Gia menghempas tubuhnya di sofa sesaat setelah baru saja sampai dikediamannya tepat pukul 9 malam, gadis itu menghela napasnnya berat sembari memejamkan mata. Meeting yang ia kira akan berjalan lebih ceat ternyata tidak sesuai dengan perkiraannya, terlebih lagi suasana meeting yang sangat tegang untuknya mendengar para pimpinan beradu argumen.
“Kau baru pulang, Nak?” tanya seorang wanita yang baru saja keluar dari kamarnya. Gia menoleh dan melihat ibunya sudah duduk disampingnya, gadis itu beralih memeluk wanita tersebut dengan manja.“Gia lelah mama.”Wanita itu mengusap kepala anaknya lembut, “Maafkan mama karena selalu merepotkanmu, Sayang,” ujarnya membuat Gia merasa berslah seketika.“Aku tak menyalahkan mama, aku hanya ingin bercerita karena hari ini adalah hari yang cukup berat untukku.”“Tetap saja, mama tak bisa membantumu.”“Sudahlah mama, Gia yang bertugas menggantikan papa. Melihat mama sehat saja aku sudah senang,” kata gadis itu. Wanita itu mencium pucuk kepala putrinya, “bagaimana keadaan mama?”“Cukup baik.”“Syukurlah, kalau mama merasa tidak enak badan jangan lupa beritahu aku, aku tidak mau mama diam saja seperti waktu itu,” ujar gadis itu memperingati ibunya.“Kau mulai semakin seperti seorang ibu yang memarahi anaknya rupanya.”“Apakah itu pujian?” keduanya tertawa.“Mandilah dulu, mama akan memanaskan makanan untukmu.” Gia mengangguk dan berlalu menuju kamarnya.Satu jam berlalu, Gia keluar dari kamarnya menuju ruang makan. Kediaman itu sudah dalam kodisi temaram, yah, mungkin mamanya sudah tidur karena memang waktu sudah menunjukkan hampir pukul setengah sebelas malam.Gia mengetuk pintu kamar mamanya, tetapi tak ada jawaban, ia pun memutuskan untuk membuka pintu tersebut. Matanya membelalak ketika melihat seorang wanita yang tergeletak dilantai, ia pun segera menghampiri ibunya itu.Gia beberapakali mencoba membangunkan ibunya, gadis itu panik melihat wanita tersebut yang tak kunjung bangun. Pikiran anehnya mulai membayangi gadis itu, tentang kemungkinan-kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi.“Mama, bangun!”“Mama kenapa?” Tanpa sadar air matanya mulai mengalir, gadis itu bangkit kembali menuju kamarnya untuk mengambil ponselnya.Gia menekan beberapa kali layar ponselnya lalu mengarahkannya ketelinganya, “Halo!” katanya sesaat setelah teleponnya tersambung, “Carl, tolong aku, Mama pingsan. Tolong aku, Carl, hiks,” ujarnya dengan isakan.Terdengar Carlos yang mencoba untuk menenangkan sahabatnya itu, membuat Gia mulai perlahan membaik. Tak berselang lama setelah panggilan terputus, Carlos tiba dengan napas sedikit tersengal. Pemuda itu segera menuju kekamar ibu Gia dan melihat wanita itu tengah bersama Gia yang masih terisak.“Gia, hei, ayo kita bawa mama kerumah sakit sekarang,” ujar pemuda itu sembari mencoba mengambil alih wanita itu agar ia bisa menggendongnya dan membawanya menuju mobil untuk pergi kerumah sakit.Dua puluh menit berlalu, mereka sudah tiba di rumah sakit sedangkan ibunya segera mendapatkan perawatan diruang IGD. Keduanya berdiri didepan jendela kaca yang memperlihatkan ibu Gia yang sedang ditangani oleh dokter, gadis itu tak henti-hentinya berdoa untuk kesembuhan ibunya.