Berulang kali Arhan mengatur napas, ia masih belum bisa menerima apa yang tengah terjadi. Keterlibatan polisi terus mengganggunya sejak awal, sampai pesan Namira pun sering ia abaikan. Setelah ini, apa yang akan terjadi pada bisnisnya? Ia yakin tak sedikit yang menggunjing dan berkomentar negatif. Semoga saja tak berdampak terlalu buruk.“Kasih tahu Pak Abdul buat ngumpulin semua karyawan secepatnya.” ujar Arhan yang di angguki oleh seseorang di sampingnya.Demi menyelesaikan masalah ini, mau tak mau Arhan harus menutup toko jika ingin selesai dengan cepat dan lancar, tanpa ada gangguan apapun. Kalau ia tetap nekat membuka toko, pasti akan banyak pelanggan yang penasaran dengan apa yang terjadi kemudian mencari tahu, dan kabar buruknya berita ini akan tersebar sehingga menciptakan citra buruk bagi perusahaan.“Pastiin juga nggak ada satupun karyawan yang nggak hadir, kita akan berkumpul setelah urusan sama polisi selesai,” lanjutnya masih dengan intonasi yang sama.Melalui kejadian in
Di sepanjang jalan berjejer ruko-ruko kecil yang menjual berbagai barang. Di depannya dipadati dengan jajanan kaki lima, bahkan sampai para pengunjung terkadang kesulitan memasuki area toko yang ingin mereka jamah. Harus bertubrukan terlebih dahulu dengan pengguna jalan lain atau yang sekedar berdiri menunggu jemputan dan juga beristirahat dari lelahnya berjalan.Dari sekian banyak toko, hanya toko milik Arhan yang paling besar. Bisa disamakan dengan mall, yang membuatnya berbeda adalah barang yang dijual. Arhan hanya fokus pada penjualan pakaian dari mulai anak-anak hingga dewasa, dari mulai jaket hingga kaos kaki, tentu untuk laki-laki dan perempuan dari berbagai merek yang berhasil ia ajak kerjasama.Namun sayang, dengan banyaknya orang berlalu-lalang, toko yang paling besar itu tutup karena masalah yang tengah terjadi. Arhan menatap nanar bangunan yang terdiri dari dua lantai itu. Kalau saja hari ini tidak tutup, mungkin para pejalan kaki itu akan mampir. Entah untuk melihat-lihat
Melihat kekhawatiran sang istri, lantas Arhan mengecup pelipisnya. Ia tersenyum simpul menyampaikan bahwa tak ada emosi dalam setiap kata yang terucap. Sama seperti Andri yang berani mengolok emosinya yang keluar sejak dalam perjalanan, ia juga tengah menggoda para pegawai yang sudah berani mempermainkannya.“Oke. Hari ini kalian bebas. Semua pegawai tidak boleh ada yang bekerja, tapi …,” Arhan memberi jeda pada kalimatnya. Mengurungkan sorak-sorai yang sudah siap memenuhi seisi ruangan.“Kita akan makan bersama.” Teriakan kebahagiaan terdengar setelah ia selesai mengucapkan kalimatnya. Kemudian ia beralih pada wanita yang setiap hari duduk di depan pintu ruangannya. “Bianca, cari tempatnya. Lalu reservasi buat makan malam.”“Nggak usah, Mas.” Namira menyela.Arhan menatap heran wanita dalam pelukannya. Alisnya saling bertaut, dahinya pun mengerut. “Kenapa? Aku mau berbaik hati loh sama mereka karena udah mau bantu kamu nyiapin ini.”“Udah aku pesan tempatnya,”“Kamu udah pesan?” tany
“Sebenernya aku mau bikin kejutan di Bali tau.” Ada perasaan kesal dari apa yang Namira utarakan sebab rencana yang sudah dipikir matang-matang harus direlakan. Inilah salah satu hal yang sangat disayangkan ketika mereka harus pulang mendadak saat itu.“Tapi karena masalah kemarin itu, jadinya aku harus putar otak buat bikin rencana lain. Rencana yang bakal buat kamu panik,” lanjutnya dengan nada serius.Arhan mengulas senyum. Ia tatap mata sang istri dengan lembut. Laki-laki itu tahu betul bahwa banyak yang direlakan dari kejadian kemarin, tapi mau bagaimana lagi semua sudah terjadi, ia tidak bisa memutar waktu. “Jadi inilah rencananya, gitu?”“Iya. Karena kamu kan sayang banget sama pekerjaan kamu, aku rasa ini bakal berhasil. Eh ternyata kamu beneran panik, dong. Andri sampai ketawa ngasih tau aku pas kamu marah karena takut terlambat itu.” Tawa renyah Namira mengalun lembut sebab kembali terbayang suasana beber
