Share

DUA

Author: Nola Amalia
last update Last Updated: 2021-10-05 16:45:34

Arindha mulai berjalan meninggalkan mereka bertiga dan mulai fokus memikirkan cara agar bisa menyelinap masuk ke dalam kelasnya. Beruntung, mata pelajaran pertama Arindha adalah Fisika. Tidak seperti Pak Karyo yang selalu ceramah di pagi hari, Bu Yuyun selalu menuliskan banyak rumus saat pelajarannya.

“Sst-sst, Rico!” bisik Arindha sambil menatap Rico panik di sudut pintu kelas yang terbuka lebar.

Mata Rico mencari asal suara itu, dia celingukan melihat pintu dan jendela-jendela kelas.

"Ck, kupingnya bermasalah ni orang." Tangannya dilambai tinggi, berharap Rico melihat tangan kecilnya.

Mata Rico bergerak dan berhenti tepat di lambaian Arindha. “Arindha?” Melirik Arindha kebingungan.

Telapak tangan Rico mekar dan jari-jarinya merenggang, seolah mengisrayatkan agar Arindha tetap berdiam diri di posisinya. Sementara itu, dia mencari celah agar Arindha bisa memasuki kelas dengan aman tanpa hukuman dari Bu Yuyun yang sama halnya tidak menyukai murid yang terlambat.

Rico memainkan pulpen di tangan kananya dan menggelindingkan benda panjang itu sampai di bawah kaki Bu Yuyun, suara gelindingan pulpen Rico berhasil menarik perhatian Bu Yuyun.

Rico mendekati Bu Yuyun yang hanya melirik pulpen Rico yang jatuh. “Maaf, Bu. Saya tidak sengaja menjatuhkan pulpen,” kata Rico sambil menggerakkan telunjuknya pada Arindha.

Melihat isyarat kedua dari Rico, Arindha berjalan dengan mengendap-endap dan berhasil duduk dengan mulus di bangku kesayangannya, dia mengeluarkan buku Fisikanya dan mulai mencatat rumus yang telah ditulis Bu Yuyun.

                                        **

Kringg!!

Suara bel terdengar nyaring, ini adalah pertanda bergantinya jam pelajaran. Semua siswa-siswi kelas XII IPA 1 mulai keluar kelas untuk berganti pakaian. Yup, kelas selanjutnya adalah olahraga.

Arindha meluruskan tangan di meja kesayangannya, kepalanya yang terasa berat mulai turun dengan perlahan. Matanya yang terlihat lelah mulai tertutup setengahnya.

Tok tok tok

Telunjuk Rico mengetuk meja Arindha, dia menatapnya penuh iba dan sedikit rasa jengkel karena ulah sahabatnya yang sering terlambat.

“Rin, sono ganti baju. Udah telat, eh sekarang mau bolos,” ucap Rico sambil mencubit pipi Arindha.

Arindha mengangkat kepalanya. “Hiiih, ganggu! Udah sana kamu duluan aja,” desak Arindha malas, “Istirahat bentar ya Hil,” imbuh Arindha sambil menatap Hilda dengan deretan gigi putihinya.

“Ya tapi jangan lama juga kali, ini udah lima menit Rin. Tadi katanya cuman dua menit?” tanya Hilda.

Kepala Arindha mulai terangkat, tangan mungilnya mulai merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. “Eh, maaf. Kirain belum sampe lima menit, yaudah yuk,” ujar Arindha sambil menenteng baju olahraganya.

Melihat kelakuan sahabatnya yang seperti anak-anak, Rico hanya bisa diam dan menghela nafas. Bukan karena dia malas untuk memarahi Arindha, tapi karena mereka sedang berada di sekolah.

                                       **

Ruang ganti perempuan khusus kelas IPA yang luas hening, deretan loker warna hijau tosca berjejer rapi. Cermin besar di dalam ruangan itu menarik perhatian Arindha, dia berjalan dan mulai menatap ujung rambut hingga ujung kakinya yang sekarang sudah mengenakan pakaian olahraga.

“Hil, sebenernya aku cantik gak sih?” tanya Arindha sambil menatap wajahnya.

Bibir Hilda naik sebelah. “Tumben tanya tentang kecantikan, lagi naksir sama siapa nih?” tanya Hilda sambil mengejek teman sebangkunya.

