Merdeka rasanya ketika mereka bisa menghabiskan waktu bersama tanpa ada bayi yang selalu menempeli keduanya. Anaknya itu kini tengah bermain di halaman bersama Bi Ida dan Pak Marwan. Dua orang tua itu menawarkan diri untuk menjaga anak mereka sebab tak ada lagi yang harus mereka kerjakan.Di dalam kamar, Arhan dan Namira tengah berpelukan mesra sembari berbaring. Melepaskan penat perjalanan dan mengistirahatkan emosi yang terus berubah. Keduanya saling melempar tatapan. Membisikkan kata-kata manis yang mereka harap bisa memberikan ketenangan untuk masing-masing.“Ay, yang kamu bilang ke Pak Marwan waktu di mobil itu beneran atau cuman bercanda?” Ternyata sejak tadi Arhan memikirkan hal itu. Laki-laki yang tengah berulang tahun merasa tak percaya dengan apa yang dikatakan sang istri sebab ucapannya disertai emosi yang meluap seperti tengah menyampaikan maksud sebenarnya.“Mas nggak percaya, ya?” Namira tersenyum kecut. Ia pun menyesali perkataannya yang keterlaluan. Rasanya ingin memut
Sepertinya Namira tengah larut dalam ingatan tentang kejadian pertengkaran mereka sebelumnya yang tak akan ia lupakan. Itu sebabnya ia melontarkan pertanyaan yang tidak akan menutup kemungkinan jika masa lalu suaminya pun akan datang sekedar menyapa.Masalah kemarin memberinya banyak pelajaran dalam menghadapi masalah dalam rumah tangga. Jika memang saat itu akan tiba, yang harus ia lakukan adalah tetap tenang, bicarakan dengan baik-baik sehingga menemukan solusi atas permasalahan yang menimpa.Akan tetapi, ia berharap suaminya tak akan merespon mantan kekasihnya meskipun hanya sebuah panggilan nama ketika tak sengaja bertemu secara langsung atau tiba-tiba menghubungi lewat chat. Dari semua itu yang paling ia inginkan semoga tidak ada orang ketiga lagi yang akan merusak rumah tangganya.Harus ia akui selama dua tahun menikah, masalah kemarin adalah masalah yang besar untuk keduanya sampai memakan waktu berhari-hari dan berimbas pada liburan yang sudah mereka nantikan.Namira tak menya
“Jangan main air, ya. Mandi aja.”Sore ini pukul empat, mereka sudah akan bersiap-siap untuk acara satu jam lagi. Saat ini Arhan hendak memandikan Elio yang sudah penuh dengan tanah dan banjir keringat. Entah halaman sebelah mana anaknya bermain sampai ujung kukunya hitam, baju kotor serta rambut yang lepek.Setelah berpesan kepada suaminya yang akan memandikan Elio, Namira berlalu pergi ke dapur. Di sana ada beberapa peralatan dapur yang bisa digunakan. Meskipun tidak lengkap, tapi kalau untuk mereka yang hanya menginap beberapa hari saja itu cukup.Menu makan malam untuk Elio sekarang pun adalah ayam tumis saus tiram. Olahan simpel dengan bahan utama paha ayam tanpa tulang. Bahan-bahan pendampingnya pun tak begitu sulit, cukup buncis, bawang bombai, bawang daun serta bawang putih, selebihnya ada saus tiram, kecap manis dan sedikit air, tidak lupa diberi penyedap rasa.Seusai memasak, Namira tidak mendengar suara kegaduhan yang biasa mengisi seisi sudut ruangan. Bayi itu selalu menol