“Carl, aku takut,” gumam Gia.“Kau tenang saja, mama pasti baik-baik saja.” Carlos memeluk gadis itu mencoba memberi kenyamanan agar Gia menjadi sedikit lebih tenang lalu mengajaknya untuk duduk dibangku yang tersedia disana.Tiga puluh menit kemudian dokter keluar dari ruangan tersebut. Gia bangkit dari duduknya diikuti Carlos, “Bagaimana keadaan mama saya dok?”“Keadaannya mulai stabil, tetapi tekanan darahnya memang sedikit lebih tinggi. Untuk beberapa hari kedepan saya sarankan untuk beliau menjalani rawat inap agar kami bisa lebih memantau perkembangan beliau,” jelas dokter tersebut.“Apa ini bisa berakibat fatal untuk kedeannya dok?”“Saya harap tidak, asalkan tidak ada pemicu untuk beliau merasa stress.” Gia tediam, mungkinkah karena perbincangan mereka sebelumnya? Hal yang membuat ibunya tidak stabil adalah dirinya.“Terimakasih, dok,” ujar Carlos. Dokter itu mengangguk dan berlalu pergi.Gia melangkah mundur dengan perlahan lalu duduk di bangku sebelumnya, gadisnya mengusap wajahnya kasar merasa bersalah kepada ibunya. “Gara-gara aku, ya?” gumamnya.Carlos berjongkok dihadapan Gia sembari mengusap bahu gadis itu, “Tenanglah, Gia. Mama pasti akan baik-baik saja,” ujar pemuda itu.“Mama jadi seperti ini, karena aku, Carl,” ujar Gia.“Enggak, Gia, ini bukan gara-gara kamu.” Gadis itu kembali terisak, dadanya terasa sesak melihat ibunya yang terbaring dengan beberapa alat ditubuhnya.Carlos memutuskan untuk mengurus pemindahan ruangan untuk ibu Gia, sedangkan gadis itu masih terus menemani ibunya yang belum menunjukkan tanda untuk sadarkan diri. Proses pemindahan itu selesai ada pukul setengah satu malam.“Terimakasih, Carl, aku selalu merepotkanmu,” ujar Gia pada pemuda itu.“Tak perlu berterimakasih, mamamu juga ibuku, jadi wajar aku melakukannya,” balas pemuda itu, Gia menarik ujung bibirnya membentuk lengkung tipis.“Aku tak tahu bagaimana caranya membalas semua kebaikanmu, sepertinya seluruh hartaku pun tak akan cukup untuk membalasnya.”“Jangan seperti itu, kalian sudah kuanggap sebagai keluarga, bukankah sebagai keluarga kita harus saling membantu?”Gia sedikit terkekeh, “Baiklah, seperti kau harus pulang. Besok kau harus kekantor, ingat kau ada meeting besok,” kata Gia memperingati Carlos.“Kau tak apa sendiri disini?”“Tak apa, aku bisa mengurusnya, dan besok sepertinya aku akan ijin, itu pun jika Killer boss itu mengijinkannya.”“Jika dia tak mengijinkannya, aku akan mencari suster untuk menjaga ibumu,” balas Carlos.“Baiklah-baiklah, terimakasih, Carl.”*****Bastian memasuki apartementnya, dengan kondisi yang sangat jauh dari kata rapi dan segar. Meeting hari ini sangat memakan waktu juga emosinya, menguras tenaga dan daya pikirnya. Setelah membersihkan diri ia masih harus melanjutkan pekerjaannya yang belum sempat terselesaikan.Laptop, berkas-berkas, dan secangkir kopi atau lebih, benda-benda yang hampir setiap hari menemani malamnya. Ia bahkan heran, kenapa pekerjaannya sedikitpun tidak berkurang padahal sudah sangat jelas ia mengerjakannya setiap hari.Drrttt… drrttt…Ponselnya berdering, pemuda itu meraih ponselnya tanpa mengalihkan pandangan dari berkas yang ia baca. “Halo?”“….”Raut mukanya seketika berubah saat mendengar suara lawan bicaranya, “Ada apa?”