Share

Bab 2

Kalau saja Arhan tidak ingat bagaimana mereka bisa menikah sampai mempunyai Elio. Mungkin ia akan marah dan merasa tak dihargai. Terus-menerus dicurigai tentu membuatnya lelah juga pada akhirnya.

Pertemuan mereka murni karena perjodohan, tidak saling mengenal satu sama lain sebelumnya. Mungkin itu yang jadi penyebab segala overthinking Namira menurut Arhan.

Meski ini sudah masuk tahun ke-2 pernikahan mereka, tak bisa dipungkiri banyak hal yang masih mereka simpan rapat-rapat. Terlebih masalah hati yang tidak mereka tahu kepastiannya.

Apakah mereka saling mencintai atau justru hanya berpura-pura?

Namira menutup matanya sebentar, mencoba menenangkan pikiran yang selalu berperang tentang banyak spekulasi tentang sang suami.

Selama ini Arhan memang tak pernah melakukan hal yang fatal, ini hanya pikirannya saja yang tak bisa dikendalikan.

Memiliki wajah tampan dengan tubuh yang atletis, wanita mana yang tak akan melirik. Pun dengan Arhan, apakah ia akan menyia-nyiakan wajah tampannya begitu saja? Namira rasa tidak.

Setidaknya di masa lalu pasti ada seseorang yang sangat Arhan cintai. Entah cinta itu melebur bersamaan kandasnya hubungan mereka atau justru semakin menggebu kala rindu menyerbu.

Namira tidak mengetahui sampai sejauh itu. Ia tidak tahu ada berapa mantan Arhan. Berapa banyak teman wanitanya.

"Tolong ... jangan kayak gini, Mir." Namira beberapa kali memukul kepalanya, berharap semua overthinkingnya ikut terhempas.

Dengan satu kalimat 'kalau kamu mau ke kantor, agak siangan, ya,' sudah sangat membuat Namira berpikir banyak. Kemungkinan mana yang paling benar.

Apakah ada sesuatu yang tak boleh Namira lihat atau ketahui, sampai menyuruhnya untuk tidak tepat waktu atau mencegahnya datang sebelum makan siang?

Semua pemikiran tentang segala kemungkinan itu membuatnya ragu untuk pergi, tapi di lain sisi penasaran.

Namira mendongakkan kepala menatap langit-langit rumah ruang tamu dengan menyandarkan punggung pada sandaran sofa sekaligus menemani Elio yang tengah asik bermain.

"El, menurut kamu Mama pergi jangan?" Namira beralih menatap Elio yang tak menggubris ucapannya.

"Gak usah aja apa, ya? Kita makan di sini aja berdua sesekali."

Wanita yang penampilannya sudah rapi itu terus berceloteh tanpa peduli Elio paham atau tidak akan ucapannya. Di saat-saat seperti ini rasanya Namira butuh teman mengobrol, yang bisa bertukar pikiran, berbagi pengalaman atau memberinya solusi. Ia ingin sesekali mencurahkan segala isi hatinya, tapi pada siapa.

---

Langkah Namira cukup tergesa membawa kotak bekal di genggaman. Padahal kedatangannya tepat waktu seperti hari-hari sebelumnya, yang membedakan hanya tidak ada si kecil Elio di gendongan atau stroller yang biasa ia dorong.

Suasana hatinya benar-benar buruk, kecurigaan-nya meningkat.

Selama ini bagaimanapun kondisi Arhan ketika bekerja, entah sibuk atau senggang. Entah dalam keadaan sulit dihubungi atau tidak. Arhan tak pernah melarang atau menyuruhnya di luar kebiasaan.

Maka dari itu pernyataan Arhan pagi ini sangat mengganggunya.

Namira patuh, sesuai keinginan Arhan yang ingin menitipkan Elio kepada Ibunya. Hanya saja untuk alasan yang berbeda.

Dengan perasaan tak nyaman, gagang pintu ditekan ke bawah. Mendorong tanpa permisi. Memastikan tanpa bertanya.

Matanya menangkap pemandangan tubuh condong menatap layar komputer, payudara sejajar wajah tampan sang suami. Wanita itu sedikit membungkuk, dan tak ada aksi protes atau wajah tak nyaman yang Arhan tunjukkan.

Seketika napasnya memburu, dada sesak, Namira kesulitan mengatur keluar masuknya oksigen lewat hidung.

Ketika sebelumnya pintu dibuka perlahan, dengan penuh emosi pintu itu dibanting tertutup sejalan turunnya air mata membasahi pipi.

Terbukti sudah segala pemikirannya selama ini, tak ada yang bisa disangkal lagi. Kecurigaan-nya tepat.

---

Selama hampir 2 tahun, apakah ini akhir dari kisah pernikahan akibat perjodohan? Apakah akhirnya pasti selalu buruk? Lalu bagaimana ia harus memberi sikap? Elio?

Segala pertanyaan muncul memenuhi kepala. Langkah gontai tak tahu arah. Kotak bekal yang sejak tadi menemani masih digenggam erat oleh tangannya.

Namira memasuki mobil. Kotak bekal itu ia lempar sembarang ke bagian belakang. Tak ada artinya lagi. Tak peduli jika isinya berantakan.

Kepalanya ia benturkan ke atas setir, teriakan dan tangis bersahutan. Perasaannya tak karuan, semuanya bercampur berantakan.

Ponsel berdering nyaring di dalam tas, wanita itu tak menggubris, tak peduli siapa yang menghubungi-nya. Kalaupun memang itu Arhan, biarkan ia menunggu, mencari sampai kelabakan.

Laju mobilnya cukup kencang setelah meninggalkan gedung perusahaan. Tujuannya bukan rumah Ibu mertua, tapi sebuah danau yang lengang tak banyak pengunjung.

Hamparan hijau dedaunan dan rerumputan, serta tenangnya air yang terhampar, sedikit banyak mengobati hati yang bergemuruh diselimuti amarah serta kepala yang mengepul akibat ingatan kejadian beberapa saat lalu yang terus berputar.

“Apa yang harus aku lakukan sekarang, Mas?” gumam Namira menatap lurus.

Namira hirup udara sebanyak mungkin untuk kembali menetralkan laju pernapasan yang sempat tersendat sebelumnya. Berulang kali hingga napasnya kembali teratur seraya menutup mata.

Tepukan di bahu melebarkan bola mata Namira, ia lantas menoleh. Seketika tubuhnya kaku, tatapan terpaku.

“Namira? Lagi apa di sini?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status