sang istri untuk pertama kali kembali ia rasakan.“Tapi surat wasiat itu beneran ada?” Arhan bertanya memastikan. Alih-alih menjawab ucapan istrinya, ia lebih tertarik dengan surat wasiat yang sebelumnya Namira sebutkan. Ia sebagai anak saja baru mendengar hal ini. Arhan kira perjodohan yang diinginkan orang tuanya itu untuk kebutuhan bisnis atau sekedar ucapan asal dari teman dekat yang ingin menjodohkan anak mereka supaya bisa menjadi besan.Wanita yang kini lebih santai berhadapan den
Arhan menarik Namira dalam pelukan setelah wanita itu sibuk menyembunyikan wajahnya di balik telapak tangan. Suara tangisnya semakin keras dan menyesakkan. Napasnya begitu sulit diatur sampai tersendat-sendat dengan diselingi permintaan maaf yang terus keluar.Pada saat yang sama, dalam keadaan hati yang kembali sakit, Namira menyesal telah menceritakan detail kejadian di masa lalu. Ia hanya ingin menyampaikan pada suaminya bahwa dia adalah laki-laki yang sudah sangat dipercaya oleh ayahnya. Laki-laki yang memiliki segala perilaku yang dinilai tak ada jeleknya, dalam artian dia adalah menantu yang sempurna di mata ayahnya, begitupun menurutnya setelah menjalani rumah tangga ini. Arhan adalah suami yang penuh akan kasih dan sayang.Namun ternyata setelah mendengar ungkapan sang suami mengenai ia yang menggunakannya demi melupakan Iyan sampai beranggapan bahwa ia telah berprilaku jahat, tentu membuatnya serba salah. Apakah itu artinya Arhan tak menginginkan pernikahan ini jika sejak awa
“Sialan.”Sebuah umpatan mengejutkan Arhan yang tengah duduk dengan memangku laptop di sofa yang berada di kamarnya. Kedua matanya terbelalak kala satu kata asing menyapa gendang telinga.Pekerjaan yang semula menjadi fokus utama, kini beralih pada seonggok wanita yang terbaring dengan ponsel yang sedang dipegangnya. Tiba-tiba Arhan tersenyum membayangkan ponsel itu akan meluncur jatuh tepat di wajah sang istri jika tidak dengan benar memegangnya.“Pantesan Mas Arhan marah. Emang kurang ajar si kampret Iyan.” Mulutnya bersungut-sungut dengan wajah penuh emosi, padahal istrinya itu baru bangun tidur. Orang normal mungkin akan diam sebentar untuk mengumpulkan energi, tapi berbeda dengan Namira yang langsung meraih ponsel. Apakah pembicaraan sebelumnya mampir ke dalam mimpi sampai istrinya itu terbangun dan langsung mengecek ponsel untuk memastikan?Arhan tersenyum. Ini pemandangan pertama kali yang ia lihat. Namira dengan umpatan pertama yang juga baru ia dengar. Laki-laki yang sudah me
Langit yang mulai gelap disertai hujan turun, menambah keengganan Namira yang tak berani beranjak dari tempat tidur. Seolah kakinya akan menggigil jika menyentuh lantai marmer yang dingin.Namira semakin memeluk selimutnya ketika hujan semakin deras. Beruntung jendela dan gorden sudah ditutup kala angin berembus masuk melalui celahnya, menerbangkan kain panjang yang menjuntai.“Mas kita delivery aja, ya, buat makan malam.”Arhan yang kembali sibuk dengan laptop setelah menyelesaikan sisa-sisa masalah yang masih tertinggal, menatap sang istri, berpikir sejenak kemudian mengangguk. Fokusnya kembali beralih pada pekerjaan, memantau beberapa kinerja toko retail yang berada di pusat dan juga cabang lain.“Aku aja, Ay, yang masak,” ujar Arhan sembari memindahkan laptopnya.“Emangnya kerjaan Mas udah kelar?”“Udah, cuma ngecek doang,” jawabnya seraya berjalan mendekat ke sisi ranjang yang paling dekat. Menjatuhkan tubuhnya di samping Namira yang masih menggulung diri menggunakan kain tebal i
