Gia menghempas tubuhnya di sofa sesaat setelah baru saja sampai dikediamannya tepat pukul 9 malam, gadis itu menghela napasnnya berat sembari memejamkan mata. Meeting yang ia kira akan berjalan lebih ceat ternyata tidak sesuai dengan perkiraannya, terlebih lagi suasana meeting yang sangat tegang untuknya mendengar para pimpinan beradu argumen.
“Kau baru pulang, Nak?” tanya seorang wanita yang baru saja keluar dari kamarnya. Gia menoleh dan melihat ibunya sudah duduk disampingnya, gadis itu beralih memeluk wanita tersebut dengan manja.“Gia lelah mama.”Wanita itu mengusap kepala anaknya lembut, “Maafkan mama karena selalu merepotkanmu, Sayang,” ujarnya membuat Gia merasa berslah seketika.“Aku tak menyalahkan mama, aku hanya ingin bercerita karena hari ini adalah hari yang cukup berat untukku.”“Tetap saja, mama tak bisa membantumu.”“Sudahlah mama, Gia yang bertugas menggantikan papa. Melihat mama sehat saja aku sudah senang,” kata gadis itu. Wanita itu mencium pucuk kepala putrinya, “bagaimana keadaan mama?”“Cukup baik.”“Syukurlah, kalau mama merasa tidak enak badan jangan lupa beritahu aku, aku tidak mau mama diam saja seperti waktu itu,” ujar gadis itu memperingati ibunya.“Kau mulai semakin seperti seorang ibu yang memarahi anaknya rupanya.”“Apakah itu pujian?” keduanya tertawa.“Mandilah dulu, mama akan memanaskan makanan untukmu.” Gia mengangguk dan berlalu menuju kamarnya.Satu jam berlalu, Gia keluar dari kamarnya menuju ruang makan. Kediaman itu sudah dalam kodisi temaram, yah, mungkin mamanya sudah tidur karena memang waktu sudah menunjukkan hampir pukul setengah sebelas malam.Gia mengetuk pintu kamar mamanya, tetapi tak ada jawaban, ia pun memutuskan untuk membuka pintu tersebut. Matanya membelalak ketika melihat seorang wanita yang tergeletak dilantai, ia pun segera menghampiri ibunya itu.Gia beberapakali mencoba membangunkan ibunya, gadis itu panik melihat wanita tersebut yang tak kunjung bangun. Pikiran anehnya mulai membayangi gadis itu, tentang kemungkinan-kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi.“Mama, bangun!”“Mama kenapa?” Tanpa sadar air matanya mulai mengalir, gadis itu bangkit kembali menuju kamarnya untuk mengambil ponselnya.Gia menekan beberapa kali layar ponselnya lalu mengarahkannya ketelinganya, “Halo!” katanya sesaat setelah teleponnya tersambung, “Carl, tolong aku, Mama pingsan. Tolong aku, Carl, hiks,” ujarnya dengan isakan.Terdengar Carlos yang mencoba untuk menenangkan sahabatnya itu, membuat Gia mulai perlahan membaik. Tak berselang lama setelah panggilan terputus, Carlos tiba dengan napas sedikit tersengal. Pemuda itu segera menuju kekamar ibu Gia dan melihat wanita itu tengah bersama Gia yang masih terisak.“Gia, hei, ayo kita bawa mama kerumah sakit sekarang,” ujar pemuda itu sembari mencoba mengambil alih wanita itu agar ia bisa menggendongnya dan membawanya menuju mobil untuk pergi kerumah sakit.Dua puluh menit berlalu, mereka sudah tiba di rumah sakit sedangkan ibunya segera mendapatkan perawatan diruang IGD. Keduanya berdiri didepan jendela kaca yang memperlihatkan ibu Gia yang sedang ditangani oleh dokter, gadis itu tak henti-hentinya berdoa untuk kesembuhan ibunya.“Carl, aku takut,” gumam Gia.“Kau tenang saja, mama pasti baik-baik saja.” Carlos memeluk gadis itu mencoba memberi kenyamanan agar Gia menjadi sedikit lebih tenang lalu mengajaknya untuk duduk dibangku yang tersedia disana.Tiga puluh menit kemudian dokter keluar dari ruangan tersebut. Gia bangkit dari duduknya diikuti Carlos, “Bagaimana keadaan mama saya dok?”“Keadaannya mulai stabil, tetapi tekanan darahnya memang sedikit lebih tinggi. Untuk beberapa hari kedepan saya sarankan untuk beliau menjalani rawat inap agar kami bisa lebih memantau perkembangan beliau,” jelas dokter tersebut.