Share

TUJUH

Author: Nola Amalia
last update Last Updated: 2021-11-13 14:26:37

Setelah makan malam, mereka segera pulang tepat waktu. Rico mengalah untuk menganbil mobilnya karena ucapan Arindha saat pertama masuk café.

Kaki Arindha  mulai kaku berdiri diatas high hill nya yang cukup tinggi, dia mulai berjalan mendekati jalan depan café itu yang mulai sepi untuk mengalihkan perhatiannya pada kakinya yang sakit dan sudah menunggu Rico terlalu lama.

Mobil Rico berhenti persis di depan pintu utama café itu, mata Rico bergerak kesana kemari mencari sahabatnya. Dia mencoba menelpon tetapi ponsel Arindha justru bergetar di samping tempat duduknya.

“Ngilang kemana kamu, Rin,” keluh Rico yang mulai kesal sambil menggeletakkan ponselnya asal.

Rico mulai turun dan mencari Arindha di sekeliling cafe, setelah beberapa saat dia bertemu dengan satpam yang bertugas di depan gerbang.

“Pak, liat orang ini?” tanya Rico sambil menunjukkan foto Arindha pada satpam itu.

“Iya, tuan. Dia ada di sana,” jawab satpam sambil menunjuk ke arah Arindha.

Rico menarik nafas lega. “Makasih, pak,” ucap Rico sambil berjalan tergesa-gesa meninggalkan satpam itu.

Kaki Rico mulai melambat, berjalan santai penuh wibawa sambil menatap sahabatnya yang sedang bermain bayangan di bawah cahaya lampu kekuningan.

**

Karena parkiran mulai lengang, banyak yang melajukan mobil dan motor dengan kecepatan tinggi. Mata Rico dengan awas melihat Arindha yang sedang berdiri dengan tingkah kekanak-kanakannya. Nampak dari kejauhan ada mobil sedan putih melaju dengan kecepatan tinggi menuju arah Arindha.

“Arindhaa!!” Teriak Rico sambil berlari ke arah Arindha yang tidak mendengar panggilannya itu.

Lelaki bertubuh atletis itu berlari secepat mungkin. Rambut yang semula disisir rapi, kini berantakan seketika. Dan jantung yang sudah mulai bedetak pelan, kini berdetak dengan cepat.

“Tuhan, jangan ambil dia. Ada hal yang belum aku sampaikan. Beri aku kesempatan,” batin Rico sambil berlari.

Tangan Rico terlentang, jari jemarinya mekar seperti mawar merah yang sedang berbunga, tangan besar itu berhasil menarik tangan mungil Arindha, Rico menarik tangan Arindha dan memeluknya hingga jatuh bersamaan. Rasa nyeri di tangan membuat Arindha sadar dan segera bangun menolong Rico yang sedang pingsan.

Beberapa pekerja mulai mengerumuni Rico dan Arindha dan menolong mereka dengan kotak P3K. Arindha beberapa kali memanggil nama Rico, tetapi tak ada tanggapan ataupun gerakan sedikitpun. Melihat darah yang cukup banyak keluar dari tangan Rico membuat para pekerja membawa Rico ke ruang medis café itu.

Arindha meringis menahan rasa sakit di lengannya dan sesekali melihat Rico yang sedang dibalut kasa oleh pegawai café itu. 

Rico mulai mengerjapkan matanya untuk menyadarkan diri bahwa dia sudah terjatuh dengan cukup keras. Mata Rico mulai jelas melihat wajah gadis yang bertahun-tahun bersamanya, gadis yang ingin dimilikinya lebih dari sahabat.

Tangan Rico meraih pipi Arindha yang basah.

“Rin … ,” sapa Rico yang mencoba membuat senyuman di pipinya.

“Co … ,” sapa Arindha sambil memapah Rico duduk.

Seketika Rico langsung menarik bahu Arindha dan memeluknya dengan erat.

“Makasih, Co. Kalau gak ada kamu aku ... ,” kata Arindha dengan meneteskan air di pipinya.

“Sstt, udah,” ucap Rico sambil menepuk pundak Arindha.

“Makasih, Co,” ucap Arindha sambil melingkarkan kedua tangannya di badan Rico.

Pelukan hangat ini sangat dinantikan Rico setelah mengungkapkan perasaanya pada Arindha, tetapi Tuhan berkata lain. Dengan kejadian ini, permintaan Rico dikabulkan. Bahkan sebelum menyatakan perasaanya pada Arindha. 