Hampir semua orang sudah berkumpul di tempat makan sebelum pukul lima sore. Para wanita yang sudah merias diri dengan maksimal sibuk mengabadikan momen bersama teman masing-masing dengan cara mengambil foto dan video. Sedang di sudut lain ada kumpulan para laki-laki tengah berbincang santai seraya menyesap rokok.Tidak ada acara menggunakan pakaian tertentu. Namira hanya menyuruh mereka untuk tidak tampil secara berlebihan sebab ini hanya acara makan biasa dengan beberapa permainan yang ringan untuk mencairkan suasana.Acara yang diselenggarakan akan dimulai ketika Arhan dan Namira tiba. Namira juga menyampaikan melalui Bianca sebagai pemandu acara hari ini bahwa mereka bebas memilih makanan pembuka dan minuman di jam lima sore. Sementara makanan berat akan disajikan kala acara hampir selesai.Di sisi lain di sebuah villa, pasangan Ayah-anak itu tengah menunggu satu-satunya wanita yang selalu mereka cari ketika membutuhkan sesuatu. Arhan menyerahkan ponsel yang sudah memutar video kar
“Itu ada apa, Bu?” tanya gadis kecil di depannya. Raya yang menatap kemeriahan sejak keluarga itu keluar dari mobil beralih pada anaknya yang penasaran. “Kurang tau Ibu juga.” Nima tak lagi bertanya, gadis kecil itu hanya sibuk menatap dan mendengarkan segala yang diucapkan pembawa acara. Saat ini yang lebih menarik perhatiannya adalah bayi yang tersenyum senang karena dikerumuni banyak orang. “Gimana, ya, rasanya?” gumam anak itu seraya menatap kosong. “Apanya, Sayang?” Raya menanyakan gumaman sang anak yang sampai ke telinga. “Di perhatiin orang-orang,” jawab Nima dengan suara lemah. Selama ini gadis berusia empat tahun itu tak pernah mendapatkan hal semacam itu bahkan di sekolah barunya. Entah karena ia baru masuk atau memang orang-orang tak suka padanya. “Lihat, deh, Bu. Dari tadi dia duduk sama ayahnya.” Raya menatap arah pandang Nima. Sejak lahir anak itu juga tak pernah merasakan kasih sayang seorang Ayah meskipun laki-laki itu selalu berada di sekitarnya. Bukan berdiri
Acara terus berjalan semakin meriah, tawa orang-orang pun semakin menggelegar. Ada yang sibuk bertepuk tangan, sibuk mengambil video dan foto sampai ada yang sibuk makan. Para pegawai yang menyaksikan keseruan mereka pun ikut tersenyum bahagia, aura positif dari acara tersebut membuat orang-orang sejenak melupakan masalah mereka.Namun pada satu titik diantara orang-orang yang melepaskan tawa. Namira menatap intens tanpa menunjukkan ekspresi serupa dengan orang sekitar. Pandangannya tak beralih dari suaminya yang pergi.Percakapan antara laki-laki dan wanita di sudut tempat yang tak banyak dijamah orang saat ini membuatnya bertanya-tanya. Apa yang tengah mereka bicarakan? Hingga senyum tampan yang jarang ditunjukkan bahkan kepada para pegawainya itu kini terukir.Selama ini, senyum itu hanya selalu tertuju untuknya. Namun sekarang kenapa wanita lain menikmatinya juga? Kepala Namira ikut bergerak kala wanita itu menunjuk satu tempat yang ada anak kecil di sana tengah menikmati acara ya
Arhan menatap nanar semua tumpukan kado di bagasi mobilnya saat ini. Ia masih ingat kalau hari ini adalah hari ulang tahunnya, tapi tak ada satupun kado yang diberikan khusus untuknya, bahkan dari istrinya sendiri pun tidak ada.Sebenarnya ia bisa maklum karena yang dilakukan Namira tidak membutuhkan biaya sedikit. Dari toko dan villa yang didekorasi lengkap dengan kue-kue dan aksesoris lain supaya lebih menarik saja pasti menguras isi ATM-nya. Ditambah menyewa tempat makan dan semua pesanan yang dibuat tak terbatas.Hatinya senang kala Andri menyerahkan bingkisan kado yang tidak terlalu besar, ia tak menduga-duga isinya apa atau harganya berapa. Tapi boleh dikatakan ia seperti anak kecil yang senang ketika orang lain memberinya hadiah.Senyumnya melebar kala ia menerima kado itu, ucapan terima kasih pun tak lupa ia sampaikan. Namun tangan Andri melengos berubah ke arah lain, menyerahkan kado itu kepada Elio yang ada di pangkuan istrinya.“Bapak sudah tidak pantas mendapatkan kado sep
