“Jangan main air, ya. Mandi aja.”Sore ini pukul empat, mereka sudah akan bersiap-siap untuk acara satu jam lagi. Saat ini Arhan hendak memandikan Elio yang sudah penuh dengan tanah dan banjir keringat. Entah halaman sebelah mana anaknya bermain sampai ujung kukunya hitam, baju kotor serta rambut yang lepek.Setelah berpesan kepada suaminya yang akan memandikan Elio, Namira berlalu pergi ke dapur. Di sana ada beberapa peralatan dapur yang bisa digunakan. Meskipun tidak lengkap, tapi kalau untuk mereka yang hanya menginap beberapa hari saja itu cukup.Menu makan malam untuk Elio sekarang pun adalah ayam tumis saus tiram. Olahan simpel dengan bahan utama paha ayam tanpa tulang. Bahan-bahan pendampingnya pun tak begitu sulit, cukup buncis, bawang bombai, bawang daun serta bawang putih, selebihnya ada saus tiram, kecap manis dan sedikit air, tidak lupa diberi penyedap rasa.Seusai memasak, Namira tidak mendengar suara kegaduhan yang biasa mengisi seisi sudut ruangan. Bayi itu selalu menol
Hampir semua orang sudah berkumpul di tempat makan sebelum pukul lima sore. Para wanita yang sudah merias diri dengan maksimal sibuk mengabadikan momen bersama teman masing-masing dengan cara mengambil foto dan video. Sedang di sudut lain ada kumpulan para laki-laki tengah berbincang santai seraya menyesap rokok.Tidak ada acara menggunakan pakaian tertentu. Namira hanya menyuruh mereka untuk tidak tampil secara berlebihan sebab ini hanya acara makan biasa dengan beberapa permainan yang ringan untuk mencairkan suasana.Acara yang diselenggarakan akan dimulai ketika Arhan dan Namira tiba. Namira juga menyampaikan melalui Bianca sebagai pemandu acara hari ini bahwa mereka bebas memilih makanan pembuka dan minuman di jam lima sore. Sementara makanan berat akan disajikan kala acara hampir selesai.Di sisi lain di sebuah villa, pasangan Ayah-anak itu tengah menunggu satu-satunya wanita yang selalu mereka cari ketika membutuhkan sesuatu. Arhan menyerahkan ponsel yang sudah memutar video kar
“Itu ada apa, Bu?” tanya gadis kecil di depannya. Raya yang menatap kemeriahan sejak keluarga itu keluar dari mobil beralih pada anaknya yang penasaran. “Kurang tau Ibu juga.” Nima tak lagi bertanya, gadis kecil itu hanya sibuk menatap dan mendengarkan segala yang diucapkan pembawa acara. Saat ini yang lebih menarik perhatiannya adalah bayi yang tersenyum senang karena dikerumuni banyak orang. “Gimana, ya, rasanya?” gumam anak itu seraya menatap kosong. “Apanya, Sayang?” Raya menanyakan gumaman sang anak yang sampai ke telinga. “Di perhatiin orang-orang,” jawab Nima dengan suara lemah. Selama ini gadis berusia empat tahun itu tak pernah mendapatkan hal semacam itu bahkan di sekolah barunya. Entah karena ia baru masuk atau memang orang-orang tak suka padanya. “Lihat, deh, Bu. Dari tadi dia duduk sama ayahnya.” Raya menatap arah pandang Nima. Sejak lahir anak itu juga tak pernah merasakan kasih sayang seorang Ayah meskipun laki-laki itu selalu berada di sekitarnya. Bukan berdiri
Acara terus berjalan semakin meriah, tawa orang-orang pun semakin menggelegar. Ada yang sibuk bertepuk tangan, sibuk mengambil video dan foto sampai ada yang sibuk makan. Para pegawai yang menyaksikan keseruan mereka pun ikut tersenyum bahagia, aura positif dari acara tersebut membuat orang-orang sejenak melupakan masalah mereka.Namun pada satu titik diantara orang-orang yang melepaskan tawa. Namira menatap intens tanpa menunjukkan ekspresi serupa dengan orang sekitar. Pandangannya tak beralih dari suaminya yang pergi.Percakapan antara laki-laki dan wanita di sudut tempat yang tak banyak dijamah orang saat ini membuatnya bertanya-tanya. Apa yang tengah mereka bicarakan? Hingga senyum tampan yang jarang ditunjukkan bahkan kepada para pegawainya itu kini terukir.Selama ini, senyum itu hanya selalu tertuju untuknya. Namun sekarang kenapa wanita lain menikmatinya juga? Kepala Namira ikut bergerak kala wanita itu menunjuk satu tempat yang ada anak kecil di sana tengah menikmati acara ya