Suara sepatu fantofel memecah suasana, terlihat seorang pria paruh baya mengenakan seragam serba hitam dengan papan nama kecil yang menunjukkan namanya di sebelah kanan bajunya.

“Antar dia,” titah Rico pada pria itu.

“T-tapi kamu?” tanya Arindha khawatir.

“Nanti pulang bareng ayah. Pak Bayu sopir keluarga, kamu tenang aja,” jawab Rico singkat.

Arindha mengangguk pasrah.

**

Arindha mulai berjalan meninggalkan Rico di ruangan itu, kedua kakinya terus mengikuti arah pria yang ada di depannya sampai berhenti persis di depan mobil antik berwarna putih tulang.

“Silakan,” ucap Bayu sambil membuka pintu belakang untuk Arindha.

“Enggak, pak. Saya duduk di depan,” jawab Arindha sambil berjalan mendekati pintu depan mobil antik itu.

Hening

Bayu hanya tersenyum mendengar jawaban dari gadis polos seperti Arindha. Mobil itu melaju konstan, diiringi musik era 80an seperti mobil putih itu.

“Saya Arindha, pak. Sahabatnya Rico,” sapa Arindha ramah.

“Saya tahu, non,” jawab Bayu singkat.

“Tapi saya kok gak pernah liat bapak, ya?” tanya Arindha heran.

“Iya, non. Saya sibuk antar jemput keluarga tuan muda,” jawab Bayu.

“Kenapa mereka yang di café itu bilang tuan muda? bapak juga?” tanya Arindha penasaran.

“Rico belum cerita?” tanya Bayu.

Arindha menggeleng

“Kalau begitu, berarti Rico sendiri yang akan menjawab semua pertanyaan kamu, nak,” ucap Bayu sambil mengelus rambut Arindha.

Bayu mengantar Arindha sampai depan pintu gerbang rumah keluarga Sejati, dia segera berpamitan pada Arindha karena melihat ada tamu di rumahnya.

“Kok buru-buru, pak? Ngeteh dulu biar anget,” ajak Arindha ramah.

“Nggak, non. Saya harus balik ke café lagi,” jawab Bayu singkat.

Arindha hanya mengangguk dan meng-iyakan semua kata Pak Bayu. Arindha juga heran, bagaimana bisa dia tidak mengenal sopir keluarga Rico. Pikiran Arindha pecah saat tiba-tiba ada tangan yang memegang pundak kananya.

“Aaaaa!” teriak Arindha nyaring.

 “Eh, sttt ini aku,” ucap Hilda pelan sambil tertawa.

“Parkir mana nih?” tanya Xianzu.

Arindha menunjuk halaman samping yang masih kosong. “Disitu,” jawab Arindha.

“Nih, aku bawain jagung bakar sama roti bakar kesukaan kamu,” ucap Hilda sambil menyodorkan sekantong plastik.

“Makasih, Hil. Eh, kalian langsung ke rooftof  aja nanti aku nyusul, ada tamu soalnya,” ucap Arindha.

Arindha mulai melangkah meninggalkan Hilda dan Xianzu yang juga sedang berjalan menaiki anak tangga menuju rooftof.

Ding dung..

Arindha mulai membuka pintu, nampak ada pria seumuran dengan ayahnya sedang duduk memegangi map merah di ruang tamu.

Jati menatap Arindha yang berdiri di depan pintu sendirian, “Rico mana?” tanya Jati sambil menaruh kacamata rabunnya.

“Rico … ,” ucap Arindha ragu.

Rita menghampiri Arindha yang masih mematung. Rita pandai memahami situasi hanya dengan melihat mimik muka anak satu-satunya itu, “Ehm.. sudah pa,” kata Rita pelan, “Nak, ini pak Eka,” lanjutnya ramah.

Arindha mulai mendekat dan bersalaman pada Jati dan tamu itu. Sudah hampir tiga jam tamu itu masih bernaung dirumah Jati, memakan dan meminum hidangan seperti rumah sendiri. Kadang, Jati dan tamu itu bersenda gurau disela-sela aktivitas membaca mereka.

Arindha mengangguk pada Eka, “Saya Arindha, om.” sapa Arindha dengan senyuman.

“Saya Eka, teman bisnis ayah kamu. Kamu kelas berapa? anak saya sepertinya seumuran dengan kamu, nak,” ucap Eka perhatian sambil menaruh map merah yang sudah dipegang lama.

“Saya kelas 12, om,” jawab Arindha singkat.

Ponsel Arindha bergetar, sebuah pesan singkat terlihat di layar ponselnya. Arindha melirik pesan itu dan segera pamit masuk ke dalam.