“Mas mau makan lagi nggak?” tanya Namira yang berjalan mendekat ke arah suaminya. Di tangannya ada dua gelas minuman berisikan teh panas yang baru saja dibuat. Wanita itu menyerahkan satu gelas kepada sang suami, lantas ia duduk di sampingnya, yang langsung disambut hangat oleh pelukan laki-laki itu.“Masih kenyang, Ay,” jawab Arhan sembari tersenyum.Sesuai ucapannya saat di mobil tadi, laki-laki itu mengajak istrinya untuk bersantai di teras belakang villa yang lebih nyaman dan juga tertutup, di sekelilingnya dipenuhi kaca besar sehingga pepohonan terlihat dari dalam jika gorden tak diturunkan.Ada kursi panjang yang beralaskan busa tipis di atasnya, sayangnya tidak tersedia meja di sana. Namun terdapat ruang untuk menyimpan barang-barang kecil yang sejajar dengan kepala mereka saat duduk.Suasana malam ini begitu hangat dengan pemandangan pepohonan rindang yang disoroti lampu-lampu berwarna kuning di sepanjang pagar. Keduanya duduk di sudut dengan tubuh dilapisi jaket tebal.Belum
Entah pada kata yang mana, hati Iyan melembut sejenak mendengar permintaan maaf dari Raya. Namun tak lama ia kembali mengamuk. Dalam kesadarannya mendadak tak terima jika ia mengampuni wanita itu dengan mudah. Padahal ini sudah berlangsung bertahun-tahun.Iyan berteriak. Menepis tangan Arhan yang mencoba menahan untuk tak kembali menerjang Raya. Laki-laki itu berlalu pergi keluar sampai membuat Namira melongo dan meminta suaminya untuk mengejar sebab masalah mereka belum selesai. Rencana ini harus tetap berjalan bagaimana pun caranya.Saat Namira tengah meminta suaminya untuk melakukan sesuatu, Iyan kembali masuk dengan cara berjalan mundur. Di depannya ada dua orang bertubuh kekar yang menghadang langkah laki-laki itu yang akan meninggalkan villa.“Apa maksudnya ini?” tanya Iyan pada Arhan yang menyunggingkan senyum. Kini tubuhnya sudah sepenuhnya berbalik dan dua orang tak dikenal itu berdiri di belakangnya.Arhan memasukkan dua tangannya pada saku celana. “Siapa yang izinin kamu pe
Iyan refleks berdiri. Ia menghadang Arhan yang berjalan mendekat ke arah mereka seorang diri. Laki-laki itu tahu alasan Namira kabur karena sang suami yang berselingkuh sehingga membuat wanita itu memilih pergi. Ia mencoba melindungi mantan kekasihnya dari suaminya, takut-takut akan menarik pulang dengan paksa apalagi melihat tengah bersama dengan dirinya.Mata kedua laki-laki itu bertemu, saling memandang dengan tatapan sengit penuh pertarungan lewat sorot yang tajam. Langkah Arhan begitu tegas, tapi tak membuat Iyan ciut hanya karena hal itu. Laki-laki itu justru semakin mengepalkan tangan yang terentang, menyembunyikan Namira beserta anaknya di balik punggung. “Kamu diem di situ aja. Biar aku yang hadapi dia.”Andai Namira tengah berada dalam huru-hara rumah tangga yang sebenarnya atau kejadian saat ini sesuai dengan yang Iyan pikirkan, sudah pasti ia terbuai dengan apa yang mantan kekasihnya itu lakukan.Sikap Iyan benar-benar mencerminkan seorang laki-laki pelindung, yang kebanya
