Sesuai janji yang sebelumnya ia katakan kepada Carlos, mereka pergi kerumah Gia untuk mengadakan pesta ulang tahunnya. Carlos dan Gia sampai dengan bebrapa pepperbag yang dibawa Carlos, berisi bahan bahan yang Gia butuhkan."Mama, Gia pulang.""Oh, sayang, kau pulang cepat?"Gadis itu mencium pipi ibunya, "Iya, dan lihat siapa yang kubawa kemari," katanya sembari sedikit menyingkir memperlihatkan Carlos yang baru saja masuk."Carlos, sudah lama kau tak berkunjung kemari. Kau semakin tampan saja, ya," kata wanita itu sembari memeluk pemuda itu."Maaf tante, pekerjaanku cukup menumpuk akhir-akhiri ini.""Ck, kalian berdua itu sama saja. Terlalu sibuk dengan pekerjaan juga bukan hal bagus, kesehatan kalian yang terpenting," ujar wanita itu menceramahi keduanya yang kini hanya saling pandang."Baiklah-baiklah, tenang saja mama, kami akan menjaga diri," kata Gia dengan senyuman, "berikan itu padaku, Carl," lanjutnya sembari mengambil alih pepperbag yang dibawa Carlos."Kalian berdua dudukl
Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam, tetapi belum membuat Gia beranjak dari depan komputernya. Sesekali ia meregangkan tubuhnya yang mulai terasa pegal, gadis itu menghela napas saat melihat setumpuk berkas yang harus ia kerjakan. "Sepertinya aku tidak bisa pulang malam ini," gumamnya lalu kembali sibuk dengan pekerjaannya, tanpa menyadari seseorang yang sudah berdiri di depan tempat kerjanya. Gia tersentak ketika suara ketukan terdengar dari mejanya, ia menoleh dan melihat orang yang ia kenal tengah berdiri didepan mejanya, "Kau lembur, nona Gia?" tanya laki-laki itu. "Ah, iya pak." Max tersenyum lalu meletakkan sebuah gelas yang ia bawa di atas meja Gia membuat gadis itu bingung, "Minumlah, aku membuatkanmu kopi." "Emm..., terimakasih pak." Max menggangguk, "ah, pak Bastian sudah pergi sejak 1 jam yang lalu pak," katanya, ketika melihat Max masih berada di posisi yang sama."Tidak-tidak, aku tidak mencari boss."Gadis itu mengangguk kecil, tetapi juga tetap menerka-nerka tujuan
Gia menghempas tubuhnya di sofa sesaat setelah baru saja sampai dikediamannya tepat pukul 9 malam, gadis itu menghela napasnnya berat sembari memejamkan mata. Meeting yang ia kira akan berjalan lebih ceat ternyata tidak sesuai dengan perkiraannya, terlebih lagi suasana meeting yang sangat tegang untuknya mendengar para pimpinan beradu argumen. “Kau baru pulang, Nak?” tanya seorang wanita yang baru saja keluar dari kamarnya. Gia menoleh dan melihat ibunya sudah duduk disampingnya, gadis itu beralih memeluk wanita tersebut dengan manja. “Gia lelah mama.” Wanita itu mengusap kepala anaknya lembut, “Maafkan mama karena selalu merepotkanmu, Sayang,” ujarnya membuat Gia merasa berslah seketika. “Aku tak menyalahkan mama, aku hanya ingin bercerita karena hari ini adalah hari yang cukup berat untukku.” “Tetap saja, mama tak bisa membantumu.” “Sudahlah mama, Gia yang bertugas menggantikan papa. Melihat mama sehat saja aku sudah senang,” kata gadis itu. Wanita itu mencium pucuk kepala put
Gia menerjapkan matanya ketika sayup-sayup mendengar suara beberapa barang-barang yang berdenting. Gadis itu meregangkan badannya, matanya beralih pada seorang pemuda yang berdiri membelakanginya, ia memeriksa arlojinya yang menunjukkan pukul setengah 6 pagi.“Sejak kapan kau sampai?” tanya gadis itu kepada pemuda yang masih membelakanginya.“15 menit yang lalu,” jawabnya masih sibuk dengan kegiatannya.“Kau sedang apa, Carl?” tanya Gia yang kini sudah berdiri disamping Carlos.“Aku membawakan makanan untukmu, aku tau kau belum makan dari semalam,” ujarnya.“Kau tak perlu repot-repot membawakan makanan untukku, Carl.”“Apa salahnya?”“Aku hanya tak mau semakin membebanimu. Kau sudah cukup membantu keluargaku.”“Bisakah kau berhenti mengatakan itu? Aku bosan mendengarnya. Lagi pula aku sudah bilang bukan jika kita ini keluarga,” kata Carlos sembari duduk di sofa, “makanlah selagi hangat, aku membuatnya sendiri.”Gia diam dan menuruti permintaan pemuda itu, gadis itu melahap ma
