Setelah hampir dua jam perjalanan, akhirnya mereka sampai di lobi hotel. Arhan bertugas untuk membawa dua koper beserta tas jinjing, sedangkan Namira tentu memangku Elio yang mulai tidak ingin dengan siapapun selain dirinya.Bayi itu tak pernah dibawa berpergian jauh apalagi naik pesawat, ini pertama kali. Mungkin itulah penyebabnya. Keadaannya terlihat lelah ketika tidur dalam gendongan Namira.Sesekali wanita itu terlihat kesulitan, terus mengubah posisi Elio yang perlahan merosot turun dalam gendongan. Bayinya sudah mulai berat untuk ditopang oleh kedua tangannya yang kecil.“Gantian sini, Ay.”Arhan melepas genggaman pada koper. Tangannya terulur untuk mengambil alih anaknya. Namun Elio sudah merengek ketika kedua tangan Arhan baru menyentuh lipatan ketiak-nya.“Udah nggak apa-apa sama aku aja,” ujar Namira yang tak bisa berbuat apa-apa.“Kasian berat.”“Ya mau gimana lagi. Bentar lagi juga sampe kamar. Masih bisa aku tahan.”Pembicaraan itu tak luput dari perhatian Bima dan Vita
“Kata temanku ada lava cake yang enak banget di sini, Mir.” Vita terus memandangi jalanan untuk menemukan satu tempat yang ia maksud.Matanya tak berhenti mencari dan memastikan nama tempat itu sesuai dengan apa yang telah ia ketahui.“Itu, tuh, tempatnya.” Tunjuk Vita antusias. Tubuhnya berputar seolah takut kehilangan tempat itu. Rasanya Vita ingin memasuki area parkir saat itu juga dan segera memesan untuk mencicipi seenak apa sehingga banyak temannya yang merekomendasikan.“Nanti abis makan kita ke sana yuk, Kak! Mau coba juga,” ajak Namira yang juga penasaran setelah mendengar cerita dari Vita sebelumnya. Kedua perempuan itu menyukai makanan manis. Jadi akan sangat disayangkan jika melewatkan makanan yang kata orang ramai pembeli dan juga enak.“Mau banget.”“Mas nanti sebelum pulang mampir ke sana dulu, ya,” pinta Namira seraya menunjuk tempat yang sudah jauh terlewat.Arhan yang tengah mengemudi mengangguk seraya tersenyum tanpa melepaskan fokus pada setir mobil yang diputar pe
Seluruh pesanan sudah tersaji di meja.Kedua wanita dengan gelar yang sama sibuk mengambilkan nasi untuk suaminya masing-masing. Kemudian membiarkan mereka memilih lauk mana yang akan menjadi pelengkap nasi.Jika Bima melakukannya sendiri sehingga bisa menakar seberapa banyak yang mampu ia habiskan, berbeda dengan Arhan yang hanya bisa menunjuk apa yang ia inginkan. Lelaki itu tak bisa bergerak bebas ketika ada Elio di pangkuan.Makan dengan memangku bayi mungkin akan membuat siapapun kerepotan termasuk Arhan. Tapi lelaki itu tetap saja menolak ketika Namira meminta Elio selagi suaminya mengisi perut.“Kamu makan aja yang nyaman,” komentar Arhan ketika istrinya lagi-lagi mengutamakan kenyamanan-nya ketika menyuap nasi.Meskipun selama ini kepedulian Arhan tak kurang sedikitpun. Namun rasanya kali ini perhatian sang suami terlalu tumpah ruah. Dalam segi fisik maupun emosi.Jika memutar kembali peristiwa sebelumnya, harusnya hubungan mereka tidak baik-baik saja dengan adanya masalah yan
Benar kata orang bahwa tidak ada penyesalan di awal. Penyesalan selalu datang di akhir. Itu yang tengah Arhan rasakan saat ini.Kedua matanya tak lepas dari dua wanita yang tengah melangkah keluar dari minimarket dengan mendorong pintunya kesusahan sebab ada dua kantong besar di masing-masing tangan mereka. Jadi jumlah ada empat kantong.Ternyata usulan-nya untuk mampir ke minimarket guna mengembalikan suasana hati sang istri berujung tak baik. Sepertinya seluruh isi kartu ATM terkuras habis.“Perasaan tadi aku nyuruh beli es krim aja, deh, Kak. Tapi kenapa jadinya kayak mau beli seisi minimarket?”Bima yang duduk di samping kemudi pun menyesali sudah menyetujui usulan Arhan yang sebelumnya terasa meringankan beban. Tapi sekarang justru beban itu terasa menumpuk.Bukan karena mereka sedang mengirit atau pelit. Tapi kebiasaan para wanita itu masih belum bisa mereka terima ketika membeli barang yang mudah ditemukan dengan porsi yang banyak dan biasanya makanan itu bisa habis dalam sekal
