Share

EMPAT

Penulis: Nola Amalia
last update Terakhir Diperbarui: 2021-10-07 20:59:14

06.00 AM

Alarm Arindha berbunyi nyaring sampai membuat telinganya kesal, dia segera mandi dan bersiap lebih awal dari biasanya. Arindha berpikir kalau Rico akan sampai tiga puluh menit setelah dia siap. 

Nol besar, Rico sudah duduk santai di meja makan sambil menyantap sarapan yang telah dimasak Rita. Arindha yang tak percaya dengan kedua matanya segera mencubit pipi putihnya.

Rico menatap Arindha. “Makan, Rin,”  ucap Rico.

“Kebalik, harusnya aku yang nawarin!” jawab Arindha sinis.

Rita jalan dengan perlahan, dia membawa dua gelas susu di nampan kayu. Uban di kepalanya sudah terlihat jelas. Meskipun begitu, Rita masih terlihat anggun dipandang mata. Ubannya boleh dikata banyak, tetapi soal kulit, Rita menang banyak.

Cup

Rita mencium rambut Arindha. “Makan yang banyak, nak,” kata Rita.

“Iya, bun,” jawab Arindha singkat.

“Heum … enak banget, bun,” ucap Rico sambil menatap Rita.

Rita menatap Arindha yang sedang memakan sarapannya. “Harus enak, dong. Sehari kemarin Arindha gak makan masakan bunda,” ucap Rita sedih.

Arindha menghela nafas panjang. “Bun, Arin gak papa. Bunda cukup sehat, Arin dah seneng kok, gak perlu masak buat Arin juga gak papa, bun,” ucap Arindha dengan penuh keyakinan.

Hening

Rita hanya tersenyum dan mulai meninggalkan mereka sarapan.

"Maaf, nak. Kehadiran bunda enggak bisa seratus persen buat kamu, buat menemani pertumbuhan di setiap kehidupan kamu. Tapi, bunda akan berusaha, bangkit dari rasa sakit ini dan bisa tetap disamping kamu."

Air mata Rita terjun bebas di kedua pipinya dan segera ia sapu dengan telapak tangannya dengan kasar. Dia menghela napas menormalkan pernapasannya yang sedari tadi mulai sesak tak beraturan.

                                           ***

Sepeda putih mengkilat melaju dengan cepat dibawah naungan sang mentari pagi, Rambut cokelat panjang tak terikat nampak terbang ke segala arah. Arindha mengangkat kedua tangannya, menutup mata dan menikmati semilir angin pagi yang menembus pori-porinya. Hatinya lega, dia yakin hari ini dia tak akan bertemu dengan Karyo, guru BK nya.

“Pegangan!”

“Ganggu aja, udah nyetir aja sana!” ucap Arindha kesal.

Rico yang sudah lelah mengolengkan sepedanya dua kali agar perempuan di belakangnya menurut 

“Ehhh Rico!” sahut Arindha yang mulai kaget dan memegang pundaknya dengan kuat.

“Makanya pegangan!” titah Rico.

Arindha kembali melihat dan merasakan pemandangan yang menyegarkan matanya; pohon yang hijau, udara yang segar dan seorang lelaki atletis yang sedang berlari pagi.

Lelaki itu semakin dekat, dan semakin dekat. Nyata.

“Ricoo!!” teriak Arindha dengan keras dan spontan melepas kedua tangannya.

Rico yang terkejut dengan tingkah Arindha langsung menstabilkan lajunya, tangan kirinya memegangi punggung Arindha yang akan terjungkal kebelakang.

“Tahan, Rin,” titah Rico.

Cciiittt..

Rem sepeda Rico berdecit nyaring dan berhasil memberhentikan sepedanya dengan aman, dia mulai turun dan membantu Arindha turun dari sepeda. Terlihat keringat dingin bercucuran di dahi Arindha, matanya masih terpejam dan nafasnya masih menggebu-gebu.

Rico sudah lama tak mengantar jemput Arindha lagi, dia pikir Arindha sudah pulih, tapi sebaliknya.

Laki-laki atletis itu, pasti dia, dia yang Arindha lihat. Dia yang memakai kacamata hitam dengan baju biru yang persis dipakai Raja saat kejadian sebelas tahun yang lalu.