“Ma, pa, Hilda sama Xianzu dateng. Mereka udah nunggu Arin di rooftof,”

“Malem-malem gini, nak?” tanya Jati.

“Kasian pa, Arin dibawain ini,” ucap Arindha sambil menagngkat kantong plastik yang berisi penuh makanan.

“Sini, biar mama tata di piring. Kamu ganti baju dulu,” titah Rita sambil mengambil kantong plastik itu.

Jati hanya mengangguk dengan senyuman paksa di wajahnya, dia tidak terlalu suka pada setiap teman Arindha yang datang larut malam. Tetapi, karena mereka sudah membawa buah tangan dan sudah menunggu di rooftof, Jati tidak tega untuk mengusirnya.

Arindha mulai berjalan melewati beberapa ruangan di rumahnya, sampai kakinya berhenti di depan pintu berwarna putih. Arindha mulai membuka pintu dan menjatuhkan tubuhnya di kasurnya yang super empuk.

“Papa ternyata punya bisnis, dan aku gak tahu. Rico punya sopir keluarga, dan aku gak tahu. Dia juga dipanggil tuan muda sama semua pegawai café itu,” guman Arindha.

Suara langkahan sandal kayu memecah pikiran Arindha, dia duduk dan melihat Rita memasuki kamarnya.

“Kok belum ganti baju, nak? kasihan temennya udah nungguin kamu dari tadi,” ucap Rita pelan.

“I-iya ma,” jawab Arindha gugup sambil berjalan mengambil baju di lemarinya yang besar dan berganti baju di kamar kecilnya.

Rita tersenyum melihat tingkah anak gadisnya, Rita yang melihat high hill Arindha tergeletak sembarangan di lantai segera diambilnya dan dibawa ke laundry untuk dibersihkan.

Arindha melangkah keluar dari kamar kecilnya dan mencari keberadaan ibunya yang beberapa menit yang lalu masih berdiri di depannya.

“Baru berapa menit, ma,” batin Arindha.

**

Arindha berjalan menuju rooftof rumahnya, dan melihat Xianzu yang sudah tertidur kelelahan.

“Dari mana sih kalian?” tanya Arindha sambil duduk di sebelah Hilda yang sedang memakan jagung.

“Biasa. Jalan-jalan ke mall, beli makanan ini terus kesini,” jawab Hilda.

“Pules banget tidurnya,” ucap Arindha yang melihat Xianzu yang mulai mendengkur.

“Kamu sendiri dari mana? biasanya di rumah terus,” tanya Hilda balik.

“Janji yang harus ditepati sama Rico,” jawab Arindha singkat.

“Oh, tentang lomba itu, kan?” tanya Hilda.

Arindha hanya mengangguk.

Hilda menghela nafas panjang dan mendongak ke langit yang gelap. “Sepi,” ucapnya lirih.

Hening

Arindha hanya diam tak menjawab sepatah katapun dari Hilda.

“Eh, Rin. Nyadar gak, berkat lomba sekolah kita mulai deket sama dua temennya si Alex,” kata Hilda.

“Iya, sih. Mereka ternyata open juga ya sama orang, ya walaupun di awal keliatan ketus,” ucap Arindha.

“Mereka itu sebenernya gak ketus, gak se-menakutkan dan se-preman Alex sialan itu. Mereka bertingkah gitu pas di deketnya Alex aja, dilain itu enggak,” ucap Hilda detail.

“Pantesan!” sahut Arindha dengan nada tinggi.

“Apa?” tanya Hilda penasaran.

“Waktu Rico berantem sama Alex, pipinya luka terus Xianzu kasih salep ke aku, kan?” ucap Arindha dengan meyakinkan Hilda

Hilda mengangguk berkali-kali.

“Aku pikir Alex juga luka kayak Rico, terus aku samperin deh si Alexnya. Niatnya sih mau ngasih salep biar luka nya cepet sembuh, eh si Jio malah ngatain aku ‘Sok jagoan’ ketus lagi,” kata Arindha sebal.

“Siapa suruh kesana,”

Arindha menatap tajam ke arah Hilda. “Niat aku baik, kok. Alex udah nolongin aku waktu dikejar sama pak Karyo, nah apa salahnya aku bales kebaikan Alex?” kata Arindha.

“Alex? bantuin kamu?” tanya Hilda sambil tertawa.

“Ihh beneran!” jawab Arindha dengan nada tinggi.

“Iya iya, maaf, Rin. Baru kali ini aku denger hal baik dari Alex,” ucap Hilda sambil menepuk pundak Arindha.