“….”“Berhenti ikut campur dalam urusanku, bukankah itu sudah ada dalam perjanjian kita.”“….”“Kau meneleponku hanya untuk ini? Berhenti mengusikku dan lakukan saja pekerjaanmu dengan baik, dude!” Bastian mengakhiri panggilan itu secara sepihak dan melempar ponselnya cukup keras di atas meja.Kemudian, pria itu memijit keningnya yang pening. “Sepertinya dia akan berulah lagi.”Gia menerjapkan matanya ketika sayup-sayup mendengar suara beberapa barang-barang yang berdenting. Gadis itu meregangkan badannya, matanya beralih pada seorang pemuda yang berdiri membelakanginya, ia memeriksa arlojinya yang menunjukkan pukul setengah 6 pagi.“Sejak kapan kau sampai?” tanya gadis itu kepada pemuda yang masih membelakanginya.“15 menit yang lalu,” jawabnya masih sibuk dengan kegiatannya.“Kau sedang apa, Carl?” tanya Gia yang kini sudah berdiri disamping Carlos.“Aku membawakan makanan untukmu, aku tau kau belum makan dari semalam,” ujarnya.“Kau tak perlu repot-repot membawakan makanan untukku, Carl.”“Apa salahnya?”“Aku hanya tak mau semakin membebanimu. Kau sudah cukup membantu keluargaku.”“Bisakah kau berhenti mengatakan itu? Aku bosan mendengarnya. Lagi pula aku sudah bilang bukan jika kita ini keluarga,” kata Carlos sembari duduk di sofa, “makanlah selagi hangat, aku membuatnya sendiri.”Gia diam dan menuruti permintaan pemuda itu, gadis itu melahap ma
Dua manusia berbeda jenis kelamin itu duduk berhadapan disebuah cafeteria rumah sakit, kecanggungan tak luput dari keduanya. Gia hanya diam, meminum kopinya dengan tenang dan sesekali melirik bossnya itu yang juga hanya memandangnya. Gadis itu berdekhem, “Jadi kenapa anda sampai datang menjenguk ibu saya, pak?” “Apa ada salah jika atasan mencoba lebih memperhatikan pegawainya?” “Tentu saja tidak, tapi anda bukanlah orang yang bisa melakukan hal-hal seperti itu,” ujar Gia dengan suara yang sedikit pelan tetapi masih bisa terdengar dengan jelas di telinga Bastian. “Kau sepertinya sangat mengetahui tabiatku, nona Gia.” Gia diam, siapapun pasti juga akan berpikir seperti itu meski baru pertama kali bertemu dengan orang seperti Bastian. Manusia kaku seperti batu yang dengan sengaja diberi nyawa oleh Tuhan. “Baiklah, aku tak mau berbasa-basi lagi. Aku kesini masih dengan pertanyaan yang sama.” “Maaf pak, tapi jawaban saya tetap sama.” Bastian sedikit berdecak, “Baiklah, aku akan memb
Gia menarik pergelangan tangan Bastian kasar untuk segera keluar dari ruangan tersebut, setelah sedikit lebih jauh dari ruangan ibunya, ia menghempas cekalannya itu dan menghadap Bastian dengan kesal. “Kenapa anda bisa berbicara semudah itu didepan mama saya?”“Aku hanya mempermudah urusan kita.”“Mempermudah? Saya bahkan tidak pernah setuju dengan itu.”Bastian memandang Gia aneh, “Bukankah itu juga menguntungkan untukmu? Aku tidak melakukannya untuk kepentinganku sendiri.”Gia mengusap wajahnya kasar, ia kesal dan lelah. Mengapa ia harus menghadapi manusia seperti Bastian untuk saat ini? Gadis itu menghela napas, “Sebaiknya anda pergi sekarang, pak. Bukankah anda ada urusan?”Bastian mengangguk, “Baiklah, aku tunggu kau besok pagi diruanganku.” Ia pun pergi meninggalkan Gia dengan perasaan yang masih dongkol itu.“Apalagi ini, Tuhan?”*****Gia berangkat kekantornya seperti biasanya, tetapi dengan perasaan yang berbeda. Untuk pertama kalinya ia merasa benar-benar enggan untu