Kejadian itu sangat membekas dan menjadi trauma untuk Arindha, apalagi Rita. Setelah kejadian itu, Rita divonis terkena penyakit jantung. Rico tahu semuanya, dia yang dengan sabar merawat Arindha dimasa kelam, dimasa Arindha sudah tak memiliki arah dan harapan melanjutkan hidup. Rico tahu dan menjadi saksi bisu melihat Jati berjuang sendiri untuk menjaga istri dan anaknya yang tinggal satu, yang berusaha bangkit saat dirinya sendiri masih hancur dengan kepergian jagoannya.

Rico juga harus mengemban janji, menjaga rahasia penyakit Rita untuk Arindha. Sikap Arindha akan berbeda jika dia mengetahui semuanya, mengetahui bahwa bunda nya selalu diambang kematian. Harapannya pasti akan patah seperti dulu, tak memiliki keinginan untuk hidup, dia akan menyalahkan segalanya, dan mengutuki dirinya sendiri. Dan jangan sampai, kejadian bunuh diri terulang untuk yang kedua kalinya.

Tangan Rico melingkar di tubuh Arindha, mengelus punggungnya beberapa kali agar sahabatnya bisa tenang seperti sebelumnya.

Hangat, tubuh Rico hangat, itu yang ada dalam pikirannya saat ini. Perasaannya mulai tenang, mata Arindha mulai terbuka sedikit demi sedikit dan kedua bola mata cokelat itu bergerak melihat sekelilingnya.

Arindha menghela napas. “Udah pergi?” ucapnya singkat.

“Udah, Rin,” kata Rico pelan untuk menenangkan Arindha.

                                            **

Deretan kelas dipenuhi siswa-siswi, mereka asyik berbincang dan mengamati poster besar yang tertempel di dinding warna hijau muda. Rico dan Arindha penasaran, mereka mulai mendekati Hilda yang kebetulan berdiri dekat pintu kelas dengan Xianzu.

“Ada apaan sih, rame banget?” tanya Arindha.

“Oh, mereka lagi liat poster sekolah. Biasalah, mereka terpana sama hasil poster anak OSIS,” jawab Xianzu sambil menyilangkan kedua tangannya.

“Idih, sombong bener ni anak. Btw poster apa?” tanya Rico.

“Poster tentang lomba sekolah, Co. Tiga hari lagi ultah SMA,” jawab Xianzu.

“Nyanyi, Rin!” sahut Hilda.

“Gak ah, malu,” kata Arindha.

“Eh.. jangan, ntar semua yang denger dia nyanyi pada mules,” ucap Rico sambil tertawa.

“Alah, belum pernah denger aku nyanyi aja udah nuduh. Mentang-mentang jago main basket, ngeledek orang seenak jidat!” tegas Arindha.

“Eits, aku emang jago. Gak pernah kalah!” Menatap Arindha dengan angkuh.

“Widih bisa sombong juga ni anak. Kalo gitu, besok ikutan lomba basket aja, kamu juga ikut, Rin. Yang kalah traktir yang menang. Seru, kan?” tantang Hilda.

Mata Rico dan Arindha saling bertemu. “Deal,” jawab Rico dan Arindha.

                                         **

Tiga hari kemudian..

Gumpalan awan menutupi langit yang kebiruan, terlihat gadis berambut cokelat berdiri mengamati jam di tangannya.

Laki-laki yang diberi hukuman skors satu minggu sama sekali tak menghiraukannya, dia datang ke sekolah hari ini, dia melihat gadis yang menjadi alasan sanyuman simpulnya beberapa hari yang lalu. Dia mulai mendekat dan memegang pundak belakang gadis itu.

“Alex?” panggil Arindha.

Alex tak menjawab sapaan Arindha, dia tersenyum dan mengulurkan kepalan tangannya. “Buka,” kata Alex singkat.

Arindha mulai membuka kepalan tangan Alex, dia tersenyum. Arindha melihat jepit rambut kesayangannya yang hilang saat di UKS.

“Makasih, Lex,” ucap Arindha.

“Sama-sama, lain kali jangan teledor,” titah Alex.

