Langit yang mulai gelap disertai hujan turun, menambah keengganan Namira yang tak berani beranjak dari tempat tidur. Seolah kakinya akan menggigil jika menyentuh lantai marmer yang dingin.Namira semakin memeluk selimutnya ketika hujan semakin deras. Beruntung jendela dan gorden sudah ditutup kala angin berembus masuk melalui celahnya, menerbangkan kain panjang yang menjuntai.“Mas kita delivery aja, ya, buat makan malam.”Arhan yang kembali sibuk dengan laptop setelah menyelesaikan sisa-sisa masalah yang masih tertinggal, menatap sang istri, berpikir sejenak kemudian mengangguk. Fokusnya kembali beralih pada pekerjaan, memantau beberapa kinerja toko retail yang berada di pusat dan juga cabang lain.“Aku aja, Ay, yang masak,” ujar Arhan sembari memindahkan laptopnya.“Emangnya kerjaan Mas udah kelar?”“Udah, cuma ngecek doang,” jawabnya seraya berjalan mendekat ke sisi ranjang yang paling dekat. Menjatuhkan tubuhnya di samping Namira yang masih menggulung diri menggunakan kain tebal i
Setelah tak melakukan aktivitas luar ruangan selama beberapa hari dan hanya menggunakannya dengan beristirahat saja, akhirnya hari ini keluarga kecil Arhan sudah siap dengan pakaian rapi, hendak pergi.“Kita mau ke mana emangnya, Mas?” tanya Namira seraya merapikan pakaian Elio yang terduduk di tempat tidur. Sejak mereka bersiap, Arhan tak memberitahukan tempat yang akan mereka kunjungi. Suaminya itu hanya mengatakan kalau mereka akan pergi dan menyuruhnya untuk berdandan cantik.“Aku mau nebus liburan kita yang gagal. Jadi aku mau ajak kamu belanja sekalian ganti hp lama kamu.”Mata Namira berbinar ketika kata ‘belanja’ terucap dari mulut sang suami. Bukan hanya dirinya, ia yakin semua wanita akan menyukai satu kata itu. “Boleh beli apa aja, Mas?”“Boleh, Sayang. Tapi syaratnya hp lama kamu nggak boleh dipake lagi termasuk kartunya. Gimana?”Meskipun berat karena harus menyingkirkan ponsel kesayangan yang menemaninya dari sejak kuliah, tapi Namira tetap setuju. Wanita itu mengangguk
Memang tak ada yang lebih membahagiakan selain belanja tanpa mengeluarkan uang dari dompet pribadi. Itu yang tengah Namira rasakan, meski ia selalu dapat uang bulanan dari suaminya untuk berbelanja kebutuhan pribadi atau untuk membeli sesuatu yang ia inginkan. Namun tetap saja berbelanja tanpa menguras isi dompet itu semacam sesuatu yang bisa menambah energi dan menarik kedua sudut bibirnya tanpa henti.“Seneng, Sayang?” tanya Arhan yang tengah menyetir. Laki-laki yang mengenakan kemeja lengan pendek itu tak melunturkan senyum kala melihat istrinya bahagia dengan terus menatapi ponsel barunya yang belum lama ia dapatkan.Anggukan berulang kali yang Namira lakukan sangat kentara menunjukkan seberapa jauh aktivitas mereka mengelilingi mall dalam menambah kadar kebahagiaannya. “Mas sering-sering ajak aku belanja.”Arhan mencibir di balik senyum tak kalah bahagianya. “Bisa-bisa aku jatuh miskin dalam sekejap kalau kayak gitu.”Ternyata tak hanya Namira, Elio yang belum mengerti pun mendap
“Telpon dari siapa?”“Dari teman gue di Bali. Katanya Arhan sama Namira mendadak pulang.”“Kalau gitu rencana kita berhasil, dong.”“Habis ini lo bisa deketin Arhan, dan gue deketin Namira.”Percakapan beberapa hari lalu setelah mengetahui kalau suami-istri yang sengaja Iyan guncang rumah tangganya terlihat cekcok bahkan di tempat umum. Mereka sampai batal liburan karena informasi yang ia berikan pada Arhan yang mengaku sebagai Namira ketika mereka bertukar pesan.Rencana semacam itu, bagi laki-laki yang belum melepaskan Namira sepenuhnya dalam hidup, sangat mudah ditebak. Disamping karena ia tahu bagaimana ketikan Namira ketika sedang bertukar pesan, serta Iyan yakin jika mantan kekasihnya itu tidak akan dengan mudah melupakan janji yang ia buat beberapa tahun lalu. Meskipun hubungan mereka harus kandas karena ulahnya sendiri.Rencana mereka mungkin memang berhasil membawa keduanya kembali pulang dan membatalkan liburan yang sudah mereka siapkan. Namun setelah beberapa hari menyusun
