“Ay, aku lupa kasih tau kamu kalau hari ini aku harus ke Bandung.” Arhan berujar seraya berjalan tergesa mendekat ke sisi Namira yang tengah memakaikan baju kepada Elio. Laki-laki itu masuk kamar setelah meminum kopi seraya bersantai di teras. Menikmati udara segar yang belum banyak tercemar asap kendaraan.Namira mengernyitkan kening seraya membalikkan tubuh menghadap sang suami yang sudah berdiri di depannya. Mengabaikan bayi yang kedua kakinya menendang udara dengan racauan tak jelas yang selalu diucapkannya ketika diabaikan. “Masalah kerjaan?”Arhan mengangguk. Kedua tangannya melingkari pinggang sang istri dengan tatapan yang sendu. Tak rela harus berpisah setelah apa yang telah mereka lalui belakangan ini. Arhan berniat akan menghabiskan sisa absen kerjanya bersama keluarga. Meskipun hanya di rumah saja.Bukan rencananya terlambat memberitahukan kabar ini, tapi ia benar-benar lupa sampai Bianca yang mengingatkannya beberapa saat yang lalu melalui telepon.“Mau nginep apa langsun
“Halo, Bianca. Bapak udah di kantor?” Namira bertanya melalui telepon yang tersambung dengan sekretaris Arhan. Sebelum berangkat, suaminya itu memberitahukan akan mampir ke kantor terlebih dahulu untuk mengambil beberapa berkas sekaligus berangkat bersama dengan para pegawai yang Arhan tunjuk untuk mendampinginya.“Sudah, Bu. Sebentar lagi Bapak dan yang lain akan berangkat.”“Kamu nggak ikut?”“Tidak, Bu. Bapak hanya memilih pegawai pria saja.”“Oke, kalau gitu. Makasih, ya.”Namira bisa bernapas lega setelah mengetahui beberapa pegawai yang menemani sang suami hanya berjenis kelamin laki-laki saja. Bukan tanpa alasan ia menanyakan hal itu, kepergian Arhan selama beberapa hari ditambah tidak ditemani olehnya sedikit-banyak membuatnya khawatir.Sama halnya seperti Arhan yang khawatir sang istri akan bertemu secara diam-diam dengan mantan kekasihnya, Namira pun tak sepenuhnya percaya pada sang suami, maka dengan terpaksa memastikan jika tidak ada wanita lain selama mereka berpisah jauh
Kabar tentang Arhan yang pergi ke Bandung tanpa ditemani oleh Namira sampai ke telinga Iyan yang saat ini melangkah tergesa. Laki-laki itu bahkan sedikit berlari supaya cepat sampai tempat tujuan.Iyan membanting pintu seperti biasa. Namun tetap selalu membuat wanita yang ia temui terkejut. Beruntung kali ini anak perempuan itu tidak ada, sehingga telinganya terbebas dari tangisan yang memekakkan telinga. “Aya, cepetan beresin baju lo.”“Mau ke mana?” tanya wanita bernama Raya.Kegiatannya melipat pakaian yang sebelumnya ia ambil dari jemuran terhenti. Kepalanya menoleh pada Iyan yang saat ini sudah duduk di sisinya.Mereka saling berhadapan, Iyan yang memaksa wanita itu untuk menghadap kepadanya dengan seluruh tubuh supaya Raya fokus dan mendengarkan segala apa yang akan ia perintahkan. “Arhan lagi ke Bandung. Ini waktu yang tepat buat lo deketin dia.”Raya semakin mengernyitkan keningnya. “Jadi maksud lo, gue harus ke Bandung juga gitu?”“Iya,” jawab Iyan dengan napas yang memburu.