Setelah tak melakukan aktivitas luar ruangan selama beberapa hari dan hanya menggunakannya dengan beristirahat saja, akhirnya hari ini keluarga kecil Arhan sudah siap dengan pakaian rapi, hendak pergi.“Kita mau ke mana emangnya, Mas?” tanya Namira seraya merapikan pakaian Elio yang terduduk di tempat tidur. Sejak mereka bersiap, Arhan tak memberitahukan tempat yang akan mereka kunjungi. Suaminya itu hanya mengatakan kalau mereka akan pergi dan menyuruhnya untuk berdandan cantik.“Aku mau nebus liburan kita yang gagal. Jadi aku mau ajak kamu belanja sekalian ganti hp lama kamu.”Mata Namira berbinar ketika kata ‘belanja’ terucap dari mulut sang suami. Bukan hanya dirinya, ia yakin semua wanita akan menyukai satu kata itu. “Boleh beli apa aja, Mas?”“Boleh, Sayang. Tapi syaratnya hp lama kamu nggak boleh dipake lagi termasuk kartunya. Gimana?”Meskipun berat karena harus menyingkirkan ponsel kesayangan yang menemaninya dari sejak kuliah, tapi Namira tetap setuju. Wanita itu mengangguk
Memang tak ada yang lebih membahagiakan selain belanja tanpa mengeluarkan uang dari dompet pribadi. Itu yang tengah Namira rasakan, meski ia selalu dapat uang bulanan dari suaminya untuk berbelanja kebutuhan pribadi atau untuk membeli sesuatu yang ia inginkan. Namun tetap saja berbelanja tanpa menguras isi dompet itu semacam sesuatu yang bisa menambah energi dan menarik kedua sudut bibirnya tanpa henti.“Seneng, Sayang?” tanya Arhan yang tengah menyetir. Laki-laki yang mengenakan kemeja lengan pendek itu tak melunturkan senyum kala melihat istrinya bahagia dengan terus menatapi ponsel barunya yang belum lama ia dapatkan.Anggukan berulang kali yang Namira lakukan sangat kentara menunjukkan seberapa jauh aktivitas mereka mengelilingi mall dalam menambah kadar kebahagiaannya. “Mas sering-sering ajak aku belanja.”Arhan mencibir di balik senyum tak kalah bahagianya. “Bisa-bisa aku jatuh miskin dalam sekejap kalau kayak gitu.”Ternyata tak hanya Namira, Elio yang belum mengerti pun mendap
“Telpon dari siapa?”“Dari teman gue di Bali. Katanya Arhan sama Namira mendadak pulang.”“Kalau gitu rencana kita berhasil, dong.”“Habis ini lo bisa deketin Arhan, dan gue deketin Namira.”Percakapan beberapa hari lalu setelah mengetahui kalau suami-istri yang sengaja Iyan guncang rumah tangganya terlihat cekcok bahkan di tempat umum. Mereka sampai batal liburan karena informasi yang ia berikan pada Arhan yang mengaku sebagai Namira ketika mereka bertukar pesan.Rencana semacam itu, bagi laki-laki yang belum melepaskan Namira sepenuhnya dalam hidup, sangat mudah ditebak. Disamping karena ia tahu bagaimana ketikan Namira ketika sedang bertukar pesan, serta Iyan yakin jika mantan kekasihnya itu tidak akan dengan mudah melupakan janji yang ia buat beberapa tahun lalu. Meskipun hubungan mereka harus kandas karena ulahnya sendiri.Rencana mereka mungkin memang berhasil membawa keduanya kembali pulang dan membatalkan liburan yang sudah mereka siapkan. Namun setelah beberapa hari menyusun