“Ditanya, malah nanya balik. Udahlah, lupain aja,” kata Arindha sambil memanyunkan bibirnya.

Tangan Hilda menepuk pundak Arindha, menatap wajah imut temannya yang mulai kesal dengan candaanya. “Kamu cantik, Arindha,” ucapnya lembut.

Alis Arindha naik sebelah dan tersenyum. “Alex senyum-senyum pasti terpesona sama kecantikanku,” batin Arindha.

Rambut cokelat yang semula digerai, sekarang diikat kuat oleh Arindha di tengah kepalanya. Dia melepas jepit rambut yang semula berada di pinggir kepala, dan memasangnya miring di dekat ikat rambutnya.

Sejak Arindha jatuh cinta pada jepitan itu, dia selalu memakainya. Dimanapun, entah itu di sekolah, di rumah, bahkan saat bermain dengan Rico dan Hilda.

Arindha bukan tipe orang yang mudah bergaul dengan orang banyak, dia lebih menyukai dekat dengan beberapa orang saja. Bukan karena kudot, tapi dia ingin lebih tentram. Dia sudah bosan dengan orang yang hanya memanfaatkan kebaikan dan semua harta miliknya.

Semua orang yang ada di dunia adalah orang yang baik, kalimat itu yang selalu tertanam dalam pikiran Arindha. Namun, semenjak bertemu dengan Rico, dia mulai sadar bahwa tidak semua orang di dunia ini baik, dan tidak semua teman memiliki ketulusan. Kadang, kebaikan tak dibalas dengan kebaikan dan ekspekasi kita tentang teman terlalu tinggi hingga kita lupa bahwa semua memiliki sifat buruk dalam hatinya.

                                      **

Arindha dan Hilda berjalan menuju lapangan basket, teman-temannya sibuk dengan kegiatanya sendiri. Kedua mata Hilda celingukan, bergerak kesana dan kemari mencari seseorang yang selalu mengisi ruang kosongnya, Xianzu.

Dia adalah siswa kelas sebelah, XII IPA 2. Jadwal olahraga kelas Xianzu dan Hilda di hari yang sama, mereka berdua selalu menyempatkan waktu untuk sekedar bertemu, ini yang belum dirasakan Arindha, cinta.

Melihat mata Hilda yang terus menerus bergerak, Arindha mulai resah. “Kalo udah selesai, dia bakal lewat sini, Hil,” kata Arindha.

“Huum, tapi … temennya dah pada lewat, Rin. Apa dia gak masuk ya hari ini?” tanya Hilda cemas.

“Bisa jadi, ntar kita liat di kantin. Siapa tau Xianzu tadi udah lewat, tapi kamunya yang gak liat,” ucap Arindha yang mulai menggandeng Hilda menuju pohon dekat lapangan basket.

Arindha meluruskan kakinya, menyandarkan bahunya di pohon yang cukup besar. Tangan Arindha mengelus tenggorokannya yang sudah kering keronta. Dia lupa, dari pagi belum sempat makan bahkan meminum susu yang sudah disiapkan oleh ayahnya.

Suara langkahan kaki terdengar samar lalu semakin jelas, tangan besar dengan menggengam botol air mineral mendarat tepat di depan muka Arindha.

Mata Arindha menyipit, menyesuaikan cahaya yang tiba-tiba berubah saat melihat botol air itu, tangan Arindha mulai  meraih air mineral itu. “Thanks, Co,” ucap Arindha singkat.

“Gimana, Hil? udah dapet vitamin belum?” tanya Rico meringis.

“Belum, tumben banget kan. Biasanya, dia orang pertama yang lewat sini,” ucap Hilda yang mulai membaringkan tubuhnya menatap langit kebiruan.

Rico menghela nafas dan mulai menidurkan kepalanya di kaki Arindha.

“Malah ikutan tidur ni anak! sono, bantuin Pak Sandi,” ucap Arindha yang melihat Rico meniduri kaki yang mulai kaku karena berlarian tadi pagi. 

Rico menutup kedua matanya. “Tenang, Pak Sandi ijin jam pelajaran kita,” jawab Rico dengan santai.

