“Kak, kita harus mencarinya kemana lagi?” tanya Sena putus asa, mereka sudah berkeliling mencari. Tapi Karina belum juga ditemukan. Nando menghembuskan napas lelah, ia juga sudah lelah mencari dan ini sudah hampir malam.
“Apa Karina punya teman lagi selain kamu, telphone beberapa temannya. Mungkin saja dia mendatangi temannya itu,” kata Nando, ia menoleh sekilas ke arah Sena.
“Sudah aku telphone semua teman yang mungkin Karina datangi, mereka tidak tahu di mana Karina berada,” sahut Sena. “Ah bagaimana ini, kalau sampai anak buah Tn.Rama lebih dulu menemukan Karina. Karina bisa mati,” Sena tampak cemas, ia memang sudah tahu sifat dari ayah sahabatnya itu. Tidak mudah bagi Karina untuk bisa lolos dari hukuman yang akan dia dapat setelah ia ditemukan. Apalagi kesalahan Karina kali ini sangat besar, kabur disaat hari pernikahannya. Mempermalukan keluarga Hartanto didepan kolega bisnis ayahnya. Karina benar-benar ada dalam masalah besar sekarang.
Nando kembali focus menyetir, mereka tidak akan menyerah mencari keberadaan Karina. Suasana hening, sampai suara dering ponsel Sena memecah keheningan.
“Siapa?” tanya Nando pada Sena. Sena melihat layar ponselnya. Nomor yang asing.
“Tidak tahu, nomor baru,” sahut Sena. ia mengangkat telphonenya. “Hallo,” sapanya.
“Sena, ini aku...” suara lembut milik seorang wanita dan begitu familiar ditelinganya membuat Sena terkejut.
“Karina, kamu dimana?” tanya Sena saat ia benar-benar yakin kalau suara itu milik sahabatnya.
“Kamu tidak perlu tahu aku ada dimana, aku akan baik-baik saja. Bagaimana dengan ayah dan ibuku? Pasti mereka marah sekali kan?” tanya Karina di sebrang sana dengan sangat menyesal dan juga mengkhawatirkan kedua orang tuanya.
“Tentu saja, ayahmu marah besar. Bahkan dia menyuruh banyak anak buahnya untuk mencarimu. Kalau kamu sampai ditemukan, kamu bisa habis diterkam ayahmu itu,” jelas Sena dengan emosi. Ia benar-benar tidak menyangka kalau sahabatnya akan melakukan hal bodoh itu.
“Benarkah? Kali ini aku pasti mati,” gumam Karina tidak bersemangat.
“Kamu benar-benar tidak akan pulang untuk sekarang ini? kamu ada di mana, biar kami tidak mencemaskanmu,” kata Sena melunak. Karina terdiam. “Karin...”
“Aku baik-baik saja, aku bersama orang yang baik. Kamu tidak perlu mengkhawatirkanku,” sahut Karina.
“Bagaimana bisa aku tidak khawatir?” Sena tersentak kaget. “Katakan kamu di mana sekarang?” tanya Sena begitu penasaran. Nando hanya mendengarkan pembicaraan pacarnya dengan sepupunya itu.
“Sudah ya, maaf aku tidak bisa memberitahukan di mana. Aku tidak ingin pulang, aku ingin mendinginkan kepalaku...”
“Tidak, ini tidak benar. Lari dari masalah itu tidak baik, kamu harus menyelesaikan masalahmu dan meminta maaf pada ayah dan ibumu. Mereka sangat mengkhawatirkanmu. Sebelum anak buah ayahmu menemukanmu. Lebih baik kamu yang lebih dulu pulang, ya Karina. Dengerin aku kali ini saja, sebelum ayahmu semakin marah.” Sena berusaha untuk membujuk Karina.
“Tidak, aku belum bisa pulang. Maaf...” Karina langsung menutup telphonenya.
“Hallo Karin, Karina...” teriak Sena memanggil-manggil Karina di sebrang sana, tidak ada hasil. Telphonenya sudah terputus. Sena mencoba menelphonenya lagi, nomornya sudah tidak aktif.
“Ada apa?” tanya Nando yang melihat wajah kekasihnya pucat.
“Kak, ini bisa menjadi masalah besar,” ucap Sena dan memandang kearah Nando. “Karina benar-benar cari mati dengan melawan ayahnya,” Sena merasakan kepalanya sakit. Nando meraih tangan kekasihnya itu. Dia tahu kalau Sena itu sahabat yang baik untuk Karina, dikecupnya pelan untuk menenangkan kekasihnya itu.
“Kalau dia memang tidak mau pulang, ya sudah kita tidak perlu memaksanya. Mungkin Karina membutuhkan waktu untuk mendinginkan kepalanya dan menyesali perbuatannya itu. Nanti juga kalau dia tidak memiliki tempat pulang, dia akan pulang sendiri. Aku yakin, karena Karina tidak bisa hidup di luar. Apalagi dia tidak memiliki uang.”
“Iya, tapi dia bilang sedang bersama orang baik. Siapa?”
“Kalau itu orang baik, berarti kita tidak perlu khawatir.”
“Iya, tapi aku benar-benar khawatir. Dia bersama orang asing.”
“Kita harus percaya padanya, semoga benar orang itu baik.”
“Kakak tidak khawatir.”
“Khawtir, tapi bagaimana memaksanya untuk pulang tidak semudah itu.”
Sena menundukkan kepala, benar yang dikatakan Nando. Dirinya tahu begitu keras kepalanya Karina.
