Kalau saja Arhan tidak ingat bagaimana mereka bisa menikah sampai mempunyai Elio. Mungkin ia akan marah dan merasa tak dihargai. Terus-menerus dicurigai tentu membuatnya lelah juga pada akhirnya.
Pertemuan mereka murni karena perjodohan, tidak saling mengenal satu sama lain sebelumnya. Mungkin itu yang jadi penyebab segala overthinking Namira menurut Arhan. Meski ini sudah masuk tahun ke-2 pernikahan mereka, tak bisa dipungkiri banyak hal yang masih mereka simpan rapat-rapat. Terlebih masalah hati yang tidak mereka tahu kepastiannya. Apakah mereka saling mencintai atau justru hanya berpura-pura?Namira menutup matanya sebentar, mencoba menenangkan pikiran yang selalu berperang tentang banyak spekulasi tentang sang suami.
Selama ini Arhan memang tak pernah melakukan hal yang fatal, ini hanya pikirannya saja yang tak bisa dikendalikan. Memiliki wajah tampan dengan tubuh yang atletis, wanita mana yang tak akan melirik. Pun dengan Arhan, apakah ia akan menyia-nyiakan wajah tampannya begitu saja? Namira rasa tidak. Setidaknya di masa lalu pasti ada seseorang yang sangat Arhan cintai. Entah cinta itu melebur bersamaan kandasnya hubungan mereka atau justru semakin menggebu kala rindu menyerbu. Namira tidak mengetahui sampai sejauh itu. Ia tidak tahu ada berapa mantan Arhan. Berapa banyak teman wanitanya. "Tolong ... jangan kayak gini, Mir." Namira beberapa kali memukul kepalanya, berharap semua overthinkingnya ikut terhempas. Dengan satu kalimat 'kalau kamu mau ke kantor, agak siangan, ya,' sudah sangat membuat Namira berpikir banyak. Kemungkinan mana yang paling benar. Apakah ada sesuatu yang tak boleh Namira lihat atau ketahui, sampai menyuruhnya untuk tidak tepat waktu atau mencegahnya datang sebelum makan siang? Semua pemikiran tentang segala kemungkinan itu membuatnya ragu untuk pergi, tapi di lain sisi penasaran. Namira mendongakkan kepala menatap langit-langit rumah ruang tamu dengan menyandarkan punggung pada sandaran sofa sekaligus menemani Elio yang tengah asik bermain. "El, menurut kamu Mama pergi jangan?" Namira beralih menatap Elio yang tak menggubris ucapannya. "Gak usah aja apa, ya? Kita makan di sini aja berdua sesekali." Wanita yang penampilannya sudah rapi itu terus berceloteh tanpa peduli Elio paham atau tidak akan ucapannya. Di saat-saat seperti ini rasanya Namira butuh teman mengobrol, yang bisa bertukar pikiran, berbagi pengalaman atau memberinya solusi. Ia ingin sesekali mencurahkan segala isi hatinya, tapi pada siapa. ---Langkah Namira cukup tergesa membawa kotak bekal di genggaman. Padahal kedatangannya tepat waktu seperti hari-hari sebelumnya, yang membedakan hanya tidak ada si kecil Elio di gendongan atau stroller yang biasa ia dorong.
Suasana hatinya benar-benar buruk, kecurigaan-nya meningkat.
Selama ini bagaimanapun kondisi Arhan ketika bekerja, entah sibuk atau senggang. Entah dalam keadaan sulit dihubungi atau tidak. Arhan tak pernah melarang atau menyuruhnya di luar kebiasaan.
Maka dari itu pernyataan Arhan pagi ini sangat mengganggunya.
Namira patuh, sesuai keinginan Arhan yang ingin menitipkan Elio kepada Ibunya. Hanya saja untuk alasan yang berbeda.
Dengan perasaan tak nyaman, gagang pintu ditekan ke bawah. Mendorong tanpa permisi. Memastikan tanpa bertanya.
Matanya menangkap pemandangan tubuh condong menatap layar komputer, payudara sejajar wajah tampan sang suami. Wanita itu sedikit membungkuk, dan tak ada aksi protes atau wajah tak nyaman yang Arhan tunjukkan.
