“Oh ya, sekarang kamu menjadi desainer di perusahaan abangmu yang didirikan dengan uangku..”
“Aku berterima kasih kamu telah menolong kakakku selama ini,” potong Ruby. “Dan mengenai uang itu, aku masih bisa mengembalikannya. Kakekku menyimpan uang yang kamu berikan padanya saat menandatangani kontrak menikah denganku seumur hidup.”
“Lalu bagaimana dengan uang yang kupinjamkan pada Edo?”
“Aku akan mengurusnya. Kamu tidak perlu terikat denganku. Setelah uangnya kuberikan padamu, kamu bisa membatalkan perjanjian itu.”
“Begitu, ya?” Attar mengangguk dengan rahang keras. “Lalu bagaimana dengan kebebasan yang selama ini kamu renggut dariku? Delapan tahun bukanlah waktu yang singkat. Bagaimana kamu bisa menebus delapan tahun yang kulalui dengan wanita yang sama sekali tidak kucintai?” Bahkan yang kubenci karena rupanya kamu cucu kakekku, Cantik.
Ruby tidak percaya
“Apa?” tanya Ruby kaget. “Ya, Tante menyayangkan perceraian itu, Sayang. Apalagi Lucy baru saja keguguran.” “Lucy keguguran?” “Iya, Sayang, tiga bukan lalu. Lucy mengaku berselingkuh dengan mantan suaminya hingga tega mengenyahkan anak itu dengan bertingkah ceroboh.” Kemudian Anna menampilkan senyum tegar, enggan menceritakan lebih lanjut. “Tapi, itu sudah berlalu. Bagaimana dengan hidupmu? Maaf, tadi Tante melihat di infotaiment.” “Saat ini selain Indonesia yang makin krisis rumah tangga saya juga begitu, Tante. Kita wanita bisa apa? Apalagi suami yang menghidupi kita selama ini.” “Menikah dengan bagian keluarga Hardana tidak menyenangkan, ya?” komentar Anna, teringat pada kisahnya sendiri. “Ayah Adam menerima Tante dengan hati lapang, tetapi masalah selalu saja datang pada keluarga kami. Selain itu, Lucy bilang pada Tante bahwa ia tidak pernah bahagia menikah dengan Adam yang selalu di kantor. Sekalinya Adam cuti panjang, Lucy menga
“Lalu bagaimana, Tante?” “Kami tinggal di sebuah kontrakan. Tante tidak sanggup hidup melarat begitu, pernah terpikir untuk berselingkuh dengan pria yang dikenalkan kakek Adam, tapi tidak pernah Tante lakukan. Tante tak sampai hati mengkhianati Rudy yang tengah sakit dan tidak ada bantuan sama sekali. Untung saja Adam mendapat beasiswa, dan hasil pekerjaan paruh waktunya sebagai kasir minimarket selalu dikirimkan di Jakarta. Pekerjaan Tante sebagai koki waktu itu tidak cukup menghidupi kami semua.” Ruby mengangguk. Terang dia masih ingat tentang Adam. Dari dulu pria itu memang pekerja keras dan hidup untuk keluarganya. Menyesal sekali Ruby pernah benci pada pria itu lantaran menelantarkannya untuk keluarganya. Hidup Adam dan keluarganya sangat menderita. Bagaimana bisa Ruby memutuskan untuk menyelesaikan hubungan mereka saat Adam sedang merintis? Bagaimana bisa ia meninggalkan pria itu untuk pria yang sudah mapan karena jabatan yang diberikan oleh kakeknya?
“Lalu apa yang kamu inginkan?” “Aku ingin pergi dari rumah ini. Aku ingin kita menganggap perjanjian itu tidak pernah ada.” “Apakah kamu perlu uang untuk pergi?” Mata Kristi menyipit. “Bukan uang yang menjadi alasanku selama ini, kan? Aku ke sini untuk menghabiskan waktuku sembari menunggu suamiku bulan madu dengan kekasihnya di Eropa.” Jawaban itu tidak mempengaruhi Attar yang mengambil ceknya dan disodorkannya pada Kristi. “You deserve this money. Bagaimana pun kamu sudah menemaniku, merawatku dan meladeni mimpi burukku.” Kristi menerima cek itu dengan ragu. “Kamu tidak perlu melakukannya sebenarnya. Kamu hanya perlu pendamping.” “Bohong jika kamu tidak memerlukannya. Semua wanita itu berpikir sama; uang adalah dewa yang bisa membuat mereka cantik dengan barang-barang mereka yang mewah.” Tersinggung Kristi mendengarnya. Tapi dia tidak mau berlama-lama di kamar pria itu. “Baiklah, terserah padamu saja.” Ia menarik kop
“Adam.” Ruby menatap mantan kekasihnya dengan air mata yang menggenangi matanya. “Kamu pernah bilang kamu selalu siap ketika aku datang padamu.” “Kamu juga pernah bilang bukanlah masalah terikat denganku, Ruby,” Adam balik mengingatkan. “Tapi apa yang kita lihat sekarang? Kamu sudah menikah dengan pria pilihanmu, dan kembali lagi padaku setelah tahu semuanya. Padahal aku sudah memperingatkanmu, tapi apa yang kamu lakukan? Kamu menolakku, Ruby.” Ia bangkit dari duduknya. Tangan Ruby menahan tangannya. “Jangan, jangan tinggalkan aku,” pintanya. “Maafkan aku, maafkan aku, Adam. Aku telah mengkhianati cinta kita untuk pria yang kukira lebih baik darimu. Kalau aku bisa mengulang waktu, aku akan memilihmu.” Adam menarik tangannya. “Sudah terlambat, kan? Selain itu aku tidak sudi menerima bekasan Attar lagi.” Kemudian pria itu meninggalkannya, keluar dari rumah makan itu setelah salam dengan ibunya. Ibu Adam menatapnya dengan prihatin, tetapi tidak bisa mela
