Pagi ini mungkin menjadi pagi pertama dalam hidup Arhan setelah menikah, bangun karena suara alarm.
Alunan lembut serta tepukan sayang itu tak ia rasakan pagi ini. Sebelah tempat tidurnya sudah kosong. Hanya ia sendiri yang terlelap dan terlambat bangun. Senyuman manis bukan lagi menjadi pembuka paginya, justru detak jarum jam dinding yang terdengar. Ruangan itu kosong. Arhan mengusap wajahnya kasar disertai helaan napas berat. Kemudian ia bangun dan turun ke lantai bawah. Ada Namira yang duduk di kursi, sibuk dengan ponsel dan Elio tengah bermain sendiri di karpet bulu dikelilingi mainan. Pandangannya mengedar, ia melihat meja pantry sudah terisi penuh. Arhan bawa kakinya untuk mendekat dan mengecup pipi Namira dari belakang. “Kenapa nggak bangunin aku?” Tubuhnya memutari kursi untuk bisa menghampiri Elio, melakukan hal yang sama. Menciumi anak semata wayang-nya bertubi-tubi. Setelah puas, kini kedua tangannya melingkari perut Namira, mencoba mengambil fokus sang istri yang masih mendiaminya. “Aku minta maaf karena berpikir kamu terlalu berlebihan. Aku salah, Sayang.” Kepalanya mendongak menatap wajah tak acuh Namira. Wanita itu masih betah bercengkerama dengan ponsel pintar-nya. “Sayang.” “Apa?” “Liat aku dulu,” ucap Arhan memohon. Namira patuh. Wajahnya kentara tak memberi ekspresi apapun, hanya menatap dan menunggu apa yang Arhan inginkan. “Aku minta maaf.” “Iya,” jawabnya singkat. Lantas kembali sibuk dengan benda pipih itu. Arhan frustrasi. Ia menenggelamkan wajahnya di bahu sang istri. Helaan napasnya terdengar jelas. Kemudian ia bangkit membenahi duduk. Merampas ponsel yang menjadi penghalang komunikasinya bersama Namira. Namira menunjukkan ekspresi tak suka, tangannya sigap untuk mengambil kembali ponsel-nya. Namun Arhan berhasil menjauhkan-nya. “Kita harus bicara, Ay. Aku nggak bisa terus-terusan kayak gini.” Sorot mata Arhan memohon kerjasama sang istri dalam menyelesaikan masalah kali ini. Ia merasa tak ada yang salah dengan kejadian kemarin. Lelaki itu butuh sudut pandang Namira untuk tahu apa penyebab perubahan sikapnya. Arhan kembali membuat mereka berhadapan. “Sayang, aku minta maaf kalau aku nggak peka. Aku pengen tau apa yang kamu liat kemaren supaya kita bisa nyelesain masalah dan kesalahpahaman ini.” Namira menunduk. Semalaman ia berpikir tentang sikapnya yang menurut Arhan berlebihan. Apa benar ia terlalu berlebihan? Jika memang begitu, maka segalanya akan Namira buat biasa saja. Termasuk rutinitas mereka yang akan ia lakukan di luar kebiasaan. Seperti pagi ini yang sengaja Namira lakukan, menyetel ulang alarm di ponsel Arhan untuk membangunkan lelaki itu, tidak lagi dengan perlakuan-perlakuan manis darinya. “Nggak ada. Emang aku yang terlalu berlebihan mengambil sikap aja. Kamu bener, aku yang salah. Aku yang terlalu meributkan hal yang nggak terlalu penting. Jadi, udah cukup ya kita bahas ini.” Wanita itu berdiri menghampiri Elio, tapi Arhan menahannya. Kepalanya menggeleng berulang kali. Tak setuju dengan perkataan sang istri. Ia masih merasa ganjal dan tak nyaman. Sedangkan Namira tak ingin membahas masalah ini jika suaminya saja tak menyadari kesalahannya. “Oke. Kemaren pas kamu buka pintu itu aku lagi duduk, terus Bianca di samping-ku ngasih