“Bagus, deh. Mendingan kita jalan-jalan aja, gimana?” tanya Hilda yang mulai kegirangan.

“Ogah. Aku capek, Hil. Kaki aku sakit,” keluh Arindha sambil menggerakkan kakinya dengan kasar.

“Sakit? kenapa gak bilang dari tadi, sana ke UKS aja. Mau muter kemana, Hil? Heum … pasti mau lewat kelasnya Xianzu, kan?” ucap Rico sambil meledek kedua temannya.

Arindha mulai berdiri. “Aku duluan ya,” ucap Arindha pelan.

Tangan Hilda meraih sesuatu di kantongnya. “Rin, bawa ini,” ucap Hilda sambil

menyodorkan roti. Hilda adalah teman Arindha yang hobi makan, bukan hanya sekedar kebutuhan lagi, seolah lambungnya selalu menuntut makan dan makan. Dia selalu membawa roti setiap kali pergi dari rumahnya, entah sekolah atau sekedar pergi bersama pacar dan teman-temannya.

Arindha tersenyum. “Makasih minuman dan rotinya.” Menatap Rico dan Hilda bergantian.

                                        **

Arindha mulai berjalan menuju UKS, sedangkan Rico dan Hilda pergi berjalan-jalan dan mencari Xianzu yang entah dimana keberadaanya.

Ruangan putih berukuran 4x4 lengang, semprotan pengharum ruangan yang sesekali menimbulkan suara memecah keheningan. Nampak ada orang lain yang sedang berbaring di ranjang paling pojok dengan ranjang yang dikelilingi tirai pembatas medis berwarna putih.

Arindha mulai melepas kedua sepatunya dan mulai berbaring. Dia melemaskan semua persendiannya, sesekali suara gemuruh berbunyi menyaingi suara semprotan ruangan itu.

Jarak ranjang Arindha dan laki-laki itu tidak terlalu jauh. Tiba-tiba, ada uluran tanganlaki-laki yang memegang roti menerobos tirainya, Arindha yang mengetahui maksud orang tersebut lantas mengambil roti itu.

“Makasih,” ucap Arindha singkat.

“Lain kali, kalo ke UKS bawa bekal, ini bukan kantin … ,” anjur laki-laki itu yang beberapa detik kemudian berdehem untuk, “Disini cuman ada obat,” lanjutnya yang terdengar sayu.

“Alex?” bisik Arindha pelan.

“Dimakan! perut elu dari tadi bunyi, bikin kepala gue tambah pusing aja,” cetus Alex singkat.

Arindha mulai memakan kedua roti pemberian temannya itu, dua-duanya ia makan sekaligus dan rasa laparnya terbayarkan sudah. Karena sudah kenyang, Arindha tak sadar bahwa matanya mulai tertutup rapat. 

Hening

Alex mencoba tidur, tetapi matanya menolak untuk istirahat, akhirnya Alex memutuskan untuk sekedar basa-basi pada gadis yang ditolongnya tadi pagi.

“Sakit apa?” celetuk Alex yang tidak tahu bahwa Arindha telah tertidur lelap.

Alex menanyakan hal yang sama beberapa kali, dan tetap tidak ada jawaban.

Alex membuka tirainya.“Buset, cepet banget tidurnya,” ejek Alex dengan menyengirkan bibirnya.

                                    **

Mata Arindha mulai terbuka perlahan, rabun. Dia berusaha terus mengedipkan matanya agar semua nampak jelas. Saat pandangannya sempurna dia kaget, muka Alex berada sangat dekat dengan muka Arindha.

Arindha mulai duduk. “A-alex, ngapain lo?” tanya Arindha gugup.

“Dari tadi gue bangunin tapi elo gak bangun-bangun, gerak-gerik elo mencurigakan, sih. Niatnya … mau gue sirem pake ni air,” tekad Alex sambil melirik gelas yang berisi air di tangannya.

“Oh, ya maaf. Kepala gue pusing banget. Biasalah, anak vertigo,” dalih Arindha sambil mengusap kepalanya.

Arindha mulai turun dari ranjangnya, memakai sepatu dan berjalan mendekati pintu UKS. Dia tidak sadar, jepit rambutnya jatuh di dekat bantal yang dia tiduri.

