Share

Bab 7

“Keluarin semua yang mengganjal.”

Pelukan itu menambah ritme tangisan Namira yang masih terduduk. Kaos yang dikenakan Arhan basah di sekitaran perut bagian atas sebab Namira memeluk dengan posisi Arhan yang berdiri di sampingnya.

Arhan membiarkan istrinya meluapkan semua melalui tangisan sampai dadanya terasa longgar.

Cukup lama mereka di posisi seperti itu hingga Ida datang untuk mulai bekerja. “Bi, nanti tolong beresin ini sama minta tolong buatin bubur, ya.”

Meski terkejut melihat keadaan Namira, Ida mengangguk. Tangannya gesit membereskan selagi Arhan membawa sang istri pindah ke kamar.

Tubuhnya panas, jalannya pelan karena lemas. Masih ada sisa tangisan yang Arhan rasa cukup menggemaskan hingga menarik kedua sudut bibirnya.

Tak tahan karena langkah mereka lambat, Arhan membopong istrinya ketika menaiki tangga. Terlebih karena lelaki itu ingin Namira segera mengistirahatkan tubuhnya.

“Jangan tidur dulu, ya. Kasian Bi Ida lagi masak bubur buat kamu. Abis itu minum obat, baru boleh tidur kalau ngantuk.”

Usapan di kepala Namira dapatkan setelah selimut menutupi tubuhnya sebatas dada. Sebuah kecupan pun tak Arhan lewatkan seraya berujar, “Aku minta maaf, ya.”

Tatapan sendu dengan mata dan hidung merah juga mendapat kecupan lembut di atasnya.

“Kamu juga belum sempet makan,” ujar Namira dengan suara lemas dan pelan. Khawatir Arhan akan melewatkannya.

“Sekarang mau lanjut makan sambil nunggu buburnya mateng. Makanya jangan tidur selagi aku nggak ada.”

“Tapi tadi kamu nyuruh Bi Ida buat beresin semuanya.”

Mulut Arhan terbuka. Perkataannya bahkan belum lama ia ucapkan, tapi ia sudah lupa. “Nggak apa-apa nanti aku ambil baru aja.”

Belum kakinya melangkah pergi, Elio di ranjang bayi mengeluarkan suara. Menarik dua pasang mata yang saling bertukar pandang.

Arhan berjalan mendekat, kemudian mengambil Elio yang sudah sepenuhnya membuka mata. “Kenapa udah bangun, El? Perasaan belum lama kamu tidur.”

“Tidurnya emang lagi nggak teratur. Semalem juga kebangun terus.”

Penjelasan Namira mengundang kernyitan lelaki dengan bayi di gendongannya. Menatap intens istrinya yang berulah sendirian. “Kenapa nggak bangunin aku? Kan bisa gantian jaga.”

“Nggak apa-apa,” jawabnya masih tanpa tenaga.

“Aku bawa El ke bawah, ya, Sayang. Kamu istirahat aja.”

Namira mengangguk setuju. Melihat keadaannya saat ini, ia akan kesulitan untuk mengawasi Elio yang sudah aktif bergerak.

Sepeninggal dua lelaki beda generasi itu, Namira masih terjaga seperti perintah suaminya. Matanya melirik sekitar, kemudian meraih benda pipih yang ia tahu itu milik sang suami.

Kedua tangannya sibuk memainkan ponsel pintar Arhan. Setiap jejak dan histori yang tertinggal ia telusuri. Hingga pesan penggunaan kartu debit dan kredit-nya. Tidak ada yang aneh. Hampir keseluruhan isinya tentang pekerjaan.

“Sebenarnya apa yang aku curigai? Aku cuman nggak tau masa lalunya aja. Dia pun nggak sepenuhnya tau masa laluku,” gumam Namira setelah menaruh ponsel itu sembarang.

