Suara Namira terdengar ceria meski mata berlinang.
Ekspresi-nya bukan sedih karena kehilangan Elio yang kini sudah ditemukan. Tapi bahagia sebab pertemuan langka yang sedang terjadi.
Segala rasa menumpuk dalam diri Namira saat ini. Terlebih rasa rindu yang tak bisa digambarkan lewat kata-kata. Hatinya penuh membuncah memancarkan kebahagiaan.
Namira peluk tubuh tegap itu, menyalurkan kerinduan setelah bayi diserahkan pada Arhan. Air mata mengalir deras, bahkan suaranya pun tak bisa disamarkan.
Orang di sekitar yang menyaksikan ikut menyeka ujung mata. Pertemuan haru antara kakak-adik yang memang jarang dilakukan sebab jarak yang membentang.
Cukup lama pelukan itu berlangsung. Tak banyak kata yang keluar, keduanya sibuk menyalurkan lewat usapan lembut di punggung yang bergetar.
“Kakak Sehat?” Namira tatap mata indah Bima. Menyelami-nya begitu dalam. Menyampaikan rasa yang tak bisa ia keluarkan.
Bima usap lembut pipi Namira dengan kedua ibu jari. Menghapus jejak air mata. “Alhamdulillah sehat. Kamu sendiri kenapa bisa sampai sakit?”
“Biasa karena kecapekan aja, Kak.”
Wanita yang belum disapa memiringkan kepala, mencoba menarik perhatian Namira yang sudah selesai dengan Bima.
Tangannya merentang, menyambut Namira ke dalam pelukan. Kembali usapan lembut di punggung ia dapatkan.
“Kak Vita gimana? Sehat juga, kan, selama ini?”
“Kamu nggak perlu khawatir sama aku. Kakakmu paling jago dalam merawat.”
Keduanya tersenyum. Kenyataan bahwa Bima pandai merawat orang sakit adalah benar adanya sebab lelaki itu berprofesi sebagai Dokter.
Setelah selesai akhirnya mereka duduk. Elio dialihkan kepada Namira, sedangkan Arhan menyuguhi tamu dengan air dan makanan yang ada. Beruntung ada Bi Ida yang datang dengan cepat ketika dibutuhkan.
---
“Kamarnya udah disiapin, Mas?” tanya Namira yang tanpa sengaja melirik koper yang masih di tempat semula.
“Udah kemaren sama Bi Ida dibersihin.”
Namira beralih menatap Bima. “Kakak takutnya mau istirahat dulu. Kasian Kak Vita juga pasti capek.”
“Kalau istirahat, sih, udah cukup di jalan juga. Selama perjalanan tidur malah,” jawab Bima yang sepertinya enggan menyudahi obrolan menyenangkan bersama pasangan yang lebih muda.
“Nggak nyaman pasti itu tidurnya. Setidaknya buat ngelurusin punggung. Istirahat dulu, gih”
Namira tak mau bernegosiasi lagi. Ucapannya sudah menunjukkan sebuah perintah. Bukan karena ia ingin menyudahi pembicaraan. Tapi mengingat perjalanan hingga berjam-jam di udara pasti menguras energi mereka juga.
Akhirnya Bima menarik koper, dibantu oleh Arhan, dan Vita mengekor di belakang.
Sekembalinya Arhan, wanita yang sibuk menjawab celoteh tak jelas anaknya itu disentuh di dahi. Mengecek suhu tubuhnya. Jauh lebih baik setelah mengisi perut bersama dengan tamu yang tak diketahui kedatangannya oleh Namira.
“Minum obat dulu, Sayang.” Telapak tangan kanan disodorkan lengkap dengan beberapa butir obat di atasnya dan tangan kiri memegangi gelas berisi air untuk mendorong masuk semua obat itu.
“Elio udah makan belum?”
“Belum. Tadi cuman ngemil snack aja,” jawabnya dengan mengambil alih gelas yang telah kosong.
“Kok Papanya jahat ya, Sayang. Nggak kasih kamu makan.” Namira berbicara kepada Elio yang kini sedang menyusu padanya dengan tangan sibuk menjalari wajah Namira.