Melihat Arindha yang sudah keluar UKS membuat Alex ingin segera meninggalkan ruangan itu juga. Saat Alex melewati ranjang Arindha, mata ayamnya melihat benda yang tak asing lagi menurutnya.

“Aku pinjem,” kata Alex sambil memasukkan jepit rambut Arindha di sakunya.

Related chapters

  • Mari kembali ke Masa Lalu   TIGA

    Arindha mulai mengganti pakaiannya, merapikan rambut dan berdiri di depan cermin itu lagi. Arindha kaget, dan segera mencari jepit rambutnya. Dia kembali ke UKS, Arindha mulai menyusuri setiap sudut ruang putih itu. Nihil, Arindha hanya terdiam dan harus merelakan jepit rambut kesayangannya itu. Dia berjalan di kantin, mulai mencari kedua sahabatnya seperti biasanya. Kepala Arindha terus menoleh ke kanan dan kiri. Sampai akhirnya, dia berhasil duduk dengan wajah sumringah di sebelah Hilda. Tangan Hilda menggeser mangkuk yang berisi bakso kuah kesukaan Arindha. “Nih, spesial buat kamu, Rin,” ucap Hilda dengan memperlihatkan barisan gigi putihnya. Arindha tersenyum. “Makasih, lagi,” ucap Arindha pelan. “Mulai besok, kamu harus bangun pagi-pagi. Gak perlu naik angkot lagi, kita berangkat bareng,” titah Rico. Arindha nyengir. “Kalo kepaksa gak usah,” ucap Arindha sambil mengaduk bakso dihadapannya. “Kamu kenapa, sih

    Last Updated : 2021-10-06
  • Mari kembali ke Masa Lalu   EMPAT

    06.00 AM Alarm Arindha berbunyi nyaring sampai membuat telinganya kesal, dia segera mandi dan bersiap lebih awal dari biasanya. Arindha berpikir kalau Rico akan sampai tiga puluh menit setelah dia siap. Nol besar, Rico sudah duduk santai di meja makan sambil menyantap sarapan yang telah dimasak Rita. Arindha yang tak percaya dengan kedua matanya segera mencubit pipi putihnya. Rico menatap Arindha. “Makan, Rin,” ucap Rico. “Kebalik, harusnya aku yang nawarin!” jawab Arindha sinis. Rita jalan dengan perlahan, dia membawa dua gelas susu di nampan kayu. Uban di kepalanya sudah terlihat jelas. Meskipun begitu, Rita masih terlihat anggun dipandang mata. Ubannya boleh dikata banyak, tetapi soal kulit, Rita menang banyak. Cup Rita mencium rambut Arindha. “Makan yang banyak, nak,” kata Rita. “Iya, bun,” jawab Arindha singkat. “Heum … enak banget, bun,” ucap Rico sambil mena

    Last Updated : 2021-10-07
  • Mari kembali ke Masa Lalu   LIMA

    Tangan Alex yang tadinya mengulur dia tarik kembali, tak lama kemudian dia pergi meninggalkan Arindha dan mulai menghisap vapor ia bawa di tangannya. Arindha membawa troli dan galon itu sampai tempat duduk di tepi lapangan, tapi dia kebingungan, karena belum juga menemukan Hilda. Nampak ada lambaian tangan mungil yang biasa dilihat Arindha, itu Hilda. Arindha mendekati Hilda tanpa memperdulikan jika banyak siswa siswi melihatnya dengan muka heran karena membawa troli yang diatasnya terdapat galon. “Galon?” tanya Hilda dengan menatap barang yang dibawa Arindha. “Iya, aku kehabisan air mineral di kantin,” jawab Arindha yang mulai duduk di sebelah Hilda. “Di toko depan sekolah?” tanya Xianzu. “Udah, Zu. Tapi, cuman ada ini,” Melirik galon. “Ya gak papa sih, Rin. Daripada si Rico gak mau minum,” kata Hilda sambil menutup mulutnya yang tertawa kecil dengan tangannya. Pertandingan basket dimula

