Gia menerjapkan matanya ketika sayup-sayup mendengar suara beberapa barang-barang yang berdenting. Gadis itu meregangkan badannya, matanya beralih pada seorang pemuda yang berdiri membelakanginya, ia memeriksa arlojinya yang menunjukkan pukul setengah 6 pagi.
“Sejak kapan kau sampai?” tanya gadis itu kepada pemuda yang masih membelakanginya.“15 menit yang lalu,” jawabnya masih sibuk dengan kegiatannya.“Kau sedang apa, Carl?” tanya Gia yang kini sudah berdiri disamping Carlos.“Aku membawakan makanan untukmu, aku tau kau belum makan dari semalam,” ujarnya.“Kau tak perlu repot-repot membawakan makanan untukku, Carl.”“Apa salahnya?”“Aku hanya tak mau semakin membebanimu. Kau sudah cukup membantu keluargaku.”“Bisakah kau berhenti mengatakan itu? Aku bosan mendengarnya. Lagi pula aku sudah bilang bukan jika kita ini keluarga,” kata Carlos sembari duduk di sofa, “makanlah selagi hangat, aku membuatnya sendiri.”Gia diam dan menuruti permintaan pemuda itu, gadis itu melahap makanan itu dengan lahap. Cukup ia akui jika masakan Carlos adalah salah satu masakan kesukaannya.“Apa kau sudah memberitahu Dion tentang kondisi mama?” tanya Carlos.“Aku tidak bisa memberitahunya sekarang, itu bisa mengganggu belajarnya. Kau kan tahu bagaimana sifat Dion yang terlalu pemikir itu,” jawabnya, “bisa-bisa, justru dia yang akan sakit atau bahkan nekat untuk pulang,” lanjutnya.“Tetap saja kau harus memberitahunya, dia kan adikmu.”“Aku akan memberitahunya jika kondisi mama sudah benar-benar membaik.”“Mama belum sadar dari semalam?”Gia menggelang, “Mama pasti baik-baik saja, ‘kan?”*****Bastian tengah sibuk dengan pekerjaannya, sampai sebuah ketukan mengalihkan fokusnya. Seorang laki-laki memasuki ruangannya dengan setelah jas rapi dan duduk di hadapannya tanpa ijin ataupun perintah dari Bastian.“Apa kau tak punya pekerjaan?” tanya Bastian to the point.“Kau masih kaku seperti dulu ternyata,” tanya laki-laki yang terlihat sedikit lebih tua darinya.“Dan apa pedulimu?” Bastian mencoba untuk kembali melanjutkan pekerjaannya tanpa memperdulikan orang yang ada dihadapnnya itu.Laki-laki itu menyunggingkan senyumannya, “Aku dengar kau akan menikah, benar?”Satu pertanyaan yang mampu membuat Bastian seketika kehilangan fokusnya, sebenarnya berita apa yang sudah tersebar didalam forum keluarga besarnya ini, hingga laki-laki itu pun sampai mengetahui hal yang bahkan tidak Bastian ketahui.“Dari mana kau dengar omong kosong itu?”“C’mon, Dude. Berita itu sudah tersebar.”“Oh hell, Aku tidak sedang dalam rencana untuk menikah, dan bukankah aku sudah bilang untuk berhenti mencampuri urusanku, Marius. Apa kau tidak punya otak untuk mencerna kata-kataku semalam?” Kata-kata itu sukses membuat laki-laki itu bungkam karena kesal.Marius Heberfargh, sepupu dari keluarga ayah Bastian. Secara teknis, mereka lebih memilih untuk disebut rival dibanding saudara sepupu, karena sedari dulu pun hubungan kedua keluarga itu memang sudah tidak berjalan sesuai dengan semestinya.“Padahal aku hanya ingin mengucapkan selamat padamu, karena pada akhirnya kau bisa terlepas dari masalalu, juga untuk mengingatkan kau tentang masalalu. Kau harus ingat posisimu, adikku,” ujar laki-laki itu lalu bangkit dan bermaksud untuk pergi meninggalkan ruangan Bastian.Tepat saat Marius hendak pergi, pintu terbuka memperlihatkan Max yang kini sudah memasuki ruangan Bastian. Tatapan keduanya bertemu, dan tentu saja Max tahu permasalahan dari kedua keluarga konglomerat itu, meskipun Max tetap tersenyum untuk menyapanya tetapi tak bisa disembunyikan jika ada tatapan mengintimidasi dari pemuda itu.“Halo, Max.”“Pagi tuan Marius.”“Kau masih setia menjadi anjing adikku rupanya?”