"Jadi ... Anye sementara tinggal di sini, Pa?" Perempuan dengan rambut sebahu itu, menyorot sang Papa tidak habis pikir. Bagaimana mungkin dia tinggal di sini? Tentu saja dengan pria tua (di mata Anyelir) yang kini tengah menatapnya dengan wajah super seram."Iya, Sayang. Jadi, mulai sekarang tolong bersikap sopan sama Nak Damian. Turuti perintah dia, jadilah gadis yang penurut dan tidak nakal!" perintah Pak Ardi yang diangguki Anyelir pasrah."Kalau gitu Papa berangkat dulu, ingat ya, Anyelir, jangan bandel!" peringat Pak Ardi lagi pada putri semata wayangnya. Pria itu mengecup sejenak puncak kepala gadis 19 tahun tersebut kemudian keluar diiringi Damian. Pria dengan setelan kemeja putih dibalut jas hitam itu, menyorot Pak Ardi dengan senyum hangat."Tolong jaga anak saya ya, Nak Damian. Dia satu-satunya harta paling berharga yang saya punya di sini, kalau bukan karena dia, saya nggak akan bertahan sampai sekarang," pesan Pak Ardi sambil menepuk bahu rekan kerja sekaligus anak sahab
Damian baru saja masuk ke kamar sehabis makan malam saat menemukan seorang gadis keluar dari kamar mandinya. Siapa lagi kalau bukan Anyelir.Gadis itu berjalan santai dengan handuk yang melilit tubuh. Benda berbulu berwarna merah muda tersebut tentu saja hanya mampu menutup setengah paha dan dadanya. Selebihnya ... aih tidak usah disebutkan."Dasar anak kecil! Mentang-mentang kecil apa kau kira boleh keluar masuk kamarku dengan baju setidak layak itu? Kau sedang menggodaku atau bagaimana, Anyelir?!" tanya Damian lebih tepatnya memekik sambil melempari wajah putri seorang pengusaha kaya bernama Ardi itu dengan bantal kamar.Anyelir mendengkus begitu sebuah bantal menabrak wajah sekaligus hidungnya lagi. Kalau begini, dia bakal benar-benar terancam pesek inimah. Dasar duda tidak berperasaan!"Salahku apa, Om Duda? Aku cuma numpang mandi, air di kamar tidak bisa menyala." Anyelir cemberut sambil bersedekap dada.Damian mengalihkan pandangan. Mencoba mencari objek lain selain figur perempu
Damian berkacak pinggang begitu masuk ke rumah besarnya. Seketika, begitu melihat keadaan ruang tengah, dia jadi mau membanting orang yang membuat pepatah 'rumahku adalah surgaku'.Coba saja lihat kelakuan gadis kecil yang gemar bikin masalah besar itu! Satu minggu rupanya bukan masa yang cukup untuk dia menghancurkan mood juga rumah Damian."Kamu ngapain, Nona Adisthy?!" teriak Damian murka membuat orang yang diteriaki kontan keluar dari persembunyiannya. "Eh, sudah pulang kerja, Om. Hai!" sapa Anyelir polos sambil melambaikan tangan heboh dari sofa ruang tengah."Ini apa, Anye?!" tanya Damian tidak santai.Anyelir melihat sekeliling ruangan yang ditata sedemikian rupa mirip area Buper (bumi perkemahan) juga sang sahabat yang memandangnya takut. Tadi pagi dia memang mengundang Ima---mantan teman sebangkunya semasa SMA ke sini. Katanya Anyelir ingin pergi kemah pramuka tapi tidak punya teman.Jadi, berakhirlah Ima di sini. Meladeni keinginan Anyelir untuk bikin kemah rumahan karena P
Anyelir mondar-mandir di kamarnya dengan perasaan gelisah. Sudah sejak kemarin gadis itu tidak mau keluar kamar dan menolak makan. Damian bahkan kebingungan dengan tingkahnya yang tidak seperti biasa.'Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi, cobalah beberapa saat lagi ....'Gadis dengan piyama ungu itu melempar ponselnya ke ranjang dengan perasaan marah. Papanya kemana? Sudah satu minggu dan dia belum dijemput juga untuk pulang. Bahkan, pria itu sudah tidak meneleponnya lagi.Dia jarang sekali jauh dari Papanya begini. Jadi, rasanya aneh dan menyebalkan saat Anyelir tidak melihatnya dalam jangka waktu yang lama. Tok ... tok ... tok ..."Siapa?" tanya gadis itu begitu mendengar suara ketukan pintu di luar kamarnya."Kalau Bi Wati yang mau nyuruh aku sarapan, balik aja ke dapur. Aku nggak mau," jawab Anyelir begitu tidak mendengar suara apapun lagi."Boleh masuk?" Menyadari orang yang ada di sana, Anyelir segera membukakan pintu. Damian berdiri di sana dengan wajah khawatir begitu