***
Aksa memasuki kamar yang akan di tempatinya tidur malam ini, saat baru saja masuk ke dalam kamar. Ia melihat Karina baru saja melemparkan ponselnya ke tembok. Ponsel miliknya kini sudah hancur berkeping-keping membuat Aksa terpekik kaget.
“Apa yang kamu lakukan pada ponselku,” teriak Aksa, ia berhambur kearah ponselnya yang sudah hancur itu. Karina terpekik, ia tersenyum kaku. Aksa menatapnya tajam sambil memegangi ponselnya yang rusak.
“Maaf...” hanya kata itu yang mampu keluar dari mulut Karina.
“Maaf katamu, gampang sekali...” kesal Aksa, ia mencoba mengatur pernapasannya. Kenapa ia harus bersama dengan wanita aneh dan sekarang ia bahkan dengan mudah merusak ponselnya.
“Apa kamu membawakan pakaian ganti untukku?” tanya Karina tanpa malu, tatapan Aksa semakin tajam kearahnya.
“Pakailah…” Aksa melemparkan dress warna krem ke arah Karina. Karina menerimanya sebal.
“Apakah ini perhatianmu terhadap istrimu,” kata Karina sekenanya.
“Apa istri?” teriak Aksa kesal.
“Kamu ingatlah, kita ini sudah menjadi pasangan suami istri,” sahut Karina membuat Aksa berdecak kesal.
“Itu hanya ada dalam mimpimu. Cepat pakai dan buang saja gaun pengantin itu,” kesal Aksa, ia bergegas pergi meninggalkan kamar Karina.
“Tanpa disuruh pun, aku akan membuangnya…” Karina sebal. ia menatap pakaian yang baru di lempar Aksa padanya. Sesaat Karina tersenyum senang. “Walaupun dia terlihat kasar, tapi dia tetap baik padaku,” gumam Karina. “Dia tidak punya selera humor yang baik,” gumam Karina. ia beranjak untuk melepaskan gaun pengantin yang ia kenakan. Baru saja membuka resleting gaun itu. Pintu kembali terbuka dengan kasar. Aksa terkejut saat melihat pemandangan di depannya. Karina juga kaget. Ia langsung berbalik menutupi punggungnya yang sudah terbuka lebar.
“Apa yang kamu lihat? Kenapa kamu masuk kedalam kamar tanpa mengetuk pintu lebih dulu,” teriak Karina marah. Aksa berwajah datar menatapnya.
“Tidak ada yang menarik untuk dilihat dari tubuh kurusmu itu, aku hanya ingin mengambil jaketku.” Aksa berucap dengan santai dan berjalan masuk kedalam kamar, mengambil jaketnya yang tergeletak di tempat tidur.
Karina benar-benar kesal, bagaimana mungkin tubuhnya sama sekali tidak menarik untuk dilihat. Sepertinya pria yang berada di depannya itu tidak normal. Karina mendelik marah kearah Aksa yang sudah berjalan keluar dari kamar hotel. “Pria menyebalkan,” gerutu Karina. Ia menghentakkan kakinya kesal. Napasnya memburu karena marah. Dikatakan gadis kecil, badan yang tidak menarik. Membuat hati Karina memanas, ia seperti wanita yang benar-benar tidak menarik untuk dilihat. Calon suaminya juga mungkin tidak tertarik pada tubuhnya, tapi lebih tertarik pada kerja sama perusahaan orang tuanya dengan orang tua Karina.
Karina dengan perasaan kesal melepaskan gaun pengantinya dan memakai dress yang dibawakan Aksa untuknya. Sesaat ia memandang dirinya yang berada di depan cermin yang sudah mengenakan dress sederhana namun cantik. Ia jadi teringat kata-kata Sena, sahabatnya itu, kalau ayahnya sangat marah atas apa yang Karina lakukan. Kalau ia sampai ditemukan, ia tidak tahu apa yang akan dilakukan ayahnya pada dirinya. Karina menghela napas berat.
***
Disebuah Club malam, seorang pria tengah asik duduk dimeja bar dengan ditemani segelas wine merah. Sesekali senyum miris terlihat dibibirnya, seorang pelayan menatap kearahnya dengan wajah jengah. Ia sudah bosan melihat pria itu datang terus menerus ke club malam ini. suara musik yang dimainkan salah satu DJ terbaik disana menggema dengan keras. Beberapa orang-orang yang sedang menikmati musik meliuk-liukkan badannya mengikuti irama musik. Pria itu tampak tidak tertarik turun ke lantai dansa. Ia memilih untuk minum wine kesukaannya.
“Kamu masih betah datang kemari,” seru seseorang membuat pria itu menolehkan kepalanya kearah orang yang menyapa dirinya itu.
Ia tersenyum simpul menatap seorang wanita yang melipat tangannya di depan dada, dress hitam yang ia kenakan begitu ketat memperlihatkan lekut tubuh wanita itu.
“Kamu juga, tidak pernah bosan untuk dan kemari,” sindir pria itu, ia kembali meneguk pelan wine yang dipesannya.
“Bagaimana dengan pernikahanmu, apa berjalan lancar?” tanya wanita itu setelah ia mendudukkan diri di samping pria yang sedang termenung. “Ah, sepertinya tidak berjalan dengan baik. Buktinya kamu berada disini, karena seharusnya kamu berada di kamar pengantin malam ini. Apa ada sesuatu yang menarik?” tanya wanita itu menatap lekat pria yang berada di sampingnya.
“Kamu tahu, calon pengantinku kabur dan sekarang entah berada dimana,” sahutnya sambil tersenyum miris. Wanita itu terkekeh kecil.