Arindha membalikkan badannya, memberi kode pada Alex agar dia memasangkannya di tengah rambut Arindha. Entah dia memiliki saudara perempuan atau apa, dia dengan lihai merapikan dan mulai menjepit rambut cokelat itu dengan rapi.

“Selesai,” ucap Alex singkat.

Kepala Arindha menoleh ke arah Alex, dia tersenyum, kali ini dengan menampakkan barisan gigi putihnya. Kaki Arindha mulai melangkah ke depan, meninggalkan Alex dibelakang yang masih berdiri tegak dengan senyuman.

                                        **

Arindha mulai memasuki aula yang sudah dihias dengan beragam alat musik, dia duduk di meja depan sebelah Vino. Arindha mendapat bantuan dari Vino untuk membawakan lagunya.

“Hei! siap, Rin?” Menoleh ke arah Arindha.

“Siap dong, Vin,” jawab Arindha.

Para penonton sudah berkumpul di mejanya masing-masing, Arindha dan Vino mulai naik ke atas panggung dan menampilkan lagu mereka. Ditengah Arindha menyanyikan lagu, Arindha melihat Rico sedang menatapnya tak biasa. Meskipun begitu, Arindha menghiraukannya.

“Wow, tepuk tangan untuk Vino dan Arindha.. Huuu!” teriak Jio yang menjadi panitia.

Semua orang bersorak dan tepuk tangan, Arindha dan Vino mulai turun dari panggung dan duduk di sebelah Hilda dan Xianzu.

“Suara kamu lumayan juga, Rin,” ucap Hilda.

“Tinggal bilang bagus aja susah banget, Hil,” Melirik Hilda yang meledek.

Rico mulai mendekat ke meja Arindha, Vino, Hilda dan Xianzu.

“Heum.. suara kamu gak sejelek yang aku kira,” ucap Rico.

“Nah, ini lagi,” kata Arindha.

Mereka menertawakan Arindha yang sebal, bukan mengerikan, muka polos Arindha terlihat lucu saat marah ataupun saat sebal karena ledekan kedua sahabatnya.

                                       **

Pertandingan basket lima menit lagi akan dimulai, Arindha berlari kesana kemari mencari penjual air mineral, tetapi dia tak diberi kesempatan.

Semua air mineral ludes terjual, beberapa diantaranya sudah di borong oleh guru sekolahnya. Arindha mulai memasuki toko kelontong tua depan sekolahnya, terlihat beberapa minuman aneka rasa berjejer rapi di rak tua berwarna cokelat. Pria paruh baya terlihat sedang mencatat barang dagangannya, sesekali dia menekan tombol-tombol di kalkulator.

Arindha mendekati pria itu, menunggunya sampai selesai menulis di kertas putih kekuningan. Pria itu mengangkat kepalanya, dia menoleh ke arah Arindha.

“Cari apa, neng?” tanya pria paruh baya itu.

“Cari air mineral.” jawab Arindha.

“Waduh, air mineralnya sudah habis, neng. Coba beli di kantin sekolah saja,” ucap pria itu.

“Sudah, disana juga habis,” keluh Arindha.

“Kalau galon masih ada, neng,” bujuk pria itu.

Tanpa berpikir panjang, Arindha meng-iyakan tawaran pria itu. Rico adalah orang yang tidak suka minum selain air mineral setelah olahraga, dia lebih memilih kehausan daripada meminum air yang berasa.

Pria itu mengangkat galon dan meletakkannya di troli tuanya. "Dipakai dulu gak apa-apa, neng,” ucap pria itu.

Arindha menyodorkan uangnya. “Ini, pak. Makasih, nanti saya kembalikan,” kata Arindha.

Dengan muka yang sudah mulai berkeringat, Arindha segera menarik troli itu sampai di lapangan basket. Alex yang berjalan jalan sambil menyebulkan asap rokok melihat Arindha tertatih-tatih menarik troli yang cukup berat karena muatan galon diatasnya.

“Sini, biar aku aja,” tawar Alex.

“Eum.. gak usah, Lex. Makasih,” jawab Arindha.

“Gak papa, biar aku-“ ucap Alex.

“Ini buat Rico,” Potong Arindha.