“Aku nggak tau cara bikin MPASI-nya, Ay.”
Namira menatap mengejek pada sang suami. “Makanya belajar dong bikin MPASI. Biar Elio bisa makan.”
“Panggil Bi Ida aja suruh bikinin.”
Namira mengangguk setuju. Karena selain ia yang biasa membuatnya, wanita paruh baya itu pernah Namira beritahu resep dan cara pembuatannya.
“Bi,” panggil Arhan dengan suara yang menggelegar.
Tak lama Bi Ida mendekat. Mendengarkan dengan saksama setiap ucapan Namira. kemudian berlalu untuk melaksanakan perintah.
“Ay, aku mau nanya, deh.”
“Hmm.”
“Selama kamu sakit, ada satu nomor yang terus-terusan chat kamu. Dia nanyain kabar kamu karena nggak ada balesan. Terus nanya kapan kamu main lagi ke danau. Katanya dia pengen ketemu kamu lagi.”
Namira menegang. Keringat dingin rasanya berlomba keluar. Menunjukkan kegugupan. Matanya pun terlihat tak fokus. Setiap gerak-geriknya bahkan mencurigakan.
Arhan yang memperhatikan, menelisik dan mencari tahu kebenaran. “Itu siapa, ya, Ay?”
“Temenku,” jawab Namira tanpa menoleh. Bersikap seolah sibuk bermain dengan Elio yang masih dalam posisi yang sama.
“Coba liat aku.” Tangan Arhan meraih dagu sang istri untuk mensejajarkan wajah agar bisa menatap matanya. Iris Namira kebanyakan menghindar. Kentara ada sesuatu yang disembunyikan.
“Temen yang mana?” Arhan kembali melayangkan pertanyaan.
Seingatnya Namira tak pernah membicarakan siapapun tentang teman-temannya. Ia tak tahu siapa saja kenalan sang istri yang satu kota dengannya.
“Ada lah temanku.”
“Namanya?” Hati-hati Arhan bertanya. Lelaki itu ingin memastikan dengan benar.
Isi pesannya memang tak menunjukkan gender-nya apa, tapi Arhan curiga bahwa itu adalah laki-laki jika dilihat dari gaya penulisan dan pembahasan yang diambil. Cukup gentle dan mesra.
“Iyan.”
Tak ada yang membuka suara setelah nama itu diumumkan. Arhan seolah tak tertarik, atau justru sedang menahan gemuruh di dada.Begitupun Namira yang tetap menunduk. Tak siap berhadapan langsung dengan tatap yang tengah mencari jawaban pasti dari setiap pesan yang diterima.“Siapa Iyan?” tanya lelaki yang mati-matian menahan emosi di hadapan istri dan anaknya.“Temen aku.”Kali ini Arhan mengambil fokus menatap lawan bicaranya. Mencoba menarik perhatian untuk menyelami lebih dalam pada iris cantik sang istri dengan berujar, “Kamu nggak pernah cerita punya temen di sini.”Namira membalas setelah kalimat Arhan terasa menyinggung. Akhirnya kedua mata saling beradu tatap. “Buat apa? Sekalipun ada, aku nggak pernah pergi buat ketemu mereka, kan?”“Terus ini si Iyan? Kamu ketemu sama dia …,” kalimatnya terhenti, mulut masih terbuka. Menimang apa perlu ia tegaskan. Kemudian melanjutkan dengan intonasi mengejek, “Di danau.”“Nggak sengaja ketemu pas kemaren nitipin El ke Ibu.” Setiap kata diber
“El ih jangan diberantakin lagi dong,” Namira merengek dengan tubuh terduduk lemas di lantai ketika sebelumnya setengah berdiri menghadap lemari.Wanita itu sudah pulih total setelah tiga hari dirawat intensif oleh Bima. Diperhatikan dari mulai makanan hingga vitamin-nya.Pembicaraan di meja makan tiga hari lalu akhirnya terlaksana sesuai apa yang telah disepakati, yaitu ketika Namira sembuh dan jadwal Arhan kosong. Mereka akan pergi besok.Semua barang yang sudah dipilih telah tertata rapi dalam koper. Beberapa masih ada di luar untuk dikemas bersama dengan barang lainnya. Termasuk pakaian yang sudah dilipat ditumpuk bersisian dengan benda besar itu.Tapi saat ini yang terjadi, hampir semua barang itu berhamburan di lantai. Mengelilingi si kecil Elio yang ikut ‘membantu’. Terkhusus baju yang tak tersusun lagi.Koper itu terlihat kembali kosong, hanya tertinggal beberapa barang yang tak sempat bayi itu ambil karena terhenti setelah mendengar seruan manis ibunya.