“Hil, gak semua berandalan itu sama. Luar sama dalem kadang beda, Hil. Tapi semua kembali ke cara pandang kita sama orang lain,” kata Arindha bijak.

“Ngomongin apa, sih?” tanya Xianzu yang mulai terbangun.

“Ngomongin kamu, abisnya ngorok keras banget, udah kayak bajaj aja,” ucap Arindha sambil tertawa.

“Ini tandanya badan gue lagi capek,”

“Aduh, kacian pacal atu,” kata Hilda dengan cedal untuk mengejek Arindha.

Xianzu yang tahu alasan Hilda segera menyandarkan kepalanya di pundak Hilda. Arindha yang kesal melempari Xianzu dan Hilda dengan cushion yang ada di sekelilingnya.

“Basi!!” teriak Arindha.

“Eh, iya-iya maaf canda, Rin.” kata Xianzu.

“Tapi ini buat aku jadi mikir lho, Rin. Kenapa kamu gak cari pacar aja? Kan bisa dianter kemana aja, bisa disayang-sayang, bisa di-”

“Udah deh,” Potong Arindha sambil menggigit sisa jagung bakarnya.

10.00 PM

“Eh, pulang sana. Nanti aku kena marah papa, dah jam segini,” titah Arindha sambil menunjukkan jam di tangannya.

“Eh, gak kerasa lho ini. Ayo cepet beresin,” kata Hilda dengan wajah panik sambil membersihkan meja yang didepannya sudah di dekati banyak semut.

Xianzu menyapu sisa makanan yang berjatuhan di lantai sementara itu, Arindha menata chosion yang dilempar ke sembarang tempat.

Setelah Hilda dan Xianzu pulang, Arindha membersihkan diri dan menidurkan tubuhnya yang sudah tak berdaya.

Related chapters

  • Mari kembali ke Masa Lalu   Delapan

    Mata Arindha mulai silau walaupun kedua matanya belum terbuka. Cahaya itu lama kelamaan membuatnya kesal. Tangannya mulai mengucek mata kanannya, diamatinya cahaya yang mulai meninggi itu dengan malas."Mama pergi."Bukannya beranjak dari kasurnya, dia malah menenggelamkan wajahnya di selimut tebal yang sejak tadi menempel.**"Woi jambrett!" Teriak seorang gadis yang menggunakan seragam sekolah yang masih rapi karne efek setrika, yap. Dia Hilda. Tapi, pagi ini dia tidak diantar oleh Xianzu, entah ada masalah apa mereka berdua.Di kejauhan, Alex mengendarai motornya dengan santai melewati Hilda yang tengah mengerjar jambret itu."Sialan lo!"Alex tetap mejajukan motrnya, berusaha menyamai kecepatan jambret utu yang sudah hampir tak terlihat.Brukk"Minggir, gak usah ikut campur lo!""Kerja yang bener, jangan jadi pengecut!""Anj**ng"Alex dan jamret itu akhirnya berkelahi

    Last Updated : 2022-02-11
  • Mari kembali ke Masa Lalu   Prolog

    10.00 PM Kamar putih yang tak begitu luas masih disinari cahaya lampu yang memancar. Wajah pucat, keringat dingin dan mata kantuk, selalu dirasakan Arindha setiap malam. Sunyi, entah kenapa hal yang dijauhi banyak orang malah menjadi teman setia Arindha, menjadi penenangnya sampai dia bisa tidur lelap. Dulu, Arindha juga menjauhi kata itu, sunyi. Rasa traumanya, rasa takutnya akan mimpi yang sama membuatnya hampir gila, sampai dia menemukan ide yang menurutnya ampuh, obat tidur. Dosis obat yang dikonsumsi Arindha semakin lama semakin meningkat, lambung dan hatinya hampir terkena dampak dari obat itu sebulan terakhir. Kondisinya tidak bisa dikatakan baik, tapi berteman dengan sunyi bisa sedikit membantu tubuhnya untuk beradaptasi tanpa obat-obatan lagi dan lagi. Bushh.. Arindha merebahkan tubuhnya di lantai yang beralaskan karpet yang cukup tebal, dia menggerakkan kepalanya kekanan dan kiri, matanya yang sejak tadi melihat ke satu arah, kini mulai bergerak men