“Tentu saja, tuan. Anda pun juga masih setia dengan posisi yang tak bisa menandingi Boss saya, ‘kan?” kata-kata yang cukup menampa untuknya. Tanpa berkata lagi, Marius keluar dari ruangan tersebut, sedangkan Max masih menyunggingkan senyuman manisnya kepada punggung Marius.Max berjalan mendekati Bastian saat dilihat Marius sudah benar-benar pergi. “Ada apa dengannya? Mau apa dia mendatangimu?” tanya pemuda itu dengan rasa penasrannya yang tinggi.“Diamlah! Kau menggangguku,” balas Bastian tanpa menjawab pertanyaan Max, “ada apa kau kemari?” tanya Bastian.“Ah, ya. Aku ingin menyampaikan kalau sekretarismu ijin hari ini,” jawab Max.“Ijin? Kenapa dia tidak bilang langsung padaku?”Max berdecak, “Gunakan ponselmu dengan benar. Dia sudah mengirim pesan padamu tapi tak kau baca, bahkan ia sudah meneleponmu secara langsung tapi ponselmu tak aktif,” ujar Max.Bastian baru ingat jika ponselnya mati sejak semalam. Saking sibuknya ia bahkan tak ada waktu untuk menchanger ponselnya sendiri.Hal yang bahkan mampu membuat Max heran dengan sahabatnya satu ini, bagaimana bisa ia hidup dengan hanya mementikan pekerjaan tanpa perduli dengan kehidupan pribadinya sendiri. “Aku heran bagaimana bisa kau bertahan hidup dengan kehidupan membosankan seperti ini?” tanya Max kepada Bastian.“Aku pun heran bagaimana bisa kau bertahan hidup dengan kehidupan yang labil seperti itu?” Bastian membalik pertanyaannya untuk Max membuat pemuda itu mulai kesal.“Aku heran kenapa aku mau menjadi temanmu.”“Aku pun heran kenapa aku punya teman sepertimu,” balas Bastian tanpa mengalihkan pandangannya dari lembaran yang sedang ia baca.Max berdecih, “Anyway, kau masih tak bisa membujuk Gia?” Bastian melirik manusia yang ada dihadapannya itu lalu menggeleng, “bodoh, kau harus berusaha untuk mendekatinya, Bas.”Bastian meletakkan kertas yang ada ditangannya diatas meja, “Jika dia tak mau, maka aku tak perlu membawa siapapun untuk datang,” katanya.“Jangan bodoh, kau mau berurusan dengan kencan buta lagi?” Bastian diam, dua pilihan yang sama sekali tidak layak untuk ia pilih. Namun, ia lebih tidak ingin untuk mengikuti kencan buta yang ibunya adakan.“Jadi, apa yang harus aku lakukan?”*****Gia sedang duduk disamping tempat tidur ibunya yang sudah tersadar sejak beberapa jam yang lalu. Gadis itu tengah sibuk mengupas sebuah apel untuk diberikannya kepada ibunya sebelum sebuah ketukan mengalihkan pandangan keduanya.Seorang pemuda yang sangat familiar masuk kedalam ruang rawat tersebut. Gia membulatkan matanya terkejut melihat manusia yang ada diambang pintu itu, sedangkan ibunya hanya memandang kedua nya dengan tatapan bingung.“Pak CEO?”Dua manusia berbeda jenis kelamin itu duduk berhadapan disebuah cafeteria rumah sakit, kecanggungan tak luput dari keduanya. Gia hanya diam, meminum kopinya dengan tenang dan sesekali melirik bossnya itu yang juga hanya memandangnya. Gadis itu berdekhem, “Jadi kenapa anda sampai datang menjenguk ibu saya, pak?” “Apa ada salah jika atasan mencoba lebih memperhatikan pegawainya?” “Tentu saja tidak, tapi anda bukanlah orang yang bisa melakukan hal-hal seperti itu,” ujar Gia dengan suara yang sedikit pelan tetapi masih bisa terdengar dengan jelas di telinga Bastian. “Kau sepertinya sangat mengetahui tabiatku, nona Gia.” Gia diam, siapapun pasti juga akan berpikir seperti itu meski baru pertama kali bertemu dengan orang seperti Bastian. Manusia kaku seperti batu yang dengan sengaja diberi nyawa oleh Tuhan. “Baiklah, aku tak mau berbasa-basi lagi. Aku kesini masih dengan pertanyaan yang sama.” “Maaf pak, tapi jawaban saya tetap sama.” Bastian sedikit berdecak, “Baiklah, aku akan memb
