Share

6. Kekhawatiran Rinal

"Uhukk.. Uhukk.. Uhukk" Suara batuk Diandra di dengar oleh Rinal. Rinal tidak yakin jika membawa pulang sang kakak menjadi pilihan terbaik.

"Cekrekk" Rinal membuka pintu ruangan Diandra.

Di sana sudah ada perawat yang melepaskan selang infus milik Diandra.

"Uhuk..uhukk.. "

"Mba, atuknya lebih parah dari tadi. Apa gak lebih baik kalau Mba tetap dirawat di rumah sakit?"

"Mba gak papa kok, Ri. Kita pulang sekarang hmm?" Pinta Diandra

Wajahnya terlihat sangat pucat dan membuat Rinal tidak bisa berhenti khawatir.

"Baiklah, Mba. Tapi kalau Mba gak ngerasa baikan setelah kita pulang, kita harus segera kembali ke rumah sakit ya, Mba."

"Baiklah, jangan khawatir Ri. Mbamu ini cuma demam doang kok."

"Iya Mba."

"Sudah selesai Bu," Ucap Suster yang membantu Diandra.

"Terima kasih, Sus," Ucap Rinal dan Diandra bersamaan.

"Sama sama Bu, Pak," Balas Suster itu. Perawat itu segera meninggalkan ruangan Diandra.

Tidak lama, Rinal dan Diandra juga pergi dari sana. Dibantu Rinal, Diandra menuju tempat parkir mobil.

"Makasih Ri," Diandra mendaratkan bokongnya pada kursi di sebelah pengemudi.

"Iya Mba. Gak perlu bilang makasih Mba."

"Maaf Mba merepotkan kamu, padahal kamu pasti capek sudah seharian bekerja."

"Mba gak boleh ngomong gitu, selama ini Mba sudah bekerja untuk keluarga kita."

"Kamu sudah dewasa Ri," Diandra menyentuh tangan Rinal.

"Rinal tahu jika Rinal mengecewakan Mba karena rencana pernikahan Rinal, Mba. Maafkan Rinal, Mba. Mba sudah bekerja keras untuk Rinal, tapi Rinal malah menikah lebih dulu dan terkesan kurang perhatian dengan keluarga kita, Mba."

"Kamu jangan khawatir, jangan pikirkan apapun. Awalnya Mba tidak setuju kamu memutuskan untuk menikah si usia yang masih muda, tapi setelah melihat kesungguhan kamu, Mba jadi tahu jika kamu sudah memikirkan semuanya dengan matang."

"Terimakasih telah mengerti Rinal Mba. Tapi keinginan Ibu, Mba..?"

"Keinginan Ibu..?" Tanya Diandra.

"Iya Mba. Ibu ingin Mba ingin segera menikah, jika memungkinkan lebih cepat dari Rinal. Kondisi kesehatan Ibu belakangan juga kurang baik, Mba."

"Jangan khawatir Ri, Mba pasti akan menikah Suatu saat nanti. Mba masih ingin tetap selalu ada di samping Ibu sedikit lebih lama Ri. Dan.." Kalimat Diandra menggantung.

"Dan apa, Mba?" Tanya Rinal.

"Mba belum menemukan pria yang tepat. Lagi pula menukah itu, tidak semudah itu bagi Mba, Ri."

"Rinal berharap Mba menemukan Pria yang baik," ucap Rinal.

"Kita malah asyik mengobrol, bisa bisa Ibu tiba lebih dulu di rumah daripada kita Ri. Ayo jalankan mobilnya."

"Baik Mba."

Rinal segera menuruti perintah Diandra. Di tengah jalan, mereka mampir untuk membeli makan malam.

"Mba di dalam mobil aja, biar Rinal yang pesan."

"Mba ikut keluar Ri, Mba banyak request biasanya."

"Tapi kan, Mba..." Rinal belum menyempurnakan kalimatnya, tapi Diandra sudah keluar dari mobil.

Buru buru Rinal memapah sang Kakak ke gerobak penjual ketoprak langganan keluarganya itu.

Dan di saat itu, mobil yang dikendarai Zaid lewat di hadapan kakak beradik itu. Zaid menyetir mobilnya sangat santai.

'Katanya pulang cepat karena sakit, tapi malah bermesraan dengan pacarnya di tengah jalan,' batin Zaid. Zaid menghentikan laju mobilnya untuk mengamati Diandra dan Rinal.

Rinal memapah Diandra berjalan dan wajahnya sangat khawatir.

"Eh.. Ada Mba Diandra dan Mas Rinal. Pesen yang kayak biasa Mba?" Tanya pedagang yang sudah sangat mengenal Diandra.

"Hmm.. Iya Mas."

"Tuh kan Mba, Rinal juga udah bilang tunggu di mobil aja. Mas juga udah hapal pesenan Mba," Rinal mengomel.