“Benarkah? Kenapa dia kabur? Apa dia tidak suka padamu?”
Pria itu menolehkan wajahnya ke samping dan menatap wanita itu. “Mungkin,” sahutnya cuek. “Bagaimana denganmu?” tanya pria itu menatap lekat wanita yang kini tengah menikmati segelas wine.
“Buruk, buruk sekali. Calon tunanganku juga melarikan diri,” sahutnya ia terkekeh kecil melihat tingkah kekanak-kanakan calon tunangannya itu. “Kita sama bukan,” ucap wanita itu sambil menatap pria yang berada di sampingnya. Pria itu mengangguk pelan. Mereka berdua terdiam, kini keduanya tengah sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Ferro...” teriak seseorang pada pria yang kini menatap kearah orang itu dengan tatapan malas. Pria yang bernama Ferro menatap sekilas wanita yang berada dinsampingnya.
“Kenapa?” tanyanya dengan nada malas.
“Sedang apa kamu disini, aku mencarimu dari tadi. Ayahmu ingin bertemu, ini mengenai pernikahanmu yang gagal itu. Cepatlah temui beliau,” kata orang itu membuat Ferro menghela nafas kasar. Ia meletakkan gelas wine-nya.
“Sepertinya aku dalam masalah besar, aku pergi dulu. Nanti aku telphone,” kata Ferro pada wanita yang menatapnya, wanita itu mengangguk pelan mengiyakan ucapan Ferro. Ferro berjalan meninggalkan club malam dengan temannya yang susah payah telah mencarinya. Setelah ditinggal Ferro, wanita itu mendapatkan telphone di ponselnya. Dengan rasa malas, wanita itu menerima telphone dari seseorang yang ia kenal.
“Hallo,” sapa wanita itu.
“Fani Celina, kamu dimana?”
“Di club,” sahut wanita yang bernama Fani. “Ada apa?”
“Kamu harus cepat pulang,” ucap orang di sebrang sana.
“Kenapa kak?” tanya Fani benar-benar tidak bersemangat.
“Cepat pulang, kakak tunggu...” telphone terputus. Fani hanya bisa menghela napas, ia memegang tengkuknya pelan. Rasanya lelah menghadapi perjodohan bodoh ini. ia mulai beranjak meninggalkan club malam itu.
***
Karina sedang asik memandangi laut dari beranda kamar hotel, ia tersenyum begitu senang melihat pemandangan yang memukau di depan matanya. Angin lembut menerpa tubuhnya membuat rambut panjang Karina melambai tertiup angin.
“Sepertinya aku akan betah tinggal di sini,” gumam Karina. “Tempatnya sungguh menenangkan,” kembali Karina mengukir senyum bahagianya.
Cklek... suara pintu terbuka, membuat Karina menoleh ke belakang. Aksa baru saja memasuki kamar dengan membawa kantung plastik. Karina mengerutkan kening, ia berjalan menghampirinya.
“Apa itu?” tanya Karina menunjuk barang yang dibawa Aksa.
“Makanan...” sahutnya, ia dudukan tubuhnya di sofa yang tidak terlalu panjang di sana.
“Wah kebetulan sekali, aku sudah sangat lapar,” seru Karina sambil memegangi perutnya yang sudah keroncongan dari tadi.
Aksa menatapnya datar, “aku tidak membelikanmu makanan, kalau kamu mau makan. Beli saja sendiri,” ketus Aksa. Ia membuka kotak nasi berisi ayam dan sayuran yang ia beli membuat Karina menelan ludahnya, ia sungguh sangat lapar dan begitu tergoda dengan makanan yang berada di depannya.
“Kenapa kamu tidak membelikanku makanan, aku juga sangat lapar. Apa kamu tega membuatku kelaparan?...” ujar Karina sebal, ia menekuk wajahnya sedih di depan Aksa.
“Aku tidak peduli, kamu sudah merusak ponselku. Padahal ponsel itu sangat mahal,” gumam Aksa, ia mulai melahap makanannya. Karina memandanginya dengan begitu iri. Ia benar-benar kelaparan.
“Aku kan sudah meminta maaf padamu, kenapa kamu begitu pendendam,” keluh Karina, ia kembali melihat ayam dan sayur yang sedang dimakan Aksa. Aksa melihat kearahnya.
“Berhenti menatap makanan seperti itu, matamu sudah hampir keluar dan air liurmu hampir menetes,” kata Aksa, ia menggelengkan kepala pelan.
Karina mengerucutkan bibirnya kesal. Beberapa kali ia menelan ludah melihat Aksa makan sendiri di depan matanya. Aksa menghela napas.
“Kamu mau?” tanyanya sedikit menggoda.
“Tentu saja...” sahut Karina cepat.
“Tapi cuma satu suapan,” Aksa memberikan kotak nasi itu. Karina tersenyum semuringah, ia tanpa sungkan langsung melahap nasi dan ayam dengan sangat lahapnya. Aksa menatapnya tidak percaya.
“Aku hanya mengijinkanmu cuma satu suapan,” Aksa hendak merebut kembali kotak nasi ayam itu. Karina tidak membiarkannya, ia malah terus melahapnya tanpa berhenti. “Hei...” teriak Aksa marah. Karina membawa makanan itu masuk kedalam kamar mandi dan menguncinya. “Wanita aneh, cepat buka pintunya...” Aksa menggedor pintu kamar mandi. Karina tidak menjawab, ia terduduk di toilet sambil terus melahap ayam dan nasi serta sayuran yang terasa begitu nikmat.