Hati Raya begitu tak nyaman kala ia menyetujui perintah Iyan, ia gemas sebab tak bisa berbuat apa-apa. Ditambah laki-laki itu hanya menyuruhnya pergi tanpa memberinya uang sepeserpun, dan yang lebih menyebalkan adalah ketika mereka harus menggunakan transportasi umum. Setidaknya antarkan mereka sampai stasiun.“Kita mau ke mana, Bu?”Raya yang tengah menikmati perasaan tak nyaman itu ditegur oleh pertanyaan sang anak yang penasaran dengan tujuan mereka. Saat ini keduanya sudah berada di dalam kereta yang akan membawanya hingga Bandung sesuai yang diperintahkan Iyan.“Kita mau jalan-jalan,” jawab Raya disertai senyuman.Sorakan menggemaskan mengalun merdu, menarik perhatian penumpang lain yang ikut tersenyum mendengar suara serta raut wajah yang terlihat gembira.“Nima senang?”Kali ini Nima mengangguk, masih dengan ekspresi yang sama. “Senang, Bu. Nima jadi nggak akan ketemu sama Om Iyan.”Mendengar nama yang tak jarang membuat keributan di rumahnya itu membentuk senyum miris di bibir
Berulang kali Arhan mengatur napas, ia masih belum bisa menerima apa yang tengah terjadi. Keterlibatan polisi terus mengganggunya sejak awal, sampai pesan Namira pun sering ia abaikan. Setelah ini, apa yang akan terjadi pada bisnisnya? Ia yakin tak sedikit yang menggunjing dan berkomentar negatif. Semoga saja tak berdampak terlalu buruk.“Kasih tahu Pak Abdul buat ngumpulin semua karyawan secepatnya.” ujar Arhan yang di angguki oleh seseorang di sampingnya.Demi menyelesaikan masalah ini, mau tak mau Arhan harus menutup toko jika ingin selesai dengan cepat dan lancar, tanpa ada gangguan apapun. Kalau ia tetap nekat membuka toko, pasti akan banyak pelanggan yang penasaran dengan apa yang terjadi kemudian mencari tahu, dan kabar buruknya berita ini akan tersebar sehingga menciptakan citra buruk bagi perusahaan.“Pastiin juga nggak ada satupun karyawan yang nggak hadir, kita akan berkumpul setelah urusan sama polisi selesai,” lanjutnya masih dengan intonasi yang sama.Melalui kejadian in
Di sepanjang jalan berjejer ruko-ruko kecil yang menjual berbagai barang. Di depannya dipadati dengan jajanan kaki lima, bahkan sampai para pengunjung terkadang kesulitan memasuki area toko yang ingin mereka jamah. Harus bertubrukan terlebih dahulu dengan pengguna jalan lain atau yang sekedar berdiri menunggu jemputan dan juga beristirahat dari lelahnya berjalan.Dari sekian banyak toko, hanya toko milik Arhan yang paling besar. Bisa disamakan dengan mall, yang membuatnya berbeda adalah barang yang dijual. Arhan hanya fokus pada penjualan pakaian dari mulai anak-anak hingga dewasa, dari mulai jaket hingga kaos kaki, tentu untuk laki-laki dan perempuan dari berbagai merek yang berhasil ia ajak kerjasama.Namun sayang, dengan banyaknya orang berlalu-lalang, toko yang paling besar itu tutup karena masalah yang tengah terjadi. Arhan menatap nanar bangunan yang terdiri dari dua lantai itu. Kalau saja hari ini tidak tutup, mungkin para pejalan kaki itu akan mampir. Entah untuk melihat-lihat
Melihat kekhawatiran sang istri, lantas Arhan mengecup pelipisnya. Ia tersenyum simpul menyampaikan bahwa tak ada emosi dalam setiap kata yang terucap. Sama seperti Andri yang berani mengolok emosinya yang keluar sejak dalam perjalanan, ia juga tengah menggoda para pegawai yang sudah berani mempermainkannya.“Oke. Hari ini kalian bebas. Semua pegawai tidak boleh ada yang bekerja, tapi …,” Arhan memberi jeda pada kalimatnya. Mengurungkan sorak-sorai yang sudah siap memenuhi seisi ruangan.“Kita akan makan bersama.” Teriakan kebahagiaan terdengar setelah ia selesai mengucapkan kalimatnya. Kemudian ia beralih pada wanita yang setiap hari duduk di depan pintu ruangannya. “Bianca, cari tempatnya. Lalu reservasi buat makan malam.”“Nggak usah, Mas.” Namira menyela.Arhan menatap heran wanita dalam pelukannya. Alisnya saling bertaut, dahinya pun mengerut. “Kenapa? Aku mau berbaik hati loh sama mereka karena udah mau bantu kamu nyiapin ini.”“Udah aku pesan tempatnya,”“Kamu udah pesan?” tany
“Sebenernya aku mau bikin kejutan di Bali tau.” Ada perasaan kesal dari apa yang Namira utarakan sebab rencana yang sudah dipikir matang-matang harus direlakan. Inilah salah satu hal yang sangat disayangkan ketika mereka harus pulang mendadak saat itu.“Tapi karena masalah kemarin itu, jadinya aku harus putar otak buat bikin rencana lain. Rencana yang bakal buat kamu panik,” lanjutnya dengan nada serius.Arhan mengulas senyum. Ia tatap mata sang istri dengan lembut. Laki-laki itu tahu betul bahwa banyak yang direlakan dari kejadian kemarin, tapi mau bagaimana lagi semua sudah terjadi, ia tidak bisa memutar waktu. “Jadi inilah rencananya, gitu?”“Iya. Karena kamu kan sayang banget sama pekerjaan kamu, aku rasa ini bakal berhasil. Eh ternyata kamu beneran panik, dong. Andri sampai ketawa ngasih tau aku pas kamu marah karena takut terlambat itu.” Tawa renyah Namira mengalun lembut sebab kembali terbayang suasana beber