    Last Updated : 2021-10-18
  • Mari kembali ke Masa Lalu   ENAM

    Gadis kecil berambut cokelat tengah berdiri menatap wajahnya di depan cermin lonjong yang tingginya hampir sama. Beberapa kali dia melirik jam dinding yang tak jauh dari kaca itu. Nggrekk Wanita paruh baya itu menghampiri anaknya, tangannya merangkul lembut tepat di bahu kecil putri kesayangannya.“Cantik.” ucap Rita dengan senyuman lebar sambil mengamati anaknya yang sudah bertumbuh jauh lebih besar. Cup Arindha tersenyum. “Makasih, ma. Kan cantiknya nular dari mama iya, kan?” kata Arindha. Mata Rita beberapa detik beralih, senyumnya mulai memudar perlahan dan menatap anaknya kembali. Rita hanya mengangguk, seolah meng-iyakan pertanyaan putrinya. Rita mengelus rambut Arindha dengan tangannya yang sudah mulai keriput. “Tunggu di depan, yuk. Kasian papa nunggu pintu depan sendiri,” titah Rita. Arindha mengambil tas kecilnya dan mengikuti Rita dari belakang. Peraturan di keluarga sejati adal

    Last Updated : 2021-10-29
  • Mari kembali ke Masa Lalu   TUJUH

    Setelah makan malam, mereka segera pulang tepat waktu. Rico mengalah untuk menganbil mobilnya karena ucapan Arindha saat pertama masuk café. Kaki Arindha mulai kaku berdiri diatas high hill nya yang cukup tinggi, dia mulai berjalan mendekati jalan depan café itu yang mulai sepi untuk mengalihkan perhatiannya pada kakinya yang sakit dan sudah menunggu Rico terlalu lama. Mobil Rico berhenti persis di depan pintu utama café itu, mata Rico bergerak kesana kemari mencari sahabatnya. Dia mencoba menelpon tetapi ponsel Arindha justru bergetar di samping tempat duduknya. “Ngilang kemana kamu, Rin,” keluh Rico yang mulai kesal sambil menggeletakkan ponselnya asal. Rico mulai turun dan mencari Arindha di sekeliling cafe, setelah beberapa saat dia bertemu dengan satpam yang bertugas di depan gerbang. “Pak, liat orang ini?” tanya Rico sambil menunjukkan foto Arindha pada satpam itu. “Iya, tuan. Dia ada di sana,” jawab

    Last Updated : 2021-11-13
  • Mari kembali ke Masa Lalu   Delapan

    Mata Arindha mulai silau walaupun kedua matanya belum terbuka. Cahaya itu lama kelamaan membuatnya kesal. Tangannya mulai mengucek mata kanannya, diamatinya cahaya yang mulai meninggi itu dengan malas."Mama pergi."Bukannya beranjak dari kasurnya, dia malah menenggelamkan wajahnya di selimut tebal yang sejak tadi menempel.**"Woi jambrett!" Teriak seorang gadis yang menggunakan seragam sekolah yang masih rapi karne efek setrika, yap. Dia Hilda. Tapi, pagi ini dia tidak diantar oleh Xianzu, entah ada masalah apa mereka berdua.Di kejauhan, Alex mengendarai motornya dengan santai melewati Hilda yang tengah mengerjar jambret itu."Sialan lo!"Alex tetap mejajukan motrnya, berusaha menyamai kecepatan jambret utu yang sudah hampir tak terlihat.Brukk"Minggir, gak usah ikut campur lo!""Kerja yang bener, jangan jadi pengecut!""Anj**ng"Alex dan jamret itu akhirnya berkelahi

    Last Updated : 2022-02-11
  • Mari kembali ke Masa Lalu   Prolog

    10.00 PM Kamar putih yang tak begitu luas masih disinari cahaya lampu yang memancar. Wajah pucat, keringat dingin dan mata kantuk, selalu dirasakan Arindha setiap malam. Sunyi, entah kenapa hal yang dijauhi banyak orang malah menjadi teman setia Arindha, menjadi penenangnya sampai dia bisa tidur lelap. Dulu, Arindha juga menjauhi kata itu, sunyi. Rasa traumanya, rasa takutnya akan mimpi yang sama membuatnya hampir gila, sampai dia menemukan ide yang menurutnya ampuh, obat tidur. Dosis obat yang dikonsumsi Arindha semakin lama semakin meningkat, lambung dan hatinya hampir terkena dampak dari obat itu sebulan terakhir. Kondisinya tidak bisa dikatakan baik, tapi berteman dengan sunyi bisa sedikit membantu tubuhnya untuk beradaptasi tanpa obat-obatan lagi dan lagi. Bushh.. Arindha merebahkan tubuhnya di lantai yang beralaskan karpet yang cukup tebal, dia menggerakkan kepalanya kekanan dan kiri, matanya yang sejak tadi melihat ke satu arah, kini mulai bergerak men

