Anyelir baru saja hendak terlelap saat sebuah bantal mendarat tepat di kepalanya dengan keras. Seketika, perempuan itu terbangun dan mendengkus murka. Siapa yang berani mengganggu tidur cantiknya setelah seharian lelah berdiri dan tebar senyum sana sini pada tamu undangan?Begitu menemukan keberadaan Damian di ujung ranjang yang tengah berkacak pinggang tanpa dosa, Anyelir segera membaalas lemparan bantal dengan sekuat tenaga. Sayangnya, belum sempat menyentuh wajah jelek duda, ralat, suaminya tersebut, pria itu sudah lebih dulu menangkap bantal dengan tangan.“Ngapain sih, Om? Aku mau tidur ini loh!’’ kesal Anyelir sambil bersedekap dada dengan pipi mengembung sebal.Damian memutar bola mata malas. “Begini cara kamu memperlakukan seorang suami? Kalau mau tidur ya tidur aja, tapi sama aku. Kamu lupa, sekarang kita suami istri?’’ tanya Damian sambil menyorot Anyelir menantang.‘’Terus kalau suami istri, harus tidur sekamar gitu? Males ah, Om Damian pasti tidurnya nggak bisa diem, ngga
Anyelir terbangun begitu merasakan perutnya meronta lapar. Tumben sekali semalam dia tidak terbangun sama sekali untuk makan tengah malam. Lalu, seingatnya, semalam dia juga tidak terlelap di sini. Siapa yang memindahkannya?‘’Heh anak kecil, bangun! Temanmu dateng itu,’’ panggil Damian dari ambang pintu kamar dengan tangan memegang spatula berukuran mini.Kebetulan kamar lantai bawah yang mereka tempati semalam memang dekat dengan dapur. Jadi, mungkin pria itu dapat cahaya Ilahi untuk masak pagi-pagi begini.Anyelir mengernyit heran. Tumben sekali Ima berkunjung tanpa diundang dahulu. Biasanya, makhluk sok sibuk itu bahkan menolak ajakannya dengan alasan sibuk kuliah dan rebahan di kostan.‘’Sana cepetan basuh muka! Nggak baik bikin tamu lama nunggu,’’ tegur Damian begitu mendapati istrinya yang masih sibuk planga-plongo di atas kasur.Anyelir memutar bola mata malas. ‘’Ima kan bukan tamu, Om. Dia temen aku,” jawab Anyelir sambil bangkit dari kasur.‘’Mau temen kek mau keluarga, yang
Pukul lima pagi. Damian sudah tidak menemukan Anyelir di sampingnya. Setelah memberinya pelajaran perempuan itu kali ini. Awalnya, dia masih bisa bersantai kalau saja tidak mendengar suara ribut dari lantai atas.Begitu Damian menyadari perempuan tersebut yang malah naik ke lantai atas padahal sudah berjanji padanya, Damian segera bangkit dan berlari menyusul ke sana. Karena pintu kamar yang terbuka, pria itu segera masuk dan memandang Anyelir murka.“Ngapain kamu naik ke lantai atas, Anyelir?!” tanya Damian pada perempuan yang tengah memakan mie instan cup di atas kasurnya tersebut.Menyadari kehadiran Damian, Anyelir menghentikan makannya dan segera berdiri. Perempuan itu meletakkan cup mie di atas nakas dan segera berlari menuju pintu kamar. Dengan sekuat tenaga, tanpa mau mengucapkan sepatah kata pun, Anyelir menutup pintu di depan wajah Damian dengan bantingan lumayan keras.“Ngapain pintunya kamu tutup, Bodoh?! Keluar cepat, jangan di lanta atas!” peringat Damian yang dibalas A