“Itu bukan sifat jelek, aku salah menilaimu.” Ruby membisu sesaat. “Kamu hanya ingin membahagiakan ibu dan adikmu dengan tanganmu sendiri.” “Sudahlah,” kata Adam. “Sebaiknya kita lihat saja ke depan. Jujur aku lebih suka menganggapmu sebagai istri kakak sepupuku daripada mantan kekasih.” “Benarkah?” “Serius. Sudah berapa lama kita berpisah? Hampir sembilan tahun, bukan? Aku tidak mungkin menghendakimu sebagai milikku lagi. Itu mustahil, Ru, walaupun aku sangat ingin memperolehmu.” “Sekarang, aku sudah bisa masak.” Adam menoleh padanya sekilas dan tersenyum masam, terbawa pada kenangan ketika ia mengelak untuk menikah dengan wanita itu. “Maafkan aku, saat itu aku hanya ingin menusukmu agar tidak banyak berharap dariku.” “Aku tahu.” “Tapi aku rasa Lucy salah menilai jika aku masih mencintaimu. Buktinya, sampai sekarang aku masih takut dengan risiko yang kuterima jika aku merebutmu dari Attar.” “Bisa kamu sebutkan contohny
Ruby tidak menggubris mereka yang berkenalan di kala ada orang yang sedang mencoba untuk melompat dari gedung yang punya tiga puluh lima lantai ini. Yongki tidak terlihat sungguh-sungguh ingin lompat. Sekujur tubuhnya gemetaran. “Dulu suamimu suka mengajak Emilia dengan helikopternya dari gedung ini,” kata Yongki. Tangannya membelai-belai pelatuk. “Dia menawarkan dunia pada anakku. Ha. Bukan, Emilia bukan anakku… Dia sudah dinodai oleh kakeknya sendiri…” Yongki menangis. “Aku menyayangi dia seperti anakku sendiri!” “Pak Yongki, apa Bapak tidak memikirkan perasaan Sandra jika kehilangan Bapak?” Sialan. Selama ini mana aku peduli perasaan wanita yang telah merebut suamiku? Tapi, bagaimana pun, kehilangan seorang ayah bukanlah hal yang mudah untuk dilalui. “Aku telah memfitnah menantuku sendiri,” sambung Yongki. Ia terus mundur, mendekati pagar besi yang hanya setinggi perutnya. “Suamimu tidak menodai kedua putriku!” Begitu melihat Ruby mendekat, Yongki menodong
Kemudian dilepaskannya pelukannya dan menghampiri Bhisma. “Aku tidak akan meneruskan tudinganku pada dua pria Hardana,” katanya. “Aku akan menjadi pria yang layak untuk dihargai oleh anak dan menantuku.” Ruby tersenyum menutupi keletihannya. Terima kasih, Ya Allah, masalah yang menghadang keluargaku berkurang. Dirasakannya seseorang menggenggam tangannya dari belakang. Adam tengah tersenyum padanya. “Penyihir,” katanya dengan nada bergurau. “Sekali lagi, kamu berkorban untuk suamimu di depanku.” “Ruby?” Mereka menoleh pada Bhisma. Yongki dan dua sekuriti sudah turun dari atap itu. “Kamu hebat,” puji Bhisma. “Aku sudah berusaha keras untuk menghentikannya, dan ketika kamu datang, dia seakan dihipnotis.” “Semua ini berkat Adam,” jawab Ruby. “Aku terinspirasi banyak darinya. Dia telah mengajarkan aku menjadi orang yang mau memikirkan perasaan orang lain saat aku terpuruk.” “Kalian… sangat dekat,” pendapat Bhisma. Adam mera
Apakah masuk angin? Ruby pernah mengalaminya ketika dada kirinya sakit lantaran masuk angin. Wajar Attar masuk angin, kan? Ia lebih banyak di luar daripada di rumah. “Kamu sakit apa?” “Hanya nyeri saja,” jawab Attar. Sebenarnya dengan obat-obatan yang diberi dokter sudah menghilangkan nyerinya. Ia hanya tidak ingin ketergantungan dengan obat-obatan, karena itu ia mencoba untuk merendam dadanya saja walaupun percuma. “Faktor usia, mungkin.” “Sudah EKG?” Hampir Attar menjawab ‘ya’ dan memberitahu hasilnya. “Hmm, tidak penting. Barangkali karena sudah lama tidak bergairah saja hingga sakit begini.” “Kristi memang cantik,” balas Ruby tanpa perasaan. “Sayang sekali kamu harus mengusirnya. Kalau aku tahu kamu akan sakit begini, aku takkan membuatnya pergi dari rumah ini.” “Oh, Sweetheart, don’t play the dutiful wife,” desis Attar. “Aku tidak akan meladeni kecemburuanmu dan menghujanimu dengan kata-kata manis.” “Begitu, ya? S