Nola Amalia

Hallo! Gimana, udah kebayang belum tentang sifatnya Alex? Yuk, ikutin perjalanan kisah ini bersama Author tentunya :) See u in the next part.

| 1

Bab terkait

  • Mari kembali ke Masa Lalu   LIMA

    Tangan Alex yang tadinya mengulur dia tarik kembali, tak lama kemudian dia pergi meninggalkan Arindha dan mulai menghisap vapor ia bawa di tangannya. Arindha membawa troli dan galon itu sampai tempat duduk di tepi lapangan, tapi dia kebingungan, karena belum juga menemukan Hilda. Nampak ada lambaian tangan mungil yang biasa dilihat Arindha, itu Hilda. Arindha mendekati Hilda tanpa memperdulikan jika banyak siswa siswi melihatnya dengan muka heran karena membawa troli yang diatasnya terdapat galon. “Galon?” tanya Hilda dengan menatap barang yang dibawa Arindha. “Iya, aku kehabisan air mineral di kantin,” jawab Arindha yang mulai duduk di sebelah Hilda. “Di toko depan sekolah?” tanya Xianzu. “Udah, Zu. Tapi, cuman ada ini,” Melirik galon. “Ya gak papa sih, Rin. Daripada si Rico gak mau minum,” kata Hilda sambil menutup mulutnya yang tertawa kecil dengan tangannya. Pertandingan basket dimula

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-18
  • Mari kembali ke Masa Lalu   ENAM

    Gadis kecil berambut cokelat tengah berdiri menatap wajahnya di depan cermin lonjong yang tingginya hampir sama. Beberapa kali dia melirik jam dinding yang tak jauh dari kaca itu. Nggrekk Wanita paruh baya itu menghampiri anaknya, tangannya merangkul lembut tepat di bahu kecil putri kesayangannya.“Cantik.” ucap Rita dengan senyuman lebar sambil mengamati anaknya yang sudah bertumbuh jauh lebih besar. Cup Arindha tersenyum. “Makasih, ma. Kan cantiknya nular dari mama iya, kan?” kata Arindha. Mata Rita beberapa detik beralih, senyumnya mulai memudar perlahan dan menatap anaknya kembali. Rita hanya mengangguk, seolah meng-iyakan pertanyaan putrinya. Rita mengelus rambut Arindha dengan tangannya yang sudah mulai keriput. “Tunggu di depan, yuk. Kasian papa nunggu pintu depan sendiri,” titah Rita. Arindha mengambil tas kecilnya dan mengikuti Rita dari belakang. Peraturan di keluarga sejati adal

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-29
  • Mari kembali ke Masa Lalu   TUJUH

    Setelah makan malam, mereka segera pulang tepat waktu. Rico mengalah untuk menganbil mobilnya karena ucapan Arindha saat pertama masuk café. Kaki Arindha mulai kaku berdiri diatas high hill nya yang cukup tinggi, dia mulai berjalan mendekati jalan depan café itu yang mulai sepi untuk mengalihkan perhatiannya pada kakinya yang sakit dan sudah menunggu Rico terlalu lama. Mobil Rico berhenti persis di depan pintu utama café itu, mata Rico bergerak kesana kemari mencari sahabatnya. Dia mencoba menelpon tetapi ponsel Arindha justru bergetar di samping tempat duduknya. “Ngilang kemana kamu, Rin,” keluh Rico yang mulai kesal sambil menggeletakkan ponselnya asal. Rico mulai turun dan mencari Arindha di sekeliling cafe, setelah beberapa saat dia bertemu dengan satpam yang bertugas di depan gerbang. “Pak, liat orang ini?” tanya Rico sambil menunjukkan foto Arindha pada satpam itu. “Iya, tuan. Dia ada di sana,” jawab

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-13
  • Mari kembali ke Masa Lalu   Delapan

