“Makan dulu, Ay.”
Arhan terus mengetuk pintu yang terkunci. Wanita yang tersentak karena teriakan Arhan itu masih enggan berhadapan langsung dengannya.
“Kata Bi Ida semalem kamu juga nggak makan. Makan dulu, Sayang. Kalau kamu nggak mau bareng aku nggak apa-apa. Nanti aku makan kalau kamu udah selesai.”
Lelaki dengan wajah basah karena baru sempat mencuci muka itu bersandar dengan salah satu bahunya. Kemarahan Namira ternyata sulit diredakan. Tapi ini memang salahnya.
Beruntung hari ini ia tidak perlu pergi bekerja, jadi seluruh atensi dan waktu akan ia gunakan untuk mengembalikan suasana rumah kembali hangat.
Ketukan Arhan melemah sebab usahanya tak ada respon. Tapi suaranya tetap mengudara menembus pintu meskipun pelan. “Ay. Makan dulu, Sayang.”
“Kamu aja duluan yang makan,” timpal Namira dengan sedikit berteriak.
“Aku nggak mau makan kalau kamu nggak makan,” Arhan balik menjawab dengan teriakan.
Lelaki yang masih bersandar pada pintu itu kembali pasrah ketika ia tak lagi mendengar suara sang istri. Padahal ia berharap dengan begitu Namira akan segera keluar. Selama ini Namira tak suka jika ia melewatkan makan, terlebih itu adalah sesuatu yang sudah istrinya sediakan.
Pintu terbuka ketika langkah Arhan sedikit menjauh, hendak pergi dan menunda usaha membujuk sang istri.
“Berisik! Elio lagi tidur,” ucapnya seraya melengos pergi.
Keduanya turun dengan Arhan yang membuntuti setiap langkah Namira. “Aku nggak tau kalau El lagi tidur, Ay. Maaf.”
Lagi-lagi Namira tak menjawab, wanita yang sudah mengganti bajunya itu menghampiri meja pantry. Semua makanan dingin. Terpaksa ia hangatkan lagi.
Selang beberapa lama, semuanya sudah kembali tertata rapi dengan wadah yang berbeda. Tangannya gesit mengambil nasi dan beberapa lauk.
“Ngapain diem di situ? Sini makan dulu,” ujar Namira memberi gestur untuk mendekat melalui mata dan gerakan kepala.
Arhan duduk setelah mendapat perintah. Sejak istrinya keluar kamar, ia tak berani mendekat. Lelaki itu menjaga jarak, membantu pun rasanya hanya akan terkena omelan sang istri.
“Sayang tentang masalah kemaren …”
“Udahlah nggak usah dibahas.”
Arhan menaruh sendok, kali ini ia geram dengan sikap Namira yang menganggap remeh bahkan dibiarkan menggantung tanpa penyelesaian. Padahal sudah jelas masalah ini sangat berdampak pada hubungan mereka.
“Nggak bisa gitu. Aku udah cek CCTV. Jadi aku udah tau apa yang kamu masalahin.”
Namira mengangkat kepala, menatap suaminya. kemudian berujar, “Sepele, ‘kan?”
Lelaki itu menggeleng. “Nggak ada yang sepele Sayang kalau kamu sampe diemin aku kayak gini.”
Namira tak lagi menggubris, ia hanya kembali sibuk menyantap makanannya tanpa selera. Sedangkan Arhan menatap dengan saksama air muka sang istri yang kentara kesal.
Arhan simpan tangannya di kedua sisi piring. “Aku minta maaf karena lambat dan nggak peka. Posisi aku sama Bianca kemaren, aku beneran nggak sadar, Sayang.”
“Nggak sadar matamu!” Namira mengejek segala perkataan sang suami. Wanita itu jelas tak percaya.
“Beneran, Sayang. Aku cuman fokus ke komputer aja.”
“Cih! Udah jelas tuh belahan dada depan mata. Mana mungkin dibiarin lolos.”
Setiap kata-katanya ketus dan menusuk, tentu tepat sasaran sampai membuat Arhan kelabakan.
Kini mata mereka bertemu. Sorot memancarkan keberanian. “Kalau beneran kamu cuman fokus ke komputer aja. Berarti boleh dong aku liat CCTV-nya.”