“Aku suka, kok, Ay.” Arhan mensejajarkan langkahnya dengan sang istri yang berjalan lebih dulu. Keadaan hati Namira harus dikembalikan seperti semula. Wanita itu tidak boleh merasa kalau usahanya sia-sia.Memang salahnya yang selalu melontarkan kata-kata yang membingungkan. Padahal ia hanya penasaran, tapi kalau jadi seperti ini Arhan sungguh menyesal. Istrinya itu sudah berusaha keras untuk mempersiapkan semuanya.Pasti tidak mudah harus mengatur banyak hal, dari mulai dekorasi yang dengan terpaksa ia percayakan kepada orang lain sebab jarak yang tak memungkinkannya datang dan melihat secara langsung, kemudian meminta para pegawai untuk bersedia bekerja sama dalam melancarkan rencananya. Bahkan Bianca dan Andri serta karyawan lain yang sebelumnya ikut bersamanya mau membantu dan rela diperalat oleh Namira.Semua usaha itu, pasti Namira merasa telah membuang waktu, tenaga serta materi hanya karena satu kalimat yang keluar dari mulutnya. Semua perkata
Arhan tak pernah meragukan selera sang istri. Wanita yang masih dalam dekapannya itu tak pernah gagal dalam memilih sesuatu, ia tahu apa yang sesuai dengannya. Terlebih kenyamanan yang selalu diutamakan.Villa yang Namira sewa memang tak sebesar rumahnya, tapi ia rasa cukup untuk menampung mereka semua yang saat ini sudah keluar dari mobil. Memperhatikan rumah yang begitu terasa nyaman. Suasana sebelum masuk pun disuguhi dengan hamparan rumput hijau di halaman depan yang tersambung sampai halaman belakang.Bangunan dengan cat putih itu dikelilingi oleh berbagai tanaman. Pohon-pohon yang menjulang tinggi pun menambah suasana sejuk dan asri. Cocok sekali untuk sekedar menyembuhkan diri dari kemelut pekerjaan atau dunia yang begitu ramai.Arhan melangkah lebih dulu menuju teras yang tersedia dua kursi rotan beserta meja bundar diantara keduanya. Ah, istrinya tahu sekali jika pagi harinya harus melakukan aktivitas semacam melamun ditemani kopi hitam sebelum menyibukkan diri dengan pekerja
“Bi Ida. Pak Marwan. Sini ikut makan kue.”Namira berteriak kala netranya tak menemukan dua orang tua yang bekerja di rumahnya. Beruntung sebelum lapisan krim kue itu hampir hilang, Namira sudah menyisihkan dua potong yang cukup besar.Sejak tadi Elio tak hentinya mengambil adonan berwarna putih manis yang menutupi permukaan tidak rata dari kue yang ia beli. Bahkan coklat dan buah cherry sebagai hiasan di atasnya pun sudah hilang dilahap habis bayi yang berdiri dengan bantuan Arhan itu.“Nih, makan kue-nya juga.” Namira menyodorkan potongan kecil dari kue coklat di depannya kepada Elio. Bayi itu tak menolak, justru semakin sibuk mengambil satu persatu kue yang sudah ibunya siapkan. Sementara sisa kue itu sengaja ia jauhkan dari tangan jahil Elio yang akan menghancurkannya.“Mas juga makan. Jangan sampai ada yang dibuang.” Kali ini Namira menyuapi suaminya yang tak bisa menggerakkan tangan ke tempat lain sebab menahan tubuh Elio yang tak bisa diam. Takut anaknya akan terjatuh karena ka
Merdeka rasanya ketika mereka bisa menghabiskan waktu bersama tanpa ada bayi yang selalu menempeli keduanya. Anaknya itu kini tengah bermain di halaman bersama Bi Ida dan Pak Marwan. Dua orang tua itu menawarkan diri untuk menjaga anak mereka sebab tak ada lagi yang harus mereka kerjakan.Di dalam kamar, Arhan dan Namira tengah berpelukan mesra sembari berbaring. Melepaskan penat perjalanan dan mengistirahatkan emosi yang terus berubah. Keduanya saling melempar tatapan. Membisikkan kata-kata manis yang mereka harap bisa memberikan ketenangan untuk masing-masing.“Ay, yang kamu bilang ke Pak Marwan waktu di mobil itu beneran atau cuman bercanda?” Ternyata sejak tadi Arhan memikirkan hal itu. Laki-laki yang tengah berulang tahun merasa tak percaya dengan apa yang dikatakan sang istri sebab ucapannya disertai emosi yang meluap seperti tengah menyampaikan maksud sebenarnya.“Mas nggak percaya, ya?” Namira tersenyum kecut. Ia pun menyesali perkataannya yang keterlaluan. Rasanya ingin memut