Pagi ini, Anyelir sudah repot-repot menyiapkan sarapan sejak pukul lima pagi. Bahkan, perempuan itu juga membantu Bi Wati untuk membersihkan rumah. Entah dirasuki jin istri baik macam apa, istrinya malah jadi serajin itu.“Tumben kamu jam segini udah bangun mana bantu Bi Wati bersih-bersih,” komentar Damian sambil memandangi seisi rumah yang sudah rapi juga meja makan yang sudah menguarkan aroma lezat sarapan.“Iyadong, Om. Cita-citaku sekarang kan mau jadi istri yang baik, ehe.” Anyelir menjawab sambil menyengir lebar.Damian melongo. Sejak kapan pemikiran Anyelir bisa selurus itu? Bagaimana bisa sosok anak kecil di depannya menjadi istri dengan pemikiran dewasa dalam sekejap?“Kamu kerasukan atau gimana, Anye?” tanya Damian masih tidak percaya.“Ish ... pas rajin dikatain tumben, pas nggak ngapa-ngapain dikatain pemalas. Jadi kapan aku bisa keliatan cukup baik di mata Om?!” tanya Anyelir ngegas begitu mendapati respon suaminya.‘’Aneh aja gitu, Nye. Biasanya kan kamu jam segini masi
Damian mengernyit heran begitu pria itu masuk ke kantornya. Beberapa rekan kerja memandangnya dengan senyum aneh. Pria yang terkenal dengan sebutan ‘Bos Galak’ di kalangan pekerjanya tersebut, kontan melotot tajam membuat oorang-orang yang memandangnya mengalihkan pandangan. Dia paling tidak suka orang memandangnya seperti itu tanpa alasan yang jelas.“Mereka kenapa sih?” tanya Damian kesal sendiri sambil membuka pintu ruangannya dengan kunci.“Owalah ... ini tempat kerjanya Om?” tanya seseorang dari belakangnya membuat Damian terlonjak kaget.“Loh ... kok kamu bisa ada di sini?” tanya Damian tidak santai begitu berbalik dan menemukan keberadaan Anyelir di depannya.Perempuan itu bahkan masih mengenakan piyama dan belum mandi tentu saja. Sehabis memasak dan membersihkan rumah, Damian pikir sang istri kembali tidur ke kamarnya. Tapi, entah dengan cara apa perempuan banyak akal itu malah bisa berdiri di sini dengan cengiran paling lebarnya.“Hai, Om!” sapa Anyelir tidak berdosa sambil m
Untuk pertama kalinya, Damian merasa pikirannya terlalu berantakan untuk bekerja. Akhirnya, di jam dua siang, pria itu memilih pulang ke rumah. Bahkan, pria itu menyetir dengan kecepatan lumayan tinggi. “Si makhluk bodoh itu! Lagian siapa suruh malah ganggu pekerjaanku? Kena marah kan jadinya.” Damian menggumam sambil memukul setir mobil sendiri.Seharusnya dia juga mengantar pulang perempuan itu tadi. Kenapa dengan santainya malah membiarkan Anyelir pulang sendiri. Terlebih, Damian tidak yakin istri menyebalkannya itu membawa uang untuk ongkos taksi.Akhirnya, begitu sampai rumah, Damian langsung berlari guna mengecek keberadaan Anyelir entah dengan alasan apa. Seharusnya dia memang tidak sekhawatir ini kan? Perempuan itu sudah besar dan bisa mengurus diri sendiri meski banyak kali bertingkah layaknya anak kecil.“Anye ... kamu di dalam?” tanya Damian sambil mengetuk pintu kamar Anyelir begitu pria galak itu sampai rumah.Tidak ada sahutan. Damian mencoba membuka pintu dan terbuka.