“Apa ini bisa berakibat fatal untuk kedeannya dok?”“Saya harap tidak, asalkan tidak ada pemicu untuk beliau merasa stress.” Gia tediam, mungkinkah karena perbincangan mereka sebelumnya? Hal yang membuat ibunya tidak stabil adalah dirinya.“Terimakasih, dok,” ujar Carlos. Dokter itu mengangguk dan berlalu pergi.Gia melangkah mundur dengan perlahan lalu duduk di bangku sebelumnya, gadisnya mengusap wajahnya kasar merasa bersalah kepada ibunya. “Gara-gara aku, ya?” gumamnya.Carlos berjongkok dihadapan Gia sembari mengusap bahu gadis itu, “Tenanglah, Gia. Mama pasti akan baik-baik saja,” ujar pemuda itu.“Mama jadi seperti ini, karena aku, Carl,” ujar Gia.“Enggak, Gia, ini bukan gara-gara kamu.” Gadis itu kembali terisak, dadanya terasa sesak melihat ibunya yang terbaring dengan beberapa alat ditubuhnya.Carlos memutuskan untuk mengurus pemindahan ruangan untuk ibu Gia, sedangkan gadis itu masih terus menemani ibunya yang belum menunjukkan tanda untuk sadarkan diri. Proses pemindahan itu selesai ada pukul setengah satu malam.“Terimakasih, Carl, aku selalu merepotkanmu,” ujar Gia pada pemuda itu.“Tak perlu berterimakasih, mamamu juga ibuku, jadi wajar aku melakukannya,” balas pemuda itu, Gia menarik ujung bibirnya membentuk lengkung tipis.“Aku tak tahu bagaimana caranya membalas semua kebaikanmu, sepertinya seluruh hartaku pun tak akan cukup untuk membalasnya.”“Jangan seperti itu, kalian sudah kuanggap sebagai keluarga, bukankah sebagai keluarga kita harus saling membantu?”Gia sedikit terkekeh, “Baiklah, seperti kau harus pulang. Besok kau harus kekantor, ingat kau ada meeting besok,” kata Gia memperingati Carlos.“Kau tak apa sendiri disini?”“Tak apa, aku bisa mengurusnya, dan besok sepertinya aku akan ijin, itu pun jika Killer boss itu mengijinkannya.”“Jika dia tak mengijinkannya, aku akan mencari suster untuk menjaga ibumu,” balas Carlos.“Baiklah-baiklah, terimakasih, Carl.”*****Bastian memasuki apartementnya, dengan kondisi yang sangat jauh dari kata rapi dan segar. Meeting hari ini sangat memakan waktu juga emosinya, menguras tenaga dan daya pikirnya. Setelah membersihkan diri ia masih harus melanjutkan pekerjaannya yang belum sempat terselesaikan.Laptop, berkas-berkas, dan secangkir kopi atau lebih, benda-benda yang hampir setiap hari menemani malamnya. Ia bahkan heran, kenapa pekerjaannya sedikitpun tidak berkurang padahal sudah sangat jelas ia mengerjakannya setiap hari.Drrttt… drrttt…Ponselnya berdering, pemuda itu meraih ponselnya tanpa mengalihkan pandangan dari berkas yang ia baca. “Halo?”“….”Raut mukanya seketika berubah saat mendengar suara lawan bicaranya, “Ada apa?”“….”“Berhenti ikut campur dalam urusanku, bukankah itu sudah ada dalam perjanjian kita.”“….”“Kau meneleponku hanya untuk ini? Berhenti mengusikku dan lakukan saja pekerjaanmu dengan baik, dude!” Bastian mengakhiri panggilan itu secara sepihak dan melempar ponselnya cukup keras di atas meja.Kemudian, pria itu memijit keningnya yang pening. “Sepertinya dia akan berulah lagi.”Gia menerjapkan matanya ketika sayup-sayup mendengar suara beberapa barang-barang yang berdenting. Gadis itu meregangkan badannya, matanya beralih pada seorang pemuda yang berdiri membelakanginya, ia memeriksa arlojinya yang menunjukkan pukul setengah 6 pagi.“Sejak kapan kau sampai?” tanya gadis itu kepada pemuda yang masih membelakanginya.“15 menit yang lalu,” jawabnya masih sibuk dengan kegiatannya.“Kau sedang apa, Carl?” tanya Gia yang kini sudah berdiri disamping Carlos.“Aku membawakan makanan untukmu, aku tau kau belum makan dari semalam,” ujarnya.“Kau tak perlu repot-repot membawakan makanan untukku, Carl.”“Apa salahnya?”“Aku hanya tak mau semakin membebanimu. Kau sudah cukup membantu keluargaku.”“Bisakah kau berhenti mengatakan itu? Aku bosan mendengarnya. Lagi pula aku sudah bilang bukan jika kita ini keluarga,” kata Carlos sembari duduk di sofa, “makanlah selagi hangat, aku membuatnya sendiri.”Gia diam dan menuruti permintaan pemuda itu, gadis itu melahap ma
