“Keluarin semua yang mengganjal.”
Pelukan itu menambah ritme tangisan Namira yang masih terduduk. Kaos yang dikenakan Arhan basah di sekitaran perut bagian atas sebab Namira memeluk dengan posisi Arhan yang berdiri di sampingnya. Arhan membiarkan istrinya meluapkan semua melalui tangisan sampai dadanya terasa longgar. Cukup lama mereka di posisi seperti itu hingga Ida datang untuk mulai bekerja. “Bi, nanti tolong beresin ini sama minta tolong buatin bubur, ya.” Meski terkejut melihat keadaan Namira, Ida mengangguk. Tangannya gesit membereskan selagi Arhan membawa sang istri pindah ke kamar. Tubuhnya panas, jalannya pelan karena lemas. Masih ada sisa tangisan yang Arhan rasa cukup menggemaskan hingga menarik kedua sudut bibirnya. Tak tahan karena langkah mereka lambat, Arhan membopong istrinya ketika menaiki tangga. Terlebih karena lelaki itu ingin Namira segera mengistirahatkan tubuhnya. “Jangan tidur dulu, ya. Kasian Bi Ida lagi masak bubur buat kamu. Abis itu minum obat, baru boleh tidur kalau ngantuk.” Usapan di kepala Namira dapatkan setelah selimut menutupi tubuhnya sebatas dada. Sebuah kecupan pun tak Arhan lewatkan seraya berujar, “Aku minta maaf, ya.” Tatapan sendu dengan mata dan hidung merah juga mendapat kecupan lembut di atasnya. “Kamu juga belum sempet makan,” ujar Namira dengan suara lemas dan pelan. Khawatir Arhan akan melewatkannya. “Sekarang mau lanjut makan sambil nunggu buburnya mateng. Makanya jangan tidur selagi aku nggak ada.” “Tapi tadi kamu nyuruh Bi Ida buat beresin semuanya.” Mulut Arhan terbuka. Perkataannya bahkan belum lama ia ucapkan, tapi ia sudah lupa. “Nggak apa-apa nanti aku ambil baru aja.” Belum kakinya melangkah pergi, Elio di ranjang bayi mengeluarkan suara. Menarik dua pasang mata yang saling bertukar pandang. Arhan berjalan mendekat, kemudian mengambil Elio yang sudah sepenuhnya membuka mata. “Kenapa udah bangun, El? Perasaan belum lama kamu tidur.” “Tidurnya emang lagi nggak teratur. Semalem juga kebangun terus.” Penjelasan Namira mengundang kernyitan lelaki dengan bayi di gendongannya. Menatap intens istrinya yang berulah sendirian. “Kenapa nggak bangunin aku? Kan bisa gantian jaga.” “Nggak apa-apa,” jawabnya masih tanpa tenaga. “Aku bawa El ke bawah, ya, Sayang. Kamu istirahat aja.” Namira mengangguk setuju. Melihat keadaannya saat ini, ia akan kesulitan untuk mengawasi Elio yang sudah aktif bergerak. Sepeninggal dua lelaki beda generasi itu, Namira masih terjaga seperti perintah suaminya. Matanya melirik sekitar, kemudian meraih benda pipih yang ia tahu itu milik sang suami. Kedua tangannya sibuk memainkan ponsel pintar Arhan. Setiap jejak dan histori yang tertinggal ia telusuri. Hingga pesan penggunaan kartu debit dan kredit-nya. Tidak ada yang aneh. Hampir keseluruhan isinya tentang pekerjaan. “Sebenarnya apa yang aku curigai? Aku cuman nggak tau masa lalunya aja. Dia pun nggak sepenuhnya tau masa laluku,” gumam Namira setelah menaruh ponsel itu sembarang. Seketika kepalanya terasa pusing. Memikirkan betapa egois-nya ia menghakimi sang suami yang tak melakukan sesuatu yang menyakitinya. Ia hanya larut dengan pikiran negatifnya terhadap Arhan. Selang beberapa saat, Arhan masuk dengan membawa semangkuk bubur di tangan kanan beserta menggendong Elio di sebelah kiri. “Kenapa nggak nyuruh Bi Ida buat bawain buburnya?” Namira bergegas duduk melihat suaminya kesulitan. Ia mengambil alih bubur di tangan Arhan. Kemudian menaruhnya di meja nakas. Tangannya sudah terulur hendak mengambil