Anyelir baru saja akan masuk kamar setelah menemani---lebih tepatnya merecoki Bi Wati menyapu di halaman kalau saja tidak menemukan Damian tertidur di sofaruang tengah. Perempuan itu mengernyit heran. Tumben sekali suaminya tertidur di sofa begitu. Biasanya selelah atau sengantuk apapun, pria itu pasti sempat untuk kembali ke kamarnya jika memang sudah mengantuk.Dengan mengalahkan segenap gengsinya, Anyelir berjalan mendekat dan berdiri di depan sang suami yang tengah tertidur di atas sofa panjang tersebut. Dia malas bersikap sok kalem dan tidak kekanakan sebenarnya. Tapi, perkataan Damian tempo hari sukses menampar Anyelir.Dia seharusnya ingat kalau Damian bukan Papa. Dia tidak bisa menggendong Anyelir ketika pulang kerja. Pria itu tidak bisa terus tersenyum sabar meski Anyelir menghancurkan pekerjaannya. Suaminya tidak bisa memberinya hadiah setiap pulang kerja. Damian ... tidak akan pernah bisa seperti Papa.Dia seharusnya cukup sadar posisinya sejak awal di rumah ini. Dia cuma
Sudah dua hari semenjak Damian sembuh dari demamnya. Hubungan keduanya tentu saja sudah cukup membaik. Masih sering berdebat dan sesekali main ngambek-ngambekan. Juga masih sering diisi rengekan Anyelir serta sikap masa bodoh Damian."Beneran nggak dibolehin ikut ke kantor nih, Om?" tanya Anyelir memastikan lagi.Perempuan itu duduk bersila di lantai kamar suaminya. Menganggurkan kursi malang di dekat lemari Damian. "Kalau saya bilang nggak ya enggak. Sekali enggak ya tetap enggak. Kapan anak kecil seperti kamu mau ngerti?" tanya Damian sambil memasang kemejanya tanpa malu di hadapan Anyelir.Anyelir menghela napas kecewa. Perempuan yang hari ini seperti biasa masih mengenakan piyama di jam 7 pagi, berbaring telentang di lantai keramik yang dingin. Damian yang melihat kelakuannya, kontan menggeram kesal."Sudah berapa kali saya ingatkan jangan suka berbaring di lantai tanpa alas gitu, Anye?! saya nhgak pernah punya cukup waktu kalau sampai kamu kena tipes lagi kayak waktu itu," perin
Hingga pukul 8 malam, Anyelir tidak tampak ingin keluar dari kamarnya. Perempuan itu entah tengah melakukan apa di dalam. Damian memilih membiarkan saja. Terlalu terbiasa dengan gaya ngambek ala Anyelir. Perempuan itu bahkan kembali ke kamar sebelah---markas ngambeknya.“Dam, si Anye mana? Masak kita makan malemnya nggak sama dia sih? Istri ngambek itu ya dibujuk, bukan malah balik didiemin!” Lisa memberi wejangan.Damian mendengkus kesal. “Istri yang hobinya ngambek tiap hari itu ya didiemin, bukan malah dibujuk terus. Ntar malah makin ngelunjak. Kapan berpikir dewasanya coba?” balas pria itu santai.Lisa memberengut sebal. “Emang bener kata si Anye, susah ngomong sama orang jelek.” Lisa menghujat kemudian memilih berlalu dari hadapan pria yang masih setia rebahan sambil nonton TV di ruang tengah itu.Di sisi lain, Anyelir terbangun dari tidurnya karena merasakan perut yang keroncongan. Setelah selesai sholat magrib, ia tidak sengaja ketiduran dan sekarang terjaga lagi karena lapar.