    Mata Arindha mulai silau walaupun kedua matanya belum terbuka. Cahaya itu lama kelamaan membuatnya kesal. Tangannya mulai mengucek mata kanannya, diamatinya cahaya yang mulai meninggi itu dengan malas."Mama pergi."Bukannya beranjak dari kasurnya, dia malah menenggelamkan wajahnya di selimut tebal yang sejak tadi menempel.**"Woi jambrett!" Teriak seorang gadis yang menggunakan seragam sekolah yang masih rapi karne efek setrika, yap. Dia Hilda. Tapi, pagi ini dia tidak diantar oleh Xianzu, entah ada masalah apa mereka berdua.Di kejauhan, Alex mengendarai motornya dengan santai melewati Hilda yang tengah mengerjar jambret itu."Sialan lo!"Alex tetap mejajukan motrnya, berusaha menyamai kecepatan jambret utu yang sudah hampir tak terlihat.Brukk"Minggir, gak usah ikut campur lo!""Kerja yang bener, jangan jadi pengecut!""Anj**ng"Alex dan jamret itu akhirnya berkelahi

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-11
  • Mari kembali ke Masa Lalu   Prolog

    10.00 PM Kamar putih yang tak begitu luas masih disinari cahaya lampu yang memancar. Wajah pucat, keringat dingin dan mata kantuk, selalu dirasakan Arindha setiap malam. Sunyi, entah kenapa hal yang dijauhi banyak orang malah menjadi teman setia Arindha, menjadi penenangnya sampai dia bisa tidur lelap. Dulu, Arindha juga menjauhi kata itu, sunyi. Rasa traumanya, rasa takutnya akan mimpi yang sama membuatnya hampir gila, sampai dia menemukan ide yang menurutnya ampuh, obat tidur. Dosis obat yang dikonsumsi Arindha semakin lama semakin meningkat, lambung dan hatinya hampir terkena dampak dari obat itu sebulan terakhir. Kondisinya tidak bisa dikatakan baik, tapi berteman dengan sunyi bisa sedikit membantu tubuhnya untuk beradaptasi tanpa obat-obatan lagi dan lagi. Bushh.. Arindha merebahkan tubuhnya di lantai yang beralaskan karpet yang cukup tebal, dia menggerakkan kepalanya kekanan dan kiri, matanya yang sejak tadi melihat ke satu arah, kini mulai bergerak men

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-27
  • Mari kembali ke Masa Lalu   SATU

    Seorang gadis berpakaian putih abu-abu tengah berlari tergesa-gesa berusaha memasuki area sekolahnya. Di kejauhan, dia sudah melihat teman-temannya yang terlambat berbaris rapi menunggu hukuman dari Pak Karyo, dia adalah guru BK tergalak dari yang lainnya. Iya, ada guru BK lainnya, beliau bernama Pak David. Pak David eksis di SMA Nusantara, wajah tampan dengan sikapnya yang ramah dan sedikit dingin membuat para murid gelapapan bukan main. Kedua mata Arindha terus bergerak mencari jalan terbaik untuk kabur dari hukuman. Kaki Arindha mulai melangkah ke belakang secara perlahan. Tetapi.. Krekk “Arindha!!” bentak Pak Karyo keras sambil meririk tepat di arahnya. "Sial." Alisnya berkerut, wajah tertekuk, ia hanya bisa menerima nasibnya dan berjalan mendekati Pak Karyo dan sekumpulan teman-temannya yang terlambat. “Nggak bosan bapak hukum? kamu kira ini TK yang masuknya jam setengah delapan, hah?” cetus Pak Karyo. “Mm-maaf Pak, say-”

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-04
  • Mari kembali ke Masa Lalu   DUA

    Arindha mulai berjalan meninggalkan mereka bertiga dan mulai fokus memikirkan cara agar bisa menyelinap masuk ke dalam kelasnya. Beruntung, mata pelajaran pertama Arindha adalah Fisika. Tidak seperti Pak Karyo yang selalu ceramah di pagi hari, Bu Yuyun selalu menuliskan banyak rumus saat pelajarannya. “Sst-sst, Rico!” bisik Arindha sambil menatap Rico panik di sudut pintu kelas yang terbuka lebar. Mata Rico mencari asal suara itu, dia celingukan melihat pintu dan jendela-jendela kelas. "Ck, kupingnya bermasalah ni orang." Tangannya dilambai tinggi, berharap Rico melihat tangan kecilnya. Mata Rico bergerak dan berhenti tepat di lambaian Arindha. “Arindha?” Melirik Arindha kebingungan. Telapak tangan Rico mekar dan jari-jarinya merenggang, seolah mengisrayatkan agar Arindha tetap berdiam diri di posisinya. Sementara itu, dia mencari celah agar Arindha bisa memasuki kelas dengan aman tanpa hukuman dari Bu Yuyun yang sama halny

