Melihat kekhawatiran sang istri, lantas Arhan mengecup pelipisnya. Ia tersenyum simpul menyampaikan bahwa tak ada emosi dalam setiap kata yang terucap. Sama seperti Andri yang berani mengolok emosinya yang keluar sejak dalam perjalanan, ia juga tengah menggoda para pegawai yang sudah berani mempermainkannya.“Oke. Hari ini kalian bebas. Semua pegawai tidak boleh ada yang bekerja, tapi …,” Arhan memberi jeda pada kalimatnya. Mengurungkan sorak-sorai yang sudah siap memenuhi seisi ruangan.“Kita akan makan bersama.” Teriakan kebahagiaan terdengar setelah ia selesai mengucapkan kalimatnya. Kemudian ia beralih pada wanita yang setiap hari duduk di depan pintu ruangannya. “Bianca, cari tempatnya. Lalu reservasi buat makan malam.”“Nggak usah, Mas.” Namira menyela.Arhan menatap heran wanita dalam pelukannya. Alisnya saling bertaut, dahinya pun mengerut. “Kenapa? Aku mau berbaik hati loh sama mereka karena udah mau bantu kamu nyiapin ini.”“Udah aku pesan tempatnya,”“Kamu udah pesan?” tany
“Sebenernya aku mau bikin kejutan di Bali tau.” Ada perasaan kesal dari apa yang Namira utarakan sebab rencana yang sudah dipikir matang-matang harus direlakan. Inilah salah satu hal yang sangat disayangkan ketika mereka harus pulang mendadak saat itu.“Tapi karena masalah kemarin itu, jadinya aku harus putar otak buat bikin rencana lain. Rencana yang bakal buat kamu panik,” lanjutnya dengan nada serius.Arhan mengulas senyum. Ia tatap mata sang istri dengan lembut. Laki-laki itu tahu betul bahwa banyak yang direlakan dari kejadian kemarin, tapi mau bagaimana lagi semua sudah terjadi, ia tidak bisa memutar waktu. “Jadi inilah rencananya, gitu?”“Iya. Karena kamu kan sayang banget sama pekerjaan kamu, aku rasa ini bakal berhasil. Eh ternyata kamu beneran panik, dong. Andri sampai ketawa ngasih tau aku pas kamu marah karena takut terlambat itu.” Tawa renyah Namira mengalun lembut sebab kembali terbayang suasana beber
“Aku suka, kok, Ay.” Arhan mensejajarkan langkahnya dengan sang istri yang berjalan lebih dulu. Keadaan hati Namira harus dikembalikan seperti semula. Wanita itu tidak boleh merasa kalau usahanya sia-sia.Memang salahnya yang selalu melontarkan kata-kata yang membingungkan. Padahal ia hanya penasaran, tapi kalau jadi seperti ini Arhan sungguh menyesal. Istrinya itu sudah berusaha keras untuk mempersiapkan semuanya.Pasti tidak mudah harus mengatur banyak hal, dari mulai dekorasi yang dengan terpaksa ia percayakan kepada orang lain sebab jarak yang tak memungkinkannya datang dan melihat secara langsung, kemudian meminta para pegawai untuk bersedia bekerja sama dalam melancarkan rencananya. Bahkan Bianca dan Andri serta karyawan lain yang sebelumnya ikut bersamanya mau membantu dan rela diperalat oleh Namira.Semua usaha itu, pasti Namira merasa telah membuang waktu, tenaga serta materi hanya karena satu kalimat yang keluar dari mulutnya. Semua perkata
Arhan tak pernah meragukan selera sang istri. Wanita yang masih dalam dekapannya itu tak pernah gagal dalam memilih sesuatu, ia tahu apa yang sesuai dengannya. Terlebih kenyamanan yang selalu diutamakan.Villa yang Namira sewa memang tak sebesar rumahnya, tapi ia rasa cukup untuk menampung mereka semua yang saat ini sudah keluar dari mobil. Memperhatikan rumah yang begitu terasa nyaman. Suasana sebelum masuk pun disuguhi dengan hamparan rumput hijau di halaman depan yang tersambung sampai halaman belakang.Bangunan dengan cat putih itu dikelilingi oleh berbagai tanaman. Pohon-pohon yang menjulang tinggi pun menambah suasana sejuk dan asri. Cocok sekali untuk sekedar menyembuhkan diri dari kemelut pekerjaan atau dunia yang begitu ramai.Arhan melangkah lebih dulu menuju teras yang tersedia dua kursi rotan beserta meja bundar diantara keduanya. Ah, istrinya tahu sekali jika pagi harinya harus melakukan aktivitas semacam melamun ditemani kopi hitam sebelum menyibukkan diri dengan pekerja