“Kak sini, deh.”Vita yang sudah duduk bersila di kasur lengkap dengan sekantung makanan ringan di depannya memanggil Bima yang tengah merapikan beberapa baju yang berserakan untuk dimasukkan ke dalam koper dengan sembarang. Lelaki itu selesai berganti pakaian.“Sebentar,” jawabnya tanpa menoleh.Awalnya Vita hendak menunggu suaminya mendekat. Menatap langsung pada iris-nya pasti akan jauh lebih bisa mendalami apa yang akan dibicarakan. Tapi ia sudah tidak bisa lagi menahan untuk tak membahas masalah yang sedang ia pikirkan. Pikirannya melayang pada percakapannya bersama sang adik ipar.“Kakak tau nggak kalau ini liburan pertama Namira sama Arhan?”Bima menoleh dengan tubuh membungkuk. Gerakan tangannya terhenti dari mengambil sisa barang yang tergeletak. “Nggak tau. Emang iya?”Vita mengangguk tanpa membiarkan mulutnya berhenti mengunyah. Ada suara berisik dari bungkus makanan sebab posisi duduk yang dibenahi, menghadap Bima. “Namira yang cerita sama aku.”Langkah Bima dibawa mendeka
Jika Arhan masih betah memandangi Elio bahkan ketika bayi itu tertidur. Namira justru tak lelah memerhatikan raut bahagia yang belum luntur di wajah sang suami. Untuk pertama kalinya merasakan sesuatu yang begitu megah, bukan hanya untuk Arhan tapi juga dirinya selaku ibu dari bayi yang tengah terlelap itu.Mungkin terdengar berlebihan bagi sebagian orang. Tapi bagi mereka ini adalah hal luar biasa selama hidup. Kehadiran bayi tampan yang katanya mendominasi wajah Arhan saja masih belum mereka percayai. Apalagi ketika kata pertama yang keluar adalah sapaan manis yang datangnya tanpa permisi. Memenuhi indra pendengaran serta mendatangkan perasaan meletup di dada.“Udah, Ay. Nanti El kebangun, loh.”Sorot mata Arhan begitu mengganggu bagi Namira sebab ini adalah kali kedua tatapan haru itu ia lihat, yang pertama adalah ketika Elio pertama kali menyapa dunia. Bukan mengganggu dalam artian yang buruk. Namira hanya belum terbiasa. Tapi wanita itu merasa senang.Kedua kaki dilipat bersila d
Sadar amarah menguasai dirinya, Arhan pergi agar bisa menenangkan diri. Laki-laki itu tak bisa lagi menahan rasa cemburu yang kian menumpuk kala bayangan tentang sang istri dengan laki-laki bernama Iyan itu kembali menjalin komunikasi.Tak ada lagi yang bisa mencegahnya untuk mengeluarkan kata-kata yang mungkin atau sangat menyakiti hati Namira, kecuali dengan menyendiri. Arhan ingin memberi waktu untuk mereka berdua menjernihkan pikiran sebelum nanti kembali membicarakan masalah ini.Arhan berulang kali menghela napas berat, bahkan dapat didengar oleh Bima yang berada tak jauh di belakangnya. Kursi disebelah adik iparnya ditarik hingga membuat laki-laki itu menoleh.Arhan tersenyum tipis kala melihat kedatangan Bima, namun tak begitu membuatnya senang. Jauh di dalam lubuk hati Arhan, ia ingin Bima segera pergi meski kakak iparnya itu baru sampai. Setidaknya membiarkan ia sendiri lebih lama agar bisa leluasa menormalkan perasaan kalut yang masih belum bisa Arhan singkirkan.Namun, sat
Arhan mengambil langkah besar dengan hati yang kian membaik setelah berbicara dengan kakak iparnya. Laki-laki pemilik alis tebal itu tersenyum simpul kala membayangkan ekspresi sang istri menerima bingkisan cantik berisi makanan manis kesukaannya. Ia harap hadiah kecil itu mampu meredam amarah serta menjadi pembuka pembicaraan serius yang akan kembali mereka bahas.Arhan berdiri sebentar di depan pintu yang tertutup, ia menarik napas panjang dan mengeluarkannya perlahan. Perasaan bahagia itu sulit ia kendalikan kala kepalanya penuh oleh bayangan tentang masalah yang sudah berlarut-larut akhirnya akan selesai.Tangannya bergerak meraih sebuah kartu pada saku yang menjadi alat pembuka kunci dengan cara menempelkannya pada bagian atas gagang pintu yang diikuti bunyi sebagai pertanda bahwa kini ia bisa memasuki kamar hotel dan berbicara bersama sang istri.Pemandangan pertama yang ia lihat berhasil mengulur garis senyum yang semula terasa sulit dilonggarkan, tergantikan oleh rasa kasihan