    Last Updated : 2021-09-27
  • Mari kembali ke Masa Lalu   SATU

    Seorang gadis berpakaian putih abu-abu tengah berlari tergesa-gesa berusaha memasuki area sekolahnya. Di kejauhan, dia sudah melihat teman-temannya yang terlambat berbaris rapi menunggu hukuman dari Pak Karyo, dia adalah guru BK tergalak dari yang lainnya. Iya, ada guru BK lainnya, beliau bernama Pak David. Pak David eksis di SMA Nusantara, wajah tampan dengan sikapnya yang ramah dan sedikit dingin membuat para murid gelapapan bukan main. Kedua mata Arindha terus bergerak mencari jalan terbaik untuk kabur dari hukuman. Kaki Arindha mulai melangkah ke belakang secara perlahan. Tetapi.. Krekk “Arindha!!” bentak Pak Karyo keras sambil meririk tepat di arahnya. "Sial." Alisnya berkerut, wajah tertekuk, ia hanya bisa menerima nasibnya dan berjalan mendekati Pak Karyo dan sekumpulan teman-temannya yang terlambat. “Nggak bosan bapak hukum? kamu kira ini TK yang masuknya jam setengah delapan, hah?” cetus Pak Karyo. “Mm-maaf Pak, say-”

    Last Updated : 2021-10-04
  • Mari kembali ke Masa Lalu   DUA

    Arindha mulai berjalan meninggalkan mereka bertiga dan mulai fokus memikirkan cara agar bisa menyelinap masuk ke dalam kelasnya. Beruntung, mata pelajaran pertama Arindha adalah Fisika. Tidak seperti Pak Karyo yang selalu ceramah di pagi hari, Bu Yuyun selalu menuliskan banyak rumus saat pelajarannya. “Sst-sst, Rico!” bisik Arindha sambil menatap Rico panik di sudut pintu kelas yang terbuka lebar. Mata Rico mencari asal suara itu, dia celingukan melihat pintu dan jendela-jendela kelas. "Ck, kupingnya bermasalah ni orang." Tangannya dilambai tinggi, berharap Rico melihat tangan kecilnya. Mata Rico bergerak dan berhenti tepat di lambaian Arindha. “Arindha?” Melirik Arindha kebingungan. Telapak tangan Rico mekar dan jari-jarinya merenggang, seolah mengisrayatkan agar Arindha tetap berdiam diri di posisinya. Sementara itu, dia mencari celah agar Arindha bisa memasuki kelas dengan aman tanpa hukuman dari Bu Yuyun yang sama halny

    Last Updated : 2021-10-05
  • Mari kembali ke Masa Lalu   TIGA

    Arindha mulai mengganti pakaiannya, merapikan rambut dan berdiri di depan cermin itu lagi. Arindha kaget, dan segera mencari jepit rambutnya. Dia kembali ke UKS, Arindha mulai menyusuri setiap sudut ruang putih itu. Nihil, Arindha hanya terdiam dan harus merelakan jepit rambut kesayangannya itu. Dia berjalan di kantin, mulai mencari kedua sahabatnya seperti biasanya. Kepala Arindha terus menoleh ke kanan dan kiri. Sampai akhirnya, dia berhasil duduk dengan wajah sumringah di sebelah Hilda. Tangan Hilda menggeser mangkuk yang berisi bakso kuah kesukaan Arindha. “Nih, spesial buat kamu, Rin,” ucap Hilda dengan memperlihatkan barisan gigi putihnya. Arindha tersenyum. “Makasih, lagi,” ucap Arindha pelan. “Mulai besok, kamu harus bangun pagi-pagi. Gak perlu naik angkot lagi, kita berangkat bareng,” titah Rico. Arindha nyengir. “Kalo kepaksa gak usah,” ucap Arindha sambil mengaduk bakso dihadapannya. “Kamu kenapa, sih

    Last Updated : 2021-10-06
  • Mari kembali ke Masa Lalu   EMPAT

    06.00 AM Alarm Arindha berbunyi nyaring sampai membuat telinganya kesal, dia segera mandi dan bersiap lebih awal dari biasanya. Arindha berpikir kalau Rico akan sampai tiga puluh menit setelah dia siap. Nol besar, Rico sudah duduk santai di meja makan sambil menyantap sarapan yang telah dimasak Rita. Arindha yang tak percaya dengan kedua matanya segera mencubit pipi putihnya. Rico menatap Arindha. “Makan, Rin,” ucap Rico. “Kebalik, harusnya aku yang nawarin!” jawab Arindha sinis. Rita jalan dengan perlahan, dia membawa dua gelas susu di nampan kayu. Uban di kepalanya sudah terlihat jelas. Meskipun begitu, Rita masih terlihat anggun dipandang mata. Ubannya boleh dikata banyak, tetapi soal kulit, Rita menang banyak. Cup Rita mencium rambut Arindha. “Makan yang banyak, nak,” kata Rita. “Iya, bun,” jawab Arindha singkat. “Heum … enak banget, bun,” ucap Rico sambil mena