Karena tiba-tiba ada rencana yang harus dirubah sebab keberadaan Iyan yang tak di sangka-sangka ternyata ada di hotel yang sama dengan Namira. Wanita itu dengan spontan menjalankan rencana di luar yang sudah disepakati.Namira pikir, mengoptimalkan rencana untuk menggaet Iyan tanpa meninggalkan curiga adalah usaha untuk membuat laki-laki itu tetap ada dalam jangkauannya. Itu sebabnya ia meminta tolong pada sang mantan kekasih untuk mengantar dirinya ke villa.Semula Namira merasa bangga akan hal itu, tapi ternyata malah menjadi boomerang untuknya sampai semalaman terpikirkan beberapa kemungkinan buruk yang akan menimpa dirinya dan sang anak.Beruntung semalam Pak Marwan sudah mendapatkan kunci dari sang pemilik villa, jadi pagi ini Namira tinggal menempatinya saja tanpa dicurigai oleh Iyan.Sesampainya mereka di villa. Iyan dengan sigap membantu menurunkan barang-barang milik Namira. Dua tas jinjing di kedua tangannya bukanlah sesuatu yang merepotkan, beratnya saja tak terasa menurut
Akhirnya mereka sampai pada hari di mana akan membungkam dan membuat Iyan dan Raya tak bisa berkutik lagi. Namira berharap semuanya berjalan lancar hari ini supaya bisa fokus pada hal lain yang tak kalah penting.Karena nyatanya masalah yang menimpa rumah tangganya bisa berpengaruh besar ke segala hal dalam hidup mereka, tak terkecuali dampak utamanya adalah hubungannya dengan Arhan.Berbicara tentang hari ini, semalam Namira sudah memberitahu Arhan semuanya mengenai pertemuan tak sengajanya dengan Iyan. Memang ia tak tahu apa yang sebenarnya mantan kekasihnya itu lakukan di Bandung.Namun mengingat laki-laki itu memang asli orang Bandung dan orang tuanya yang baru ia ketahui ternyata Pak Ato juga ada di kota yang sama dengannya saat ini. Jadi tidak menutup kemungkinan kalau salah satunya urusan Iyan adalah mengunjungi ayahnya.Jika diperkenankan untuk berpikir lebih luas lagi. Sebenarnya ada yang mengganggu pikiran Namira tentang keberadaan Iyan yang katanya baru sampai kemarin. Apa
Sesampainya di lobi hotel, Namira menghampiri resepsionis terlebih dahulu untuk mengkonfirmasi pesanannya yang dilakukan melalui sebuah aplikasi yang bekerja sama dengan hotel tersebut.Namira tidak langsung pergi untuk beristirahat dengan nyaman, ia memilih untuk duduk sebentar di lobi hotel sembari menunggu Pak Marwan selesai mengangkut semua barang bawaan mereka.Dalam beberapa detik mata Namira menangkap sosok laki-laki yang sebelumnya tidak ia ketahui keberadaannya. Bahkan ia sempat kebingungan untuk membuat sang mantan kekasih untuk mau menemuinya, tapi Tuhan sepertinya tengah berpihak padanya saat ini.Senyum Namira tersungging senang, lalu ia merapikan penampilannya. Satu tas yang tergeletak tak jauh darinya dengan ukuran sedang dan tidak terlalu berat semakin membuat otaknya bekerja lebih cepat. Semua pertanyaan yang mungkin akan dilontarkan Iyan sudah memiliki jawaban di kepalanya.Mata mereka bertemu kala Namira mengangkat kepala. Ia bisa melihat bahwa Iyan terkejut dengan
“Pak kita ke villa dulu, ya,” ucap Namira yang seketika teringat jika tugas kedua setelah mengecek kondisi rumah orang tuanya adalah mengunjungi penginapan yang sebelumnya mereka sewa untuk melancarkan aksinya besok.Tak ada anggukan atau sesuatu yang menunjukkan kesediaan Pak Marwan dalam menunaikan perintah majikannya itu. Namira sempat mengernyitkan dahi, tapi tak mau ambil pusing. Sudah pasti laki-laki paruh baya itu akan menuruti segala perintahnya saat ini sebab tidak mungkin menunggu persetujuan suaminya dulu.Namun tiba-tiba mobil yang mereka kendarai, Pak Marwan bawa untuk menepi. “Ada apa, Pak?” tanya Namira yang semakin mengernyitkan dahinya. Ia menatap sekeliling, jelas sekali saat ini mereka belum sampai di villa apalagi hotel.Sang sopir itu mengeluarkan ponselnya tanpa berniat mengucapkan apapun kepada Namira yang seketika menjadi marah sebab beranggapan kalau Pak Marwan akan menghubungi suaminya untuk meminta izin membawanya ke villa bukan ke hotel, sesuai yang Arhan u