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-05
  • Mari kembali ke Masa Lalu   TIGA

    Arindha mulai mengganti pakaiannya, merapikan rambut dan berdiri di depan cermin itu lagi. Arindha kaget, dan segera mencari jepit rambutnya. Dia kembali ke UKS, Arindha mulai menyusuri setiap sudut ruang putih itu. Nihil, Arindha hanya terdiam dan harus merelakan jepit rambut kesayangannya itu. Dia berjalan di kantin, mulai mencari kedua sahabatnya seperti biasanya. Kepala Arindha terus menoleh ke kanan dan kiri. Sampai akhirnya, dia berhasil duduk dengan wajah sumringah di sebelah Hilda. Tangan Hilda menggeser mangkuk yang berisi bakso kuah kesukaan Arindha. “Nih, spesial buat kamu, Rin,” ucap Hilda dengan memperlihatkan barisan gigi putihnya. Arindha tersenyum. “Makasih, lagi,” ucap Arindha pelan. “Mulai besok, kamu harus bangun pagi-pagi. Gak perlu naik angkot lagi, kita berangkat bareng,” titah Rico. Arindha nyengir. “Kalo kepaksa gak usah,” ucap Arindha sambil mengaduk bakso dihadapannya. “Kamu kenapa, sih

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-06

Bab terbaru

  • Mari kembali ke Masa Lalu   Delapan

    Mata Arindha mulai silau walaupun kedua matanya belum terbuka. Cahaya itu lama kelamaan membuatnya kesal. Tangannya mulai mengucek mata kanannya, diamatinya cahaya yang mulai meninggi itu dengan malas."Mama pergi."Bukannya beranjak dari kasurnya, dia malah menenggelamkan wajahnya di selimut tebal yang sejak tadi menempel.**"Woi jambrett!" Teriak seorang gadis yang menggunakan seragam sekolah yang masih rapi karne efek setrika, yap. Dia Hilda. Tapi, pagi ini dia tidak diantar oleh Xianzu, entah ada masalah apa mereka berdua.Di kejauhan, Alex mengendarai motornya dengan santai melewati Hilda yang tengah mengerjar jambret itu."Sialan lo!"Alex tetap mejajukan motrnya, berusaha menyamai kecepatan jambret utu yang sudah hampir tak terlihat.Brukk"Minggir, gak usah ikut campur lo!""Kerja yang bener, jangan jadi pengecut!""Anj**ng"Alex dan jamret itu akhirnya berkelahi

  • Mari kembali ke Masa Lalu   TUJUH

    Setelah makan malam, mereka segera pulang tepat waktu. Rico mengalah untuk menganbil mobilnya karena ucapan Arindha saat pertama masuk café. Kaki Arindha mulai kaku berdiri diatas high hill nya yang cukup tinggi, dia mulai berjalan mendekati jalan depan café itu yang mulai sepi untuk mengalihkan perhatiannya pada kakinya yang sakit dan sudah menunggu Rico terlalu lama. Mobil Rico berhenti persis di depan pintu utama café itu, mata Rico bergerak kesana kemari mencari sahabatnya. Dia mencoba menelpon tetapi ponsel Arindha justru bergetar di samping tempat duduknya. “Ngilang kemana kamu, Rin,” keluh Rico yang mulai kesal sambil menggeletakkan ponselnya asal. Rico mulai turun dan mencari Arindha di sekeliling cafe, setelah beberapa saat dia bertemu dengan satpam yang bertugas di depan gerbang. “Pak, liat orang ini?” tanya Rico sambil menunjukkan foto Arindha pada satpam itu. “Iya, tuan. Dia ada di sana,” jawab