Seketika kepalanya terasa pusing. Memikirkan betapa egois-nya ia menghakimi sang suami yang tak melakukan sesuatu yang menyakitinya. Ia hanya larut dengan pikiran negatifnya terhadap Arhan.

Selang beberapa saat, Arhan masuk dengan membawa semangkuk bubur di tangan kanan beserta menggendong Elio di sebelah kiri.

“Kenapa nggak nyuruh Bi Ida buat bawain buburnya?” Namira bergegas duduk melihat suaminya kesulitan. Ia mengambil alih bubur di tangan Arhan. Kemudian menaruhnya di meja nakas.

Tangannya sudah terulur hendak mengambil Elio. Tapi di tahan oleh Arhan. “Abisin dulu aja buburnya. Elio biar sama aku.”

“Kasian kayaknya dia pengen nen,’ jawabnya masih dengan tangan yang terulur.

“Kamu lagi panas, Ay. Gimana kalau Elio ikutan sakit?” Tatapan Arhan kentara khawatir akan keduanya. Melihat kondisi Namira, menunjukkan ia tak pandai mengurus istri beserta anaknya.

“Di kulkas masih ada stok ASI ‘kan?” tanya Arhan.

“Ada, sih, dikit lagi.”

“Ya udah itu aja. Kamu makan buburnya sampe abis, ya. Aku ke bawah dulu bawa susunya.”

“Tapi itu lama Ay proses buat cairinnya. Kasian Elio.”

“Terus gimana? Masa kamu makan sambil nenenin El.”

“Ya mau gimana lagi? Nggak tega aku biarin dia kehausan.”

Arhan frustrasi. Ibu-anak itu memang tidak bisa dipisahkan bahkan ketika salah satu atau keduanya sedang sakit. Mereka saling membutuhkan.

Akhirnya ia menyerahkan Elio ke pangkuan sang istri. Ternyata anak lelakinya itu benar-benar tengah kehausan jika dilihat dari cara ia meminumnya. Terlihat rakus.

Tangan Arhan terulur mengambil bubur. Setengah sendok ia ambil dan meniupnya perlahan. Kemudian mendekatkan ke mulut Namira yang semula masih sibuk dengan Elio.

“Kamu selalu bilang sama aku kalau jangan lewatin makan sekalipun. Tapi kenapa kamu nggak lakuin yang sama?”

Namira tertegun. Menatap sorot mata Arhan yang berubah sendu. Lelaki di hadapannya itu pasti merasa bersalah mengetahui Elio yang tidurnya tidak teratur sehingga mengganggu jam tidur dan nafsu makannya.

“Libatkan aku juga di setiap tumbuh kembang Elio, Ay. Bukan cuman pas dia bisa jalan atau baru bisa ngomong. Tapi pas dia kebangun karena popoknya nggak nyaman atau pas dia bangun pengen main tengah malem. Aku juga mau ada di setiap moment dia. Aku kan Papanya.”

Namira menaruh telapak tangan kanannya di pipi sebelah kiri Arhan. Mengusap pelan. Menyalurkan ketenangan. “Kamu kerja. Pulang kadang malem. Masa iya mau aku bebanin juga sama keadaan rumah.”

Arhan menggeleng tidak setuju dengan ucapan sang istri. “Kalian bukan beban. Ngeliat kamu sama El tidunya nggak teratur aku ngerasa jadi suami sekaligus Papa yang buruk.”

“Aku juga minta maaf soal yang sama Bianca. Pasti itu ganggu pikiran kamu. Tapi seriusan aku cuma liat sekilas aja, Ay.”

Namira mengulas senyum. Merelakan kejadian singkat yang ia lihat. Pengakuan Arhan membuatnya cukup untuk mempercayai suaminya untuk saat ini.

Bukti rekaman CCTV yang tak sengaja ia lihat ketika membuka email di ponsel Arhan tadi sesuai dengan yang Arhan katakan.

“Iya, Sayang. Aku juga minta maaf karena ngambil sikap berlebihan.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status