Anyelir masih berdiam diri di posisinya sampai kantor terdengar sepi. Mungkin semuanya tengah pergi makan siang ke kantin. Salahkan Anyelir yang tidak keluar dan berharap Damian memanggilnya. Hingga sekarang dia tidak tahu harus pulang naik apa.Dia lupa membawa uang. Sedangkan di tasnya, hanya ada ponsel dan robekan beberapa alamat penting yang suaminya siapkan semisal Anyelir ingin naik kendaraan biar tidak tersesat. Tapi, perempuan itu bertekad tidak akan menelepon Damian sampai pria itu menyadari sendiri kesalahannya.Beberapa lama menunggu, akhirnya, sebuah suara derap langkah kaki terdengar memasuki ruangan. Anyelir tersenyum sumringah. Damian menjemputnya. Pria itu tidak benar-benar melupakannya."Anye! Kamu di sini?"Suara Lisa seketika meruntuhkan harapan Anyelir. Perempuan itu cemberut lagi. Dia kira yang menjemputnya suami jeleknya."Kok bukan Om Damian yang jemput aku?" tanya Anyelir tidak bisa menyembunyikan nada merajuknya. Kepala perempuan itu menyembul dari kolong meja
Anyelir baru saja kembali dari pasar bersama Bi Wati saat menemukan seorang perempuan cantik duduk di ruang tengah. Perempuan kerempeng itu kontan mendekat dan memandang orang cantik di rumahnya curiga."Siapa---""Eh, Nak Lisa dateng, toh. Kapan nyampe sininya?" tanya Bi Wati memotong kalimat Anyelir.Perempuan itu tersenyum senang begitu menemukan keberadaan Bi Wati. Mengabaikan Anyelir, perempuan itu bangkit dan menyalami punggung tangan sang pembantu."Baru aja beberapa menit lalu, Bi. Kata Pak Satpam lagi nggak ada orang di rumah, si Damian kerja, Bi Wati ke pasar, jadi disuruh nunggu di sini dulu."Melihat interaksi kedua perempuan itu, Anyelir mengernyit tidak mengerti. Dia siapa? "Oh iya, kenalin, dia istrinya Damian. Namanya Anyelir." Anyelir tersenyum canggung begitu perempuan di depannya tersenyum hangat padanya. Perempuan bernama Lisa itu mendekat dan memeluk Anyelir erat."Waaah ... ini yang namanya Anyelir? Salam kenal, ya, Anye! Aku Lisa, sepupunya Damian."Anyelir me
Damian pulang dengan menenteng lima bungkus ayam geprek pesanan Anyelir. Beberapa kali, di perjalanan, pria itu mendecak tidak habis pikir. Sebanyak ini, apa bisa habis? Mengingat perut kecil juga porsi makan Anyelir yang sedikit, Damian jadi ragu.Begitu hendak menaiki tangga, suara Bi Wati yang memanggil dari arah dapur, menghentikan langkahnya. Pria itu menoleh penasaran begitu melihat raut khawatir sang pembantu."Sudah pulang, Tuan?" tanya Bi Wati berbasa-basi. Damian mengangguk."Kalau gitu, tolong bujuk Nak Anyelir biar mau makan siang, ya? Bibi udah bujuk dari tadi siang, tapi sampai sore ini dia nggak mau bukain pintu kamarnya." Bi Wati menjelaskan yang dibalas Damian dengan kernyitan dahi."Dia belum makan siang?" tanya pria galak itu sambil melirik jam tangan.Sudah pukul 4:39 sore. Bisa-bisanya perempuan itu tidak lapar. Setidaknya, menganggur dan rebahan di rumah juga butuh tenaga. Bahkan, Damian merasa lebih cepat lapar ketika berada di rumah daripada sibuk bekerja di ka
Pagi ini, keadaan Anyelir sudah lebih baik dari semalam. Awalnya, Damian tidak ingin berangkat bekerja karena mengkhawatirkan kondisi perempuan yang biasanya rewel itu. Tapi, paksaan Anyelir membuat pria itu akhirnya sudah rapi dan duduk di meja makan pukul 7 tepat."Kan sudah kubilang, kamu belum terlalu sehat. Ngapain masak segala? Kan udah ada Bi Wati juga," kesal Damian sambil mulai menyendokkan nasi dengan lauk kedelai hitam rebus, sambal limau, juga tahu tempe gorengnya.Anyelir mengangkat bahu acuh. Ikut menyuapkan nasi ke dalam mulut dengan lahap."Emangnya kenapa? Om mau ngehalangin aku jadi istri yang baik sampai mana lagi? Lagian aku baru bisa masak aja udah dimarahin. Apalagi mau belajar beresin rumah dengan bener?" jawab Anyelir sambil merengut sebal.Damian menghela napas pasrah. "Yasudahlah, terserah kamu aja." "Oh iya, Om. Ini." Anyelir menyodorkan amplop putih kepada sang suami. "Ini apa?" tanya Damian tidak mengerti."Surat pengunduran diriku dari kantor Pak Bagas.