Seketika napasnya memburu, dada sesak, Namira kesulitan mengatur keluar masuknya oksigen lewat hidung.
Ketika sebelumnya pintu dibuka perlahan, dengan penuh emosi pintu itu dibanting tertutup sejalan turunnya air mata membasahi pipi.
Terbukti sudah segala pemikirannya selama ini, tak ada yang bisa disangkal lagi. Kecurigaan-nya tepat.
---
Selama hampir 2 tahun, apakah ini akhir dari kisah pernikahan akibat perjodohan? Apakah akhirnya pasti selalu buruk? Lalu bagaimana ia harus memberi sikap? Elio?
Segala pertanyaan muncul memenuhi kepala. Langkah gontai tak tahu arah. Kotak bekal yang sejak tadi menemani masih digenggam erat oleh tangannya.
Namira memasuki mobil. Kotak bekal itu ia lempar sembarang ke bagian belakang. Tak ada artinya lagi. Tak peduli jika isinya berantakan.
Kepalanya ia benturkan ke atas setir, teriakan dan tangis bersahutan. Perasaannya tak karuan, semuanya bercampur berantakan.
Ponsel berdering nyaring di dalam tas, wanita itu tak menggubris, tak peduli siapa yang menghubungi-nya. Kalaupun memang itu Arhan, biarkan ia menunggu, mencari sampai kelabakan.
Laju mobilnya cukup kencang setelah meninggalkan gedung perusahaan. Tujuannya bukan rumah Ibu mertua, tapi sebuah danau yang lengang tak banyak pengunjung.
Hamparan hijau dedaunan dan rerumputan, serta tenangnya air yang terhampar, sedikit banyak mengobati hati yang bergemuruh diselimuti amarah serta kepala yang mengepul akibat ingatan kejadian beberapa saat lalu yang terus berputar.
“Apa yang harus aku lakukan sekarang, Mas?” gumam Namira menatap lurus.
Namira hirup udara sebanyak mungkin untuk kembali menetralkan laju pernapasan yang sempat tersendat sebelumnya. Berulang kali hingga napasnya kembali teratur seraya menutup mata.
Tepukan di bahu melebarkan bola mata Namira, ia lantas menoleh. Seketika tubuhnya kaku, tatapan terpaku.
“Namira? Lagi apa di sini?”
Duduk berhadapan dengan lelaki yang menepuk bahunya tadi membuat Namira lupa tentang apa yang sebelumnya ia rasakan. Semua rasa tak nyaman itu seolah melebur setelah melihat wajah tampan dengan warna kulit sedikit kecoklatan.Meski rasanya tak nyaman karena kembali bersinggungan dengan lelaki di masa lalu, Namira tetap setuju atas ajakan untuk menikmati secangkir kopi dingin di sebuah kafe dekat danau.Keduanya menunjukkan ekspresi berbeda. Namira memasang wajah gugup dengan menempatkan telapak tangan pada gelas kopi yang cukup tinggi. Sedangkan lelaki pemilik lesung pipi di sebelah kiri itu menampilkan senyum sumringah, sesekali gemas dengan tingkah Namira yang kentara gugup.“Gimana kabar kamu?” Kepala dimiringkan untuk bisa melihat wajah cantik Namira yang tengah menunduk. Tak berani beradu tatap.Gerak-gerik lelaki itu mengambil atensi Namira hingga kepala diangkat, tatap mereka bertemu. Namira mengulas senyum canggung namun tetap cantik. “Kabar aku baik, kamu?”“Sebentar. Kamu mas
