Seorang gadis berpakaian putih abu-abu tengah berlari tergesa-gesa berusaha memasuki area sekolahnya. Di kejauhan, dia sudah melihat teman-temannya yang terlambat berbaris rapi menunggu hukuman dari Pak Karyo, dia adalah guru BK tergalak dari yang lainnya. Iya, ada guru BK lainnya, beliau bernama Pak David. Pak David eksis di SMA Nusantara, wajah tampan dengan sikapnya yang ramah dan sedikit dingin membuat para murid gelapapan bukan main.
Kedua mata Arindha terus bergerak mencari jalan terbaik untuk kabur dari hukuman. Kaki Arindha mulai melangkah ke belakang secara perlahan. Tetapi..
Krekk
“Arindha!!” bentak Pak Karyo keras sambil meririk tepat di arahnya.
"Sial."
Alisnya berkerut, wajah tertekuk, ia hanya bisa menerima nasibnya dan berjalan mendekati Pak Karyo dan sekumpulan teman-temannya yang terlambat. “Nggak bosan bapak hukum? kamu kira ini TK yang masuknya jam setengah delapan, hah?” cetus Pak Karyo.
“Mm-maaf Pak, say-”“Maaf-maaf !! Saya bosan dengar maaf dari kamu! Ingat, ini SMA Nusantara. SMA terbaik se-Jakarta, jangan main-main kamu!” potong Pak Karyo dengan nada yang sangat tinggi.“Minggu lalu saya enggak telat kok pak, baru ini,” bela Arindha pada dirinya.“Minggu lalu aja bisa tidak telat, kenapa sekarang telat?” adu Pak Karyo dengan suara kerasnya.Deg!Kata-kata Pak Karyo membuat hatinya bergetar, ada benarnya perkataan itu tapi, Arindha juga tak ingin terus merepoti sahabatnya. Iya, minggu lalu dan sebelumnya Arindha selalu datang tepat waktu, baru minggu ini dia terlambat di setiap harinya.Rico, dia adalah makhluk yang selalu menolognya, sampai dengan semua kebaikan yang Rico berikan membuat Arindha merasa buruk dan merasa selalu bergantung padanya, walupun pada kenyataannya Arindha juga masih membutuhkan bantuan Rico.
Arindha hanya mengangguk mendengar ucapan Pak Karyo, walaupun di hati kecilnya dia sangat kesal dan bosan dengan omelan beliau.Setelah Pak Karyo menyelesaikan ceramah paginya, Arindha berbaris dengan siswa lainnya yang terlambat.
“Sstt… pintu belakang,” bisik seorang siswa yang sering disebut-sebut sebagai preman sekolah pada kedua temannya.Pendengaran Arindha yang masih waras mendengar bisikan preman SMA Nusantara, iya preman.
Namanya Alex, dia adalah ciptaan Tuhan yang selalu membuat keributan, baik diluar maupun dalam sekolah. Berkelahi bukan hanya sekedar hobi, tapi rutinitasnya. Entah mengapa Vino dan Jio malah berteman dekat dengan preman itu.
Mata elang Arindha tak bodoh mengartikan gerak gerik ketiga laki-laki yang sama terlambatnya dengannya. Arindha melirik dan mendengar dengan serius ke asal suara itu.“Sekarang?” tanya laki-laki yang terkenal dengan ketampananya, dia bernama Vino. Dia adalah idola semua perempuan di SMA Nusantara, Arindha salah satunya.“Okay, sesuai aba-aba. Hitungan ke tiga, kita langsung lari berpencar, titik kumpul kita di tembok gedung belakang sekolah deket basecamp,” kata teman Vino yang bernama Jio sembari melihat jam di tangan kanannya, Arindha mengenalnya karena dia anggota OSIS walau kadang Arindha juga sangat membencinya karena gampang tersulut emosi.Alis Arindha mengerut. “Oh, jadi mereka mau kabur dari hukuman pak Karyo. Aku harus ngikutin mereka, kalo enggak bakal bersihin wc lagi, keinget baunya iyuhh,” batin Arindha yakin.Semua kaki siswa laki-laki itu telah siap berlari sekencang mungkin, mereka juga sudah memasang mata elangnya agar lolos dari kejaran Pak Karyo.“Satu, dua, tiga.. lari!” teriak salah satu siswa laki-laki itu.Ketiga siswa tadi lari seperti kuda yang di pacu, Arindha yang ikut menguping pembicaraan mereka, ikut berlari secepat yang dia bisa.“Hei! jangan lari kalian!” bentak Pak Karyo sambil berlari mengejar Alex, Vino, Jio dan Arindha.Mereka terus berlari agar tidak tertangkap oleh pak Karyo sekaligus tidak mendapat hukuman tambahan karena lari menerobos gedung belakang sekolah.Ditengah perjalanan, mereka ketiga laki-laki itu berpencar, Arindha yang melihatnya langsung gelagapan.