Dua manusia berbeda jenis kelamin itu duduk berhadapan disebuah cafeteria rumah sakit, kecanggungan tak luput dari keduanya. Gia hanya diam, meminum kopinya dengan tenang dan sesekali melirik bossnya itu yang juga hanya memandangnya. Gadis itu berdekhem, “Jadi kenapa anda sampai datang menjenguk ibu saya, pak?” “Apa ada salah jika atasan mencoba lebih memperhatikan pegawainya?” “Tentu saja tidak, tapi anda bukanlah orang yang bisa melakukan hal-hal seperti itu,” ujar Gia dengan suara yang sedikit pelan tetapi masih bisa terdengar dengan jelas di telinga Bastian. “Kau sepertinya sangat mengetahui tabiatku, nona Gia.” Gia diam, siapapun pasti juga akan berpikir seperti itu meski baru pertama kali bertemu dengan orang seperti Bastian. Manusia kaku seperti batu yang dengan sengaja diberi nyawa oleh Tuhan. “Baiklah, aku tak mau berbasa-basi lagi. Aku kesini masih dengan pertanyaan yang sama.” “Maaf pak, tapi jawaban saya tetap sama.” Bastian sedikit berdecak, “Baiklah, aku akan memb
Gia menarik pergelangan tangan Bastian kasar untuk segera keluar dari ruangan tersebut, setelah sedikit lebih jauh dari ruangan ibunya, ia menghempas cekalannya itu dan menghadap Bastian dengan kesal. “Kenapa anda bisa berbicara semudah itu didepan mama saya?”“Aku hanya mempermudah urusan kita.”“Mempermudah? Saya bahkan tidak pernah setuju dengan itu.”Bastian memandang Gia aneh, “Bukankah itu juga menguntungkan untukmu? Aku tidak melakukannya untuk kepentinganku sendiri.”Gia mengusap wajahnya kasar, ia kesal dan lelah. Mengapa ia harus menghadapi manusia seperti Bastian untuk saat ini? Gadis itu menghela napas, “Sebaiknya anda pergi sekarang, pak. Bukankah anda ada urusan?”Bastian mengangguk, “Baiklah, aku tunggu kau besok pagi diruanganku.” Ia pun pergi meninggalkan Gia dengan perasaan yang masih dongkol itu.“Apalagi ini, Tuhan?”*****Gia berangkat kekantornya seperti biasanya, tetapi dengan perasaan yang berbeda. Untuk pertama kalinya ia merasa benar-benar enggan untu
“Maaf karena merepotkan anda, pak Bastian,” ujar Gia setelah berhadapan dengan Bastian. Untuk beberapa detik Bastian dibuat terdiam melihat gadis yang kini ada di depannya, hingga membuat gadis itu merasa salah tingkah sendiri karena bossnya itu terus memandangnya dari ujung rambut hingga kaki. Gaun berwarna peach 5cm diatas lutut yang sangat cocok dengan warna kulit Gia yang putih, sepatu high hells yang tak terlalu tinggi, serta rambut yang kini tergerai bergelombang memberikan kesan fress pada dirinya. Penampilan yang tak pernah terbayangkan oleh Bastian. “Kau… sangat berbeda hari ini,” ujar Bastian tanpa sadar. “A-apa ini terlalu berlebihan? Saya bisa menggantinya dengan yang lebih sederhana lagi, jika anda mau,” kata gadis itu sedikit panik. “Tidak- tidak, maksudku kau cantik hari ini, eh… emh…, maksudku kau tak perlu menggantinya, itu cocok untukmu,” kata pemuda itu dengan gugup. “T-terimakasih, pak.” Entah mengapa Gia merasa kedua pipinya memanas sekarang, ia memegang kedu