Berbeda dengan Arhan yang sudah melacarkan aksinya sebelum ia benar-benar pergi ke Bandung. Namira justru sama sekali belum melakukan apapun untuk membuat Iyan mau menemuinya besok. Ia baru sampai di rumah orang tuanya. Dugaannya ternyata benar bahwa rumah yang ditinggali oleh orang tuanya sebelum meninggal itu sudah seperti rumah hantu, bangunan terbengkalai dan tak layak huni. Apa yang dikatakan suaminya pun sepenuhnya benar kalau Pak Ato tidak melakukan pekerjaannya dengan baik, sama seperti masalah kosan yang keadaannya tidak seasri dulu. Namira membuang napas berat, sebelum ia turun untuk mengambil gambar supaya bisa ditunjukkan pada suaminya. Terlebih dahulu ia menghubungi saudara satu-satunya yang ia miliki sebab Bima lah yang menjadikan Pak Ato sebagai penanggung jawab atas bagian luar rumah itu, tapi tak dilakukan dengan benar. Sambungan telepon itu tak kunjung mendapatkan jawaban sampai wanita itu berdecak sebal. "Mana, sih, Kak Bima? Kenapa nggak angkat teleponnya?"
Sepeninggal istri dan anak juga Pak Marwan. Laki-laki yang kedapatan pergi besok untuk menyusul Namira kini tengah duduk di meja makan.Lebih tepatnya Arhan mengikuti langkah Bi Ida hingga dapur. Ia duduk di sana sementara wanita paruh baya itu menyelesaikan pekerjaan yang sempat tertunda karena kepergian majikannya.Keduanya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Tak ada yang berniat membuka suara. Apalagi Bi Ida meskipun sudah lama bekerja dengan Arhan, jika di hadapkan dengan laki-laki itu tetap saja bingung mau memulai pembicaraan apa untuk memecah keheningan.Suasana diantara mereka terkesan canggung meskipun Bi Ida saat ini tengah membelakangi majikannya. Arhan pula tak memedulikan apa yang dilakukan pembantunya di sana. Laki-laki itu hanya merasa kesepian setelah kepergian istri beserta anaknya, jadi di sanalah ia sekarang. Mengalihkan kekosongan dengan kehadiran wanita yang sibuk dengan aktivitasnya.Arhan memainkan ponsel sejak tadi. Ia mulai melancarkan aksi untuk membuat Raya
“Doain lancar dan selamat sampai tujuan, ya, Mas.”Namira mengutarakan permohonan dari ketakutan sebab akan menempuh perjalanan berjam-jam tanpa didampingi suaminya. Ia hanya akan ditemani oleh Pak Marwan sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya. Tentu ini juga menjadi pengalaman pertama selama menikah. Biasanya kemanapun dan mau sejauh apapun pasti Arhan akan selalu berada di sampingnya untuk menemani dan berbagi tugas atas Elio. Namun kali ini sepertinya ia akan mengendalikan dirinya sendiri sebelum laki-laki itu menyusul ke Bandung.Pelukan Namira semakin lama semakin erat. Tak mau berpisah dengan suaminya yang justru tengah merasakan kegembiraan sebab tingkah laku wanita itu yang manja. Berbeda dengan bayangannya saat laki-laki itu mengajaknya pulang. Ia kira yang akan didapatkan itu gerutuan, tatapan sinis, bahkan menghindari dirinya, tapi ternyata semua itu terjadi sebaliknya. Contohnya seperti sekarang ini.“Selalu aku doakan, Sayang. Nanti di sana minta tolong sa