“Lihat saja kalau dia keluar,” gerutu Aksa yang sudah kesal setengah mati karena kelakuan Karina.
Karina perlahan membuka pintu kamar mandi, ia terperanjat kaget saat melihat Aksa berdiri di depan pintu sambil melipat kedua tangannya di dada. Tatapannya begitu menakutkan, Karina menyeringai kaku. Di tanganya terdapat kotak nasi yang sudah habis tanpa sisa.
“Maaf, aku sangat kelaparan,” seru Karina sambil menunduk dan menyesal. Aksa yang tadinya akan marah. Akhirnya hanya bisa mengelus dadanya pelan.
“Sudahlah, aku tahu menghadapimu aku tidak akan pernah menang,” kata Aksa. “Tidurlah, ini sudah malam...” Aksa berjalan hendak keluar.
“Kamu mau kemana?” tanya Karina, Aksa tanpa menoleh hanya bisa menghela napas.
“Aku kan bukan suamimu, kenapa aku harus lapor ke mana aku akan pergi. Cepatlah tidur, besok pagi kita harus pergi. Aku sudah tidak punya uang lagi,” Aksa membuka pintu dan menutupnya pelan meninggalkan Karina yang merasa bersalah.
“Sepertinya aku sangat menyusahkannya,” gumam Karina. “Ah iya, aku belum menanyakan namanya,” ujar Karina. Karina menghembuskan napas pelan, ia mulai melangkah menuju tempat tidur.
Sementara itu di sebuah rumah kediaman keluarga Sutomo, seseorang dengan gelisah terus mencoba menelphone adiknya. Beberapa kali ia harus menghembuskan napas kasar saat nomor yang ia hubungi tidak bisa ditelphone.
“Sebenarnya kemana dia?” tanyanya begitu cemas.
“Renita...” seseorang mengetuk pintu kamar wanita yang bernama Renita.
“Iya, masuk saja mah,” sahutnya dari dalam kamar. Seseorang yang ternyata adalah Ny.Ratna ibunya masuk kedalam kamar.
“Kamu belum bisa menghubungi adikmu?” tanya Ny.Ratna, ia juga cemas memikirkan putranya itu. Kenapa dihari penting itu, dia malah kabur.
“Tidak bisa mah, tadi siang aku sudah menelphonenya. Ia tetap tidak mau pulang, aku mencoba menelphonenya lagi. Sepertinya ia sengaja mematikan telphonenya,” jelas Renita.
“Aksa. Apa yang ada dipikiran anak itu?” tanya Ny.Ratna tidak mengerti.
“Sepertinya dia masih belum melupakan gadis itu,” kata Renita sukses membuat ibunya memandang kearahnya dengan tatapan heran.
“Gadis itu, gadis yang meninggalkan Aksa?” tanya Ny.Ratna, Renita mengangguk singkat.
“Mama tahu bukan, kalau dia begitu mencintai gadis itu,” ucap Renita yang membuat Ny.Ratna terdiam dan merenung, ia mengingat kembali kejadian dimasa lampau sudah hampir dua tahun gadis itu pergi meninggalkan Aksa.
“Jadi itu sebabnya Aksa tidak mau dijodohkan, dia masih berharap gadis itu kembali. Pria bodoh, setelah dicampakan. Dia masih mengharapkannya,” Ny.Ratna tersenyum miris. Renita terdiam, memang tindakan Aksa itu benar-benar bodoh. Bagaimana bisa ia membatalkan pertunangannya hanya karena percaya kalau gadis yang dicintainya akan kembali datang padanya.
***
Aksa terduduk di pasir di pinggir pantai, malam semakin pekat. Gemuruh ombak terdengar menderu di telinga Aksa, Aksa hanya mampu terdiam memandangnya dengan tatapan sinis. Ia mengambil kerang yang terkubur di pasir, dilemparkan kerang itu ke laut. Aksa termenung, ini adalah hari di mana ia ditinggalkan.
“Kamu pasti menertawakanku, menertawakan kebodohanku yang tidak bisa melupakanmu. Walaupun kamu mencampakanku dan pergi begitu saja. Dengan bodohnya aku masih mengharapkanmu kembali,” gumam Aksa sambil menarik senyum sinis. “Aku sangat merindukanmu, sangat...” lirih Aksa begitu sedih, ia memang masih berharap gadis itu kembali padanya. Karena dia masih menantikannya dengan setia. Aksa berajak dari tempat duduknya, membersihkan sedikit pasir yang menempel dicelananya, ia langkahkan kaki menuju penginapan tempat di mana dia akan tidur. Hari sudah semakin larut. Ia melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 11 malam.
Saat ia baru membuka pintu dan berjalan masuk ke dalam kamarnya, ia melihat Karina duduk di sofa. Televisi menyala, saat dirinya berjalan mendekat ke arah Karina. Gadis itu ternyata sedang menangis. Aksa terdiam melihat Karina yang menangis dalam kegelapan kamar.
“Kamu belum tidur?” tanya Aksa, nada suaranya melembut.
“Hmmm...” Karina hanya bergumam dan sibuk menghapus airmatanya.
“Kenapa kamu menangis?” tanya Aksa pada Karina, jarak mereka tidak terlalu jauh. Karina melihat ke arah Aksa. Karina hanya tersenyum.
“Tidak apa-apa.” Karina beranjak dari sofa. Mereka saling berhadapan. Keduanya berpandangan.
“Aku benar-benar bersyukur bertemu denganmu. Terimakasih dan maaf karena telah menyusahkanmu,” kata Karina dengan tersenyum, Aksa hanya terdiam mematung.