  • Mari kembali ke Masa Lalu   ENAM

    Gadis kecil berambut cokelat tengah berdiri menatap wajahnya di depan cermin lonjong yang tingginya hampir sama. Beberapa kali dia melirik jam dinding yang tak jauh dari kaca itu. Nggrekk Wanita paruh baya itu menghampiri anaknya, tangannya merangkul lembut tepat di bahu kecil putri kesayangannya.“Cantik.” ucap Rita dengan senyuman lebar sambil mengamati anaknya yang sudah bertumbuh jauh lebih besar. Cup Arindha tersenyum. “Makasih, ma. Kan cantiknya nular dari mama iya, kan?” kata Arindha. Mata Rita beberapa detik beralih, senyumnya mulai memudar perlahan dan menatap anaknya kembali. Rita hanya mengangguk, seolah meng-iyakan pertanyaan putrinya. Rita mengelus rambut Arindha dengan tangannya yang sudah mulai keriput. “Tunggu di depan, yuk. Kasian papa nunggu pintu depan sendiri,” titah Rita. Arindha mengambil tas kecilnya dan mengikuti Rita dari belakang. Peraturan di keluarga sejati adal

  • Mari kembali ke Masa Lalu   LIMA

    Tangan Alex yang tadinya mengulur dia tarik kembali, tak lama kemudian dia pergi meninggalkan Arindha dan mulai menghisap vapor ia bawa di tangannya. Arindha membawa troli dan galon itu sampai tempat duduk di tepi lapangan, tapi dia kebingungan, karena belum juga menemukan Hilda. Nampak ada lambaian tangan mungil yang biasa dilihat Arindha, itu Hilda. Arindha mendekati Hilda tanpa memperdulikan jika banyak siswa siswi melihatnya dengan muka heran karena membawa troli yang diatasnya terdapat galon. “Galon?” tanya Hilda dengan menatap barang yang dibawa Arindha. “Iya, aku kehabisan air mineral di kantin,” jawab Arindha yang mulai duduk di sebelah Hilda. “Di toko depan sekolah?” tanya Xianzu. “Udah, Zu. Tapi, cuman ada ini,” Melirik galon. “Ya gak papa sih, Rin. Daripada si Rico gak mau minum,” kata Hilda sambil menutup mulutnya yang tertawa kecil dengan tangannya. Pertandingan basket dimula

  • Mari kembali ke Masa Lalu   EMPAT

    06.00 AM Alarm Arindha berbunyi nyaring sampai membuat telinganya kesal, dia segera mandi dan bersiap lebih awal dari biasanya. Arindha berpikir kalau Rico akan sampai tiga puluh menit setelah dia siap. Nol besar, Rico sudah duduk santai di meja makan sambil menyantap sarapan yang telah dimasak Rita. Arindha yang tak percaya dengan kedua matanya segera mencubit pipi putihnya. Rico menatap Arindha. “Makan, Rin,” ucap Rico. “Kebalik, harusnya aku yang nawarin!” jawab Arindha sinis. Rita jalan dengan perlahan, dia membawa dua gelas susu di nampan kayu. Uban di kepalanya sudah terlihat jelas. Meskipun begitu, Rita masih terlihat anggun dipandang mata. Ubannya boleh dikata banyak, tetapi soal kulit, Rita menang banyak. Cup Rita mencium rambut Arindha. “Makan yang banyak, nak,” kata Rita. “Iya, bun,” jawab Arindha singkat. “Heum … enak banget, bun,” ucap Rico sambil mena

  • Mari kembali ke Masa Lalu   TIGA

    Arindha mulai mengganti pakaiannya, merapikan rambut dan berdiri di depan cermin itu lagi. Arindha kaget, dan segera mencari jepit rambutnya. Dia kembali ke UKS, Arindha mulai menyusuri setiap sudut ruang putih itu. Nihil, Arindha hanya terdiam dan harus merelakan jepit rambut kesayangannya itu. Dia berjalan di kantin, mulai mencari kedua sahabatnya seperti biasanya. Kepala Arindha terus menoleh ke kanan dan kiri. Sampai akhirnya, dia berhasil duduk dengan wajah sumringah di sebelah Hilda. Tangan Hilda menggeser mangkuk yang berisi bakso kuah kesukaan Arindha. “Nih, spesial buat kamu, Rin,” ucap Hilda dengan memperlihatkan barisan gigi putihnya. Arindha tersenyum. “Makasih, lagi,” ucap Arindha pelan. “Mulai besok, kamu harus bangun pagi-pagi. Gak perlu naik angkot lagi, kita berangkat bareng,” titah Rico. Arindha nyengir. “Kalo kepaksa gak usah,” ucap Arindha sambil mengaduk bakso dihadapannya. “Kamu kenapa, sih