    Last Updated : 2021-10-07
  • Mari kembali ke Masa Lalu   LIMA

    Tangan Alex yang tadinya mengulur dia tarik kembali, tak lama kemudian dia pergi meninggalkan Arindha dan mulai menghisap vapor ia bawa di tangannya. Arindha membawa troli dan galon itu sampai tempat duduk di tepi lapangan, tapi dia kebingungan, karena belum juga menemukan Hilda. Nampak ada lambaian tangan mungil yang biasa dilihat Arindha, itu Hilda. Arindha mendekati Hilda tanpa memperdulikan jika banyak siswa siswi melihatnya dengan muka heran karena membawa troli yang diatasnya terdapat galon. “Galon?” tanya Hilda dengan menatap barang yang dibawa Arindha. “Iya, aku kehabisan air mineral di kantin,” jawab Arindha yang mulai duduk di sebelah Hilda. “Di toko depan sekolah?” tanya Xianzu. “Udah, Zu. Tapi, cuman ada ini,” Melirik galon. “Ya gak papa sih, Rin. Daripada si Rico gak mau minum,” kata Hilda sambil menutup mulutnya yang tertawa kecil dengan tangannya. Pertandingan basket dimula

    Last Updated : 2021-10-18
  • Mari kembali ke Masa Lalu   ENAM

    Gadis kecil berambut cokelat tengah berdiri menatap wajahnya di depan cermin lonjong yang tingginya hampir sama. Beberapa kali dia melirik jam dinding yang tak jauh dari kaca itu. Nggrekk Wanita paruh baya itu menghampiri anaknya, tangannya merangkul lembut tepat di bahu kecil putri kesayangannya.“Cantik.” ucap Rita dengan senyuman lebar sambil mengamati anaknya yang sudah bertumbuh jauh lebih besar. Cup Arindha tersenyum. “Makasih, ma. Kan cantiknya nular dari mama iya, kan?” kata Arindha. Mata Rita beberapa detik beralih, senyumnya mulai memudar perlahan dan menatap anaknya kembali. Rita hanya mengangguk, seolah meng-iyakan pertanyaan putrinya. Rita mengelus rambut Arindha dengan tangannya yang sudah mulai keriput. “Tunggu di depan, yuk. Kasian papa nunggu pintu depan sendiri,” titah Rita. Arindha mengambil tas kecilnya dan mengikuti Rita dari belakang. Peraturan di keluarga sejati adal

    Last Updated : 2021-10-29

Latest chapter

  • Mari kembali ke Masa Lalu   Delapan

    Mata Arindha mulai silau walaupun kedua matanya belum terbuka. Cahaya itu lama kelamaan membuatnya kesal. Tangannya mulai mengucek mata kanannya, diamatinya cahaya yang mulai meninggi itu dengan malas."Mama pergi."Bukannya beranjak dari kasurnya, dia malah menenggelamkan wajahnya di selimut tebal yang sejak tadi menempel.**"Woi jambrett!" Teriak seorang gadis yang menggunakan seragam sekolah yang masih rapi karne efek setrika, yap. Dia Hilda. Tapi, pagi ini dia tidak diantar oleh Xianzu, entah ada masalah apa mereka berdua.Di kejauhan, Alex mengendarai motornya dengan santai melewati Hilda yang tengah mengerjar jambret itu."Sialan lo!"Alex tetap mejajukan motrnya, berusaha menyamai kecepatan jambret utu yang sudah hampir tak terlihat.Brukk"Minggir, gak usah ikut campur lo!""Kerja yang bener, jangan jadi pengecut!""Anj**ng"Alex dan jamret itu akhirnya berkelahi

  • Mari kembali ke Masa Lalu   TUJUH

    Setelah makan malam, mereka segera pulang tepat waktu. Rico mengalah untuk menganbil mobilnya karena ucapan Arindha saat pertama masuk café. Kaki Arindha mulai kaku berdiri diatas high hill nya yang cukup tinggi, dia mulai berjalan mendekati jalan depan café itu yang mulai sepi untuk mengalihkan perhatiannya pada kakinya yang sakit dan sudah menunggu Rico terlalu lama. Mobil Rico berhenti persis di depan pintu utama café itu, mata Rico bergerak kesana kemari mencari sahabatnya. Dia mencoba menelpon tetapi ponsel Arindha justru bergetar di samping tempat duduknya. “Ngilang kemana kamu, Rin,” keluh Rico yang mulai kesal sambil menggeletakkan ponselnya asal. Rico mulai turun dan mencari Arindha di sekeliling cafe, setelah beberapa saat dia bertemu dengan satpam yang bertugas di depan gerbang. “Pak, liat orang ini?” tanya Rico sambil menunjukkan foto Arindha pada satpam itu. “Iya, tuan. Dia ada di sana,” jawab

