"Uhukk.. Uhukk.. Uhukk" Suara batuk Diandra di dengar oleh Rinal. Rinal tidak yakin jika membawa pulang sang kakak menjadi pilihan terbaik.
"Cekrekk" Rinal membuka pintu ruangan Diandra.Di sana sudah ada perawat yang melepaskan selang infus milik Diandra."Uhuk..uhukk.. ""Mba, atuknya lebih parah dari tadi. Apa gak lebih baik kalau Mba tetap dirawat di rumah sakit?""Mba gak papa kok, Ri. Kita pulang sekarang hmm?" Pinta DiandraWajahnya terlihat sangat pucat dan membuat Rinal tidak bisa berhenti khawatir."Baiklah, Mba. Tapi kalau Mba gak ngerasa baikan setelah kita pulang, kita harus segera kembali ke rumah sakit ya, Mba.""Baiklah, jangan khawatir Ri. Mbamu ini cuma demam doang kok.""Iya Mba.""Sudah selesai Bu," Ucap Suster yang membantu Diandra."Terima kasih, Sus," Ucap Rinal dan Diandra bersamaan."Sama sama Bu, Pak," Balas Suster itu. Perawat itu segera meninggalkan ruangan Diandra.Tidak lama, Rinal dan Diandra juga pergi dari sana. Dibantu Rinal, Diandra menuju tempat parkir mobil."Makasih Ri," Diandra mendaratkan bokongnya pada kursi di sebelah pengemudi."Iya Mba. Gak perlu bilang makasih Mba.""Maaf Mba merepotkan kamu, padahal kamu pasti capek sudah seharian bekerja.""Mba gak boleh ngomong gitu, selama ini Mba sudah bekerja untuk keluarga kita.""Kamu sudah dewasa Ri," Diandra menyentuh tangan Rinal."Rinal tahu jika Rinal mengecewakan Mba karena rencana pernikahan Rinal, Mba. Maafkan Rinal, Mba. Mba sudah bekerja keras untuk Rinal, tapi Rinal malah menikah lebih dulu dan terkesan kurang perhatian dengan keluarga kita, Mba.""Kamu jangan khawatir, jangan pikirkan apapun. Awalnya Mba tidak setuju kamu memutuskan untuk menikah si usia yang masih muda, tapi setelah melihat kesungguhan kamu, Mba jadi tahu jika kamu sudah memikirkan semuanya dengan matang.""Terimakasih telah mengerti Rinal Mba. Tapi keinginan Ibu, Mba..?""Keinginan Ibu..?" Tanya Diandra."Iya Mba. Ibu ingin Mba ingin segera menikah, jika memungkinkan lebih cepat dari Rinal. Kondisi kesehatan Ibu belakangan juga kurang baik, Mba.""Jangan khawatir Ri, Mba pasti akan menikah Suatu saat nanti. Mba masih ingin tetap selalu ada di samping Ibu sedikit lebih lama Ri. Dan.." Kalimat Diandra menggantung."Dan apa, Mba?" Tanya Rinal."Mba belum menemukan pria yang tepat. Lagi pula menukah itu, tidak semudah itu bagi Mba, Ri.""Rinal berharap Mba menemukan Pria yang baik," ucap Rinal."Kita malah asyik mengobrol, bisa bisa Ibu tiba lebih dulu di rumah daripada kita Ri. Ayo jalankan mobilnya.""Baik Mba."Rinal segera menuruti perintah Diandra. Di tengah jalan, mereka mampir untuk membeli makan malam."Mba di dalam mobil aja, biar Rinal yang pesan.""Mba ikut keluar Ri, Mba banyak request biasanya.""Tapi kan, Mba..." Rinal belum menyempurnakan kalimatnya, tapi Diandra sudah keluar dari mobil.Buru buru Rinal memapah sang Kakak ke gerobak penjual ketoprak langganan keluarganya itu.Dan di saat itu, mobil yang dikendarai Zaid lewat di hadapan kakak beradik itu. Zaid menyetir mobilnya sangat santai.'Katanya pulang cepat