  • Mari kembali ke Masa Lalu   DUA

    Arindha mulai berjalan meninggalkan mereka bertiga dan mulai fokus memikirkan cara agar bisa menyelinap masuk ke dalam kelasnya. Beruntung, mata pelajaran pertama Arindha adalah Fisika. Tidak seperti Pak Karyo yang selalu ceramah di pagi hari, Bu Yuyun selalu menuliskan banyak rumus saat pelajarannya. “Sst-sst, Rico!” bisik Arindha sambil menatap Rico panik di sudut pintu kelas yang terbuka lebar. Mata Rico mencari asal suara itu, dia celingukan melihat pintu dan jendela-jendela kelas. "Ck, kupingnya bermasalah ni orang." Tangannya dilambai tinggi, berharap Rico melihat tangan kecilnya. Mata Rico bergerak dan berhenti tepat di lambaian Arindha. “Arindha?” Melirik Arindha kebingungan. Telapak tangan Rico mekar dan jari-jarinya merenggang, seolah mengisrayatkan agar Arindha tetap berdiam diri di posisinya. Sementara itu, dia mencari celah agar Arindha bisa memasuki kelas dengan aman tanpa hukuman dari Bu Yuyun yang sama halny

  • Mari kembali ke Masa Lalu   SATU

    Seorang gadis berpakaian putih abu-abu tengah berlari tergesa-gesa berusaha memasuki area sekolahnya. Di kejauhan, dia sudah melihat teman-temannya yang terlambat berbaris rapi menunggu hukuman dari Pak Karyo, dia adalah guru BK tergalak dari yang lainnya. Iya, ada guru BK lainnya, beliau bernama Pak David. Pak David eksis di SMA Nusantara, wajah tampan dengan sikapnya yang ramah dan sedikit dingin membuat para murid gelapapan bukan main. Kedua mata Arindha terus bergerak mencari jalan terbaik untuk kabur dari hukuman. Kaki Arindha mulai melangkah ke belakang secara perlahan. Tetapi.. Krekk “Arindha!!” bentak Pak Karyo keras sambil meririk tepat di arahnya. "Sial." Alisnya berkerut, wajah tertekuk, ia hanya bisa menerima nasibnya dan berjalan mendekati Pak Karyo dan sekumpulan teman-temannya yang terlambat. “Nggak bosan bapak hukum? kamu kira ini TK yang masuknya jam setengah delapan, hah?” cetus Pak Karyo. “Mm-maaf Pak, say-”

  • Mari kembali ke Masa Lalu   Prolog

    10.00 PM Kamar putih yang tak begitu luas masih disinari cahaya lampu yang memancar. Wajah pucat, keringat dingin dan mata kantuk, selalu dirasakan Arindha setiap malam. Sunyi, entah kenapa hal yang dijauhi banyak orang malah menjadi teman setia Arindha, menjadi penenangnya sampai dia bisa tidur lelap. Dulu, Arindha juga menjauhi kata itu, sunyi. Rasa traumanya, rasa takutnya akan mimpi yang sama membuatnya hampir gila, sampai dia menemukan ide yang menurutnya ampuh, obat tidur. Dosis obat yang dikonsumsi Arindha semakin lama semakin meningkat, lambung dan hatinya hampir terkena dampak dari obat itu sebulan terakhir. Kondisinya tidak bisa dikatakan baik, tapi berteman dengan sunyi bisa sedikit membantu tubuhnya untuk beradaptasi tanpa obat-obatan lagi dan lagi. Bushh.. Arindha merebahkan tubuhnya di lantai yang beralaskan karpet yang cukup tebal, dia menggerakkan kepalanya kekanan dan kiri, matanya yang sejak tadi melihat ke satu arah, kini mulai bergerak men

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status