Dia bingung, jalan siapa yang akan dia ikuti. Arindha berhenti dengan napas yang tersenggal-senggal sembari memegang perutnya yang mulai nyeri.“Hei, t-tunggu,” ucap Arindha sambil melihat laki-laki di depannya yang sudah mulai menjauh.“Lari!” teriak Alex dari kejauhan.Arindha memaksakan kedua kakinya untuk berlari mengikuti Alex, dia terus berlari mengikuti jalan yang dipilih laki-laki yang tak jauh di depannya.Arindha kembali berhenti, tangannya kembali memegang perutnya yang mulai kram. “T-tunggu, berhenti bentar!” lirih Arindha pada Alex dengan wajah melas.Suara itu membuat syaraf di otak Alex mentransfer sinyal agar berhenti, kaki Alex menuruti sinyal itu sampai badannya hampir terjungkal ke depan.“Sial, kenapa harus sekarang!” cetus Alex sambil melihat Arindha yang berdiri tak berdaya, “Tapi, kenapa harus di tolong?” imbuh Alex sembari menyipitkan mata ke tembok yang sudah tidak jauh lagi.BrukkArindha terjatuh, tubuhnya sudah tidak kuat berdiri dan berlari, apalagi melompati tembok gedung belakang sekolahnya. “Lex, cepetan,” bujuk Jio yang melihat Alex tak jauh di depannya.Kaki Alex mulai melangkah menuju teman-temannya yang hanya beberapa meter di dekatnya. Tiba-tiba, hati nurani Alex menolak keras pikirannya yang akan meninggalkan seorang gadis sendiri tak berdaya. Dia merasa seperti pengecut. Iya, pengecut yang meninggalkan perempuan lemah di belakangnya.HeningAlex mematung dalam lamunannya, dia berpikir sampai berdebat keras dengan pikiran dan hati nuraninya. Tak lama kemudian, Alex menoleh, membalikkan badan dan berlari ke arah Arindha yang berusaha berdiri tegak.“What, Alex?” kata Jio tak percaya dengan temannya yang malah membalikkan badan dan berlari menghampiri Arindha.Mata Arindha menyipit, tak percaya melihat ada sesosok laki-laki yang akan menghampiri dan menolongnya.Alex berlari dengan gagah dengan seragam yang cocok disebut preman menghampiri Arindha, Arindha hanya bisa berdecak kagum. Tak disangka, laki-laki berandalan SMA Nusantara yang terlihat dingin dan suka berbuat onar akan menolongnya.Hening, Alex dan Arindha hanya berhadapan dan bertatapan satu sama lain.Dari kejauhan, batang hidung Pak Karyo mulai terlihat, Alex menggandeng tangan Arindha dan berlari bersama. Aneh, rasa sakit Arindha seketika hilang setelah Alex datang. Sesekali, Arindha menatap dalam wajah putih bersih laki-laki yang menggenggam erat tangan kecilnya.Alex yang merasa cemas, sesekali melihat wajah perempuan yang di tolongnya. Namun, rambut cokelat yang terjuntai rapi, dengan jepitan kecil berbentuk pita disamping rambut cokelat itu berhasil membuat simpulan senyum di wajah dingin itu.“Hei, jangan kabur kalian!” bentak Pak Karyo yang berusaha mengejar Alex dan Arindha.Jio dan Vino yang melihat Alex dan Arindha berlari ke arahnya, segera melompati tembok bersama-sama.“Naik di pundakku, cepet!” tegas Alex sambil membungkukkan tubuhnya.“I-iya,” kata Arindha sedikit ragu.“Pegang tanganku,” ucap Jio sambil mengulurkan tangannya dibalik tembok.Arindha berhasil melewati tembok itu dengan semua pertolongan ketiga laki-laki itu, tetapi Alex justru tertangkap basah oleh Pak Karyo.“Mau lari kemana kamu?” cetus Pak Karyo sambil menatap Alex dengan wajah sengit dan terengah-engah.“Tenang pak, saya menyerah. Ini tangan saya,” kata Alex sambil mengulurkan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya meraih korek di saku seragam putihnya.Seketika mata Pak Karyo melihat ke tangan Alex dan Alex pun menghidupkan korek gasnya dengan cepat di dekat mata Pak Karyo.Sseeettt **BrukkKaki Alex dengan cekatan melompati tembok di depannya.