Arhan melepas tautan. Ia sudah tertangkap basah. Mau bagaimanapun ia mengelak, pada akhirnya akan berujung tak berdaya untuk membalas.
“Kenapa? Nggak bisa? Atau jangan-jangan bukan cuman itu yang kamu lakuin sama Bianca?”
“Aku nggak sampe segitu-nya, ya, Ay.” Arhan menepis segala tuduhan jelek Namira terhadapnya. Sepasang mata itu menyiratkan tidak setuju. Ia memang tak melewatkan apa yang istrinya sebutkan. Tapi melakukan di luar itu rasanya tuduhan Namira berlebihan.
“Ngaku juga akhirnya.”
“Aku emang ngeliat sekilas, tapi bukan berarti terus-terusan aku nikmati. Apalagi sampai berbuat hal yang enggak-enggak.”
“Baguslah.”
“Kemaren aku nyuruh kamu agak siangan ke kantor karena emang takut kamu nunggu lama aja.”
“Biasanya juga kayak gitu. Kamu nggak pernah bilang apapun, aku pun nggak protes apa-apa. Tapi tiba-tiba kamu khawatir aku nunggu lama? Nggak masuk akal tau.” Setiap ucapannya disertai tangan yang terus bergerak. Memberikan gestur tak percaya, menepis segala pembelaan.
Arhan terdiam. Setiap kata yang terlontar dari mulut sang istri beserta emosi yang keluar tak akan ia tahan. Biarkan semuanya tumpah ruah, melonggarkan segala sesak yang mengikat.
“Coba kamu suruh Bianca pake baju lebih sopan lagi, Mas. Atau emang itu kemauan kamu supaya dia pake bajunya kayak gitu?”
Arhan sebatas menggeleng untuk merespon.
“Kalau bisa ganti ajalah. Mau aku cariin sekretaris baru? Yang cowok.”
“Aku nggak bisa pecat karyawan gitu aja, Ay. Apalagi kalau kerja mereka bagus. Bukannya itu nggak profesional?”
Berbeda dengan Namira yang menggebu ketika berbicara, seolah menyuruh Arhan mengakui segala tuduhannya. Arhan justru masih menjaga intonasi untuk tetap tenang dan pelan, tanpa meninggikan suara.
“Bagus buat nemenin kamu,’kan?”
Ucapan Namira kali ini terlalu sarkas, hingga membuat Arhan yang semula tak ingin membalas, merasa jengah juga pada akhirnya.
“Cukup, ya, Mir! Aku udah nahan-nahan biar nggak ikutan emosi juga. Tapi kamu nuduh aku yang enggak-enggak terus. Lama-lama cape juga tau.”
“Kamu pikir aku nggak cape kayak gini?” Air mata lolos membasahi pipi, jatuh tepat ke atas piring yang masih kosong.
“Aku juga cape, Mas.” Kini suaranya parau dan bergetar disertai tangisan. Wajahnya ia tutupi dengan kedua telapak tangan. Menunduk lemas. Energinya hampir habis. Dadanya naik turun. Namira kesulitan mengatur napas.