“Kenapa tiba-tiba...”
“Ah, aku mengantuk. Aku mau tidur dulu,” Karina berjalan melewati Aksa. Karina menoleh kearah Aksa. “Kalau kamu mau pergi, kasih tahu dulu. Jangan pergi begitu saja,” setelah mengucapkan itu, Karina merebahkan tubuhnya di kasur. Aksa menoleh ke belakang, di mana Karina sudah tidur. Aksa mengerutkan kening merasa aneh.
***
Pagi harinya, Karina dan Aksa berada di sebuah restoran untuk sarapan pagi. Ini adalah uang terakhirnya. Setelah ini, Aksa sudah tidak punya uang lagi. Aksa memperhatikan Karina yang sedang melahap bubur pesanannya.
Karina yang seakan tahu kalau ia dari tadi diperhatikan, ia mendongakkan kepalanya kearah Aksa. Aksa menatapnya tanpa bergeming sedikitpun.
“Kenapa kamu menatapku seperti itu?” tanya Karina merasa heran.
“Tidak apa-apa.”
Karina menikmati buburnya dengan lahap. Mungkin ini makanan terakhir yang dia temukan. Karena hari ini mereka akan berpisah. Tidak ada alasan Karina untuk terus ikut dengan Aksa. Karena dia tidak ingin menyusahkan pria di depannya. Karina harus mandiri, karena ini keputusannya melarikan diri. Dia tidak akan pernah menyesal.
“Aku akan ke surabaya, aku tidak bisa membawamu. Kamu punya tempat tujuan yang ingin dituju, aku akan mengantarmu kerumah temanmu, atau sodaramu,” kata Aksa yang membuat Karina menghentikan makannya. Karina mendongakkan kepala melihat kearah Aksa.
“Aku tidak mempunyai tujuan, aku hanya punya satu teman,” jawab Karina kembali menundukkan kepala. Aksa mengerjapkan matanya. Dia mengamati Karina. “Kamu tidak perlu khawatir, aku akan mencari tempat tinggal sendiri untuk sementara disini. Aku juga akan mencari pekerjaan.”
“Kamu tidak berencana untuk pulang saja,” Aksa menatap Karina. Karina menggelengkan kepala.
“Saat aku mengambil keputusan itu, aku sudah siap dengan semuanya.”
“Apa kamu benar akan baik-baik saja, tanpa teman, tanpa keluarga?”
Karina tersenyum, “Kamu mengkhawatirkanku?”
“Tidak.” Aksa membantah, Karina berusaha menahan tawa. Aksa tiba-tiba menjadi kesal.
“Ah sebelum kita berpisah, aku belum tahu siapa namamu?” tanya Karina menatap lekat Aksa yang ada didepannya.
“Kenapa kamu menanyakan namaku? Tidak perlu,” sahut Aksa.
“Sekedar berjaga-jaga, siapa tahu kita bertemu lagi lain waktu. Setidaknya aku akan mengingat nama orang yang telah menolongku,” ucap Karina. Aksa menghela napas pendek.
“Aksa, Aksa Gerlando,” sahutnya pelan. Karina tersenyum.
“Namaku Karina Rosallia,” kata Karina, Aksa mengangguk kecil dan dia mulai melahap sandwitch pesanannya. Setelah mereka menghambiskan sarapan mereka. Aksa yang hendak masuk ke dalam mobilnya menatap heran Karina yang terdiam di samping mobilnya.
“Terimakasih atas semuanya, aku tidak akan melupakanmu. Aku akan membalas kebaikanmu nanti.” Karina tersenyum dan pergi meninggalkan Aksa. Aksa memandang punggung Karina, sebenarnya ia tidak tega meninggalkan Karina, tapi ia sudah tidak punya uang lagi dan tidak mau terlibat lebih dalam dengan Karina. Aksa beranjak masuk ke dalam mobil dan melajukan mobilnya perlahan menjauh berlawan arah dengan jalan yang diambil Karina. Karina menoleh ke belakang, ia sedih melihat mobil Aksa yang perlahan menjauh.
“Dia pergi,” gumamnya. Karina menarik senyum tegar. Lama dia berjalan tanpa tujuan, ia menghentikan langkahnya di sebuah pasar. Karina menatap asing tempat itu, ia juga terlihat bingung. Banyak sekali orang-orang yang berlalu lalang di depannya. Karina kembali melangkahkan kakinya menjauh dari pasar. Kakinya seakan sakit terus berjalan tanpa tujuan. Tiba-tiba saja seseorang menghadang di depannya, Karina terkejut melihatnya.
“Akhirnya kami menemukanmu nona,” kata orang berjas hitam itu yang ia yakini adalah anak buah ayahnya. Karina menatapnya takut. “Silahkan ikut dengan kami nona, tuan besar sudah menunggu,” kata orang itu membuat Karina bergeming dan memundurkan langkahnya. Dengan hitungan detik, Karina berbalik dan berlari sekuat tenaga agar tidak tertangkap. Orang-orang suruhan ayahnya mengejarnya dari belakang. Karina terus berlari menghindari orang-orang yang mengejarnya. Terlintas dibenaknya bayangan Aksa. Aku membutuhkanmu, tolong aku... gumamnya dalam hati. Orang-orang itu semakin gencar untuk menangkap Karina.