“Kok bisa? Pak Karyo kan -”“Berhasil bro?” tanya Jio cepat memotong pertanyaan Arindha.“Humm, kali ini gue beruntung. Ayo cepatan, keburu sadar!” titah Alex sambil berjalan mendahului teman-temannya.Arindha celingukan, dia masih bingung apa yang sebenarnya terjadi. Dia berjalan cepat mengikuti Alex dan temannya. Arindha hanya bisa mengamati dan mendengarkan percakapan mereka agar mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.“Nanti harus latihan lagi Lex. Siapa tahu, besok-besok bisa nge-hipnotis Mr. Karyo, hahahaha,” ucap Vino sambil meledek Alex.Kepala Arindha mengangguk beberapa kali.“Oh, pantesan bisa kabur,” batin Arindha.
Mereka telah tiba di persimpangan kelas IPA dan IPS, Alex berhenti dan membalikkan badannya ke arah Arindha.“Lain kali, kalau mau telat makan dulu,” celoteh Alex dengan ketus.“Namanya telat ya mana sempet makan. Btw makasih, tadi udah nolongin aku,” kata Arindha sambil menatap Alex, Jio dan Vino.“Heum,” jawab Alex singkat.Arindha mulai berjalan meninggalkan mereka bertiga dan mulai fokus memikirkan cara agar bisa menyelinap masuk ke dalam kelasnya. Beruntung, mata pelajaran pertama Arindha adalah Fisika. Tidak seperti Pak Karyo yang selalu ceramah di pagi hari, Bu Yuyun selalu menuliskan banyak rumus saat pelajarannya. “Sst-sst, Rico!” bisik Arindha sambil menatap Rico panik di sudut pintu kelas yang terbuka lebar. Mata Rico mencari asal suara itu, dia celingukan melihat pintu dan jendela-jendela kelas. "Ck, kupingnya bermasalah ni orang." Tangannya dilambai tinggi, berharap Rico melihat tangan kecilnya. Mata Rico bergerak dan berhenti tepat di lambaian Arindha. “Arindha?” Melirik Arindha kebingungan. Telapak tangan Rico mekar dan jari-jarinya merenggang, seolah mengisrayatkan agar Arindha tetap berdiam diri di posisinya. Sementara itu, dia mencari celah agar Arindha bisa memasuki kelas dengan aman tanpa hukuman dari Bu Yuyun yang sama halny
Arindha mulai mengganti pakaiannya, merapikan rambut dan berdiri di depan cermin itu lagi. Arindha kaget, dan segera mencari jepit rambutnya. Dia kembali ke UKS, Arindha mulai menyusuri setiap sudut ruang putih itu. Nihil, Arindha hanya terdiam dan harus merelakan jepit rambut kesayangannya itu. Dia berjalan di kantin, mulai mencari kedua sahabatnya seperti biasanya. Kepala Arindha terus menoleh ke kanan dan kiri. Sampai akhirnya, dia berhasil duduk dengan wajah sumringah di sebelah Hilda. Tangan Hilda menggeser mangkuk yang berisi bakso kuah kesukaan Arindha. “Nih, spesial buat kamu, Rin,” ucap Hilda dengan memperlihatkan barisan gigi putihnya. Arindha tersenyum. “Makasih, lagi,” ucap Arindha pelan. “Mulai besok, kamu harus bangun pagi-pagi. Gak perlu naik angkot lagi, kita berangkat bareng,” titah Rico. Arindha nyengir. “Kalo kepaksa gak usah,” ucap Arindha sambil mengaduk bakso dihadapannya. “Kamu kenapa, sih
06.00 AM Alarm Arindha berbunyi nyaring sampai membuat telinganya kesal, dia segera mandi dan bersiap lebih awal dari biasanya. Arindha berpikir kalau Rico akan sampai tiga puluh menit setelah dia siap. Nol besar, Rico sudah duduk santai di meja makan sambil menyantap sarapan yang telah dimasak Rita. Arindha yang tak percaya dengan kedua matanya segera mencubit pipi putihnya. Rico menatap Arindha. “Makan, Rin,” ucap Rico. “Kebalik, harusnya aku yang nawarin!” jawab Arindha sinis. Rita jalan dengan perlahan, dia membawa dua gelas susu di nampan kayu. Uban di kepalanya sudah terlihat jelas. Meskipun begitu, Rita masih terlihat anggun dipandang mata. Ubannya boleh dikata banyak, tetapi soal kulit, Rita menang banyak. Cup Rita mencium rambut Arindha. “Makan yang banyak, nak,” kata Rita. “Iya, bun,” jawab Arindha singkat. “Heum … enak banget, bun,” ucap Rico sambil mena