karena sakit, tapi malah bermesraan dengan pacarnya di tengah jalan,' batin Zaid. Zaid menghentikan laju mobilnya untuk mengamati Diandra dan Rinal.Rinal memapah Diandra berjalan dan wajahnya sangat khawatir."Eh.. Ada Mba Diandra dan Mas Rinal. Pesen yang kayak biasa Mba?" Tanya pedagang yang sudah sangat mengenal Diandra."Hmm.. Iya Mas.""Tuh kan Mba, Rinal juga udah bilang tunggu di mobil aja. Mas juga udah hapal pesenan Mba," Rinal mengomel."Gak papa Ri. Mba seneng nyium harumnya ulekan kacangnya. Bikin selera makan, tau.. ""Wah.. Sepertinya sia sia Rinal khawatir, Mba."Sang Pedagang fokus membuat pesanan Diandra dan memilih tidak terlibat pembicaraan keduanya.Dengan sabar, Zaid masih mengamati keduanya.Setelah mendapat makanan yang diinginkannya Rinal kembali membantu Diandra berjalan."Mba, bisa sendiri Ri. Mba gak lumpuh tau!""Nanti kalau Mba jatuh gimana?""Iya iya. Mba nurut. Jalannya pelan pelan. Energi Mba belum diisi ulang.""Aneh! Bermesraan di jalanan itu tidak sopan," ucap Zaid. Pria itu tidak tahu siapa Rinal sebenarnya.Mereka berdua terlihat seperti pasangan dalam pandangan Zaid. Setelah melihat pemandangan yang tidak nyaman itu, Zaid segera melajukan mobilnya kembali.***"Aku baru tahu jika Dia memiliki seorang kekasih," gumam Zaid. Zaid sedang berbaring di atas kasurnya dan bersiap untuk tidur.Ia terbayang berapa mesranya Diandra dan Rinal tadi, pikiran Zaid merembet kemana-mana.Ini juga pertama kalinya Ia memikirkan seorang wanita, dan wanita itu adalah Diandra."Come on Zaid, apa yang kamu pikirkan? Kita sudah berjanji tidak akan memikirkan wanita manapun," Ucapnya pada diri sendiri.Sedangkan di rumah Diandra, Diandra sedang menikmati makan malamnya bersama Rinal dan sang Ibu."Ibu lihat wajah kamu sangat pucat, Di. Apa kamu sakit?""Iya Bu, tapi Di udah minum obat Bu. Ini juga udah baikan," Jelas Diandra."Tapi wajah kamu tidak terlihat hanya pucat sayang, kamu yakin baik baik aja? Kalau enggak, kita bisa ke rumah sakit selesai makan," ajak Bu Rina.'Maafkan Rinal, Bu. Sebenarnya kami juga baru kembali dari rumah sakit,' batin Rinal."Di gak papa, Bu. Mungkin Di cuma kurang istirahat aja, Bu.""Baiklah, kamu juga tidak suka dipaksa. Selesai makan, langsung istirahat ya.""Iya Bu," Diandra tersenyum ke arah sang Ibu."Kamu kok juga udah ada di rumah jam segini Ri? Kerjaan di kantor hari ini lebih sedikit ya?""Iya Bu, Rinal udah pulang dari jam 5 sore tadi. Terus Mba Dian ajak beli ketoprak. Katanya gak selera makan, Bu. Jadi beli ini deh, biar Mba selera makannya, pedes pedes gitu Bu.""Begitu ya, syukurlah. Kita sudah sangat lama tidak makan malam berkumpul seperti ini. Terkahir kali saat Ibu baru pulang dari rumah sakit.""Iya Bu, Alhamdulillah," Jawab Rinal.Usai makan malam, semua orang berpisah untuk kembali ke ruang pribadi masing-masing yaitu kamar tidur.Namun berbeda dengan Rinal, hatinya masih tidak tenang. Suara batuk Diandra memang hanya sesekali terdengar, tapi ia masih sangat khawatir. Ia pulang sebelum melihat hasil pemeriksaan darah