Elio. Tapi di tahan oleh Arhan. “Abisin dulu aja buburnya. Elio biar sama aku.” “Kasian kayaknya dia pengen nen,’ jawabnya masih dengan tangan yang terulur. “Kamu lagi panas, Ay. Gimana kalau Elio ikutan sakit?” Tatapan Arhan kentara khawatir akan keduanya. Melihat kondisi Namira, menunjukkan ia tak pandai mengurus istri beserta anaknya. “Di kulkas masih ada stok ASI ‘kan?” tanya Arhan. “Ada, sih, dikit lagi.” “Ya udah itu aja. Kamu makan buburnya sampe abis, ya. Aku ke bawah dulu bawa susunya.” “Tapi itu lama Ay proses buat cairinnya. Kasian Elio.” “Terus gimana? Masa kamu makan sambil nenenin El.” “Ya mau gimana lagi? Nggak tega aku biarin dia kehausan.” Arhan frustrasi. Ibu-anak itu memang tidak bisa dipisahkan bahkan ketika salah satu atau keduanya sedang sakit. Mereka saling membutuhkan. Akhirnya ia menyerahkan Elio ke pangkuan sang istri. Ternyata anak lelakinya itu benar-benar tengah kehausan jika dilihat dari cara ia meminumnya. Terlihat rakus. Tangan Arhan terulur mengambil bubur. Setengah sendok ia ambil dan meniupnya perlahan. Kemudian mendekatkan ke mulut Namira yang semula masih sibuk dengan Elio. “Kamu selalu bilang sama aku kalau jangan lewatin makan sekalipun. Tapi kenapa kamu nggak lakuin yang sama?” Namira tertegun. Menatap sorot mata Arhan yang berubah sendu. Lelaki di hadapannya itu pasti merasa bersalah mengetahui Elio yang tidurnya tidak teratur sehingga mengganggu jam tidur dan nafsu makannya. “Libatkan aku juga di setiap tumbuh kembang Elio, Ay. Bukan cuman pas dia bisa jalan atau baru bisa ngomong. Tapi pas dia kebangun karena popoknya nggak nyaman atau pas dia bangun pengen main tengah malem. Aku juga mau ada di setiap moment dia. Aku kan Papanya.” Namira menaruh telapak tangan kanannya di pipi sebelah kiri Arhan. Mengusap pelan. Menyalurkan ketenangan. “Kamu kerja. Pulang kadang malem. Masa iya mau aku bebanin juga sama keadaan rumah.” Arhan menggeleng tidak setuju dengan ucapan sang istri. “Kalian bukan beban. Ngeliat kamu sama El tidunya nggak teratur aku ngerasa jadi suami sekaligus Papa yang buruk.” “Aku juga minta maaf soal yang sama Bianca. Pasti itu ganggu pikiran kamu. Tapi seriusan aku cuma liat sekilas aja, Ay.” Namira mengulas senyum. Merelakan kejadian singkat yang ia lihat. Pengakuan Arhan membuatnya cukup untuk mempercayai suaminya untuk saat ini. Bukti rekaman CCTV yang tak sengaja ia lihat ketika membuka email di ponsel Arhan tadi sesuai dengan yang Arhan katakan. “Iya, Sayang. Aku juga minta maaf karena ngambil sikap berlebihan.”Aroma kopi menusuk indra penciuman.Namira bangun setelah cukup lama ia membuka mata. Mengumpulkan energi untuk bisa beranjak dari kasur yang selama dua hari telah menemaninya.Tubuhnya ia bawa dengan langkah gontai mendekat pintu yang terbuka lebar. Sesekali ia sandarkan tubuhnya untuk kembali mengumpulkan energi sebab hanya dengan beberapa langkah membuatnya kelelahan.Pagi ini cukup senyap, tak ada celoteh menggemaskan. Bayi itu juga tak terlihat sejauh mata memandang. Tapi aroma khas menyegarkan memenuhi ruangan. Elio sudah mandi.Namira awas memperhatikan sekitar ketika tangan berpegang pada pagar pembatas di lantai dua. Menelusuri lantai bawah, meja pantry kosong, tak ada yang memasak. Pandangannya ia bawa ke kiri, ada yang duduk di sofa panjang dengan laptop di pangkuannya serta kopi yang asapnya masih mengepul. Baru saja dibuat. Jelas ia tahu itu siapa.Tapi ada yang menarik perhatiannya lebih dalam, yaitu dua koper yang bersisian depan vas bunga besar dekat sofa yang diduduki
