Share

Bab 9

Suara Namira terdengar ceria meski mata berlinang.

Ekspresi-nya bukan sedih karena kehilangan Elio yang kini sudah ditemukan. Tapi bahagia sebab pertemuan langka yang sedang terjadi.

Segala rasa menumpuk dalam diri Namira saat ini. Terlebih rasa rindu yang tak bisa digambarkan lewat kata-kata. Hatinya penuh membuncah memancarkan kebahagiaan.

Namira peluk tubuh tegap itu, menyalurkan kerinduan setelah bayi diserahkan pada Arhan. Air mata mengalir deras, bahkan suaranya pun tak bisa disamarkan.

Orang di sekitar yang menyaksikan ikut menyeka ujung mata. Pertemuan haru antara kakak-adik yang memang jarang dilakukan sebab jarak yang membentang.

Cukup lama pelukan itu berlangsung. Tak banyak kata yang keluar, keduanya sibuk menyalurkan lewat usapan lembut di punggung yang bergetar.

“Kakak Sehat?” Namira tatap mata indah Bima. Menyelami-nya begitu dalam. Menyampaikan rasa yang tak bisa ia keluarkan.

Bima usap lembut pipi Namira dengan kedua ibu jari. Menghapus jejak air mata. “Alhamdulillah sehat. Kamu sendiri kenapa bisa sampai sakit?”

“Biasa karena kecapekan aja, Kak.”

Wanita yang belum disapa memiringkan kepala, mencoba menarik perhatian Namira yang sudah selesai dengan Bima.

Tangannya merentang, menyambut Namira ke dalam pelukan. Kembali usapan lembut di punggung ia dapatkan.

“Kak Vita gimana? Sehat juga, kan, selama ini?”

“Kamu nggak perlu khawatir sama aku. Kakakmu paling jago dalam merawat.”

Keduanya tersenyum. Kenyataan bahwa Bima pandai merawat orang sakit adalah benar adanya sebab lelaki itu berprofesi sebagai Dokter.

Setelah selesai akhirnya mereka duduk. Elio dialihkan kepada Namira, sedangkan Arhan menyuguhi tamu dengan air dan makanan yang ada. Beruntung ada Bi Ida yang datang dengan cepat ketika dibutuhkan.

---

“Kamarnya udah disiapin, Mas?” tanya Namira yang tanpa sengaja melirik koper yang masih di tempat semula.

“Udah kemaren sama Bi Ida dibersihin.”

Namira beralih menatap Bima. “Kakak takutnya mau istirahat dulu. Kasian Kak Vita juga pasti capek.”

“Kalau istirahat, sih, udah cukup di jalan juga. Selama perjalanan tidur malah,” jawab Bima yang sepertinya enggan menyudahi obrolan menyenangkan bersama pasangan yang lebih muda.

“Nggak nyaman pasti itu tidurnya. Setidaknya buat ngelurusin punggung. Istirahat dulu, gih”

Namira tak mau bernegosiasi lagi. Ucapannya sudah menunjukkan sebuah perintah. Bukan karena ia ingin menyudahi pembicaraan. Tapi mengingat perjalanan hingga berjam-jam di udara pasti menguras energi mereka juga.

Akhirnya Bima menarik koper, dibantu oleh Arhan, dan Vita mengekor di belakang.

Sekembalinya Arhan, wanita yang sibuk menjawab celoteh tak jelas anaknya itu disentuh di dahi. Mengecek suhu tubuhnya. Jauh lebih baik setelah mengisi perut bersama dengan tamu yang tak diketahui kedatangannya oleh Namira.

“Minum obat dulu, Sayang.” Telapak tangan kanan disodorkan lengkap dengan beberapa butir obat di atasnya dan tangan kiri memegangi gelas berisi air untuk mendorong masuk semua obat itu.

“Elio udah makan belum?”

“Belum. Tadi cuman ngemil snack aja,” jawabnya dengan mengambil alih gelas yang telah kosong.

“Kok Papanya jahat ya, Sayang. Nggak kasih kamu makan.” Namira berbicara kepada Elio yang kini sedang menyusu padanya dengan tangan sibuk menjalari wajah Namira.

“Aku nggak tau cara bikin MPASI-nya, Ay.”

Namira menatap mengejek pada sang suami. “Makanya belajar dong bikin MPASI. Biar Elio bisa makan.”

“Panggil Bi Ida aja suruh bikinin.”

Namira mengangguk setuju. Karena selain ia yang biasa membuatnya, wanita paruh baya itu pernah Namira beritahu resep dan cara pembuatannya.

“Bi,” panggil Arhan dengan suara yang menggelegar.

Tak lama Bi Ida mendekat. Mendengarkan dengan saksama setiap ucapan Namira. kemudian berlalu untuk melaksanakan perintah.

“Ay, aku mau nanya, deh.”

“Hmm.”

“Selama kamu sakit, ada satu nomor yang terus-terusan chat kamu. Dia nanyain kabar kamu karena nggak ada balesan. Terus nanya kapan kamu main lagi ke danau. Katanya dia pengen ketemu kamu lagi.”

Namira menegang. Keringat dingin rasanya berlomba keluar. Menunjukkan kegugupan. Matanya pun terlihat tak fokus. Setiap gerak-geriknya bahkan mencurigakan.

Arhan yang memperhatikan, menelisik dan mencari tahu kebenaran. “Itu siapa, ya, Ay?”

“Temenku,” jawab Namira tanpa menoleh. Bersikap seolah sibuk bermain dengan Elio yang masih dalam posisi yang sama.

“Coba liat aku.” Tangan Arhan meraih dagu sang istri untuk mensejajarkan wajah agar bisa menatap matanya. Iris Namira kebanyakan menghindar. Kentara ada sesuatu yang disembunyikan.

“Temen yang mana?” Arhan kembali melayangkan pertanyaan.

Seingatnya Namira tak pernah membicarakan siapapun tentang teman-temannya. Ia tak tahu siapa saja kenalan sang istri yang satu kota dengannya.

“Ada lah temanku.”

“Namanya?” Hati-hati Arhan bertanya. Lelaki itu ingin memastikan dengan benar.

Isi pesannya memang tak menunjukkan gender-nya apa, tapi Arhan curiga bahwa itu adalah laki-laki jika dilihat dari gaya penulisan dan pembahasan yang diambil. Cukup gentle dan mesra.

“Iyan.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status