sang Kakak.Dulu, Diandra pernah sakit parah, dan itu masih meninggalkan kenangan yang tidak menyenangkan dalam ingatan Rinal. Ibu dan Bapak sangat sedih saat itu, ia melihat Diandra sangat kesakitan dan tidak pernah tersenyum saat itu. Rinal juga tidak ingat apa nama penyakit yang menimpa Diandra dulu, ia masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama."Lebih baik aku memeriksa keadaan Mba Dian," gumam Rinal."Tap.. Tap.." Langkah kaki Rinal menuju kamar Diandra."Tok.. Tok.." Rinal mengetuk pintu kamar setelah tiba di depan kamar Diandra.Rinal menunggu respon dari Diandra, tapi tidak ada sahut dari sang Kakak. Suara langkah kaki dari dalam kamar juga tidak ada."Srekk... " Rinal membuka pintu kamar Diandra.'Rupanya Mba Dian sudah tidur,' Bisik Rinal. Pria itu berjalan masuk ke dalam kamar Diandra.Diamatinya sang Kakak yang beberapa kali meringis kesakitan dalam tidurnya."Cepat sembuh Mba, jangan sakit!" gumam Rinal pelan. Rinal juga membenarkan letak selimut Diandra yang tersingkap tadi.Kekhawatiran Rinal perlahan menghilang, ia keluar dari kamar Diandra."Ada apa Ri?" Tanya sang Ibu."Cepat sembuh Mba, jangan sakit!" gumam Rinal pelan. Rinal juga membenarkan letak selimut Diandra yang tersingkap tadi. Kekhawatiran Rinal perlahan menghilang, ia keluar dari kamar Diandra. "Ada apa Ri?" Tanya sang Ibu. "Astaghfirullah," Rinal kaget. Rinal tidak sadar dengan keberadaan sang IbuSejak tadi sang Ibu ternyata mengamati apa yang dilakukan Rinal di dalam kamar Diandra. Bu Rina melihat Rinal masuk ke dalam kamar Diandra tadi. "Shuttt!! Dian bisa kebangun nanti.""Maaf, Bu. Rinal kaget."Bu Rina buru buru menarik lengan Rinal dan menjauh dari depan kamar Diandra. "Sebenarnya ada apa? Kamu tahu, Ibu paling tau anak Ibu. Kamu menyembunyikan sesuatu dari Ibu ya, Ri?""Mba Dian gak mau Ibu ikut khawatir, tadi Rinal baru aja pulang dari rumah sakit ngebawa Mba Dian berobat. Waktu Rinal tib di rumah, Mba Dian gak sadarkan diri, Bu. Tubuhnya dingin dan berkeringat, Rinal sangat takut, Bu.""Terus bagaimana kata Dokter?""Dilakukan pemeriksaan darah tadi, Bu. Tapi hasilnya belu
"Iya. Kamu diam saja disana, dulu!" balas Zaid. Diandra enggan bersuara lagi. Ia hanya menunggu Zaid bekerja. "Tik.. Tok.. Tik.. Tok.." Heningnya ruangan itu membuat gema perputaran jarum jam terdengar jelas. Tidak ada tanda tanda Zaid akan menyuruhnya duduk ataupun memulai percakapan. Diandra mulai pegal karena sudah 20 menitan berdiri menggunakan sepatu berhak 3 cm. Diandra memilih membuka sepatunya sambil memandangi satu satu bagian dari ruangan Zaid.Tidak lama keberaniannya muncul Diandra muncul dan memilih beranjak dari posisi awalnya. Diandra berjalan menuju tempat yang sangat menarik perhatiannya. "Apa saya bilang kamu boleh tour di ruangan saya?" suara berat Zaid memecah keheningan. "Astaghfirullah," Diandra kaget. Ia menghentikan langkahnya menuju jendela kaca yang selalu tertutup setiap kali ia berada di ruangan itu. Diandra ingin protes pada Zaid karena mengejutkan dan mengabaikannya sejak tadi, tapi ia lebih tertarik menemukan jawaban mengapa jendela itu tidak pern