“Bi Ida. Pak Marwan. Sini ikut makan kue.”Namira berteriak kala netranya tak menemukan dua orang tua yang bekerja di rumahnya. Beruntung sebelum lapisan krim kue itu hampir hilang, Namira sudah menyisihkan dua potong yang cukup besar.Sejak tadi Elio tak hentinya mengambil adonan berwarna putih manis yang menutupi permukaan tidak rata dari kue yang ia beli. Bahkan coklat dan buah cherry sebagai hiasan di atasnya pun sudah hilang dilahap habis bayi yang berdiri dengan bantuan Arhan itu.“Nih, makan kue-nya juga.” Namira menyodorkan potongan kecil dari kue coklat di depannya kepada Elio. Bayi itu tak menolak, justru semakin sibuk mengambil satu persatu kue yang sudah ibunya siapkan. Sementara sisa kue itu sengaja ia jauhkan dari tangan jahil Elio yang akan menghancurkannya.“Mas juga makan. Jangan sampai ada yang dibuang.” Kali ini Namira menyuapi suaminya yang tak bisa menggerakkan tangan ke tempat lain sebab menahan tubuh Elio yang tak bisa diam. Takut anaknya akan terjatuh karena ka
Merdeka rasanya ketika mereka bisa menghabiskan waktu bersama tanpa ada bayi yang selalu menempeli keduanya. Anaknya itu kini tengah bermain di halaman bersama Bi Ida dan Pak Marwan. Dua orang tua itu menawarkan diri untuk menjaga anak mereka sebab tak ada lagi yang harus mereka kerjakan.Di dalam kamar, Arhan dan Namira tengah berpelukan mesra sembari berbaring. Melepaskan penat perjalanan dan mengistirahatkan emosi yang terus berubah. Keduanya saling melempar tatapan. Membisikkan kata-kata manis yang mereka harap bisa memberikan ketenangan untuk masing-masing.“Ay, yang kamu bilang ke Pak Marwan waktu di mobil itu beneran atau cuman bercanda?” Ternyata sejak tadi Arhan memikirkan hal itu. Laki-laki yang tengah berulang tahun merasa tak percaya dengan apa yang dikatakan sang istri sebab ucapannya disertai emosi yang meluap seperti tengah menyampaikan maksud sebenarnya.“Mas nggak percaya, ya?” Namira tersenyum kecut. Ia pun menyesali perkataannya yang keterlaluan. Rasanya ingin memut
Sepertinya Namira tengah larut dalam ingatan tentang kejadian pertengkaran mereka sebelumnya yang tak akan ia lupakan. Itu sebabnya ia melontarkan pertanyaan yang tidak akan menutup kemungkinan jika masa lalu suaminya pun akan datang sekedar menyapa.Masalah kemarin memberinya banyak pelajaran dalam menghadapi masalah dalam rumah tangga. Jika memang saat itu akan tiba, yang harus ia lakukan adalah tetap tenang, bicarakan dengan baik-baik sehingga menemukan solusi atas permasalahan yang menimpa.Akan tetapi, ia berharap suaminya tak akan merespon mantan kekasihnya meskipun hanya sebuah panggilan nama ketika tak sengaja bertemu secara langsung atau tiba-tiba menghubungi lewat chat. Dari semua itu yang paling ia inginkan semoga tidak ada orang ketiga lagi yang akan merusak rumah tangganya.Harus ia akui selama dua tahun menikah, masalah kemarin adalah masalah yang besar untuk keduanya sampai memakan waktu berhari-hari dan berimbas pada liburan yang sudah mereka nantikan.Namira tak menya
“Jangan main air, ya. Mandi aja.”Sore ini pukul empat, mereka sudah akan bersiap-siap untuk acara satu jam lagi. Saat ini Arhan hendak memandikan Elio yang sudah penuh dengan tanah dan banjir keringat. Entah halaman sebelah mana anaknya bermain sampai ujung kukunya hitam, baju kotor serta rambut yang lepek.Setelah berpesan kepada suaminya yang akan memandikan Elio, Namira berlalu pergi ke dapur. Di sana ada beberapa peralatan dapur yang bisa digunakan. Meskipun tidak lengkap, tapi kalau untuk mereka yang hanya menginap beberapa hari saja itu cukup.Menu makan malam untuk Elio sekarang pun adalah ayam tumis saus tiram. Olahan simpel dengan bahan utama paha ayam tanpa tulang. Bahan-bahan pendampingnya pun tak begitu sulit, cukup buncis, bawang bombai, bawang daun serta bawang putih, selebihnya ada saus tiram, kecap manis dan sedikit air, tidak lupa diberi penyedap rasa.Seusai memasak, Namira tidak mendengar suara kegaduhan yang biasa mengisi seisi sudut ruangan. Bayi itu selalu menol