Suara Namira terdengar ceria meski mata berlinang.Ekspresi-nya bukan sedih karena kehilangan Elio yang kini sudah ditemukan. Tapi bahagia sebab pertemuan langka yang sedang terjadi.Segala rasa menumpuk dalam diri Namira saat ini. Terlebih rasa rindu yang tak bisa digambarkan lewat kata-kata. Hatinya penuh membuncah memancarkan kebahagiaan.Namira peluk tubuh tegap itu, menyalurkan kerinduan setelah bayi diserahkan pada Arhan. Air mata mengalir deras, bahkan suaranya pun tak bisa disamarkan.Orang di sekitar yang menyaksikan ikut menyeka ujung mata. Pertemuan haru antara kakak-adik yang memang jarang dilakukan sebab jarak yang membentang.Cukup lama pelukan itu berlangsung. Tak banyak kata yang keluar, keduanya sibuk menyalurkan lewat usapan lembut di punggung yang bergetar.“Kakak Sehat?” Namira tatap mata indah Bima. Menyelami-nya begitu dalam. Menyampaikan rasa yang tak bisa ia keluarkan.Bima usap lembut pipi Namira dengan kedua ibu jari. Menghapus jejak air mata. “Alhamdulillah
Tak ada yang membuka suara setelah nama itu diumumkan. Arhan seolah tak tertarik, atau justru sedang menahan gemuruh di dada.Begitupun Namira yang tetap menunduk. Tak siap berhadapan langsung dengan tatap yang tengah mencari jawaban pasti dari setiap pesan yang diterima.“Siapa Iyan?” tanya lelaki yang mati-matian menahan emosi di hadapan istri dan anaknya.“Temen aku.”Kali ini Arhan mengambil fokus menatap lawan bicaranya. Mencoba menarik perhatian untuk menyelami lebih dalam pada iris cantik sang istri dengan berujar, “Kamu nggak pernah cerita punya temen di sini.”Namira membalas setelah kalimat Arhan terasa menyinggung. Akhirnya kedua mata saling beradu tatap. “Buat apa? Sekalipun ada, aku nggak pernah pergi buat ketemu mereka, kan?”“Terus ini si Iyan? Kamu ketemu sama dia …,” kalimatnya terhenti, mulut masih terbuka. Menimang apa perlu ia tegaskan. Kemudian melanjutkan dengan intonasi mengejek, “Di danau.”“Nggak sengaja ketemu pas kemaren nitipin El ke Ibu.” Setiap kata diber
“El ih jangan diberantakin lagi dong,” Namira merengek dengan tubuh terduduk lemas di lantai ketika sebelumnya setengah berdiri menghadap lemari.Wanita itu sudah pulih total setelah tiga hari dirawat intensif oleh Bima. Diperhatikan dari mulai makanan hingga vitamin-nya.Pembicaraan di meja makan tiga hari lalu akhirnya terlaksana sesuai apa yang telah disepakati, yaitu ketika Namira sembuh dan jadwal Arhan kosong. Mereka akan pergi besok.Semua barang yang sudah dipilih telah tertata rapi dalam koper. Beberapa masih ada di luar untuk dikemas bersama dengan barang lainnya. Termasuk pakaian yang sudah dilipat ditumpuk bersisian dengan benda besar itu.Tapi saat ini yang terjadi, hampir semua barang itu berhamburan di lantai. Mengelilingi si kecil Elio yang ikut ‘membantu’. Terkhusus baju yang tak tersusun lagi.Koper itu terlihat kembali kosong, hanya tertinggal beberapa barang yang tak sempat bayi itu ambil karena terhenti setelah mendengar seruan manis ibunya.“Ada apa, sih, Ay? Sua