“Ada apa, sih, Ay? Sua
Ketegangan Namira terlihat setelah Arhan melontarkan pertanyaan. Wanita itu cukup lama terdiam dalam pandangan suaminya. Tak ada jawaban sebagai sanggahan untuk tuduhan.Arhan membuang nafas, tak ingin lagi menuntut untuk memastikan segala asumsinya. Meski ia penasaran, tapi sepertinya Namira belum siap untuk membuka mulut. Memberitahu setiap detail kejadian ketika di danau atau sekedar memberitahu siapa Iyan sebenarnya.Dengan tangan kembali sibuk pada pakaian dan barang-barang di sekitar, lelaki itu membuka suara atas kependiaman sang istri.“Kalau kamu masih belum bisa ngasih tau atau belum mau jujur. Nggak apa-apa. Aku tunggu sampai mereka pulang. Dari awal kita bakal bahas ini nanti, kan? Tapi kamu bilang nggak bisa. Terus sekarang baru satu pertanyaan dari aku aja kamu udah diem kayak gini.”Tak paham dengan apa yang Namira inginkan. Apa yang ia ungkapkan sebelumnya seolah sudah siap menjawab segala kejanggalan dan rasa penasaran dalam dirinya semenjak pesan itu memenuhi ruang o
Setelah hampir dua jam perjalanan, akhirnya mereka sampai di lobi hotel. Arhan bertugas untuk membawa dua koper beserta tas jinjing, sedangkan Namira tentu memangku Elio yang mulai tidak ingin dengan siapapun selain dirinya.Bayi itu tak pernah dibawa berpergian jauh apalagi naik pesawat, ini pertama kali. Mungkin itulah penyebabnya. Keadaannya terlihat lelah ketika tidur dalam gendongan Namira.Sesekali wanita itu terlihat kesulitan, terus mengubah posisi Elio yang perlahan merosot turun dalam gendongan. Bayinya sudah mulai berat untuk ditopang oleh kedua tangannya yang kecil.“Gantian sini, Ay.”Arhan melepas genggaman pada koper. Tangannya terulur untuk mengambil alih anaknya. Namun Elio sudah merengek ketika kedua tangan Arhan baru menyentuh lipatan ketiak-nya.“Udah nggak apa-apa sama aku aja,” ujar Namira yang tak bisa berbuat apa-apa.“Kasian berat.”“Ya mau gimana lagi. Bentar lagi juga sampe kamar. Masih bisa aku tahan.”Pembicaraan itu tak luput dari perhatian Bima dan Vita
“Kata temanku ada lava cake yang enak banget di sini, Mir.” Vita terus memandangi jalanan untuk menemukan satu tempat yang ia maksud.Matanya tak berhenti mencari dan memastikan nama tempat itu sesuai dengan apa yang telah ia ketahui.“Itu, tuh, tempatnya.” Tunjuk Vita antusias. Tubuhnya berputar seolah takut kehilangan tempat itu. Rasanya Vita ingin memasuki area parkir saat itu juga dan segera memesan untuk mencicipi seenak apa sehingga banyak temannya yang merekomendasikan.“Nanti abis makan kita ke sana yuk, Kak! Mau coba juga,” ajak Namira yang juga penasaran setelah mendengar cerita dari Vita sebelumnya. Kedua perempuan itu menyukai makanan manis. Jadi akan sangat disayangkan jika melewatkan makanan yang kata orang ramai pembeli dan juga enak.“Mau banget.”“Mas nanti sebelum pulang mampir ke sana dulu, ya,” pinta Namira seraya menunjuk tempat yang sudah jauh terlewat.Arhan yang tengah mengemudi mengangguk seraya tersenyum tanpa melepaskan fokus pada setir mobil yang diputar pe