tau apa aja yang harus aku lakuin lewat komputer. Terus apa lagi, Sayang? Udah kaya gitu aja.” Arhan berusaha menjelaskan setiap detail kejadian. Semuanya terlalu singkat untuk ia utarakan lebih jauh karena yang Namira lihat sebatas mereka yang bersisian. “Iya. Emang kayak gitu aja. Kataku juga aku yang salah terlalu mempermasalahkan. Kamu nggak salah. Aku yang berlebihan.” Setiap kata yang keluar begitu ketus, menusuk telinga Arhan yang tak biasa dengan nada yang dipakai sang istri. Mata mereka beradu tatap begitu sengit. Keduanya tak ada yang mau mengalah sampai seruan cukup tinggi mengundang tangis bayi yang sedang tenang bermain. “Namira!” Air menggenang di pelupuk mata. Seruan itu serasa sambaran petir, mengejutkan dan begitu menyesakkan. Hatinya berdenyut sakit. Namira hempaskan tangannya. Kemudian mengambil Elio dan membawanya ke kamar. Mereka menenangkan diri, memilih tak bersinggungan dengan penyebab keduanya menangis. Sedangkan Arhan duduk dengan tubuh membungkuk, kedua siku bertumpu pada lutut, serta wajah diusap kasar, rambutnya diremas seraya membuang napas berat. Selang beberapa saat, Arhan memainkan ponsel Namira yang sejak tadi berbunyi. Beberapa pesan masuk dari satu nomor yang sama. Ia baca dengan saksama isi percakapan dari awal hingga selesai. Memang tak ada yang aneh, inti dari pesannya menjelaskan bahwa mereka teman yang sudah lama tak bertemu dan saling bertukar kontak. Meski cukup mengganggu, tapi tujuan Arhan bukan itu. Ia segera men-dial nomor yang Namira simpan dengan nama ‘Bianca’. Lelaki yang baru terpikirkan satu hal yang bisa membuatnya mengetahui sudut pandang istrinya itu segera memanggil Bianca. Sambungan terhubung. “Kirim rekaman CCTV ruangan saya kemaren ke email.”“Makan dulu, Ay.”Arhan terus mengetuk pintu yang terkunci. Wanita yang tersentak karena teriakan Arhan itu masih enggan berhadapan langsung dengannya.“Kata Bi Ida semalem kamu juga nggak makan. Makan dulu, Sayang. Kalau kamu nggak mau bareng aku nggak apa-apa. Nanti aku makan kalau kamu udah selesai.”Lelaki dengan wajah basah karena baru sempat mencuci muka itu bersandar dengan salah satu bahunya. Kemarahan Namira ternyata sulit diredakan. Tapi ini memang salahnya.Beruntung hari ini ia tidak perlu pergi bekerja, jadi seluruh atensi dan waktu akan ia gunakan untuk mengembalikan suasana rumah kembali hangat.Ketukan Arhan melemah sebab usahanya tak ada respon. Tapi suaranya tetap mengudara menembus pintu meskipun pelan. “Ay. Makan dulu, Sayang.”“Kamu aja duluan yang makan,” timpal Namira dengan sedikit berteriak.“Aku nggak mau makan kalau kamu nggak makan,” Arhan balik menjawab dengan teriakan.Lelaki yang masih bersandar pada pintu itu kembali pasrah ketika ia tak lagi mendengar
“Keluarin semua yang mengganjal.” Pelukan itu menambah ritme tangisan Namira yang masih terduduk. Kaos yang dikenakan Arhan basah di sekitaran perut bagian atas sebab Namira memeluk dengan posisi Arhan yang berdiri di sampingnya. Arhan membiarkan istrinya meluapkan semua melalui tangisan sampai dadanya terasa longgar. Cukup lama mereka di posisi seperti itu hingga Ida datang untuk mulai bekerja. “Bi, nanti tolong beresin ini sama minta tolong buatin bubur, ya.” Meski terkejut melihat keadaan