Gia menarik pergelangan tangan Bastian kasar untuk segera keluar dari ruangan tersebut, setelah sedikit lebih jauh dari ruangan ibunya, ia menghempas cekalannya itu dan menghadap Bastian dengan kesal. “Kenapa anda bisa berbicara semudah itu didepan mama saya?”“Aku hanya mempermudah urusan kita.”“Mempermudah? Saya bahkan tidak pernah setuju dengan itu.”Bastian memandang Gia aneh, “Bukankah itu juga menguntungkan untukmu? Aku tidak melakukannya untuk kepentinganku sendiri.”Gia mengusap wajahnya kasar, ia kesal dan lelah. Mengapa ia harus menghadapi manusia seperti Bastian untuk saat ini? Gadis itu menghela napas, “Sebaiknya anda pergi sekarang, pak. Bukankah anda ada urusan?”Bastian mengangguk, “Baiklah, aku tunggu kau besok pagi diruanganku.” Ia pun pergi meninggalkan Gia dengan perasaan yang masih dongkol itu.“Apalagi ini, Tuhan?”*****Gia berangkat kekantornya seperti biasanya, tetapi dengan perasaan yang berbeda. Untuk pertama kalinya ia merasa benar-benar enggan untu
“Maaf karena merepotkan anda, pak Bastian,” ujar Gia setelah berhadapan dengan Bastian. Untuk beberapa detik Bastian dibuat terdiam melihat gadis yang kini ada di depannya, hingga membuat gadis itu merasa salah tingkah sendiri karena bossnya itu terus memandangnya dari ujung rambut hingga kaki. Gaun berwarna peach 5cm diatas lutut yang sangat cocok dengan warna kulit Gia yang putih, sepatu high hells yang tak terlalu tinggi, serta rambut yang kini tergerai bergelombang memberikan kesan fress pada dirinya. Penampilan yang tak pernah terbayangkan oleh Bastian. “Kau… sangat berbeda hari ini,” ujar Bastian tanpa sadar. “A-apa ini terlalu berlebihan? Saya bisa menggantinya dengan yang lebih sederhana lagi, jika anda mau,” kata gadis itu sedikit panik. “Tidak- tidak, maksudku kau cantik hari ini, eh… emh…, maksudku kau tak perlu menggantinya, itu cocok untukmu,” kata pemuda itu dengan gugup. “T-terimakasih, pak.” Entah mengapa Gia merasa kedua pipinya memanas sekarang, ia memegang kedu
“Jadi, kapan kalian akan menikah?”Ukhuk! Ukhuk! Ukhukk!Satu pertanyaan yang mampu membuat Gia terbatuk-batuk karena terkejut, Bastian segera menyerahkan segelas air kepada gadis itu dan meminumnya. “Kau tak apa-apa, sayang?” tanya Bastian yang dibalas anggukan oleh gadis itu.“Kau tak apa-apa, Gia? Maaf pertanyaan Mommy membuatmu terkejut,” kata wanita itu.“Mom, kami belum berpikir kesana,” kata Bastian.Gia meletakkan minumannya, “B-benar, Mom. Saya rasa itu terlalu cepat untuk kami?”“Apa lagi yang kalian tunggu?” tanya ayah Bastian.“Benar, Bastian sudah cukup mampu untuk menghidupi mu Gia, jadi kau tak perlu khawatir,” timpal wanita paruh baya itu.“Mom, sudahlah, aku dan Gia belum terpikir untuk menikah.”Wanita itu menghela napasnya menyerah dengan putranya, raut kecewa terpancar dari wajahnya membuat suasana yang hangat menjadi sedikit awkward. “Kalau begitu bagaimana jika kalian bertunangan saja?” celetuk wanita yang duduk bersebrangan dengan Gia.Semua pasang mata
Gia duduk berhadapan dengan kedua orang tua Bastian serta ibunya yang duduk di sampingnya dengan perasaan gugup. Gadis itu memainkan ujung bajunya awkward, meskipun sebenarnya keadaan tidak setegang itu, justru ibu Bastian dan ibunya sudah terlihat dekat. “Jadi bagaimana menurut anda?” tanya ayah Bastian. “Keputusan saya tergantung pada Gia, saya hanya ingin putri saya bahagia karena mungkin umur saya pun tak akan lama lagi,” ujar ibu Gia membuat gadis itu menoleh kearahnya seketika. “Ma! Mama ngomong apa sih?” Wanita yang dipanggilnya mama itu hanya tersenyum sembari mengusap kepala putrinya. “Jika Bastian bisa berjanji untuk membahagiakan Gia, maka saya akan suka rela menyetujuinya.” Gia memandang ibunya denga tatapan sedih dan bersalah karena sudah membohongi wanita itu. “Maafin Gia, Mama, jangankan bahagia kami bahkan sama sekali tidak saling mencintainya,” batinnya. “Anda tenang saja, meskipun anak itu terlihat kaku tetapi saya yakin dia akan membahagiakan Gia sepenuhnya.”