“Maaf karena merepotkan anda, pak Bastian,” ujar Gia setelah berhadapan dengan Bastian. Untuk beberapa detik Bastian dibuat terdiam melihat gadis yang kini ada di depannya, hingga membuat gadis itu merasa salah tingkah sendiri karena bossnya itu terus memandangnya dari ujung rambut hingga kaki. Gaun berwarna peach 5cm diatas lutut yang sangat cocok dengan warna kulit Gia yang putih, sepatu high hells yang tak terlalu tinggi, serta rambut yang kini tergerai bergelombang memberikan kesan fress pada dirinya. Penampilan yang tak pernah terbayangkan oleh Bastian. “Kau… sangat berbeda hari ini,” ujar Bastian tanpa sadar. “A-apa ini terlalu berlebihan? Saya bisa menggantinya dengan yang lebih sederhana lagi, jika anda mau,” kata gadis itu sedikit panik. “Tidak- tidak, maksudku kau cantik hari ini, eh… emh…, maksudku kau tak perlu menggantinya, itu cocok untukmu,” kata pemuda itu dengan gugup. “T-terimakasih, pak.” Entah mengapa Gia merasa kedua pipinya memanas sekarang, ia memegang kedu
“Jadi, kapan kalian akan menikah?”Ukhuk! Ukhuk! Ukhukk!Satu pertanyaan yang mampu membuat Gia terbatuk-batuk karena terkejut, Bastian segera menyerahkan segelas air kepada gadis itu dan meminumnya. “Kau tak apa-apa, sayang?” tanya Bastian yang dibalas anggukan oleh gadis itu.“Kau tak apa-apa, Gia? Maaf pertanyaan Mommy membuatmu terkejut,” kata wanita itu.“Mom, kami belum berpikir kesana,” kata Bastian.Gia meletakkan minumannya, “B-benar, Mom. Saya rasa itu terlalu cepat untuk kami?”“Apa lagi yang kalian tunggu?” tanya ayah Bastian.“Benar, Bastian sudah cukup mampu untuk menghidupi mu Gia, jadi kau tak perlu khawatir,” timpal wanita paruh baya itu.“Mom, sudahlah, aku dan Gia belum terpikir untuk menikah.”Wanita itu menghela napasnya menyerah dengan putranya, raut kecewa terpancar dari wajahnya membuat suasana yang hangat menjadi sedikit awkward. “Kalau begitu bagaimana jika kalian bertunangan saja?” celetuk wanita yang duduk bersebrangan dengan Gia.Semua pasang mata
Gia duduk berhadapan dengan kedua orang tua Bastian serta ibunya yang duduk di sampingnya dengan perasaan gugup. Gadis itu memainkan ujung bajunya awkward, meskipun sebenarnya keadaan tidak setegang itu, justru ibu Bastian dan ibunya sudah terlihat dekat. “Jadi bagaimana menurut anda?” tanya ayah Bastian. “Keputusan saya tergantung pada Gia, saya hanya ingin putri saya bahagia karena mungkin umur saya pun tak akan lama lagi,” ujar ibu Gia membuat gadis itu menoleh kearahnya seketika. “Ma! Mama ngomong apa sih?” Wanita yang dipanggilnya mama itu hanya tersenyum sembari mengusap kepala putrinya. “Jika Bastian bisa berjanji untuk membahagiakan Gia, maka saya akan suka rela menyetujuinya.” Gia memandang ibunya denga tatapan sedih dan bersalah karena sudah membohongi wanita itu. “Maafin Gia, Mama, jangankan bahagia kami bahkan sama sekali tidak saling mencintainya,” batinnya. “Anda tenang saja, meskipun anak itu terlihat kaku tetapi saya yakin dia akan membahagiakan Gia sepenuhnya.”