Arhan menuruni tangga setelah memindahkan Elio yang sejak dalam perjalanan tertidur. Lelaki itu mengambil waktu cukup lama bersama Elio, bukan karena bayi berusia satu tahun itu bangun. Tapi karena Arhan tengah memikirkan cara meredakan amarah sang istri.Setelah mantap dengan tekadnya, ia menghampiri wanita yang selalu menyanggul rambut ketika di dalam rumah itu. Terlihat tangannya mengulur ke bawah dengan kotak bekal yang sedikit miring. Membuang makanan yang sudah berantakan ke tempat sampah.“Ay. Ay,” panggil Arhan dengan sedikit berlari. Menghentikan aksi sang istri..Namira menatap tak suka pada tangan Arhan yang memegang pergelangan tangannya.“Kenapa dibuang?” tanyanya lirih seraya melepaskan genggaman.Ada separuh makanan yang tertinggal, Arhan mengambil kotak bekal itu dan menaruhnya di meja pantry. “Kalo kamu marah sama aku, jangan sampai makanan juga kena imbas-nya.”Lelaki pemilik perusahaan yang bergerak di bidang retail itu memegang kedua lengan atas Namira untuk menghad
Pagi ini mungkin menjadi pagi pertama dalam hidup Arhan setelah menikah, bangun karena suara alarm. Alunan lembut serta tepukan sayang itu tak ia rasakan pagi ini. Sebelah tempat tidurnya sudah kosong. Hanya ia sendiri yang terlelap dan terlambat bangun. Senyuman manis bukan lagi menjadi pembuka paginya, justru detak jarum jam dinding yang terdengar. Ruangan itu kosong. Arhan mengusap wajahnya kasar disertai helaan napas berat. Kemudian ia bangun dan turun ke lantai bawah. Ada Namira yang duduk di kursi, sibuk dengan ponsel dan Elio tengah bermain sendiri di karpet bulu dikelilingi mainan. Pandangannya mengedar, ia melihat meja pantry sudah terisi penuh. Arhan bawa kakinya untuk mendekat dan mengecup pipi Namira dari belakang. “Kenapa nggak bangunin aku?” Tubuhnya memutari kursi untuk bisa menghampiri Elio, melakukan hal yang sama. Menciumi anak semata wayang-nya bertubi-tubi. Setelah puas, kini kedua tangannya melingkari perut Namira, mencoba mengambil fokus sang istri yang mas
“Makan dulu, Ay.”Arhan terus mengetuk pintu yang terkunci. Wanita yang tersentak karena teriakan Arhan itu masih enggan berhadapan langsung dengannya.“Kata Bi Ida semalem kamu juga nggak makan. Makan dulu, Sayang. Kalau kamu nggak mau bareng aku nggak apa-apa. Nanti aku makan kalau kamu udah selesai.”Lelaki dengan wajah basah karena baru sempat mencuci muka itu bersandar dengan salah satu bahunya. Kemarahan Namira ternyata sulit diredakan. Tapi ini memang salahnya.Beruntung hari ini ia tidak perlu pergi bekerja, jadi seluruh atensi dan waktu akan ia gunakan untuk mengembalikan suasana rumah kembali hangat.Ketukan Arhan melemah sebab usahanya tak ada respon. Tapi suaranya tetap mengudara menembus pintu meskipun pelan. “Ay. Makan dulu, Sayang.”“Kamu aja duluan yang makan,” timpal Namira dengan sedikit berteriak.“Aku nggak mau makan kalau kamu nggak makan,” Arhan balik menjawab dengan teriakan.Lelaki yang masih bersandar pada pintu itu kembali pasrah ketika ia tak lagi mendengar
“Keluarin semua yang mengganjal.” Pelukan itu menambah ritme tangisan Namira yang masih terduduk. Kaos yang dikenakan Arhan basah di sekitaran perut bagian atas sebab Namira memeluk dengan posisi Arhan yang berdiri di sampingnya. Arhan membiarkan istrinya meluapkan semua melalui tangisan sampai dadanya terasa longgar. Cukup lama mereka di posisi seperti itu hingga Ida datang untuk mulai bekerja. “Bi, nanti tolong beresin ini sama minta tolong buatin bubur, ya.” Meski terkejut melihat keadaan Namira, Ida mengangguk. Tangannya gesit membereskan selagi Arhan membawa sang istri pindah ke kamar. Tubuhnya panas, jalannya pelan karena lemas. Masih ada sisa tangisan yang Arhan rasa cukup menggemaskan hingga menarik kedua sudut bibirnya. Tak tahan karena langkah mereka lambat, Arhan membopong istrinya ketika menaiki tangga. Terlebih karena lelaki itu ingin Namira segera mengistirahatkan tubuhnya. “Jangan tidur dulu, ya. Kasian Bi Ida lagi masak bubur buat kamu. Abis itu minum obat, baru