Dua manusia berbeda jenis kelamin itu duduk berhadapan disebuah cafeteria rumah sakit, kecanggungan tak luput dari keduanya. Gia hanya diam, meminum kopinya dengan tenang dan sesekali melirik bossnya itu yang juga hanya memandangnya. Gadis itu berdekhem, “Jadi kenapa anda sampai datang menjenguk ibu saya, pak?” “Apa ada salah jika atasan mencoba lebih memperhatikan pegawainya?” “Tentu saja tidak, tapi anda bukanlah orang yang bisa melakukan hal-hal seperti itu,” ujar Gia dengan suara yang sedikit pelan tetapi masih bisa terdengar dengan jelas di telinga Bastian. “Kau sepertinya sangat mengetahui tabiatku, nona Gia.” Gia diam, siapapun pasti juga akan berpikir seperti itu meski baru pertama kali bertemu dengan orang seperti Bastian. Manusia kaku seperti batu yang dengan sengaja diberi nyawa oleh Tuhan. “Baiklah, aku tak mau berbasa-basi lagi. Aku kesini masih dengan pertanyaan yang sama.” “Maaf pak, tapi jawaban saya tetap sama.” Bastian sedikit berdecak, “Baiklah, aku akan memb
Gia menarik pergelangan tangan Bastian kasar untuk segera keluar dari ruangan tersebut, setelah sedikit lebih jauh dari ruangan ibunya, ia menghempas cekalannya itu dan menghadap Bastian dengan kesal. “Kenapa anda bisa berbicara semudah itu didepan mama saya?”“Aku hanya mempermudah urusan kita.”“Mempermudah? Saya bahkan tidak pernah setuju dengan itu.”Bastian memandang Gia aneh, “Bukankah itu juga menguntungkan untukmu? Aku tidak melakukannya untuk kepentinganku sendiri.”Gia mengusap wajahnya kasar, ia kesal dan lelah. Mengapa ia harus menghadapi manusia seperti Bastian untuk saat ini? Gadis itu menghela napas, “Sebaiknya anda pergi sekarang, pak. Bukankah anda ada urusan?”Bastian mengangguk, “Baiklah, aku tunggu kau besok pagi diruanganku.” Ia pun pergi meninggalkan Gia dengan perasaan yang masih dongkol itu.“Apalagi ini, Tuhan?”*****Gia berangkat kekantornya seperti biasanya, tetapi dengan perasaan yang berbeda. Untuk pertama kalinya ia merasa benar-benar enggan untu
“Maaf karena merepotkan anda, pak Bastian,” ujar Gia setelah berhadapan dengan Bastian. Untuk beberapa detik Bastian dibuat terdiam melihat gadis yang kini ada di depannya, hingga membuat gadis itu merasa salah tingkah sendiri karena bossnya itu terus memandangnya dari ujung rambut hingga kaki. Gaun berwarna peach 5cm diatas lutut yang sangat cocok dengan warna kulit Gia yang putih, sepatu high hells yang tak terlalu tinggi, serta rambut yang kini tergerai bergelombang memberikan kesan fress pada dirinya. Penampilan yang tak pernah terbayangkan oleh Bastian. “Kau… sangat berbeda hari ini,” ujar Bastian tanpa sadar. “A-apa ini terlalu berlebihan? Saya bisa menggantinya dengan yang lebih sederhana lagi, jika anda mau,” kata gadis itu sedikit panik. “Tidak- tidak, maksudku kau cantik hari ini, eh… emh…, maksudku kau tak perlu menggantinya, itu cocok untukmu,” kata pemuda itu dengan gugup. “T-terimakasih, pak.” Entah mengapa Gia merasa kedua pipinya memanas sekarang, ia memegang kedu
“Jadi, kapan kalian akan menikah?”Ukhuk! Ukhuk! Ukhukk!Satu pertanyaan yang mampu membuat Gia terbatuk-batuk karena terkejut, Bastian segera menyerahkan segelas air kepada gadis itu dan meminumnya. “Kau tak apa-apa, sayang?” tanya Bastian yang dibalas anggukan oleh gadis itu.“Kau tak apa-apa, Gia? Maaf pertanyaan Mommy membuatmu terkejut,” kata wanita itu.“Mom, kami belum berpikir kesana,” kata Bastian.Gia meletakkan minumannya, “B-benar, Mom. Saya rasa itu terlalu cepat untuk kami?”“Apa lagi yang kalian tunggu?” tanya ayah Bastian.“Benar, Bastian sudah cukup mampu untuk menghidupi mu Gia, jadi kau tak perlu khawatir,” timpal wanita paruh baya itu.“Mom, sudahlah, aku dan Gia belum terpikir untuk menikah.”Wanita itu menghela napasnya menyerah dengan putranya, raut kecewa terpancar dari wajahnya membuat suasana yang hangat menjadi sedikit awkward. “Kalau begitu bagaimana jika kalian bertunangan saja?” celetuk wanita yang duduk bersebrangan dengan Gia.Semua pasang mata