“Keluarin semua yang mengganjal.” Pelukan itu menambah ritme tangisan Namira yang masih terduduk. Kaos yang dikenakan Arhan basah di sekitaran perut bagian atas sebab Namira memeluk dengan posisi Arhan yang berdiri di sampingnya. Arhan membiarkan istrinya meluapkan semua melalui tangisan sampai dadanya terasa longgar. Cukup lama mereka di posisi seperti itu hingga Ida datang untuk mulai bekerja. “Bi, nanti tolong beresin ini sama minta tolong buatin bubur, ya.” Meski terkejut melihat keadaan Namira, Ida mengangguk. Tangannya gesit membereskan selagi Arhan membawa sang istri pindah ke kamar. Tubuhnya panas, jalannya pelan karena lemas. Masih ada sisa tangisan yang Arhan rasa cukup menggemaskan hingga menarik kedua sudut bibirnya. Tak tahan karena langkah mereka lambat, Arhan membopong istrinya ketika menaiki tangga. Terlebih karena lelaki itu ingin Namira segera mengistirahatkan tubuhnya. “Jangan tidur dulu, ya. Kasian Bi Ida lagi masak bubur buat kamu. Abis itu minum obat, baru
Aroma kopi menusuk indra penciuman.Namira bangun setelah cukup lama ia membuka mata. Mengumpulkan energi untuk bisa beranjak dari kasur yang selama dua hari telah menemaninya.Tubuhnya ia bawa dengan langkah gontai mendekat pintu yang terbuka lebar. Sesekali ia sandarkan tubuhnya untuk kembali mengumpulkan energi sebab hanya dengan beberapa langkah membuatnya kelelahan.Pagi ini cukup senyap, tak ada celoteh menggemaskan. Bayi itu juga tak terlihat sejauh mata memandang. Tapi aroma khas menyegarkan memenuhi ruangan. Elio sudah mandi.Namira awas memperhatikan sekitar ketika tangan berpegang pada pagar pembatas di lantai dua. Menelusuri lantai bawah, meja pantry kosong, tak ada yang memasak. Pandangannya ia bawa ke kiri, ada yang duduk di sofa panjang dengan laptop di pangkuannya serta kopi yang asapnya masih mengepul. Baru saja dibuat. Jelas ia tahu itu siapa.Tapi ada yang menarik perhatiannya lebih dalam, yaitu dua koper yang bersisian depan vas bunga besar dekat sofa yang diduduki
Suara Namira terdengar ceria meski mata berlinang.Ekspresi-nya bukan sedih karena kehilangan Elio yang kini sudah ditemukan. Tapi bahagia sebab pertemuan langka yang sedang terjadi.Segala rasa menumpuk dalam diri Namira saat ini. Terlebih rasa rindu yang tak bisa digambarkan lewat kata-kata. Hatinya penuh membuncah memancarkan kebahagiaan.Namira peluk tubuh tegap itu, menyalurkan kerinduan setelah bayi diserahkan pada Arhan. Air mata mengalir deras, bahkan suaranya pun tak bisa disamarkan.Orang di sekitar yang menyaksikan ikut menyeka ujung mata. Pertemuan haru antara kakak-adik yang memang jarang dilakukan sebab jarak yang membentang.Cukup lama pelukan itu berlangsung. Tak banyak kata yang keluar, keduanya sibuk menyalurkan lewat usapan lembut di punggung yang bergetar.“Kakak Sehat?” Namira tatap mata indah Bima. Menyelami-nya begitu dalam. Menyampaikan rasa yang tak bisa ia keluarkan.Bima usap lembut pipi Namira dengan kedua ibu jari. Menghapus jejak air mata. “Alhamdulillah
Tak ada yang membuka suara setelah nama itu diumumkan. Arhan seolah tak tertarik, atau justru sedang menahan gemuruh di dada.Begitupun Namira yang tetap menunduk. Tak siap berhadapan langsung dengan tatap yang tengah mencari jawaban pasti dari setiap pesan yang diterima.“Siapa Iyan?” tanya lelaki yang mati-matian menahan emosi di hadapan istri dan anaknya.“Temen aku.”Kali ini Arhan mengambil fokus menatap lawan bicaranya. Mencoba menarik perhatian untuk menyelami lebih dalam pada iris cantik sang istri dengan berujar, “Kamu nggak pernah cerita punya temen di sini.”Namira membalas setelah kalimat Arhan terasa menyinggung. Akhirnya kedua mata saling beradu tatap. “Buat apa? Sekalipun ada, aku nggak pernah pergi buat ketemu mereka, kan?”“Terus ini si Iyan? Kamu ketemu sama dia …,” kalimatnya terhenti, mulut masih terbuka. Menimang apa perlu ia tegaskan. Kemudian melanjutkan dengan intonasi mengejek, “Di danau.”“Nggak sengaja ketemu pas kemaren nitipin El ke Ibu.” Setiap kata diber