Anyelir sudah bersiap-siap dengan koper juga terusan pink selututnya sejak setengah jam lalu. Tapi, tidak ada tanda-tanda taksi yang membawa sang papa berhenti di halaman rumah Damian. Bahkan, saking tidak sabarannya, Anyelir meminta satpam rumah untuk membuka gerbang rumah sang duda tampan lebar-lebar. Kata Anyelir biar ia leluasa menghadap jalan. Katanya juga, biar Papanya tidak lupa jalan menuju rumah Damian dan tersesat masuk ke rumah orang lain. Memang alasan yang tidak masuk akal. Tapi, Damian membiarkan saja gadis cerewet itu bertingkah sesuka hati. Mumpung hari ini adalah hari terakhirnya berada di sini.Besok-besok, rumah Damian tentu saja bakal kembali damai dan sepi. Tidak seperti ketika Anyelir mendirikan perkemahan di ruang tengah. Tidak seperti ketika Anyelir menghancurkan dapur pukul 3 malam. Tidak seperti ketika gadis itu masih bisa keliaran di sini dan merecoki kehidupan Damian."Anye ... Papamu belum datang juga?" tanya Damian ikutan heran.Anyelir menoleh dengan mat
Damian menghela napas berat. Merasa kasihan sekaligus kebingungan harus membujuk Anyelir bagaimana lagi. Gadis yang kini duduk di lantai sambil memeluk lutut itu, terlihat kacau dan sangat berantakan.Tadi, sehabis menjemput jenazah Pak Ardi, gadis itu mengamuk lagi di sana. Polisi bahkan sampai kesusahan untuk mengevakuasi korban juga bekas kecelakaan karena Anyelir yang terus memeluk jenazah Papanya yang penuh luka.Akhirnya, dengan perasaan luar biasa tidak tega, Damian membawa paksa gadis itu untuk kembali ke rumahnya. Sudah cukup lama Damian menenangkannya tapi gadis itu terus melempar berbagai macam benda yang mampu ia gapai ke arah Damian.Anyelir baru bisa tenang saat Damian bilang jenazah sang papa bakal diurus dan diantar ke rumah Damian. Pria itu sangat kasihan melihat kondisi Anyelir. Gadis itu seperti orang yang kehilangan kewarasan semenjak mengetahui kematian Papanya. Bahkan, Damian kuwalahan untuk mengendalikannya."Kamu nggak mau ganti baju dulu? Bentar lagi jenazah Pa
Anyelir mengerjapkan mata guna menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina. Begitu matanya terbuka sempurna, hal pertama yang mampu gadis itu tangkap adalah langit-langit ruangan berwarna putih susu.Ini di mana? Sudah jelas ini bukan kamarnya ataupun kamar Damian. "Sudah sadar, Anye?" Begitu mendengar suara si duda tampan, Anyelir hendak menoleh tapi kepalanya malah terserang nyeri. Gadis itu memilih memejamkan mata lagi guna meredakan pening yang menghinggapi kepala. Lehernya terasa kaku dan tegang. Tubuhnya juga terasa remuk redam. Jangan tanyakan perutnya yang bergejolak tak mengenakkan serta tenggorokannya yang kering."Kenapa?"Pertanyaan dengan nada khawatir itu membuat Anyelir membuka kelopak mata. Begitu menemukan keberadaan Damian di depannya, gadis itu mengernyit bingung."Kamu di rumah sakit, kemarin kamu pingsan di pemakaman papa kamu," jawab Damian meski gadis itu tidak bertanya.Sejenak, gadis itu tertegun. Jadi, kematian Papa memang nyata, ya? Padahal hati kecil Anyelir
Anyelir memandangi Damian yang tengah mempersiapkan kepulangannya dalam diam. Sejenak, gadis itu tersenyum lega. Beruntung karena dipertemukan dengan orang sebaik duda tampan itu. Meski lumayan ketus dan galak pada Anyelir, pria itu selalu siaga satu kala ia membutuhkan atau menginginkan sesuatu."Ayo kita pulang, Anye." Damian mengajak sambil mendorong sebuah kursi roda ke depan gadis itu.Anyelir yang melihat benda itu, menggeleng keras."Aku nggak mau naik ini, dikira aku patah tulang apa? Pokoknya gamau," tolak gadis itu sambil bersedekap dada dan memalingkan wajah. Khas anak kecil yang ngambek karena tidak dibelikan mainan impiannya.Damian memutar bola mata malas. "Emang kamu kuat jalan sampai mobil saya di luar?" tanya Damian yang dibalas Anyelir dengan gelengan.Dia tidak cukup punya tenaga meski hanya untuk berbicara dengan nada lantang. Apalagi berjalan sampai parkiran. Tubuhnya juga masih terasa lemas dan tidak bertenaga."Yaudah makannya, ayok naik ini aja!" titah Damian sa