Namira, Ida mengangguk. Tangannya gesit membereskan selagi Arhan membawa sang istri pindah ke kamar. Tubuhnya panas, jalannya pelan karena lemas. Masih ada sisa tangisan yang Arhan rasa cukup menggemaskan hingga menarik kedua sudut bibirnya. Tak tahan karena langkah mereka lambat, Arhan membopong istrinya ketika menaiki tangga. Terlebih karena lelaki itu ingin Namira segera mengistirahatkan tubuhnya. “Jangan tidur dulu, ya. Kasian Bi Ida lagi masak bubur buat kamu. Abis itu minum obat, baru
Aroma kopi menusuk indra penciuman.Namira bangun setelah cukup lama ia membuka mata. Mengumpulkan energi untuk bisa beranjak dari kasur yang selama dua hari telah menemaninya.Tubuhnya ia bawa dengan langkah gontai mendekat pintu yang terbuka lebar. Sesekali ia sandarkan tubuhnya untuk kembali mengumpulkan energi sebab hanya dengan beberapa langkah membuatnya kelelahan.Pagi ini cukup senyap, tak ada celoteh menggemaskan. Bayi itu juga tak terlihat sejauh mata memandang. Tapi aroma khas menyegarkan memenuhi ruangan. Elio sudah mandi.Namira awas memperhatikan sekitar ketika tangan berpegang pada pagar pembatas di lantai dua. Menelusuri lantai bawah, meja pantry kosong, tak ada yang memasak. Pandangannya ia bawa ke kiri, ada yang duduk di sofa panjang dengan laptop di pangkuannya serta kopi yang asapnya masih mengepul. Baru saja dibuat. Jelas ia tahu itu siapa.Tapi ada yang menarik perhatiannya lebih dalam, yaitu dua koper yang bersisian depan vas bunga besar dekat sofa yang diduduki
Suara Namira terdengar ceria meski mata berlinang.Ekspresi-nya bukan sedih karena kehilangan Elio yang kini sudah ditemukan. Tapi bahagia sebab pertemuan langka yang sedang terjadi.Segala rasa menumpuk dalam diri Namira saat ini. Terlebih rasa rindu yang tak bisa digambarkan lewat kata-kata. Hatinya penuh membuncah memancarkan kebahagiaan.Namira peluk tubuh tegap itu, menyalurkan kerinduan setelah bayi diserahkan pada Arhan. Air mata mengalir deras, bahkan suaranya pun tak bisa disamarkan.Orang di sekitar yang menyaksikan ikut menyeka ujung mata. Pertemuan haru antara kakak-adik yang memang jarang dilakukan sebab jarak yang membentang.Cukup lama pelukan itu berlangsung. Tak banyak kata yang keluar, keduanya sibuk menyalurkan lewat usapan lembut di punggung yang bergetar.“Kakak Sehat?” Namira tatap mata indah Bima. Menyelami-nya begitu dalam. Menyampaikan rasa yang tak bisa ia keluarkan.Bima usap lembut pipi Namira dengan kedua ibu jari. Menghapus jejak air mata. “Alhamdulillah
Tak ada yang membuka suara setelah nama itu diumumkan. Arhan seolah tak tertarik, atau justru sedang menahan gemuruh di dada.Begitupun Namira yang tetap menunduk. Tak siap berhadapan langsung dengan tatap yang tengah mencari jawaban pasti dari setiap pesan yang diterima.“Siapa Iyan?” tanya lelaki yang mati-matian menahan emosi di hadapan istri dan anaknya.“Temen aku.”Kali ini Arhan mengambil fokus menatap lawan bicaranya. Mencoba menarik perhatian untuk menyelami lebih dalam pada iris cantik sang istri dengan berujar, “Kamu nggak pernah cerita punya temen di sini.”Namira membalas setelah kalimat Arhan terasa menyinggung. Akhirnya kedua mata saling beradu tatap. “Buat apa? Sekalipun ada, aku nggak pernah pergi buat ketemu mereka, kan?”“Terus ini si Iyan? Kamu ketemu sama dia …,” kalimatnya terhenti, mulut masih terbuka. Menimang apa perlu ia tegaskan. Kemudian melanjutkan dengan intonasi mengejek, “Di danau.”“Nggak sengaja ketemu pas kemaren nitipin El ke Ibu.” Setiap kata diber