Pandangan mereka saling bertemu, Gia memandang pemuda itu terkejut sedangkan tatapan tajam Bastian tujukan pada gadis yang ada dihadapannya itu. “Sesuai perjanjian yang kita sepakati, aku akan memperlakukanmu sebagaimana mestinya. Aku memang brengsek, nona Gia, tapi aku bisa memegang janjiku, jadi jangan pernah kau mencoba untuk kabur lagi dariku. Mengerti?” Semua kata-kata yang keluar dari mulut pemuda itu seakan menjadi mantra penghipnotis untuk Gia. Gadis itu hanya mengangguk pelan masih terkejut dengan jarak yang sedekat itu dengan Bastian. Jantungnya pun tak bisa berbohong jika ia pun berdebar cukup kencang. Cklek! Bastian menjauhkan tubuhnya dan kembali ke posisi semula, setelah memasangkan sabuk pengaman pada gadis itu. Gia merasa wajahnya memanas, dan mengalihkan pandangannya keluar jendela. Pemuda itu memasang kembali sabuk pengamannya sedangkan gadis yang duduk disebelahnya itu, masih memalingkan wajahnya dengan sesekali menyentuh kedua pipinya dan beralih memegang dada
Disebuah ruang makan terdapat 3 orang yang sedang menikmati acara makan malam mereka. Tepat 30 menit setelah Gia dan ibunya selesai memilih gaun pertunangan mereka, Bastian sampai bermaksud untuk menjemput Gia dan mengantarnya pulang. Namun, pada akhirnya ia pun juga harus tertahan atas permintaan ibunya untuk makan malam bersama. Selesai makan malam, keduanya memutuskan untuk pulang tentu saja Bastian yang akan mengantar Gia kembali ke kediamannya dengan selamat. Baru saja Bastian menjalankan mobilnya menjauh dari kediaman tersebut, protesan Gia sudah masuk menyapa indra pendengarannya."Anda sudah tahu kalau pertunangan kita dipercepat?" Bastian hanya melirik sekilas gadis itu tanpa menjawab, "kenapa anda tidak memberitahu saya?" "Untuk apa aku memberitahumu, toh mommy juga akan memberitahumu," jawab Bastian santai."Tetap saja! Seharusnya kalian juga membicarakannya dengan saya, 'kan. Huhh! apa semua konglomerat seperti ini?""Ibumu sudah menyetujuinya, beliau bilang lebih cepat
Setelah menyelesaikan semua jadwal mereka pada hari itu, keduanya memutuskan kembali ke rumah orang tua Bastian saat bulan sudah meninggi. Sangat terlihat dari raut muka Gia jika gadis itu kelelahan. Seperti biasa mereka disambut hangat oleh seluruh penghuni rumah, tak terkecuali para pelayan. Gia berjalan menuju kamarnya setelah lebih dulu menyapa calon mertuanya yang ada di ruang keluarga. Gadis itu menghempaskan tubuhnya yang kelelahan keatas kasur empuk milik keluarga Da Frans itu. Gadis itu memandang langit-langit kamar tidurnya, pikirannya masih mencerna apakah keputusan yang ia pilih sampai kini adalah yang terbaik. Bagaimana jika justru pilihannya akan membuat hidupnya semakin terluka? Gia bangkit dari tidurnya, gadis itu menepuk kedua pipinya cukup kencang secara tiba-tiba, "Kau harus menerima semua resiko dari keputusan yang kau ambil, Gia!" monolognya. Tanpa ia sadari seorang pria sedang berdiri diambang pintu sembari menatapnya aneh, "Sedang apa kau? kenapa menam
Siang itu Gia dan Bastian disibukkan dengan pemilihan baju pernikahan mereka. Banyak gaun yang harus Gia coba, meskipun gadis itu sejujurnya lebih ingin acara yang sederhana, tetapi mengingat jika pasangannya adalah salah satu anggota keluarga da Franch, pada akhirnya ia pun memutuskan untuk mengikuti permintaan Lousi dan keluarganya.Da Franch Family, keluarga kaya raya yang memiliki banyak scandal tetapi tak pernah terjatuhkan selama puluhan tahun. Bahkan, saat sebuah rumor tersebar dengan cepat pula rumor itu menghilang bak tak pernah ada.Meskipun kakek Thomson masih cukup sehat, tetapi jabatan kepala keluarga Da Franch kini sudah diturunkan pada Jefran, ayah Bastian. Tentu saja Bastian yang akan meneruskan menjadi kepala keluarga selanjutnya."Bagaimana menurut anda?" tanya seorang pelayan pada Bastian setelah Gia muncul. Ini adalah gaun ke 10 yang gadis itu coba, dan hampir semua gaun yang ia coba mendapat komentar tak sedap dari Bastian.Dengan wajah kesalnya gadis itu menatap