Di dalam mobil, Aksa merasakan perasaan yang aneh, kenapa hatinya ingin kembali ke tempat itu. Seperti ada seseorang yang meminta bantuannya. Beberapa kali Aksa menghela napas. Ini membuatnya gila, kenapa ia tiba-tiba teringat pada Karina. Aksa menghentikan mobilnya dan terdiam sejenak di dalam mobil. Aksa mengacak rambutnya kasar dan juga mengusap wajahnya dengan pelan. Ia kembali melajukan mobilnya dengan membalikkan arah kembali ke tempat di mana mungkin Karina berada.“Kenapa aku harus peduli padanya,” gumam Aksa merasa heran akan perasaannya. Apalagi saat mengingat wajah sedih Karina saat mereka berpisah tadi. “Sebenarnya aku sedang apa?!” keluhnya dan terus melajukan kembali kendaraannya. Sepanjang perjalanan ia terlihat mencari sosok Karina. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Karina disepanjang jalan yang dilalui Aksa. Setelah lama, saat ia melalui sebuah pasar yang cukup ramai. Dari kejauhan ia melihat seorang gadis sedang berlari dan di belakang
Karina termenung di dalam mobil Aksa yang menghadap ke arah pantai, angin semilir berhembus pelan menerpa wajahnya. Terasa begitu sejuk, sebuah senyum menghiasi bibir mungilnya. Dengan pelan ia menutup kedua matanya merasakan udara yang menyejukkan hati Karina. “Sedang apa kamu, jangan tidur...” tegur Aksa membuat Karina membuka kembali kedua matanya. Karina menoleh dan menatap ke arah Aksa sambil merenggut kesal. “Kenapa kamu selalu saja menghancurkan kesenanganku,” kata Karina, ia menunduk kesal. Seketika kembali ia palingkan wajahnya ke samping dan bergumam tidak jelas. Aksa menghembuskan nafas pelan menatap kearah Karina, “kamu tetap mau ikut denganku?
Karina dengan gelisah menggigiti kukunya, tangan satunya memegang gagang telphone. Dari raut wajahnya gadis itu kini tengah sedang cemas, sesekali ia melirik kearah belakang dimana kelima orang itu memandangnya dengan tatapan tidak biasa. Karina harus menghela napas panjang kala melihat tatapan dari mereka. Terlebih lagi tatapan dari Aksa, setelah berita itu. Anita menanyakan masalah itu padanya, jelas saja ia bingung harus menjawab apa. ia merasa tidak pernah menikah dengan pria yang bernama Ferro, tapi kenapa pria itu dengan beraninya mengatakan hal itu di media. Karina dengan tidak sabar menunggu seseorang mengangkat telphonenya. “Hallo...” sapa seseorang di sebrang sana. “Sena, apa maksud semua ini? Kenapa pria itu mengaku sebagai suamiku, sebenarnya apa yang ayahku lakukan. Apakah ini salah satu rencana ayah untuk
Tn. Anggara memandang tajam ke arah dua wanita yang duduk didepannya. Mereka hanya bisa menghela nafas. Tn. Anggara mendesah. “Apa yang akan kalian jelaskan padaku? Setelah anak itu lari dari acara pertunangan dan aku mendapatkan kabar yang tidak mengenakkan. Bagaimana bisa dia bersama dengan putri dari Rama Handoko...” “Ayah... sepertinya mungkin itu hanya kesalahpahaman.” Renita mencoba menenangkan ayahnya. “Kesalahpahaman seperti apa?” “Sayang, tenang lah. Aksa tidak mungkin melakukan hal itu?” “Melakukan apa?” Tn. Anggara memandang istrinya lekat.&n
Di hotel mewah. Tepatnya di Aula lantai bawah Candy’s Hotel. Tengah diadakan acara pertunangan, di mana para tamu undangan yang menghadari acara itu sebagian besar dihadiri artis dan aktor ternama, juga beberapa tamu penting lainnya yang menghadiri acara besar itu. Seorang gadis yang mengenakan gaun panjang berwarna crem keemasan, dengan rambut di sanggul kecil. Punggung putih dan mulusnya terekpose. Riasan wajahnya juga cukup baik, tampak sangat cantik untuk seorang model terkenal. Ia menyapa semua tamu dengan tersenyum ramah. Ini adalah acara pertunangannya sebelum melangkah ke pelaminan bulan depan. Hanya beberapa tamu yang diundang, tidak terlalu banyak. Wartawan juga tidak banyak yang diundang hanya beberapa. Tunangannya juga menyapa beberapa teman lama, musik slow mengalun memenuhi ruangan. Acara pun dimulai, setelah panyambutan, tukar cincin, menuangkan minuman pada gelas-gelas yang disusun rapi diatas meja. Para tamu bisa menikmati makanan yang tersaji.“A
Aksa dan Karina berada disebuah kafe, dihadapannya seorang pria duduk dengan tenang memandang mereka. Kedua pria itu tanpa sepengetahuan Karina saling berpandangan, sesaat terjadi perang dingin diantara mereka. Sedangkan sedari tadi, Karina tatapannya tidak lepas dari Aksa yang tidak menghiraukannya. Namun tangannya terpaut erat. Seakan tidak ingin melepaskan tangan gadis itu.Di dalam benaknya, Karina sedang berpikir. Sebenarnya apa yang diinginkan pria ini? menciumnya didepan semua orang, bahkan di hadapan suami sahnya di mata negara.“Aku tidak ingin mengatakan hal ini, tapi aku ingin kamu bercerai dengannya.”Perkataan yang dilontarkan Aksa, membuat Karina membulatkan kedua matanya terkejut. Pria yang berada di hadapan mereka hanya tersenyum simpul, ia merasa lucu dengan keadaan ini.“Kenapa aku harus melakukannya? Apa hakmu menyuruhku menceraikan istriku?”Aksa mengangkat tangannya yang menggenggam erat tangan Karina.