Tangan Alex yang tadinya mengulur dia tarik kembali, tak lama kemudian dia pergi meninggalkan Arindha dan mulai menghisap vapor ia bawa di tangannya. Arindha membawa troli dan galon itu sampai tempat duduk di tepi lapangan, tapi dia kebingungan, karena belum juga menemukan Hilda. Nampak ada lambaian tangan mungil yang biasa dilihat Arindha, itu Hilda. Arindha mendekati Hilda tanpa memperdulikan jika banyak siswa siswi melihatnya dengan muka heran karena membawa troli yang diatasnya terdapat galon. “Galon?” tanya Hilda dengan menatap barang yang dibawa Arindha. “Iya, aku kehabisan air mineral di kantin,” jawab Arindha yang mulai duduk di sebelah Hilda. “Di toko depan sekolah?” tanya Xianzu. “Udah, Zu. Tapi, cuman ada ini,” Melirik galon. “Ya gak papa sih, Rin. Daripada si Rico gak mau minum,” kata Hilda sambil menutup mulutnya yang tertawa kecil dengan tangannya. Pertandingan basket dimula
Gadis kecil berambut cokelat tengah berdiri menatap wajahnya di depan cermin lonjong yang tingginya hampir sama. Beberapa kali dia melirik jam dinding yang tak jauh dari kaca itu. Nggrekk Wanita paruh baya itu menghampiri anaknya, tangannya merangkul lembut tepat di bahu kecil putri kesayangannya.“Cantik.” ucap Rita dengan senyuman lebar sambil mengamati anaknya yang sudah bertumbuh jauh lebih besar. Cup Arindha tersenyum. “Makasih, ma. Kan cantiknya nular dari mama iya, kan?” kata Arindha. Mata Rita beberapa detik beralih, senyumnya mulai memudar perlahan dan menatap anaknya kembali. Rita hanya mengangguk, seolah meng-iyakan pertanyaan putrinya. Rita mengelus rambut Arindha dengan tangannya yang sudah mulai keriput. “Tunggu di depan, yuk. Kasian papa nunggu pintu depan sendiri,” titah Rita. Arindha mengambil tas kecilnya dan mengikuti Rita dari belakang. Peraturan di keluarga sejati adal
Setelah makan malam, mereka segera pulang tepat waktu. Rico mengalah untuk menganbil mobilnya karena ucapan Arindha saat pertama masuk café. Kaki Arindha mulai kaku berdiri diatas high hill nya yang cukup tinggi, dia mulai berjalan mendekati jalan depan café itu yang mulai sepi untuk mengalihkan perhatiannya pada kakinya yang sakit dan sudah menunggu Rico terlalu lama. Mobil Rico berhenti persis di depan pintu utama café itu, mata Rico bergerak kesana kemari mencari sahabatnya. Dia mencoba menelpon tetapi ponsel Arindha justru bergetar di samping tempat duduknya. “Ngilang kemana kamu, Rin,” keluh Rico yang mulai kesal sambil menggeletakkan ponselnya asal. Rico mulai turun dan mencari Arindha di sekeliling cafe, setelah beberapa saat dia bertemu dengan satpam yang bertugas di depan gerbang. “Pak, liat orang ini?” tanya Rico sambil menunjukkan foto Arindha pada satpam itu. “Iya, tuan. Dia ada di sana,” jawab