“Ay, aku lupa kasih tau kamu kalau hari ini aku harus ke Bandung.” Arhan berujar seraya berjalan tergesa mendekat ke sisi Namira yang tengah memakaikan baju kepada Elio. Laki-laki itu masuk kamar setelah meminum kopi seraya bersantai di teras. Menikmati udara segar yang belum banyak tercemar asap kendaraan.Namira mengernyitkan kening seraya membalikkan tubuh menghadap sang suami yang sudah berdiri di depannya. Mengabaikan bayi yang kedua kakinya menendang udara dengan racauan tak jelas yang selalu diucapkannya ketika diabaikan. “Masalah kerjaan?”Arhan mengangguk. Kedua tangannya melingkari pinggang sang istri dengan tatapan yang sendu. Tak rela harus berpisah setelah apa yang telah mereka lalui belakangan ini. Arhan berniat akan menghabiskan sisa absen kerjanya bersama keluarga. Meskipun hanya di rumah saja.Bukan rencananya terlambat memberitahukan kabar ini, tapi ia benar-benar lupa sampai Bianca yang mengingatkannya beberapa saat yang lalu melalui telepon.“Mau nginep apa langsun
“Halo, Bianca. Bapak udah di kantor?” Namira bertanya melalui telepon yang tersambung dengan sekretaris Arhan. Sebelum berangkat, suaminya itu memberitahukan akan mampir ke kantor terlebih dahulu untuk mengambil beberapa berkas sekaligus berangkat bersama dengan para pegawai yang Arhan tunjuk untuk mendampinginya.“Sudah, Bu. Sebentar lagi Bapak dan yang lain akan berangkat.”“Kamu nggak ikut?”“Tidak, Bu. Bapak hanya memilih pegawai pria saja.”“Oke, kalau gitu. Makasih, ya.”Namira bisa bernapas lega setelah mengetahui beberapa pegawai yang menemani sang suami hanya berjenis kelamin laki-laki saja. Bukan tanpa alasan ia menanyakan hal itu, kepergian Arhan selama beberapa hari ditambah tidak ditemani olehnya sedikit-banyak membuatnya khawatir.Sama halnya seperti Arhan yang khawatir sang istri akan bertemu secara diam-diam dengan mantan kekasihnya, Namira pun tak sepenuhnya percaya pada sang suami, maka dengan terpaksa memastikan jika tidak ada wanita lain selama mereka berpisah jauh
Kabar tentang Arhan yang pergi ke Bandung tanpa ditemani oleh Namira sampai ke telinga Iyan yang saat ini melangkah tergesa. Laki-laki itu bahkan sedikit berlari supaya cepat sampai tempat tujuan.Iyan membanting pintu seperti biasa. Namun tetap selalu membuat wanita yang ia temui terkejut. Beruntung kali ini anak perempuan itu tidak ada, sehingga telinganya terbebas dari tangisan yang memekakkan telinga. “Aya, cepetan beresin baju lo.”“Mau ke mana?” tanya wanita bernama Raya.Kegiatannya melipat pakaian yang sebelumnya ia ambil dari jemuran terhenti. Kepalanya menoleh pada Iyan yang saat ini sudah duduk di sisinya.Mereka saling berhadapan, Iyan yang memaksa wanita itu untuk menghadap kepadanya dengan seluruh tubuh supaya Raya fokus dan mendengarkan segala apa yang akan ia perintahkan. “Arhan lagi ke Bandung. Ini waktu yang tepat buat lo deketin dia.”Raya semakin mengernyitkan keningnya. “Jadi maksud lo, gue harus ke Bandung juga gitu?”“Iya,” jawab Iyan dengan napas yang memburu.
Hati Raya begitu tak nyaman kala ia menyetujui perintah Iyan, ia gemas sebab tak bisa berbuat apa-apa. Ditambah laki-laki itu hanya menyuruhnya pergi tanpa memberinya uang sepeserpun, dan yang lebih menyebalkan adalah ketika mereka harus menggunakan transportasi umum. Setidaknya antarkan mereka sampai stasiun.“Kita mau ke mana, Bu?”Raya yang tengah menikmati perasaan tak nyaman itu ditegur oleh pertanyaan sang anak yang penasaran dengan tujuan mereka. Saat ini keduanya sudah berada di dalam kereta yang akan membawanya hingga Bandung sesuai yang diperintahkan Iyan.“Kita mau jalan-jalan,” jawab Raya disertai senyuman.Sorakan menggemaskan mengalun merdu, menarik perhatian penumpang lain yang ikut tersenyum mendengar suara serta raut wajah yang terlihat gembira.“Nima senang?”Kali ini Nima mengangguk, masih dengan ekspresi yang sama. “Senang, Bu. Nima jadi nggak akan ketemu sama Om Iyan.”Mendengar nama yang tak jarang membuat keributan di rumahnya itu membentuk senyum miris di bibir