"ASTAGHFIRULLAH.. Bapak ngapain?" Suara cempreng Diandra teriak. Zaid masih belum beranjak dan spontan membungkam mulut Diandra yang berteriak padanya. "Saya mau apa, hah? Jangan berpikiran aneh aneh. Saya cuma ngebangunin kamu." Zaid segera menjauhkan dirinya dari Diandra. "Kalau mau bangunin saya kan bisa manggil saya, Pak. Atau pake goyang goyangin tangan saya. Gak tiba-tiba bikin saya kaget gitu," ucap Diandra. "Makanya kalau tidur jangan kebo, Di. Saya udah bangunin kamu dari tadi. Mulai dari manggil manggil nama kamu sampe goyangin bahu kamu, kamunya gak bangun bangun.""Masa sih Pak? Kok saya gak ngerasa?""Makanya jangan kebo tidurnya Di," Jawab Zaid malas."Maaf Pak. Kita udah sampe ya Pak?" Diandra menyadari ia sudah tiba di rumahnya. "Hmm.. Kamu harus memikirkan konsep lain untuk iklan itu. Usaha saya akan sia sia mengajak kamu berkeliling hari ini kalau kamu tidak bekerja dengan baik.""Iya iya, Bapak cerewet banget sih Pak. Biarin saya istirahat dengan tenang dulu k
"Apa tidak lain untuk bermesraan?" Ucap Zaid. Pria itu melanjutkan langkahnya masuk ke dalam gedung melewati Zain dan Diandra. Zain dan Diandra melempar senyum sumringah bpada Zaid, tapi Zaid tidak peduli. "Apa pria itu selalu seperti itu Di?" tanya Zain. "Kamu kayak gak kenal aja. Emang bentukannya udah begitu sejak lahir." Mereka tertawa berdua. Setibanya di ruangannya, Zaid melihat ada satu Map proposal yang sebelumnya tidak ada di atas mejanya. 'Apa Diandra sudah menyelesaikannya?' Pikir Zaid. Segera ia memeriksa map itu. Zaid duduk di kursinya dan mulai membaca apa isi dari map itu. "Kamu emang aneh ya, aku udah balas pesannya eh malah enggak di read.""Ey iya Di?" Pura-pura polos. "Eh iya, kalimat apa itu? Padahal kamu yang gangguin aku kerja duluan!" Diandra pura pura kesal. Raut wajahnya jadi serius. "I'm so sorry. Habisnya si Max lama banget jempu aku di Bandara. Aku gabut, jadi aku gangguin kamu deh.""Ada ada aja, ngeles. Tapi syukurnya foto random kamu tadi malem
"Ganti sepatumu," Bisik Zaid. Pria itu sudah berada di belakang Diandra. Diandra memang sangat sensitif, dia bisa tahu jika seseorang ada di belakangnya. Jadi dia tidak kaget dengan keberadaan Zaid. Diandra menoleh ke belakang, "Emang sepatu saya kenapa Pak?" Tanya Diandra. "Astaghfirullah, emang kamu gak kerasa? Basah itu Di, buruan ganti pake ini," Zaid memberikan paper bag berisi sepatu kets. Diandra langsung menyambut paper bag yang hampir saja jatuh jika tidak ditangkap oleh Diandra. Zaid langsung pergi dari sana, ia juga punya banyak kerjaan. Ia datang ke lokasi syuting hanya untuk mengecek kegiatan syuting berjalan lancar atau tidak. Selebihnya ia percaya dengan kinerja Diandra dan Tim. Waktu berlalu, seluruh proses syuting berjalan lancar. "Haishhu.. Haishhu... " Diandra sudah bersin bersih sejak sejam lalu. "Ibu gak papa, Bu?" Tanya Fifi. "Kayaknya saya terserang flu nih. Kalian langsung pulang aja, gak usah ke kantor lagi. Hari ini sangat melelahkan.""Baik Bu," Jojo