Mata Arindha mulai silau walaupun kedua matanya belum terbuka. Cahaya itu lama kelamaan membuatnya kesal. Tangannya mulai mengucek mata kanannya, diamatinya cahaya yang mulai meninggi itu dengan malas."Mama pergi."Bukannya beranjak dari kasurnya, dia malah menenggelamkan wajahnya di selimut tebal yang sejak tadi menempel.**"Woi jambrett!" Teriak seorang gadis yang menggunakan seragam sekolah yang masih rapi karne efek setrika, yap. Dia Hilda. Tapi, pagi ini dia tidak diantar oleh Xianzu, entah ada masalah apa mereka berdua.Di kejauhan, Alex mengendarai motornya dengan santai melewati Hilda yang tengah mengerjar jambret itu."Sialan lo!"Alex tetap mejajukan motrnya, berusaha menyamai kecepatan jambret utu yang sudah hampir tak terlihat.Brukk"Minggir, gak usah ikut campur lo!""Kerja yang bener, jangan jadi pengecut!""Anj**ng"Alex dan jamret itu akhirnya berkelahi
10.00 PM Kamar putih yang tak begitu luas masih disinari cahaya lampu yang memancar. Wajah pucat, keringat dingin dan mata kantuk, selalu dirasakan Arindha setiap malam. Sunyi, entah kenapa hal yang dijauhi banyak orang malah menjadi teman setia Arindha, menjadi penenangnya sampai dia bisa tidur lelap. Dulu, Arindha juga menjauhi kata itu, sunyi. Rasa traumanya, rasa takutnya akan mimpi yang sama membuatnya hampir gila, sampai dia menemukan ide yang menurutnya ampuh, obat tidur. Dosis obat yang dikonsumsi Arindha semakin lama semakin meningkat, lambung dan hatinya hampir terkena dampak dari obat itu sebulan terakhir. Kondisinya tidak bisa dikatakan baik, tapi berteman dengan sunyi bisa sedikit membantu tubuhnya untuk beradaptasi tanpa obat-obatan lagi dan lagi. Bushh.. Arindha merebahkan tubuhnya di lantai yang beralaskan karpet yang cukup tebal, dia menggerakkan kepalanya kekanan dan kiri, matanya yang sejak tadi melihat ke satu arah, kini mulai bergerak men
Mata Arindha mulai silau walaupun kedua matanya belum terbuka. Cahaya itu lama kelamaan membuatnya kesal. Tangannya mulai mengucek mata kanannya, diamatinya cahaya yang mulai meninggi itu dengan malas."Mama pergi."Bukannya beranjak dari kasurnya, dia malah menenggelamkan wajahnya di selimut tebal yang sejak tadi menempel.**"Woi jambrett!" Teriak seorang gadis yang menggunakan seragam sekolah yang masih rapi karne efek setrika, yap. Dia Hilda. Tapi, pagi ini dia tidak diantar oleh Xianzu, entah ada masalah apa mereka berdua.Di kejauhan, Alex mengendarai motornya dengan santai melewati Hilda yang tengah mengerjar jambret itu."Sialan lo!"Alex tetap mejajukan motrnya, berusaha menyamai kecepatan jambret utu yang sudah hampir tak terlihat.Brukk"Minggir, gak usah ikut campur lo!""Kerja yang bener, jangan jadi pengecut!""Anj**ng"Alex dan jamret itu akhirnya berkelahi
Setelah makan malam, mereka segera pulang tepat waktu. Rico mengalah untuk menganbil mobilnya karena ucapan Arindha saat pertama masuk café. Kaki Arindha mulai kaku berdiri diatas high hill nya yang cukup tinggi, dia mulai berjalan mendekati jalan depan café itu yang mulai sepi untuk mengalihkan perhatiannya pada kakinya yang sakit dan sudah menunggu Rico terlalu lama. Mobil Rico berhenti persis di depan pintu utama café itu, mata Rico bergerak kesana kemari mencari sahabatnya. Dia mencoba menelpon tetapi ponsel Arindha justru bergetar di samping tempat duduknya. “Ngilang kemana kamu, Rin,” keluh Rico yang mulai kesal sambil menggeletakkan ponselnya asal. Rico mulai turun dan mencari Arindha di sekeliling cafe, setelah beberapa saat dia bertemu dengan satpam yang bertugas di depan gerbang. “Pak, liat orang ini?” tanya Rico sambil menunjukkan foto Arindha pada satpam itu. “Iya, tuan. Dia ada di sana,” jawab