  • Mari kembali ke Masa Lalu   ENAM

    Gadis kecil berambut cokelat tengah berdiri menatap wajahnya di depan cermin lonjong yang tingginya hampir sama. Beberapa kali dia melirik jam dinding yang tak jauh dari kaca itu. Nggrekk Wanita paruh baya itu menghampiri anaknya, tangannya merangkul lembut tepat di bahu kecil putri kesayangannya.“Cantik.” ucap Rita dengan senyuman lebar sambil mengamati anaknya yang sudah bertumbuh jauh lebih besar. Cup Arindha tersenyum. “Makasih, ma. Kan cantiknya nular dari mama iya, kan?” kata Arindha. Mata Rita beberapa detik beralih, senyumnya mulai memudar perlahan dan menatap anaknya kembali. Rita hanya mengangguk, seolah meng-iyakan pertanyaan putrinya. Rita mengelus rambut Arindha dengan tangannya yang sudah mulai keriput. “Tunggu di depan, yuk. Kasian papa nunggu pintu depan sendiri,” titah Rita. Arindha mengambil tas kecilnya dan mengikuti Rita dari belakang. Peraturan di keluarga sejati adal

  • Mari kembali ke Masa Lalu   LIMA

    Tangan Alex yang tadinya mengulur dia tarik kembali, tak lama kemudian dia pergi meninggalkan Arindha dan mulai menghisap vapor ia bawa di tangannya. Arindha membawa troli dan galon itu sampai tempat duduk di tepi lapangan, tapi dia kebingungan, karena belum juga menemukan Hilda. Nampak ada lambaian tangan mungil yang biasa dilihat Arindha, itu Hilda. Arindha mendekati Hilda tanpa memperdulikan jika banyak siswa siswi melihatnya dengan muka heran karena membawa troli yang diatasnya terdapat galon. “Galon?” tanya Hilda dengan menatap barang yang dibawa Arindha. “Iya, aku kehabisan air mineral di kantin,” jawab Arindha yang mulai duduk di sebelah Hilda. “Di toko depan sekolah?” tanya Xianzu. “Udah, Zu. Tapi, cuman ada ini,” Melirik galon. “Ya gak papa sih, Rin. Daripada si Rico gak mau minum,” kata Hilda sambil menutup mulutnya yang tertawa kecil dengan tangannya. Pertandingan basket dimula

  • Mari kembali ke Masa Lalu   EMPAT

    06.00 AM Alarm Arindha berbunyi nyaring sampai membuat telinganya kesal, dia segera mandi dan bersiap lebih awal dari biasanya. Arindha berpikir kalau Rico akan sampai tiga puluh menit setelah dia siap. Nol besar, Rico sudah duduk santai di meja makan sambil menyantap sarapan yang telah dimasak Rita. Arindha yang tak percaya dengan kedua matanya segera mencubit pipi putihnya. Rico menatap Arindha. “Makan, Rin,” ucap Rico. “Kebalik, harusnya aku yang nawarin!” jawab Arindha sinis. Rita jalan dengan perlahan, dia membawa dua gelas susu di nampan kayu. Uban di kepalanya sudah terlihat jelas. Meskipun begitu, Rita masih terlihat anggun dipandang mata. Ubannya boleh dikata banyak, tetapi soal kulit, Rita menang banyak. Cup Rita mencium rambut Arindha. “Makan yang banyak, nak,” kata Rita. “Iya, bun,” jawab Arindha singkat. “Heum … enak banget, bun,” ucap Rico sambil mena