Aroma kopi menusuk indra penciuman.Namira bangun setelah cukup lama ia membuka mata. Mengumpulkan energi untuk bisa beranjak dari kasur yang selama dua hari telah menemaninya.Tubuhnya ia bawa dengan langkah gontai mendekat pintu yang terbuka lebar. Sesekali ia sandarkan tubuhnya untuk kembali mengumpulkan energi sebab hanya dengan beberapa langkah membuatnya kelelahan.Pagi ini cukup senyap, tak ada celoteh menggemaskan. Bayi itu juga tak terlihat sejauh mata memandang. Tapi aroma khas menyegarkan memenuhi ruangan. Elio sudah mandi.Namira awas memperhatikan sekitar ketika tangan berpegang pada pagar pembatas di lantai dua. Menelusuri lantai bawah, meja pantry kosong, tak ada yang memasak. Pandangannya ia bawa ke kiri, ada yang duduk di sofa panjang dengan laptop di pangkuannya serta kopi yang asapnya masih mengepul. Baru saja dibuat. Jelas ia tahu itu siapa.Tapi ada yang menarik perhatiannya lebih dalam, yaitu dua koper yang bersisian depan vas bunga besar dekat sofa yang diduduki
Suara Namira terdengar ceria meski mata berlinang.Ekspresi-nya bukan sedih karena kehilangan Elio yang kini sudah ditemukan. Tapi bahagia sebab pertemuan langka yang sedang terjadi.Segala rasa menumpuk dalam diri Namira saat ini. Terlebih rasa rindu yang tak bisa digambarkan lewat kata-kata. Hatinya penuh membuncah memancarkan kebahagiaan.Namira peluk tubuh tegap itu, menyalurkan kerinduan setelah bayi diserahkan pada Arhan. Air mata mengalir deras, bahkan suaranya pun tak bisa disamarkan.Orang di sekitar yang menyaksikan ikut menyeka ujung mata. Pertemuan haru antara kakak-adik yang memang jarang dilakukan sebab jarak yang membentang.Cukup lama pelukan itu berlangsung. Tak banyak kata yang keluar, keduanya sibuk menyalurkan lewat usapan lembut di punggung yang bergetar.“Kakak Sehat?” Namira tatap mata indah Bima. Menyelami-nya begitu dalam. Menyampaikan rasa yang tak bisa ia keluarkan.Bima usap lembut pipi Namira dengan kedua ibu jari. Menghapus jejak air mata. “Alhamdulillah
Tak ada yang membuka suara setelah nama itu diumumkan. Arhan seolah tak tertarik, atau justru sedang menahan gemuruh di dada.Begitupun Namira yang tetap menunduk. Tak siap berhadapan langsung dengan tatap yang tengah mencari jawaban pasti dari setiap pesan yang diterima.“Siapa Iyan?” tanya lelaki yang mati-matian menahan emosi di hadapan istri dan anaknya.“Temen aku.”Kali ini Arhan mengambil fokus menatap lawan bicaranya. Mencoba menarik perhatian untuk menyelami lebih dalam pada iris cantik sang istri dengan berujar, “Kamu nggak pernah cerita punya temen di sini.”Namira membalas setelah kalimat Arhan terasa menyinggung. Akhirnya kedua mata saling beradu tatap. “Buat apa? Sekalipun ada, aku nggak pernah pergi buat ketemu mereka, kan?”“Terus ini si Iyan? Kamu ketemu sama dia …,” kalimatnya terhenti, mulut masih terbuka. Menimang apa perlu ia tegaskan. Kemudian melanjutkan dengan intonasi mengejek, “Di danau.”“Nggak sengaja ketemu pas kemaren nitipin El ke Ibu.” Setiap kata diber