Gadis kecil berambut cokelat tengah berdiri menatap wajahnya di depan cermin lonjong yang tingginya hampir sama. Beberapa kali dia melirik jam dinding yang tak jauh dari kaca itu. Nggrekk Wanita paruh baya itu menghampiri anaknya, tangannya merangkul lembut tepat di bahu kecil putri kesayangannya.“Cantik.” ucap Rita dengan senyuman lebar sambil mengamati anaknya yang sudah bertumbuh jauh lebih besar. Cup Arindha tersenyum. “Makasih, ma. Kan cantiknya nular dari mama iya, kan?” kata Arindha. Mata Rita beberapa detik beralih, senyumnya mulai memudar perlahan dan menatap anaknya kembali. Rita hanya mengangguk, seolah meng-iyakan pertanyaan putrinya. Rita mengelus rambut Arindha dengan tangannya yang sudah mulai keriput. “Tunggu di depan, yuk. Kasian papa nunggu pintu depan sendiri,” titah Rita. Arindha mengambil tas kecilnya dan mengikuti Rita dari belakang. Peraturan di keluarga sejati adal
Tangan Alex yang tadinya mengulur dia tarik kembali, tak lama kemudian dia pergi meninggalkan Arindha dan mulai menghisap vapor ia bawa di tangannya. Arindha membawa troli dan galon itu sampai tempat duduk di tepi lapangan, tapi dia kebingungan, karena belum juga menemukan Hilda. Nampak ada lambaian tangan mungil yang biasa dilihat Arindha, itu Hilda. Arindha mendekati Hilda tanpa memperdulikan jika banyak siswa siswi melihatnya dengan muka heran karena membawa troli yang diatasnya terdapat galon. “Galon?” tanya Hilda dengan menatap barang yang dibawa Arindha. “Iya, aku kehabisan air mineral di kantin,” jawab Arindha yang mulai duduk di sebelah Hilda. “Di toko depan sekolah?” tanya Xianzu. “Udah, Zu. Tapi, cuman ada ini,” Melirik galon. “Ya gak papa sih, Rin. Daripada si Rico gak mau minum,” kata Hilda sambil menutup mulutnya yang tertawa kecil dengan tangannya. Pertandingan basket dimula
06.00 AM Alarm Arindha berbunyi nyaring sampai membuat telinganya kesal, dia segera mandi dan bersiap lebih awal dari biasanya. Arindha berpikir kalau Rico akan sampai tiga puluh menit setelah dia siap. Nol besar, Rico sudah duduk santai di meja makan sambil menyantap sarapan yang telah dimasak Rita. Arindha yang tak percaya dengan kedua matanya segera mencubit pipi putihnya. Rico menatap Arindha. “Makan, Rin,” ucap Rico. “Kebalik, harusnya aku yang nawarin!” jawab Arindha sinis. Rita jalan dengan perlahan, dia membawa dua gelas susu di nampan kayu. Uban di kepalanya sudah terlihat jelas. Meskipun begitu, Rita masih terlihat anggun dipandang mata. Ubannya boleh dikata banyak, tetapi soal kulit, Rita menang banyak. Cup Rita mencium rambut Arindha. “Makan yang banyak, nak,” kata Rita. “Iya, bun,” jawab Arindha singkat. “Heum … enak banget, bun,” ucap Rico sambil mena
Arindha mulai mengganti pakaiannya, merapikan rambut dan berdiri di depan cermin itu lagi. Arindha kaget, dan segera mencari jepit rambutnya. Dia kembali ke UKS, Arindha mulai menyusuri setiap sudut ruang putih itu. Nihil, Arindha hanya terdiam dan harus merelakan jepit rambut kesayangannya itu. Dia berjalan di kantin, mulai mencari kedua sahabatnya seperti biasanya. Kepala Arindha terus menoleh ke kanan dan kiri. Sampai akhirnya, dia berhasil duduk dengan wajah sumringah di sebelah Hilda. Tangan Hilda menggeser mangkuk yang berisi bakso kuah kesukaan Arindha. “Nih, spesial buat kamu, Rin,” ucap Hilda dengan memperlihatkan barisan gigi putihnya. Arindha tersenyum. “Makasih, lagi,” ucap Arindha pelan. “Mulai besok, kamu harus bangun pagi-pagi. Gak perlu naik angkot lagi, kita berangkat bareng,” titah Rico. Arindha nyengir. “Kalo kepaksa gak usah,” ucap Arindha sambil mengaduk bakso dihadapannya. “Kamu kenapa, sih