"Jadi, acara makan malam kali ini adalah untuk membahas tanggal pernikahan kalian yang akan dipercepat!" ujar Jefran membuat Gia membelalakkan matanya terkejut, "kami berencana untuk mengadakan pernikahan kalian dalam 2 minggu lagi." "Apa?!" pekik Gia, "t-tunggu mom, dad, kenapa tiba-tiba dipercepat? bukankah mom dan dad sudah setuju jika pernikahan kami dilakukan 3 bulan lagi?" "Ini untuk kebaikan kamu dan mama kamu, Gia," ujar Lousi. "Iya, Gia. Semakin cepat kamu menjadi anggota keluarga Da Franch, semakin mudah untuk kami menjaga kalian," jelas Jefran. "Kenapa mom dan dad tidak mengobrolkannya dulu pada kami?" "Kami sudah mengobrolkannya dengan mamamu Gia, begitupun Bastian yang juga tidak ingin membuat kalian lebih tidak aman lagi dari sebelumnya," ucap Lousi, gadis itu menoleh bergantian pada mamanya dan juga Bastian. Apakah hanya dirinya yang tidak tahu apa-apa disini? "Tetap saja kenapa kalian tidak bertanya pendapat Gia terlebih dulu?" tanyanya. "Sayang, ini untuk kebaik
Bastian berdiri dibarisan rak pembalut hanya diam memandang satu persatu produk-produk itu. Ia agak menyesali dirinya karena tidak bertanya apa yang biasa ia gunakan, dan juga ia masih mempertanyakan didalam otaknya bagaimana bisa pembalut wanita memiliki sayap? "Sayap? Apa dia akan terbang?" gumamnya, "merk apa yang harus aku belikan untuknya?" monolognya lagi, "Akh. Kubelikan saja semua merk biarkan dia memilih sendiri apa yang dia mau." Final, pada akhirnya Bastian membeli 1 pembalut setiap merk dan setiap kemasan yang berbeda. Sekembalinya Bastian dari swalayan, ia segera mencari keberadaan Gia dengan membawa satu kantong belanja full yang hanya berisi pembalut, membuat Gia membelalakkan matanya terkejut terheran-heran dengan laki-laki satu ini. "Bas! kamu mau membuka toko, kenapa beli sebanyak ini?" Laki-laki itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal, "Aku tidak tahu apa yang biasanya kau gunakan, dan apa maksud dari pesanmu yang bersayap." Gia memijat pelipisnya, "Kau kan
"Jika bukan karena kita adalah tunangan, dia pasti sudah ku tendang keujung dunia!" ujarnya asal. Tak berapa lama, Gia menyusul Bastian yang sudah menunggunya diloby toko. Tanpa memperdulikan pemuda itu ia berlalu begitu saja keluar toko meninggalkan Bastian dibelakangnya. Bastian yang terkejut melihat tingkah Gia pun segera menyusul gadis yang kini sudah memasuki mobil itu. Setelah Bastian memasuki mobil, mereka pun melajukan kendaraannya. Tak ada satupun obrolan dikeduanya membuat suasanasemakin canggung, terlebih dengan wajah Gia yang terlihat tidak bersahabat. Pemuda itu teringat dengan penjelasan Max yag mengatakan wanita yang bisa berubah seperti singa sewaktu-waktu, apakah saat ini ia akan menjumpai sosok Gia yang seperti itu? "Ekhem." pada akhirnya Bastian mencoba untuk memberanikan diri untuk membuka obrolan, "ada apa denganmu?" tanya pemuda itu sembari sesekali melirik gadis yang hanya diam dengan tangan bersilang didepan dada dan wajah yang menatap keluar jendela. "Aku