Pandangan mereka saling bertemu, Gia memandang pemuda itu terkejut sedangkan tatapan tajam Bastian tujukan pada gadis yang ada dihadapannya itu. “Sesuai perjanjian yang kita sepakati, aku akan memperlakukanmu sebagaimana mestinya. Aku memang brengsek, nona Gia, tapi aku bisa memegang janjiku, jadi jangan pernah kau mencoba untuk kabur lagi dariku. Mengerti?” Semua kata-kata yang keluar dari mulut pemuda itu seakan menjadi mantra penghipnotis untuk Gia. Gadis itu hanya mengangguk pelan masih terkejut dengan jarak yang sedekat itu dengan Bastian. Jantungnya pun tak bisa berbohong jika ia pun berdebar cukup kencang. Cklek! Bastian menjauhkan tubuhnya dan kembali ke posisi semula, setelah memasangkan sabuk pengaman pada gadis itu. Gia merasa wajahnya memanas, dan mengalihkan pandangannya keluar jendela. Pemuda itu memasang kembali sabuk pengamannya sedangkan gadis yang duduk disebelahnya itu, masih memalingkan wajahnya dengan sesekali menyentuh kedua pipinya dan beralih memegang dada
Disebuah ruang makan terdapat 3 orang yang sedang menikmati acara makan malam mereka. Tepat 30 menit setelah Gia dan ibunya selesai memilih gaun pertunangan mereka, Bastian sampai bermaksud untuk menjemput Gia dan mengantarnya pulang. Namun, pada akhirnya ia pun juga harus tertahan atas permintaan ibunya untuk makan malam bersama. Selesai makan malam, keduanya memutuskan untuk pulang tentu saja Bastian yang akan mengantar Gia kembali ke kediamannya dengan selamat. Baru saja Bastian menjalankan mobilnya menjauh dari kediaman tersebut, protesan Gia sudah masuk menyapa indra pendengarannya."Anda sudah tahu kalau pertunangan kita dipercepat?" Bastian hanya melirik sekilas gadis itu tanpa menjawab, "kenapa anda tidak memberitahu saya?" "Untuk apa aku memberitahumu, toh mommy juga akan memberitahumu," jawab Bastian santai."Tetap saja! Seharusnya kalian juga membicarakannya dengan saya, 'kan. Huhh! apa semua konglomerat seperti ini?""Ibumu sudah menyetujuinya, beliau bilang lebih cepat
2 hari setelah acara pertunangan, Gia kembali masuk ke kantor untuk bekerja seperti biasa. Namun, sialnya, baru saja ia melangkah memasuki halaman kantor, semua tatapan mata tertuju padanya. Tatapan mata dan bisik-bisikan orang-orang membuatnya seakan ingin segera menghilang dari tempat tersebut.Gia memang sengaja diberikan waktu cuti oleh Bastian untuk beristirahat, dan ia pun sudah mengira jika kabar tentang pertunanagannya yang mendadak dengan Bastian akan menyebar. Namun, ia tak menyangka jika akan tersebar secepat ini.Gia memilih untuk menggunakan tangga darurat untuk menjauhi kerumunan orang yang masih bergosip tentangnya. "Huh! kenapa bisa tersebar secepat ini?" gumamnya sembari mempercepat langkahnya menaiki satu persatu anak tangga.Gia sampai dilantai ruangannya berada, gadis itu mempercepat langkahnya setengah berlari, ia bisa malu jika berpapasan dengan rekan kerjanya yang lain. Namun, tiba-tiba saja gadis itu menghantam sesuatu hingga membuatnya terhuyung ke belakang.