“El ih jangan diberantakin lagi dong,” Namira merengek dengan tubuh terduduk lemas di lantai ketika sebelumnya setengah berdiri menghadap lemari.Wanita itu sudah pulih total setelah tiga hari dirawat intensif oleh Bima. Diperhatikan dari mulai makanan hingga vitamin-nya.Pembicaraan di meja makan tiga hari lalu akhirnya terlaksana sesuai apa yang telah disepakati, yaitu ketika Namira sembuh dan jadwal Arhan kosong. Mereka akan pergi besok.Semua barang yang sudah dipilih telah tertata rapi dalam koper. Beberapa masih ada di luar untuk dikemas bersama dengan barang lainnya. Termasuk pakaian yang sudah dilipat ditumpuk bersisian dengan benda besar itu.Tapi saat ini yang terjadi, hampir semua barang itu berhamburan di lantai. Mengelilingi si kecil Elio yang ikut ‘membantu’. Terkhusus baju yang tak tersusun lagi.Koper itu terlihat kembali kosong, hanya tertinggal beberapa barang yang tak sempat bayi itu ambil karena terhenti setelah mendengar seruan manis ibunya.“Ada apa, sih, Ay? Sua
Ketegangan Namira terlihat setelah Arhan melontarkan pertanyaan. Wanita itu cukup lama terdiam dalam pandangan suaminya. Tak ada jawaban sebagai sanggahan untuk tuduhan.Arhan membuang nafas, tak ingin lagi menuntut untuk memastikan segala asumsinya. Meski ia penasaran, tapi sepertinya Namira belum siap untuk membuka mulut. Memberitahu setiap detail kejadian ketika di danau atau sekedar memberitahu siapa Iyan sebenarnya.Dengan tangan kembali sibuk pada pakaian dan barang-barang di sekitar, lelaki itu membuka suara atas kependiaman sang istri.“Kalau kamu masih belum bisa ngasih tau atau belum mau jujur. Nggak apa-apa. Aku tunggu sampai mereka pulang. Dari awal kita bakal bahas ini nanti, kan? Tapi kamu bilang nggak bisa. Terus sekarang baru satu pertanyaan dari aku aja kamu udah diem kayak gini.”Tak paham dengan apa yang Namira inginkan. Apa yang ia ungkapkan sebelumnya seolah sudah siap menjawab segala kejanggalan dan rasa penasaran dalam dirinya semenjak pesan itu memenuhi ruang o
Setelah hampir dua jam perjalanan, akhirnya mereka sampai di lobi hotel. Arhan bertugas untuk membawa dua koper beserta tas jinjing, sedangkan Namira tentu memangku Elio yang mulai tidak ingin dengan siapapun selain dirinya.Bayi itu tak pernah dibawa berpergian jauh apalagi naik pesawat, ini pertama kali. Mungkin itulah penyebabnya. Keadaannya terlihat lelah ketika tidur dalam gendongan Namira.Sesekali wanita itu terlihat kesulitan, terus mengubah posisi Elio yang perlahan merosot turun dalam gendongan. Bayinya sudah mulai berat untuk ditopang oleh kedua tangannya yang kecil.“Gantian sini, Ay.”Arhan melepas genggaman pada koper. Tangannya terulur untuk mengambil alih anaknya. Namun Elio sudah merengek ketika kedua tangan Arhan baru menyentuh lipatan ketiak-nya.“Udah nggak apa-apa sama aku aja,” ujar Namira yang tak bisa berbuat apa-apa.“Kasian berat.”“Ya mau gimana lagi. Bentar lagi juga sampe kamar. Masih bisa aku tahan.”Pembicaraan itu tak luput dari perhatian Bima dan Vita