  • Mari kembali ke Masa Lalu   TIGA

    Arindha mulai mengganti pakaiannya, merapikan rambut dan berdiri di depan cermin itu lagi. Arindha kaget, dan segera mencari jepit rambutnya. Dia kembali ke UKS, Arindha mulai menyusuri setiap sudut ruang putih itu. Nihil, Arindha hanya terdiam dan harus merelakan jepit rambut kesayangannya itu. Dia berjalan di kantin, mulai mencari kedua sahabatnya seperti biasanya. Kepala Arindha terus menoleh ke kanan dan kiri. Sampai akhirnya, dia berhasil duduk dengan wajah sumringah di sebelah Hilda. Tangan Hilda menggeser mangkuk yang berisi bakso kuah kesukaan Arindha. “Nih, spesial buat kamu, Rin,” ucap Hilda dengan memperlihatkan barisan gigi putihnya. Arindha tersenyum. “Makasih, lagi,” ucap Arindha pelan. “Mulai besok, kamu harus bangun pagi-pagi. Gak perlu naik angkot lagi, kita berangkat bareng,” titah Rico. Arindha nyengir. “Kalo kepaksa gak usah,” ucap Arindha sambil mengaduk bakso dihadapannya. “Kamu kenapa, sih

  • Mari kembali ke Masa Lalu   DUA

    Arindha mulai berjalan meninggalkan mereka bertiga dan mulai fokus memikirkan cara agar bisa menyelinap masuk ke dalam kelasnya. Beruntung, mata pelajaran pertama Arindha adalah Fisika. Tidak seperti Pak Karyo yang selalu ceramah di pagi hari, Bu Yuyun selalu menuliskan banyak rumus saat pelajarannya. “Sst-sst, Rico!” bisik Arindha sambil menatap Rico panik di sudut pintu kelas yang terbuka lebar. Mata Rico mencari asal suara itu, dia celingukan melihat pintu dan jendela-jendela kelas. "Ck, kupingnya bermasalah ni orang." Tangannya dilambai tinggi, berharap Rico melihat tangan kecilnya. Mata Rico bergerak dan berhenti tepat di lambaian Arindha. “Arindha?” Melirik Arindha kebingungan. Telapak tangan Rico mekar dan jari-jarinya merenggang, seolah mengisrayatkan agar Arindha tetap berdiam diri di posisinya. Sementara itu, dia mencari celah agar Arindha bisa memasuki kelas dengan aman tanpa hukuman dari Bu Yuyun yang sama halny

  • Mari kembali ke Masa Lalu   SATU

    Seorang gadis berpakaian putih abu-abu tengah berlari tergesa-gesa berusaha memasuki area sekolahnya. Di kejauhan, dia sudah melihat teman-temannya yang terlambat berbaris rapi menunggu hukuman dari Pak Karyo, dia adalah guru BK tergalak dari yang lainnya. Iya, ada guru BK lainnya, beliau bernama Pak David. Pak David eksis di SMA Nusantara, wajah tampan dengan sikapnya yang ramah dan sedikit dingin membuat para murid gelapapan bukan main. Kedua mata Arindha terus bergerak mencari jalan terbaik untuk kabur dari hukuman. Kaki Arindha mulai melangkah ke belakang secara perlahan. Tetapi.. Krekk “Arindha!!” bentak Pak Karyo keras sambil meririk tepat di arahnya. "Sial." Alisnya berkerut, wajah tertekuk, ia hanya bisa menerima nasibnya dan berjalan mendekati Pak Karyo dan sekumpulan teman-temannya yang terlambat. “Nggak bosan bapak hukum? kamu kira ini TK yang masuknya jam setengah delapan, hah?” cetus Pak Karyo. “Mm-maaf Pak, say-”

  • Mari kembali ke Masa Lalu   Prolog

    10.00 PM Kamar putih yang tak begitu luas masih disinari cahaya lampu yang memancar. Wajah pucat, keringat dingin dan mata kantuk, selalu dirasakan Arindha setiap malam. Sunyi, entah kenapa hal yang dijauhi banyak orang malah menjadi teman setia Arindha, menjadi penenangnya sampai dia bisa tidur lelap. Dulu, Arindha juga menjauhi kata itu, sunyi. Rasa traumanya, rasa takutnya akan mimpi yang sama membuatnya hampir gila, sampai dia menemukan ide yang menurutnya ampuh, obat tidur. Dosis obat yang dikonsumsi Arindha semakin lama semakin meningkat, lambung dan hatinya hampir terkena dampak dari obat itu sebulan terakhir. Kondisinya tidak bisa dikatakan baik, tapi berteman dengan sunyi bisa sedikit membantu tubuhnya untuk beradaptasi tanpa obat-obatan lagi dan lagi. Bushh.. Arindha merebahkan tubuhnya di lantai yang beralaskan karpet yang cukup tebal, dia menggerakkan kepalanya kekanan dan kiri, matanya yang sejak tadi melihat ke satu arah, kini mulai bergerak men

DMCA.com Protection Status