    Last Updated : 2021-09-27
  • Mari kembali ke Masa Lalu   SATU

    Seorang gadis berpakaian putih abu-abu tengah berlari tergesa-gesa berusaha memasuki area sekolahnya. Di kejauhan, dia sudah melihat teman-temannya yang terlambat berbaris rapi menunggu hukuman dari Pak Karyo, dia adalah guru BK tergalak dari yang lainnya. Iya, ada guru BK lainnya, beliau bernama Pak David. Pak David eksis di SMA Nusantara, wajah tampan dengan sikapnya yang ramah dan sedikit dingin membuat para murid gelapapan bukan main. Kedua mata Arindha terus bergerak mencari jalan terbaik untuk kabur dari hukuman. Kaki Arindha mulai melangkah ke belakang secara perlahan. Tetapi.. Krekk “Arindha!!” bentak Pak Karyo keras sambil meririk tepat di arahnya. "Sial." Alisnya berkerut, wajah tertekuk, ia hanya bisa menerima nasibnya dan berjalan mendekati Pak Karyo dan sekumpulan teman-temannya yang terlambat. “Nggak bosan bapak hukum? kamu kira ini TK yang masuknya jam setengah delapan, hah?” cetus Pak Karyo. “Mm-maaf Pak, say-”

    Last Updated : 2021-10-04

Latest chapter

  • Mari kembali ke Masa Lalu   Delapan

    Mata Arindha mulai silau walaupun kedua matanya belum terbuka. Cahaya itu lama kelamaan membuatnya kesal. Tangannya mulai mengucek mata kanannya, diamatinya cahaya yang mulai meninggi itu dengan malas."Mama pergi."Bukannya beranjak dari kasurnya, dia malah menenggelamkan wajahnya di selimut tebal yang sejak tadi menempel.**"Woi jambrett!" Teriak seorang gadis yang menggunakan seragam sekolah yang masih rapi karne efek setrika, yap. Dia Hilda. Tapi, pagi ini dia tidak diantar oleh Xianzu, entah ada masalah apa mereka berdua.Di kejauhan, Alex mengendarai motornya dengan santai melewati Hilda yang tengah mengerjar jambret itu."Sialan lo!"Alex tetap mejajukan motrnya, berusaha menyamai kecepatan jambret utu yang sudah hampir tak terlihat.Brukk"Minggir, gak usah ikut campur lo!""Kerja yang bener, jangan jadi pengecut!""Anj**ng"Alex dan jamret itu akhirnya berkelahi

  • Mari kembali ke Masa Lalu   TUJUH

    Setelah makan malam, mereka segera pulang tepat waktu. Rico mengalah untuk menganbil mobilnya karena ucapan Arindha saat pertama masuk café. Kaki Arindha mulai kaku berdiri diatas high hill nya yang cukup tinggi, dia mulai berjalan mendekati jalan depan café itu yang mulai sepi untuk mengalihkan perhatiannya pada kakinya yang sakit dan sudah menunggu Rico terlalu lama. Mobil Rico berhenti persis di depan pintu utama café itu, mata Rico bergerak kesana kemari mencari sahabatnya. Dia mencoba menelpon tetapi ponsel Arindha justru bergetar di samping tempat duduknya. “Ngilang kemana kamu, Rin,” keluh Rico yang mulai kesal sambil menggeletakkan ponselnya asal. Rico mulai turun dan mencari Arindha di sekeliling cafe, setelah beberapa saat dia bertemu dengan satpam yang bertugas di depan gerbang. “Pak, liat orang ini?” tanya Rico sambil menunjukkan foto Arindha pada satpam itu. “Iya, tuan. Dia ada di sana,” jawab