“El ih jangan diberantakin lagi dong,” Namira merengek dengan tubuh terduduk lemas di lantai ketika sebelumnya setengah berdiri menghadap lemari.Wanita itu sudah pulih total setelah tiga hari dirawat intensif oleh Bima. Diperhatikan dari mulai makanan hingga vitamin-nya.Pembicaraan di meja makan tiga hari lalu akhirnya terlaksana sesuai apa yang telah disepakati, yaitu ketika Namira sembuh dan jadwal Arhan kosong. Mereka akan pergi besok.Semua barang yang sudah dipilih telah tertata rapi dalam koper. Beberapa masih ada di luar untuk dikemas bersama dengan barang lainnya. Termasuk pakaian yang sudah dilipat ditumpuk bersisian dengan benda besar itu.Tapi saat ini yang terjadi, hampir semua barang itu berhamburan di lantai. Mengelilingi si kecil Elio yang ikut ‘membantu’. Terkhusus baju yang tak tersusun lagi.Koper itu terlihat kembali kosong, hanya tertinggal beberapa barang yang tak sempat bayi itu ambil karena terhenti setelah mendengar seruan manis ibunya.“Ada apa, sih, Ay? Sua
Ketegangan Namira terlihat setelah Arhan melontarkan pertanyaan. Wanita itu cukup lama terdiam dalam pandangan suaminya. Tak ada jawaban sebagai sanggahan untuk tuduhan.Arhan membuang nafas, tak ingin lagi menuntut untuk memastikan segala asumsinya. Meski ia penasaran, tapi sepertinya Namira belum siap untuk membuka mulut. Memberitahu setiap detail kejadian ketika di danau atau sekedar memberitahu siapa Iyan sebenarnya.Dengan tangan kembali sibuk pada pakaian dan barang-barang di sekitar, lelaki itu membuka suara atas kependiaman sang istri.“Kalau kamu masih belum bisa ngasih tau atau belum mau jujur. Nggak apa-apa. Aku tunggu sampai mereka pulang. Dari awal kita bakal bahas ini nanti, kan? Tapi kamu bilang nggak bisa. Terus sekarang baru satu pertanyaan dari aku aja kamu udah diem kayak gini.”Tak paham dengan apa yang Namira inginkan. Apa yang ia ungkapkan sebelumnya seolah sudah siap menjawab segala kejanggalan dan rasa penasaran dalam dirinya semenjak pesan itu memenuhi ruang o
Setelah hampir dua jam perjalanan, akhirnya mereka sampai di lobi hotel. Arhan bertugas untuk membawa dua koper beserta tas jinjing, sedangkan Namira tentu memangku Elio yang mulai tidak ingin dengan siapapun selain dirinya.Bayi itu tak pernah dibawa berpergian jauh apalagi naik pesawat, ini pertama kali. Mungkin itulah penyebabnya. Keadaannya terlihat lelah ketika tidur dalam gendongan Namira.Sesekali wanita itu terlihat kesulitan, terus mengubah posisi Elio yang perlahan merosot turun dalam gendongan. Bayinya sudah mulai berat untuk ditopang oleh kedua tangannya yang kecil.“Gantian sini, Ay.”Arhan melepas genggaman pada koper. Tangannya terulur untuk mengambil alih anaknya. Namun Elio sudah merengek ketika kedua tangan Arhan baru menyentuh lipatan ketiak-nya.“Udah nggak apa-apa sama aku aja,” ujar Namira yang tak bisa berbuat apa-apa.“Kasian berat.”“Ya mau gimana lagi. Bentar lagi juga sampe kamar. Masih bisa aku tahan.”Pembicaraan itu tak luput dari perhatian Bima dan Vita
“Kata temanku ada lava cake yang enak banget di sini, Mir.” Vita terus memandangi jalanan untuk menemukan satu tempat yang ia maksud.Matanya tak berhenti mencari dan memastikan nama tempat itu sesuai dengan apa yang telah ia ketahui.“Itu, tuh, tempatnya.” Tunjuk Vita antusias. Tubuhnya berputar seolah takut kehilangan tempat itu. Rasanya Vita ingin memasuki area parkir saat itu juga dan segera memesan untuk mencicipi seenak apa sehingga banyak temannya yang merekomendasikan.“Nanti abis makan kita ke sana yuk, Kak! Mau coba juga,” ajak Namira yang juga penasaran setelah mendengar cerita dari Vita sebelumnya. Kedua perempuan itu menyukai makanan manis. Jadi akan sangat disayangkan jika melewatkan makanan yang kata orang ramai pembeli dan juga enak.“Mau banget.”“Mas nanti sebelum pulang mampir ke sana dulu, ya,” pinta Namira seraya menunjuk tempat yang sudah jauh terlewat.Arhan yang tengah mengemudi mengangguk seraya tersenyum tanpa melepaskan fokus pada setir mobil yang diputar pe