Aksa berbicara dengan santai di telphone sambil berjalan pulang kerumah Handi. Sesekali sesungging senyum tersuguh di bibir tebalnya, ini ada pertama kalinya ia kembali mendengar suara lembut dari wanita yang selalu dirindukannya. Pembicaraan itu cukup singkat, ia pun mengakhiri telphonenya dan seketika raut wajahnya berubah. Tersimpan kekesalan dan juga kemarahan akan merasa dibohongi. Saat baru menyusupkan ponsel dalam jas-nya. Di kejauhan ia melihat Karina sedang terduduk sambil menutup kedua matanya. Entah apa yang dilakukan gadis itu, Aksa berjalan menghampirinya dan kini ia berada tepat di hadapan Karina yang matanya masih terpejam. Ia tersenyum simpul melihat kerutan didahi gadis itu. “Menyebalkan, Aksa... aku akan membunuhmu.” Teriaknya, membuat beberapa orang yang sedang berjalan-jalan dan juga Aksa yang memandangnya terkesiap. Karina meraba bibirnya pelan, matanya masih terpejam. “C
"Ayah..." gumam Karina terkejut melihat ayahnya berada di rumah Handi dan memandangnya dengan tatapan marah. Matanya semakin berkilat penuh benci melihat kemesraan anaknya dengan anak dari orang yang ia benci."Apakah karena ini kamu kabur dari pernikahanmu, karena pria ini," geram Tn. Rama memandang putrinya. ia benar-benar murka. Kenapa putrinya harus memilih bersama dengan pria yang merupakan anak dari orang yang sangat ia benci."Ayah..." Karina memandang takut sang ayah. Pria paruh baya itu berjalan mendekat kearah keduanya, tanpa disangka-sangka ia memukul keras wajah Aksa yang tidak sempat menghindar membuat tubuhnya terjatuh ke belakang. Karina terhenyak melihatnya. Orang-orang yang berada di rumah itu juga memandangnya terkejut. Aksa dengan santai bangun sambil mengelap darah yang keluar dari sudut bibirnya."Aksa, kamu tidak apa-apa?" tanya Karina, ia hendak menyentuh wajah Aksa dengan khawatir. Namun tangannya segera diraih Tn. Rama dan mencengkramnya
Ciuman mereka masih berlanjut, Aksa tidak melepaskan ciumannya dan membawa Karina ke kamar mereka. Aksa juga mengangkat tubuh Karina dan mendudukkannya di buffet yang tidak terlalu tinggi agar dia bisa dengan leluasa mencium Karina. Tangan Karina memeluk leher Aksa, jari-jari tangannya meremas rambut Aksa. Menahan gejolak gairah yang di dapatkan dari ciuman panas nan basah dengan bercampurnya air liur mereka. Tangan Aksa yang tadinya mengelus punggung Karina, berpindah mengelus paha Karina yang terekpos merasakan sentuhan yang membuat tubuhnya menggelinjang sampai membuat perutnya geli. Karina refleks menjauhkan kepalanya membuat ciuman mereka terlepas. Keduanya saling mengambil napas dengan terengah. Mata keduanya bertemu. Aksa masih mengelus paha Karina, sentuhannya semakin masuk kedalam kimono yang di kenakan Karina. Handuk Kimono itu terbuka memperlihatkan belahan dada Karina walaupun tidak sepenuhnya terbuka. Karina merasakan tubuhnya berkeringat dan kepanasan. Aksa yang melihat
Malam itu, di rumah keluarga Karina. Tn. Rama tersenyum saat mendengar berita bahkan Karina mengunjungi Ferro di kantornya siang tadi. Bahkan berita itu juga sudah masuk berita televisi. Salah seorang pelayannya memberitahukan kedatangan seseorang yang telah di tunggunya. Siapa lagi kalau bukan menantu kesayangannya. Walaupun Karina tidak pernah serumah dengan pria yang tidak lain adalah Ferro. “Aku harus menyambut menantu kesayanganku,” gumamnya setelah diberitahukan kedatangan Ferro atas panggilannya untuk mampir ke rumah. Ny. Arta yang duduk disana hanya diam, melihat wajah suaminya yang begitu semuringah bahagia. Dia merasa kasihan dengan putrinya dan juga suaminya yang terlalu mementingkan egonya. Ferro memasuki ruang keluarga. Dia tersenyum dan menyalami keduanya. Mereka duduk bertiga, sampai Nando datang dan mereka menjadi berempat di ruangan itu. Nando juga sudah mendengar berita itu, kalau Karina tiba-tiba datang ke kantor Ferro.