  • Mari kembali ke Masa Lalu   ENAM

    Gadis kecil berambut cokelat tengah berdiri menatap wajahnya di depan cermin lonjong yang tingginya hampir sama. Beberapa kali dia melirik jam dinding yang tak jauh dari kaca itu. Nggrekk Wanita paruh baya itu menghampiri anaknya, tangannya merangkul lembut tepat di bahu kecil putri kesayangannya.“Cantik.” ucap Rita dengan senyuman lebar sambil mengamati anaknya yang sudah bertumbuh jauh lebih besar. Cup Arindha tersenyum. “Makasih, ma. Kan cantiknya nular dari mama iya, kan?” kata Arindha. Mata Rita beberapa detik beralih, senyumnya mulai memudar perlahan dan menatap anaknya kembali. Rita hanya mengangguk, seolah meng-iyakan pertanyaan putrinya. Rita mengelus rambut Arindha dengan tangannya yang sudah mulai keriput. “Tunggu di depan, yuk. Kasian papa nunggu pintu depan sendiri,” titah Rita. Arindha mengambil tas kecilnya dan mengikuti Rita dari belakang. Peraturan di keluarga sejati adal

  • Mari kembali ke Masa Lalu   LIMA

    Tangan Alex yang tadinya mengulur dia tarik kembali, tak lama kemudian dia pergi meninggalkan Arindha dan mulai menghisap vapor ia bawa di tangannya. Arindha membawa troli dan galon itu sampai tempat duduk di tepi lapangan, tapi dia kebingungan, karena belum juga menemukan Hilda. Nampak ada lambaian tangan mungil yang biasa dilihat Arindha, itu Hilda. Arindha mendekati Hilda tanpa memperdulikan jika banyak siswa siswi melihatnya dengan muka heran karena membawa troli yang diatasnya terdapat galon. “Galon?” tanya Hilda dengan menatap barang yang dibawa Arindha. “Iya, aku kehabisan air mineral di kantin,” jawab Arindha yang mulai duduk di sebelah Hilda. “Di toko depan sekolah?” tanya Xianzu. “Udah, Zu. Tapi, cuman ada ini,” Melirik galon. “Ya gak papa sih, Rin. Daripada si Rico gak mau minum,” kata Hilda sambil menutup mulutnya yang tertawa kecil dengan tangannya. Pertandingan basket dimula

  • Mari kembali ke Masa Lalu   EMPAT

    06.00 AM Alarm Arindha berbunyi nyaring sampai membuat telinganya kesal, dia segera mandi dan bersiap lebih awal dari biasanya. Arindha berpikir kalau Rico akan sampai tiga puluh menit setelah dia siap. Nol besar, Rico sudah duduk santai di meja makan sambil menyantap sarapan yang telah dimasak Rita. Arindha yang tak percaya dengan kedua matanya segera mencubit pipi putihnya. Rico menatap Arindha. “Makan, Rin,” ucap Rico. “Kebalik, harusnya aku yang nawarin!” jawab Arindha sinis. Rita jalan dengan perlahan, dia membawa dua gelas susu di nampan kayu. Uban di kepalanya sudah terlihat jelas. Meskipun begitu, Rita masih terlihat anggun dipandang mata. Ubannya boleh dikata banyak, tetapi soal kulit, Rita menang banyak. Cup Rita mencium rambut Arindha. “Makan yang banyak, nak,” kata Rita. “Iya, bun,” jawab Arindha singkat. “Heum … enak banget, bun,” ucap Rico sambil mena

  • Mari kembali ke Masa Lalu   TIGA

    Arindha mulai mengganti pakaiannya, merapikan rambut dan berdiri di depan cermin itu lagi. Arindha kaget, dan segera mencari jepit rambutnya. Dia kembali ke UKS, Arindha mulai menyusuri setiap sudut ruang putih itu. Nihil, Arindha hanya terdiam dan harus merelakan jepit rambut kesayangannya itu. Dia berjalan di kantin, mulai mencari kedua sahabatnya seperti biasanya. Kepala Arindha terus menoleh ke kanan dan kiri. Sampai akhirnya, dia berhasil duduk dengan wajah sumringah di sebelah Hilda. Tangan Hilda menggeser mangkuk yang berisi bakso kuah kesukaan Arindha. “Nih, spesial buat kamu, Rin,” ucap Hilda dengan memperlihatkan barisan gigi putihnya. Arindha tersenyum. “Makasih, lagi,” ucap Arindha pelan. “Mulai besok, kamu harus bangun pagi-pagi. Gak perlu naik angkot lagi, kita berangkat bareng,” titah Rico. Arindha nyengir. “Kalo kepaksa gak usah,” ucap Arindha sambil mengaduk bakso dihadapannya. “Kamu kenapa, sih