"Gak papa Ri. Mba seneng nyium harumnya ulekan kacangnya. Bikin selera makan, tau.. "

"Wah.. Sepertinya sia sia Rinal khawatir, Mba."

Sang Pedagang fokus membuat pesanan Diandra dan memilih tidak terlibat pembicaraan keduanya.

Dengan sabar, Zaid masih mengamati keduanya.

Setelah mendapat makanan yang diinginkannya Rinal kembali membantu Diandra berjalan.

"Mba, bisa sendiri Ri. Mba gak lumpuh tau!"

"Nanti kalau Mba jatuh gimana?"

"Iya iya. Mba nurut. Jalannya pelan pelan. Energi Mba belum diisi ulang."

"Aneh! Bermesraan di jalanan itu tidak sopan," ucap Zaid. Pria itu tidak tahu siapa Rinal sebenarnya.

Mereka berdua terlihat seperti pasangan dalam pandangan Zaid. Setelah melihat pemandangan yang tidak nyaman itu, Zaid segera melajukan mobilnya kembali.

***

"Aku baru tahu jika Dia memiliki seorang kekasih," gumam Zaid. Zaid sedang berbaring di atas kasurnya dan bersiap untuk tidur.

Ia terbayang berapa mesranya Diandra dan Rinal tadi, pikiran Zaid merembet kemana-mana.

Ini juga pertama kalinya Ia memikirkan seorang wanita, dan wanita itu adalah Diandra.

"Come on Zaid, apa yang kamu pikirkan? Kita sudah berjanji tidak akan memikirkan wanita manapun," Ucapnya pada diri sendiri.

Sedangkan di rumah Diandra, Diandra sedang menikmati makan malamnya bersama Rinal dan sang Ibu.

"Ibu lihat wajah kamu sangat pucat, Di. Apa kamu sakit?"

"Iya Bu, tapi Di udah minum obat Bu. Ini juga udah baikan," Jelas Diandra.

"Tapi wajah kamu tidak terlihat hanya pucat sayang, kamu yakin baik baik aja? Kalau enggak, kita bisa ke rumah sakit selesai makan," ajak Bu Rina.

'Maafkan Rinal, Bu. Sebenarnya kami juga baru kembali dari rumah sakit,' batin Rinal.

"Di gak papa, Bu. Mungkin Di cuma kurang istirahat aja, Bu."

"Baiklah, kamu juga tidak suka dipaksa. Selesai makan, langsung istirahat ya."

"Iya Bu," Diandra tersenyum ke arah sang Ibu.

"Kamu kok juga udah ada di rumah jam segini Ri? Kerjaan di kantor hari ini lebih sedikit ya?"

"Iya Bu, Rinal udah pulang dari jam 5 sore tadi. Terus Mba Dian ajak beli ketoprak. Katanya gak selera makan, Bu. Jadi beli ini deh, biar Mba selera makannya, pedes pedes gitu Bu."

"Begitu ya, syukurlah. Kita sudah sangat lama tidak makan malam berkumpul seperti ini. Terkahir kali saat Ibu baru pulang dari rumah sakit."

"Iya Bu, Alhamdulillah," Jawab Rinal.

Usai makan malam, semua orang berpisah untuk kembali ke ruang pribadi masing-masing yaitu kamar tidur.

Namun berbeda dengan Rinal, hatinya masih tidak tenang. Suara batuk Diandra memang hanya sesekali terdengar, tapi ia masih sangat khawatir. Ia pulang sebelum melihat hasil pemeriksaan darah sang Kakak.

Dulu, Diandra pernah sakit parah, dan itu masih meninggalkan kenangan yang tidak menyenangkan dalam ingatan Rinal. Ibu dan Bapak sangat sedih saat itu, ia melihat Diandra sangat kesakitan dan tidak pernah tersenyum saat itu. Rinal juga tidak ingat apa nama penyakit yang menimpa Diandra dulu, ia masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama.

"Lebih baik aku memeriksa keadaan Mba Dian," gumam Rinal.

"Tap.. Tap.." Langkah kaki Rinal menuju kamar Diandra.

"Tok.. Tok.." Rinal mengetuk pintu kamar setelah tiba di depan kamar Diandra.

Rinal menunggu respon dari Diandra, tapi tidak ada sahut dari sang Kakak. Suara langkah kaki dari dalam kamar juga tidak ada.

"Srekk... " Rinal membuka pintu kamar Diandra.

'Rupanya Mba Dian sudah tidur,' Bisik Rinal. Pria itu berjalan masuk ke dalam kamar Diandra.

Diamatinya sang Kakak yang beberapa kali meringis kesakitan dalam tidurnya.

"Cepat sembuh Mba, jangan sakit!" gumam Rinal pelan. Rinal juga membenarkan letak selimut Diandra yang tersingkap tadi.

Kekhawatiran Rinal perlahan menghilang, ia keluar dari kamar Diandra.

"Ada apa Ri?" Tanya sang Ibu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status