Ketegangan Namira terlihat setelah Arhan melontarkan pertanyaan. Wanita itu cukup lama terdiam dalam pandangan suaminya. Tak ada jawaban sebagai sanggahan untuk tuduhan.Arhan membuang nafas, tak ingin lagi menuntut untuk memastikan segala asumsinya. Meski ia penasaran, tapi sepertinya Namira belum siap untuk membuka mulut. Memberitahu setiap detail kejadian ketika di danau atau sekedar memberitahu siapa Iyan sebenarnya.Dengan tangan kembali sibuk pada pakaian dan barang-barang di sekitar, lelaki itu membuka suara atas kependiaman sang istri.“Kalau kamu masih belum bisa ngasih tau atau belum mau jujur. Nggak apa-apa. Aku tunggu sampai mereka pulang. Dari awal kita bakal bahas ini nanti, kan? Tapi kamu bilang nggak bisa. Terus sekarang baru satu pertanyaan dari aku aja kamu udah diem kayak gini.”Tak paham dengan apa yang Namira inginkan. Apa yang ia ungkapkan sebelumnya seolah sudah siap menjawab segala kejanggalan dan rasa penasaran dalam dirinya semenjak pesan itu memenuhi ruang o
Setelah hampir dua jam perjalanan, akhirnya mereka sampai di lobi hotel. Arhan bertugas untuk membawa dua koper beserta tas jinjing, sedangkan Namira tentu memangku Elio yang mulai tidak ingin dengan siapapun selain dirinya.Bayi itu tak pernah dibawa berpergian jauh apalagi naik pesawat, ini pertama kali. Mungkin itulah penyebabnya. Keadaannya terlihat lelah ketika tidur dalam gendongan Namira.Sesekali wanita itu terlihat kesulitan, terus mengubah posisi Elio yang perlahan merosot turun dalam gendongan. Bayinya sudah mulai berat untuk ditopang oleh kedua tangannya yang kecil.“Gantian sini, Ay.”Arhan melepas genggaman pada koper. Tangannya terulur untuk mengambil alih anaknya. Namun Elio sudah merengek ketika kedua tangan Arhan baru menyentuh lipatan ketiak-nya.“Udah nggak apa-apa sama aku aja,” ujar Namira yang tak bisa berbuat apa-apa.“Kasian berat.”“Ya mau gimana lagi. Bentar lagi juga sampe kamar. Masih bisa aku tahan.”Pembicaraan itu tak luput dari perhatian Bima dan Vita
“Kata temanku ada lava cake yang enak banget di sini, Mir.” Vita terus memandangi jalanan untuk menemukan satu tempat yang ia maksud.Matanya tak berhenti mencari dan memastikan nama tempat itu sesuai dengan apa yang telah ia ketahui.“Itu, tuh, tempatnya.” Tunjuk Vita antusias. Tubuhnya berputar seolah takut kehilangan tempat itu. Rasanya Vita ingin memasuki area parkir saat itu juga dan segera memesan untuk mencicipi seenak apa sehingga banyak temannya yang merekomendasikan.“Nanti abis makan kita ke sana yuk, Kak! Mau coba juga,” ajak Namira yang juga penasaran setelah mendengar cerita dari Vita sebelumnya. Kedua perempuan itu menyukai makanan manis. Jadi akan sangat disayangkan jika melewatkan makanan yang kata orang ramai pembeli dan juga enak.“Mau banget.”“Mas nanti sebelum pulang mampir ke sana dulu, ya,” pinta Namira seraya menunjuk tempat yang sudah jauh terlewat.Arhan yang tengah mengemudi mengangguk seraya tersenyum tanpa melepaskan fokus pada setir mobil yang diputar pe
Seluruh pesanan sudah tersaji di meja.Kedua wanita dengan gelar yang sama sibuk mengambilkan nasi untuk suaminya masing-masing. Kemudian membiarkan mereka memilih lauk mana yang akan menjadi pelengkap nasi.Jika Bima melakukannya sendiri sehingga bisa menakar seberapa banyak yang mampu ia habiskan, berbeda dengan Arhan yang hanya bisa menunjuk apa yang ia inginkan. Lelaki itu tak bisa bergerak bebas ketika ada Elio di pangkuan.Makan dengan memangku bayi mungkin akan membuat siapapun kerepotan termasuk Arhan. Tapi lelaki itu tetap saja menolak ketika Namira meminta Elio selagi suaminya mengisi perut.“Kamu makan aja yang nyaman,” komentar Arhan ketika istrinya lagi-lagi mengutamakan kenyamanan-nya ketika menyuap nasi.Meskipun selama ini kepedulian Arhan tak kurang sedikitpun. Namun rasanya kali ini perhatian sang suami terlalu tumpah ruah. Dalam segi fisik maupun emosi.Jika memutar kembali peristiwa sebelumnya, harusnya hubungan mereka tidak baik-baik saja dengan adanya masalah yan