Anyelir masih terus memeluk lengan Damian bahkan saat tertidur. Hal itu membuat benak Damian menghangat dengan perasaan campur aduk. Antara kesal dengan dirinya sendiri, pada istrinya, juga merasa menyesal dan bersalah karena membuat istrinya seperti ini.Jam sudah menunjukkan pukul 12. Tapi, pria itu bahkan tidak mampu terlelap dan memilih memandangi wajah damai Anyelir. Setelah kehujanan juga mengetahui istrinya yang takut angin, kepalanya tidak berhenti dihujam rasa bersalah.Anyelir juga demam dan mengeluh pusing. Panas di pipinya bahkan terasa menyengat di lengan Damian yang perempuan itu peluk erat. Seolah begitu takut ia bakal pergi dan meninggalkannya sendiri.Dia sendiri sangat tahu Anyelir gampang sakit. Tapi, kenapa ia malah mempertahankan egonya dan membiarkan perempuan itu pulang sendiri tadi."Om ...." Anyelir meracau begitu Damian bergerak membenarkan letak duduknya."Pengen pulang."Lagi lagi, Anyelir meracau sambil mengeratkan pelukannya pada lengan Damian dengan mata
Anyelir menghela napas berat. Tangannya memangku dagu dengan mata setengah mengantuk. Sesekali, perempuan itu juga bakal menghentak-hentakkan kaki meski Damian tidak peduli.Setelah menyeretnya dan bilang Anyelir tidak boleh bekerja di kantor Bagas lagi, pria itu sudah tidak mengajaknya bicara bahkan mungkin tidak mau meliriknya sama sekali. Jangan lupakan sikap acuh tak acuhnya yang sedari tadi terus mengabaikan Anyelir dan lebih memilih fokus pada pekerjaannya. Oh ayolah, ini sudah pukul 8 malam. Dan Damian dengan tidak tahu waktunya masih bekerja di saat karyawannya yang lain ia izinkan untuk pulang. Anyelir yang lagi-lagi merasakan perutnya lapar dan berbunyi keroncongan, hanya mendengkus sebal.Setidaknya jika memang sedang marah padanya, pria itu tidak marah pada perutnya. Lain kali, ingatkan Anyelir untuk makan siang lebih banyak dari sesendok bubur ayam agar suaminya tidak terlihat seperti tengah menyiksanya begini."Apa masalahmu, Om? Ini udah jam 8 malam dan kamu nggak mau
Selama duduk di kursi kerjanya, Bagas menyadari bahwa editor cantiknya tersebut lebih banyak diam bahkan sesekali gagal fokus. Tak hanya itu, perempuan itu bahkan berkali-kali mengerjap-ngerjap terkejut, sebelum kemudian kembali menyibukkan diri pada naskah yang tengah berjuang untuk ia selesaikan.Lupakan masalah kalimat Damian sebelum Anyelir masuk ke kantor! Bisa jadi, suaminya hanya sedang iseng mengerjainya dan berlaku sok cemburu, kan? Lagian ... sejak kapan Damian bakal mengenal istilah itu jika berhubungan dengan perempuan menjengkelkan sepertinya?Lagipula, cemburu itu kan tanda cinta. Hal itu Anyelir pelajari dari novel-novel romantis yang kerap ia baca. Sebagai mantan murid sastra Indonesia, Anyelir sudah cukup banyak membaca berbagai jenis novel tentu saja. Dan hal itu membuat Anyelir mengerti banyak hal tanpa turun tangan langsung mencari pengalaman."Kamu kayaknya aneh banget sih, Nye, dari tadi. Kenapa? Apa kemarin kamu ngelakuin lagi apa yang kusuruh?" tanya Bagas mema
Sudah tiga hari semenjak Anyelir bekerja di kantor penerbitan buku mayor Bagas. Dan selama itu pula, Damian merasa istrinya jauh berbeda. Perempuan itu lebih banyak mengabaikannya bahkan tidak lagi suka mengganggunya.Bukan karena Damian merasa kesepian dan suka diganggu sih. Tapi, maksudnya terasa aneh saja. Satu hari tanpa omelan atau rengekan manja Anyelir itu rasanya aneh sekali. Begitu sepi dan terlalu monoton.Seperti malam ini."Nye ... kamu nggak laper?" tanya Damian sambil menusuk sebuah pentol berlumur saus di meja dengan garpu."Enggak, Om. Tadi sore sudah makan bakso beranak sama Pak Bagas. Aku makan dua mangkuk loh!" tolak sekaligus cerita Anyelir tanpa mengalihkan pandangan dari layar televisi."Dih, dasar rakus! Perut karet!" ejek Damian yang anehnya malah tidak ditanggapi Anyelir."Emang sih, Om. Kata Pak Bagas juga gitu." Bahkan, perempuan itu mengalah dan mengiyakan ejekannya."Tumben kamu nggak nyemil jam segini," komentar Damian lagi.Sepertinya, menonton Anyelir m