Arindha mulai berjalan meninggalkan mereka bertiga dan mulai fokus memikirkan cara agar bisa menyelinap masuk ke dalam kelasnya. Beruntung, mata pelajaran pertama Arindha adalah Fisika. Tidak seperti Pak Karyo yang selalu ceramah di pagi hari, Bu Yuyun selalu menuliskan banyak rumus saat pelajarannya. “Sst-sst, Rico!” bisik Arindha sambil menatap Rico panik di sudut pintu kelas yang terbuka lebar. Mata Rico mencari asal suara itu, dia celingukan melihat pintu dan jendela-jendela kelas. "Ck, kupingnya bermasalah ni orang." Tangannya dilambai tinggi, berharap Rico melihat tangan kecilnya. Mata Rico bergerak dan berhenti tepat di lambaian Arindha. “Arindha?” Melirik Arindha kebingungan. Telapak tangan Rico mekar dan jari-jarinya merenggang, seolah mengisrayatkan agar Arindha tetap berdiam diri di posisinya. Sementara itu, dia mencari celah agar Arindha bisa memasuki kelas dengan aman tanpa hukuman dari Bu Yuyun yang sama halny
Seorang gadis berpakaian putih abu-abu tengah berlari tergesa-gesa berusaha memasuki area sekolahnya. Di kejauhan, dia sudah melihat teman-temannya yang terlambat berbaris rapi menunggu hukuman dari Pak Karyo, dia adalah guru BK tergalak dari yang lainnya. Iya, ada guru BK lainnya, beliau bernama Pak David. Pak David eksis di SMA Nusantara, wajah tampan dengan sikapnya yang ramah dan sedikit dingin membuat para murid gelapapan bukan main. Kedua mata Arindha terus bergerak mencari jalan terbaik untuk kabur dari hukuman. Kaki Arindha mulai melangkah ke belakang secara perlahan. Tetapi.. Krekk “Arindha!!” bentak Pak Karyo keras sambil meririk tepat di arahnya. "Sial." Alisnya berkerut, wajah tertekuk, ia hanya bisa menerima nasibnya dan berjalan mendekati Pak Karyo dan sekumpulan teman-temannya yang terlambat. “Nggak bosan bapak hukum? kamu kira ini TK yang masuknya jam setengah delapan, hah?” cetus Pak Karyo. “Mm-maaf Pak, say-”
10.00 PM Kamar putih yang tak begitu luas masih disinari cahaya lampu yang memancar. Wajah pucat, keringat dingin dan mata kantuk, selalu dirasakan Arindha setiap malam. Sunyi, entah kenapa hal yang dijauhi banyak orang malah menjadi teman setia Arindha, menjadi penenangnya sampai dia bisa tidur lelap. Dulu, Arindha juga menjauhi kata itu, sunyi. Rasa traumanya, rasa takutnya akan mimpi yang sama membuatnya hampir gila, sampai dia menemukan ide yang menurutnya ampuh, obat tidur. Dosis obat yang dikonsumsi Arindha semakin lama semakin meningkat, lambung dan hatinya hampir terkena dampak dari obat itu sebulan terakhir. Kondisinya tidak bisa dikatakan baik, tapi berteman dengan sunyi bisa sedikit membantu tubuhnya untuk beradaptasi tanpa obat-obatan lagi dan lagi. Bushh.. Arindha merebahkan tubuhnya di lantai yang beralaskan karpet yang cukup tebal, dia menggerakkan kepalanya kekanan dan kiri, matanya yang sejak tadi melihat ke satu arah, kini mulai bergerak men