Sudah satu minggu semenjak kejadian penculikan Gia terjadi, dan juga kini Gia dan ibunya sudah tinggal di apartement yang sama dengan Bastian, kamar mereka hanya bersebelahan. Mulai saat itu pula Gia dan Bastian selalu berangkat dan pulang kantor bersama.Meski terlihat romantis dan baik-baik saja, nyatanya hubungan mereka masih sangat canggung. Namun, juga banyak orang yang mendoakan dan mendukung hubungan mereka agar sampai dijenjang pernikahan, tentu saja tak sedikit manusia yang masih menghujat Gia yang tak pantas bersanding dengan seorang Bastian."Kau sudah memberitahu mama, jika nanti kita ada acara makan malam bersama keluargaku?" tanya Bastian."Sudah, nanti akan ku ingatkan lagi." Bastian mengangguk.*****Jam makan siang tiba, Gia hendak bangkit dari duduknya sebelum Bastian lebih dulu mengajaknya untuk makan siang di luar area kantor. Tentu saja gadis itu tidak bisa menolak ajakan pemuda itu. Setelah makan siang selesai, Bastian tidak mengajak Gia untuk kembali ke kantor t
BRAK! Suara gebrakan pintu mengejutkan semua orang yang ada disana, tak lama puluhan orang berbaju hitam sudah mengepung tempat tersebut. "Apa-apaan ini?" tanya Bertho bingung sekaligus panik. Seorang pemuda yang berwajah sangat familiar segera menghampiri Bastian yang masih tersungkur dengan diikuti beberapa anak buahnya yang segera meringkus orang-orang suruhan Bertho dengan pemuda itu juga. "Brengsek! lepaskan aku! apa-apaan ini, Bas! kau menjebakku, Sialan!" Makinya sembari berjalan keluar dari gedung tersebut, bersama anak buah BAstian yang lain. "Kenapa kau lama sekali?" tanya Bastian pada Max yang kini mencoba membantunya bangkit. Detik berikutnya Gia pun menghampiri Bastian dan mencoba membantu pemuda itu untuk berdiri. Entah kenapa rasanya menyesakkan melihat Bastian meringis kesakitan seperti itu. "Tentu saja aku harus menikmati moment yang belum pernah ku lihat sebelumnya," jawabnya santai. "Kau baik-baik saja, Bas?" tanya Gia khawatir. "Bukankah seharusnya aku yang
BUGH! Bastian tersungkur saat sebuah benda tumpul menghantam punggungnya. Namun satu pukulan tak cukup untuk menumbangkannya, ia segera bangkit dan berbalik menghadap beberapa orang yang sudah siap untuk menyerangnya. Pemuda itu tersenyum simpul, "Trup, huh?" gumamnya. Bastian bersiap dengan posisi kuda-kudanya, siap menghabisi semua orang yang ada ditempat itu. Satu orang, dua orang, tiga orang, ia berhasil melumpuhkan setengah dari orang-orang itu dalam waktu singkat. Memukuli orang adalah bakatnya yang tak bisa dilihat oleh sembarang orang, ia sudah di didik dengan sedemikian rupa untuk menjadi pewaris keluarga konglomerat. Kini hanya tinggal beberapa orang saja dihadapannya, ia harus menyelesaikannya sesegera mungkin untuk bisa mencari keberadaan Gia yang sebenarnya.Satu pukulan terakhir, setelah ini ia akan segera pergi mencari Gia. Setidaknya itu yang ia rwncanakan sebelum matanya menangkap sosok Gia yang tengah di seret oleh seorang pria.Konsentrasinya buyar seketika membu
Bastian memasuki sebuah ruangan dengan raut marah yang sangat terlukis jelas diwajahnya, seolah-olah berkata siapapun yang menahannya maka dia akan mati saat itu juga. Dia membuka paksa pintu ruangan tersebut, membuat seseorang yang ada di dalamnya memandangnya terkejut."Bisakah kau berhenti mengganggu milikku sejenak, David?!" ujar Bastian yang sudah sebisa mungkin menahan keinginannya untuk langsung memukuli pria dihadapannya itu.Laki-laki yang duduk di sebuah sofa itu memandang bergantian Bastian dan beberapa anak buahnya yang kini menatapnya takut. Laki-laki itu menghela napas, "Bukankah aku sudah bilang tidak ingin menerima tamu." Ucapan itu ia tujukan untuk anak buahnya."Maaf tuan, tapi tuan Bastian yang--"Prangg!Sebuah vas bunga meluncur melewati Bastian begitu saja, tepat terkena pemuda berpakaian hitam yang ada di belakanag Bastian, pemuda yang sesaat sebelumnya berbicara. "Siapa yang menyuruhmu bicara, bangsat?" tanyanya dengan santai, ia menghela napas, "pergilah kalia