Seluruh pesanan sudah tersaji di meja.Kedua wanita dengan gelar yang sama sibuk mengambilkan nasi untuk suaminya masing-masing. Kemudian membiarkan mereka memilih lauk mana yang akan menjadi pelengkap nasi.Jika Bima melakukannya sendiri sehingga bisa menakar seberapa banyak yang mampu ia habiskan, berbeda dengan Arhan yang hanya bisa menunjuk apa yang ia inginkan. Lelaki itu tak bisa bergerak bebas ketika ada Elio di pangkuan.Makan dengan memangku bayi mungkin akan membuat siapapun kerepotan termasuk Arhan. Tapi lelaki itu tetap saja menolak ketika Namira meminta Elio selagi suaminya mengisi perut.“Kamu makan aja yang nyaman,” komentar Arhan ketika istrinya lagi-lagi mengutamakan kenyamanan-nya ketika menyuap nasi.Meskipun selama ini kepedulian Arhan tak kurang sedikitpun. Namun rasanya kali ini perhatian sang suami terlalu tumpah ruah. Dalam segi fisik maupun emosi.Jika memutar kembali peristiwa sebelumnya, harusnya hubungan mereka tidak baik-baik saja dengan adanya masalah yan
Benar kata orang bahwa tidak ada penyesalan di awal. Penyesalan selalu datang di akhir. Itu yang tengah Arhan rasakan saat ini.Kedua matanya tak lepas dari dua wanita yang tengah melangkah keluar dari minimarket dengan mendorong pintunya kesusahan sebab ada dua kantong besar di masing-masing tangan mereka. Jadi jumlah ada empat kantong.Ternyata usulan-nya untuk mampir ke minimarket guna mengembalikan suasana hati sang istri berujung tak baik. Sepertinya seluruh isi kartu ATM terkuras habis.“Perasaan tadi aku nyuruh beli es krim aja, deh, Kak. Tapi kenapa jadinya kayak mau beli seisi minimarket?”Bima yang duduk di samping kemudi pun menyesali sudah menyetujui usulan Arhan yang sebelumnya terasa meringankan beban. Tapi sekarang justru beban itu terasa menumpuk.Bukan karena mereka sedang mengirit atau pelit. Tapi kebiasaan para wanita itu masih belum bisa mereka terima ketika membeli barang yang mudah ditemukan dengan porsi yang banyak dan biasanya makanan itu bisa habis dalam sekal
“Kak sini, deh.”Vita yang sudah duduk bersila di kasur lengkap dengan sekantung makanan ringan di depannya memanggil Bima yang tengah merapikan beberapa baju yang berserakan untuk dimasukkan ke dalam koper dengan sembarang. Lelaki itu selesai berganti pakaian.“Sebentar,” jawabnya tanpa menoleh.Awalnya Vita hendak menunggu suaminya mendekat. Menatap langsung pada iris-nya pasti akan jauh lebih bisa mendalami apa yang akan dibicarakan. Tapi ia sudah tidak bisa lagi menahan untuk tak membahas masalah yang sedang ia pikirkan. Pikirannya melayang pada percakapannya bersama sang adik ipar.“Kakak tau nggak kalau ini liburan pertama Namira sama Arhan?”Bima menoleh dengan tubuh membungkuk. Gerakan tangannya terhenti dari mengambil sisa barang yang tergeletak. “Nggak tau. Emang iya?”Vita mengangguk tanpa membiarkan mulutnya berhenti mengunyah. Ada suara berisik dari bungkus makanan sebab posisi duduk yang dibenahi, menghadap Bima. “Namira yang cerita sama aku.”Langkah Bima dibawa mendeka