  • Mari kembali ke Masa Lalu   DUA

    Arindha mulai berjalan meninggalkan mereka bertiga dan mulai fokus memikirkan cara agar bisa menyelinap masuk ke dalam kelasnya. Beruntung, mata pelajaran pertama Arindha adalah Fisika. Tidak seperti Pak Karyo yang selalu ceramah di pagi hari, Bu Yuyun selalu menuliskan banyak rumus saat pelajarannya. “Sst-sst, Rico!” bisik Arindha sambil menatap Rico panik di sudut pintu kelas yang terbuka lebar. Mata Rico mencari asal suara itu, dia celingukan melihat pintu dan jendela-jendela kelas. "Ck, kupingnya bermasalah ni orang." Tangannya dilambai tinggi, berharap Rico melihat tangan kecilnya. Mata Rico bergerak dan berhenti tepat di lambaian Arindha. “Arindha?” Melirik Arindha kebingungan. Telapak tangan Rico mekar dan jari-jarinya merenggang, seolah mengisrayatkan agar Arindha tetap berdiam diri di posisinya. Sementara itu, dia mencari celah agar Arindha bisa memasuki kelas dengan aman tanpa hukuman dari Bu Yuyun yang sama halny

  • Mari kembali ke Masa Lalu   SATU

    Seorang gadis berpakaian putih abu-abu tengah berlari tergesa-gesa berusaha memasuki area sekolahnya. Di kejauhan, dia sudah melihat teman-temannya yang terlambat berbaris rapi menunggu hukuman dari Pak Karyo, dia adalah guru BK tergalak dari yang lainnya. Iya, ada guru BK lainnya, beliau bernama Pak David. Pak David eksis di SMA Nusantara, wajah tampan dengan sikapnya yang ramah dan sedikit dingin membuat para murid gelapapan bukan main. Kedua mata Arindha terus bergerak mencari jalan terbaik untuk kabur dari hukuman. Kaki Arindha mulai melangkah ke belakang secara perlahan. Tetapi.. Krekk “Arindha!!” bentak Pak Karyo keras sambil meririk tepat di arahnya. "Sial." Alisnya berkerut, wajah tertekuk, ia hanya bisa menerima nasibnya dan berjalan mendekati Pak Karyo dan sekumpulan teman-temannya yang terlambat. “Nggak bosan bapak hukum? kamu kira ini TK yang masuknya jam setengah delapan, hah?” cetus Pak Karyo. “Mm-maaf Pak, say-”

  • Mari kembali ke Masa Lalu   Prolog

    10.00 PM Kamar putih yang tak begitu luas masih disinari cahaya lampu yang memancar. Wajah pucat, keringat dingin dan mata kantuk, selalu dirasakan Arindha setiap malam. Sunyi, entah kenapa hal yang dijauhi banyak orang malah menjadi teman setia Arindha, menjadi penenangnya sampai dia bisa tidur lelap. Dulu, Arindha juga menjauhi kata itu, sunyi. Rasa traumanya, rasa takutnya akan mimpi yang sama membuatnya hampir gila, sampai dia menemukan ide yang menurutnya ampuh, obat tidur. Dosis obat yang dikonsumsi Arindha semakin lama semakin meningkat, lambung dan hatinya hampir terkena dampak dari obat itu sebulan terakhir. Kondisinya tidak bisa dikatakan baik, tapi berteman dengan sunyi bisa sedikit membantu tubuhnya untuk beradaptasi tanpa obat-obatan lagi dan lagi. Bushh.. Arindha merebahkan tubuhnya di lantai yang beralaskan karpet yang cukup tebal, dia menggerakkan kepalanya kekanan dan kiri, matanya yang sejak tadi melihat ke satu arah, kini mulai bergerak men

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status