Hari hari berlalu, semua orang di kantor disibukkan dengan pekerjaan mereka masing-masing. "Di, kamu nanti ikut saya bertemu klien di Bandara. Kita ikut mengantar mereka ke hotel dan makan malam.""Tapi Pak... ""Tapi apa?" Tanya Zaid. "Kenapa mendadak Pak? Pakaian saya kurang rapi dan.. ""Sudah gak usah banyak omong. Nurut aja, lagian pakaian yang kamu pakai setiap hari menunjukkan kamu yang unik dan selalu yah.. begitu la.""Bapak menghina cara berpakaian saya?""Sudah lah, siap siap dulu. Saya ada urusan mendesak, kita akan segera pergi.""Iya Pak."Zaid segera kembali ke ruangannya untuk mengambil tasnya, sementara rekan tim Diandra hanya memperhatikan Diandra tanpa bertanya apapun. Ketika Diandra akan segera pergi, ketiganya serentak menyemangati Diandra."Fighting Bu," ucap mereka.Diandra langsung mengekori Zaid yang sudah melewati ruangan mereka dengan membawa tasnya. "Pak.. Tunggu saya!" teriak Diandra. Tanpa mengurangi ritme berjalannya, Zaid sudah berada jauh di depan
. "Iya, saya ingat kalau kamu pingsan dan..""Dan apa Pak?" Zaid langsung memeriksa sebagian tubuhnya yang ada di balik selimut. Ia menyadari jika penampilan Diandra sangat kacau. "Astaghfirullahal'azim" Zaid sangat kaget menyadari apa yang terjadi. "Apa yang kita lakukan?" tanya Zaid. "Hikss.. Hiks.." Air mata mulai mengucur dari mata Diandra. Sedangkan Zaid, buru-buru bangkit dan memungut pakaiannya. Ia mengenakan kaos dalam dan juga memakai celana pendek miliknya. Ia segera memakai kemeja dan juga celana panjang yang tadinya juga berserakan di lantai. Setelah itu, Zaid lanjut memungut pakaian Diandra dan memberikannya pada Diandra. "Diandra, sepertinya saya telah membuat kekacauan. Segera bersihkan diri kamu, saya akan segera kembali lagi kesini Di," Ucap Zaid. Pikiran Zaid sangat kalut. Tanpa menunggu respon dari Diandra, Zaid menuju pintu keluar dan menghilang dari kamar yang menjadi saksi kecerobohannya. Zaid sedikit oyong saat menuju kamarnya, seolah kakinya tidak berd
"Pak Zaid?" Diandra terkejut. Ia tidak menyangka Zaid akan mendatanginya.Buru buru Diandra menutup kembali pintu rumahnya. "Tunggu dulu Di!" Zaid berusaha menghalangi Diandra. Tangan Zaid tersangkut di pintu yang berusaha ditutup oleh Diandra. "Lepas Pak! Tangan Bapak entar sakit loh. "Asal kamu mengizinkan saya bicara sama kamu, Di.""Bapak mau bicara apalagi sama saya?" Tolak Diandra. Suara Diandra sedikit meninggi. "Bicara apalagi gimana Di, kita belum ada bicara setelah kamu tiba-tiba menghilang.""Ya karena saya rasa memang tidak ada yang perlu saya bicarakan sama Bapak.""Gak ada gimana sih Di?" ucap Zaid. "Iih.. Awasin tangan Bapak. Saya mau tutup pintunya Pak!""Diandra, dengerin saya!Gimana kalau Ibu kamu tahu apa yang terjadi diantara kita? Bagaimana kalau kamu hamil?" "Deg.. " Jantung Diandra tersentak. Bisa biasanya Zaid mengatakan hal itu sekarang, sedangkan Ibu Diandra ada di rumah. "Jaga mulut Bapak! Berani berani mengancam saya. Disini saya yang korban, dan Ba