Arhan menatap nanar semua tumpukan kado di bagasi mobilnya saat ini. Ia masih ingat kalau hari ini adalah hari ulang tahunnya, tapi tak ada satupun kado yang diberikan khusus untuknya, bahkan dari istrinya sendiri pun tidak ada.Sebenarnya ia bisa maklum karena yang dilakukan Namira tidak membutuhkan biaya sedikit. Dari toko dan villa yang didekorasi lengkap dengan kue-kue dan aksesoris lain supaya lebih menarik saja pasti menguras isi ATM-nya. Ditambah menyewa tempat makan dan semua pesanan yang dibuat tak terbatas.Hatinya senang kala Andri menyerahkan bingkisan kado yang tidak terlalu besar, ia tak menduga-duga isinya apa atau harganya berapa. Tapi boleh dikatakan ia seperti anak kecil yang senang ketika orang lain memberinya hadiah.Senyumnya melebar kala ia menerima kado itu, ucapan terima kasih pun tak lupa ia sampaikan. Namun tangan Andri melengos berubah ke arah lain, menyerahkan kado itu kepada Elio yang ada di pangkuan istrinya.“Bapak sudah tidak pantas mendapatkan kado sep
“Mas mau makan lagi nggak?” tanya Namira yang berjalan mendekat ke arah suaminya. Di tangannya ada dua gelas minuman berisikan teh panas yang baru saja dibuat. Wanita itu menyerahkan satu gelas kepada sang suami, lantas ia duduk di sampingnya, yang langsung disambut hangat oleh pelukan laki-laki itu.“Masih kenyang, Ay,” jawab Arhan sembari tersenyum.Sesuai ucapannya saat di mobil tadi, laki-laki itu mengajak istrinya untuk bersantai di teras belakang villa yang lebih nyaman dan juga tertutup, di sekelilingnya dipenuhi kaca besar sehingga pepohonan terlihat dari dalam jika gorden tak diturunkan.Ada kursi panjang yang beralaskan busa tipis di atasnya, sayangnya tidak tersedia meja di sana. Namun terdapat ruang untuk menyimpan barang-barang kecil yang sejajar dengan kepala mereka saat duduk.Suasana malam ini begitu hangat dengan pemandangan pepohonan rindang yang disoroti lampu-lampu berwarna kuning di sepanjang pagar. Keduanya duduk di sudut dengan tubuh dilapisi jaket tebal.Belum
Pada pukul enam pagi, Namira sudah sibuk mondar-mandir dari kamar tidur, dapur, hingga ruang tamu. Banyak sekali yang wanita itu kerjakan sejak langit masih gelap, Bi Ida pun bahkan belum keluar kamar untuk memulai pekerjaannya.Saat ini entah keluar masuk yang ke berapa wanita itu lakukan setelah Arhan membuka mata. Sengaja laki-laki itu tak menegur dengan harap sang istri akan menyadari kalau dirinya sudah bangun dan tengah menatap serta mengawasi pergerakan wanita itu yang kini hendak pergi lagi setelah urusan di sana selesai, tubuh ramping itu sudah kembali berjalan mencapai pintu.“Kamu ngapain, Ay? Masih pagi loh ini.”Langkah Namira terhenti. Kepalanya menoleh sebentar, lantas berbalik dan mendekat saat melihat suaminya yang sudah membuka mata. Tubuh laki-laki itu masih dibalut selimut, memastikan kain tebal yang membungkusnya tak bergeser sedikitpun sebab cuaca dingin pagi ini tidak bisa ia hadapi hanya dengan piyama tidur yang dikenakannya.Satu kecupan berlabuh di bibir Arha
Sebenarnya bukan hanya Arhan yang kesulitan tidur tadi malam, Namira pun dalam keadaan yang sama. Rasa kantuknya hilang seketika setelah mengetahui Iyan yang mencarinya sampai ke kantor sang suami, bahkan sampai bertanya pada pegawai di sana.Tak habis pikir dengan cara kerja otak mantan kekasihnya yang seolah mengibarkan bendera perang kepada suaminya. Tak tahu juga maksud dari tindakannya itu apa. Apa benar mencari dirinya atau hanya untuk memanasi Arhan?Namira yakin Iyan melakukan hal itu karena semua akses untuk menghubunginya ditutup. Maka dengan nekat laki-laki itu mendatangi tempat kerja Arhan.Setelah bergelut dengan pikirannya sendiri tadi malam sampai melupakan waktu tidurnya. Namira bergegas keluar bersama Elio kala anaknya menangis. Ia takut hal itu akan membangunkan sang suami yang baru merebahkan diri di tengah malam.“Mas mau kopi?” tanya Namira yang masih dalam posisi yang sama.Arhan mengangguk dengan lemas, bibirnya t