Karina diam di dalam mobil Ferro. Ferro beberapa kali melirik ke arah Karina saat sedang menyetir, bahkan saat mereka berada di lampu merah. Karina tetap diam, melihat kediaman Karina. Ferro menyadari mungkin karena kejadian tadi. Mood Karina menjadi tidak baik. Saat akan membuka suara, Karina lebih dulu berucap, “aku turun disini.” “Oh kamu sudah sampai rumahmu ya?” tanya Ferro. Karina tidak menjawab, Ferro menepikan mobilnya. Mobil telah berhenti dan Karina keluar begitu saja tanpa mengatakan apa-apa. Dari dalam mobil Ferro hanya bisa melihat punggung Karina yang perlahan menghilang di belokan jalan. Karina berjalan sendiri menuju taman yang ada di dekat sana. Dia duduk di salah satu kursi yang ada disan
Aksa yang berada di kantor sedang bekerja dengan laptopnya merasakan sesuatu yang tidak mengenakan, perasaannya gelisah. Saat melihat wajah Karina sebelum berangkat kerja setelah mereka di kunjungi sahabatnya itu. Wajah Karina berubah dingin kembali, dia bahkan tidak berbicara lagi dengannya. Membuat Aksa semakin khawatir, dia berusaha menghubungi Karina. Namun panggilannya tidak pernah di angkat, dia tahu Karina pasti kecewa padanya. Terlebih saat memergoki dirinya keluar dari apartemen Amanda. Istrinya itu tidak ingin mendengarkan penjelasan darinya. Seseorang mengetuk pintu dari luar ruangannya, setelah di ijinkan masuk. Orang yang tidak lain Dewi. Sekertaris sekaligus asistennya itu datang membawa beberapa berkas untuk di periksa Aksa. Aksa menerima berkas itu, m
Ferro berada di kantornya, dia tidak fokus untuk bekerja. Masalah pernikahannya yang batal, karena mempelai wanita kabur ditambah setelahnya, orang tua wanita itu memintanya mendaftarkan pernikahan di catatan sipil lalu mempublikasikannya. Sampai teman-temannya bertanya ada apa sebenarnya. Padahal waktu itu pernikahan di batalkan. Kalau tidak karena paksaan keluarganya, dia tidak akan mau melakukan semua ini. Ferro menutup berkasnya dan meregangkan tangan. Ferro mengingat Karina, wanita itu menikah dengan pria lain dan tidak di restui keluarganya. Pembicaraannya dengan Aksa suami dari Karina. Ferro tersadar. Kalau dirinya tidak memiliki keberanian seperti mereka, dia tetap menjadi anak yang penurut kepada orang tuanya. Seseorang masuk ke dalam ruangannya membawa beberapa berkas lagi, membuat Ferro menghela napas. Pekerjaannya sang
Aksa telah masuk ke dalam apartemen Amanda. Amanda membuatkan coffe untuk Aksa, Coffe Latte dengan Cream kesukaannya. Aksa melihat coffe itu dan terdiam, suasana kembali hening. Amanda meremas jari-jarinya. Karena dia tidak pernah menyangka berita batalnya pernikahaan Amanda dan Randi sudah tersebar luas. "Kenapa kamu diam? Aku bertanya padamu, apa berita yang aku dengar itu benar. Kamu membatalkan pernikahanmu?" Aksa bertanya sambil menatap lekat ke arah Amanda yang masih meremas jarinya, Amanda berusaha untuk tidak menatap mata Aksa dan memalingkan wajahnya dari Aksa “Dari mana kamu mendengar berita itu?” Amanda balik bertanya. “Apa berita yang aku dengar itu benar?”
Tn. Rama memandang ke arah anak buahnya, dengan tatapannya dia ingin menanyakan kebenaran dari info yang di bawa anak buahnya itu. “Jadi, dulu putranya Anggara pernah batal menikah. Siapa wanita yang menjadi mantannya putra Anggara?” Anak buahnya memberikan amplop coklat. Tn. Rama segera membuat isi amplop coklat itu dan melihat beberapa foto yang berhasil di dapatkan. Tn. Rama dengan seksama melihat wanita yang berada di dalam foto itu. “Dia, bukankah wanita ini adalah model yang banyak diberitakan karena akan segera menikah dengan aktor terkenal?” tanya Tn. Rama, kepalanya mendongak kearah anak buahnya yang berdiri didepan meja kerjanya. “Iya tuan, walaupun merek
Karina terbangun dari tidurnya yang panjang, terdengar suara alarm dari ponselnya berdering keras memekakkan telinganya. Karina perlahan membuka matanya, dia meraba-raba meja nakas dekat tempat tidur di mana ponselnya di letakkan. Setelah mendapatkan ponselnya, Karina mematikan alarm. Dia melihat jam di ponsel menunjukkan pukul 7 pagi. Cahaya matahari sudah masuk kedalam kamar dari celah gorden. Karina menggerakkan badannya, namun tertahan sesuatu. Dia melihat tangan melingkar memeluk perutnya. Karina menoleh kesamping, di sana Aksa masih tertidur dengan pulas sambil memeluknya. Karina membalikkan badan yang tadinya berbaring membelakangi Aksa kini menghadap kearahnya. Karina menatap wajah Aksa yang tertidur, setelah mengatakan rahasia yang tidak ingin dia bicarakan lagi membuatnya menangis semalam kemarin. Aksa dengan setia mendengarkan membuatnya merasa lebih baik. Karina tersenyum. K
Sena berada di dalam kamarnya, dia baru saja mendengarkan voice mail dari Karina. Sena menghela nafas. Dia masih tidak mau menerima telphone dari sahabatnya itu, karena dia masih kesal dengan Karina. Sena keluar dari kamarnya. Dia melihat bibinya sedang menyiapkan makan malam, Sena berjalan menuju sofa di ruang tengah. Sena memang tinggal dengan bibinya, kedua orang tuanya sudah meninggal saat Sena masih kecil. Melihat wajah Sena yang selalu murung, bibinya berjalan menghampiri setelah selesai menyiapkan makan malam. “Masih marahan dengan Karina?” tanya bibinya yang bernama Winda. Sena melihat ke arah bibinya itu. Sena kembali menghela nafas. “Iya bi, aku masih kesal padanya. Aku yang dibawa-bawa dalam masalahnya itu, hubunganku dengan Nando juga kena imbasnya,” kata Sena dengan