“Jadi, kapan kalian akan menikah?”Ukhuk! Ukhuk! Ukhukk!Satu pertanyaan yang mampu membuat Gia terbatuk-batuk karena terkejut, Bastian segera menyerahkan segelas air kepada gadis itu dan meminumnya. “Kau tak apa-apa, sayang?” tanya Bastian yang dibalas anggukan oleh gadis itu.“Kau tak apa-apa, Gia? Maaf pertanyaan Mommy membuatmu terkejut,” kata wanita itu.“Mom, kami belum berpikir kesana,” kata Bastian.Gia meletakkan minumannya, “B-benar, Mom. Saya rasa itu terlalu cepat untuk kami?”“Apa lagi yang kalian tunggu?” tanya ayah Bastian.“Benar, Bastian sudah cukup mampu untuk menghidupi mu Gia, jadi kau tak perlu khawatir,” timpal wanita paruh baya itu.“Mom, sudahlah, aku dan Gia belum terpikir untuk menikah.”Wanita itu menghela napasnya menyerah dengan putranya, raut kecewa terpancar dari wajahnya membuat suasana yang hangat menjadi sedikit awkward. “Kalau begitu bagaimana jika kalian bertunangan saja?” celetuk wanita yang duduk bersebrangan dengan Gia.Semua pasang mata
Gia duduk berhadapan dengan kedua orang tua Bastian serta ibunya yang duduk di sampingnya dengan perasaan gugup. Gadis itu memainkan ujung bajunya awkward, meskipun sebenarnya keadaan tidak setegang itu, justru ibu Bastian dan ibunya sudah terlihat dekat. “Jadi bagaimana menurut anda?” tanya ayah Bastian. “Keputusan saya tergantung pada Gia, saya hanya ingin putri saya bahagia karena mungkin umur saya pun tak akan lama lagi,” ujar ibu Gia membuat gadis itu menoleh kearahnya seketika. “Ma! Mama ngomong apa sih?” Wanita yang dipanggilnya mama itu hanya tersenyum sembari mengusap kepala putrinya. “Jika Bastian bisa berjanji untuk membahagiakan Gia, maka saya akan suka rela menyetujuinya.” Gia memandang ibunya denga tatapan sedih dan bersalah karena sudah membohongi wanita itu. “Maafin Gia, Mama, jangankan bahagia kami bahkan sama sekali tidak saling mencintainya,” batinnya. “Anda tenang saja, meskipun anak itu terlihat kaku tetapi saya yakin dia akan membahagiakan Gia sepenuhnya.”
Pandangan mereka saling bertemu, Gia memandang pemuda itu terkejut sedangkan tatapan tajam Bastian tujukan pada gadis yang ada dihadapannya itu. “Sesuai perjanjian yang kita sepakati, aku akan memperlakukanmu sebagaimana mestinya. Aku memang brengsek, nona Gia, tapi aku bisa memegang janjiku, jadi jangan pernah kau mencoba untuk kabur lagi dariku. Mengerti?” Semua kata-kata yang keluar dari mulut pemuda itu seakan menjadi mantra penghipnotis untuk Gia. Gadis itu hanya mengangguk pelan masih terkejut dengan jarak yang sedekat itu dengan Bastian. Jantungnya pun tak bisa berbohong jika ia pun berdebar cukup kencang. Cklek! Bastian menjauhkan tubuhnya dan kembali ke posisi semula, setelah memasangkan sabuk pengaman pada gadis itu. Gia merasa wajahnya memanas, dan mengalihkan pandangannya keluar jendela. Pemuda itu memasang kembali sabuk pengamannya sedangkan gadis yang duduk disebelahnya itu, masih memalingkan wajahnya dengan sesekali menyentuh kedua pipinya dan beralih memegang dada
Disebuah ruang makan terdapat 3 orang yang sedang menikmati acara makan malam mereka. Tepat 30 menit setelah Gia dan ibunya selesai memilih gaun pertunangan mereka, Bastian sampai bermaksud untuk menjemput Gia dan mengantarnya pulang. Namun, pada akhirnya ia pun juga harus tertahan atas permintaan ibunya untuk makan malam bersama. Selesai makan malam, keduanya memutuskan untuk pulang tentu saja Bastian yang akan mengantar Gia kembali ke kediamannya dengan selamat. Baru saja Bastian menjalankan mobilnya menjauh dari kediaman tersebut, protesan Gia sudah masuk menyapa indra pendengarannya."Anda sudah tahu kalau pertunangan kita dipercepat?" Bastian hanya melirik sekilas gadis itu tanpa menjawab, "kenapa anda tidak memberitahu saya?" "Untuk apa aku memberitahumu, toh mommy juga akan memberitahumu," jawab Bastian santai."Tetap saja! Seharusnya kalian juga membicarakannya dengan saya, 'kan. Huhh! apa semua konglomerat seperti ini?""Ibumu sudah menyetujuinya, beliau bilang lebih cepat