Sesuai janji yang sebelumnya ia katakan kepada Carlos, mereka pergi kerumah Gia untuk mengadakan pesta ulang tahunnya. Carlos dan Gia sampai dengan bebrapa pepperbag yang dibawa Carlos, berisi bahan bahan yang Gia butuhkan.
"Mama, Gia pulang."
"Oh, sayang, kau pulang cepat?"
Gadis itu mencium pipi ibunya, "Iya, dan lihat siapa yang kubawa kemari," katanya sembari sedikit menyingkir memperlihatkan Carlos yang baru saja masuk.
"Carlos, sudah lama kau tak berkunjung kemari. Kau semakin tampan saja, ya," kata wanita itu sembari memeluk pemuda itu.
"Maaf tante, pekerjaanku cukup menumpuk akhir-akhiri ini."
"Ck, kalian berdua itu sama saja. Terlalu sibuk dengan pekerjaan juga bukan hal bagus, kesehatan kalian yang terpenting," ujar wanita itu menceramahi keduanya yang kini hanya saling pandang.
"Baiklah-baiklah, tenang saja mama, kami akan menjaga diri," kata Gia dengan senyuman, "berikan itu padaku, Carl," lanjutnya sembari mengambil alih pepperbag yang dibawa Carlos.
"Kalian berdua duduklah, aku akan membuatkan sesuatu yang spesial malam ini," katanya sembari berjalan menuju dapurnya.
"Ada apa ini?"
"Hari ini ulang tahun Carlos mama, aku ingin membuat makan malam spesial untuknya."
"Itu pun setelah kau melupakannya, 'kan," sindir pemuda itu.
"Ouh, C'mon Carl. Aku sudah minta maaf untuk itu."
Gia mulai sibuk dengan acar memsaknya, sedangkan Carlos dan ibunya sibuk berbincang dan bercanda, sesekali gadis itu juga menimpali candaan dari keduanya.
*****
Tok tok tok
Pintu terbuka menampilkan seorang laki-laki dengan setelah jas hitam memasuki ruangan kerja Bastian. Laki-laki itu menyerahkan satu map coklat, sesuatu yang depan oleh bossnya beberapa jam yang lalu.
"Kau boleh pergi," katanya tanpa berbasa-basi. Bastian segera membuka map tersebut danmembaca dengan teliti hasil pekerjaan anak buahnya.
"Menarik."
Cklek!
Pintu kerjanya kembali terbuka, kini bukan salah satu anak buahnya, melainkan manusia yang menurutnya paling berisik dan merepotkan. Serena da Franch. Wanita yang 3 tahun lebih tua darinya itu berjalan mendekatinya dengan semangat.
Brak!
Wanita itu menggebrak meja kerja adik laki-lakinya, "Katakan dengan sejelas-jelasnya, Bas."
"What?"
"Mommy bilang kau akan mengenalkan kekasihmu akhir pekan ini, benar?"
"Hanya karena itu kau membuat keributan dirumahku?"
"Jawab saja pertanyaanku, anak nakal!"
"Aku belum memutuskannya! Lagi pula kenapa kau sangat tertarik dengan itu, huh?"
Serena menyentil kening Bastian, "Aku mengkhawatirkan gadis yang kau kencani itu, bodoh. Bagaimana bisa dia terjerumus kedalam perangkap laki-laki kaku sepertimu?" kata Serena bertanya-tanya, kemudian duduk di kursi yang berhadapan dengan adiknya.
"Kenapa kau selalu membuatku kesal, kak?" Bastian memijat pelipisnya, "apa kau tak punya pekerjaan lain? aku dengar anak perusahaan yang kau urus sedang ada masalah," lanjutnya mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Masalah itu sudah diatasi oleh Vegas," kata Serena, wanita itu mendekatkan tubuhnya kearah Bastian, "jadi? seperti apa dia?"
"Siapa?"
"Wanitamu, bodoh, siapa lagi memangnya?"
"Untuk apa aku memberitahumu?" katanya kembali menyibukkan diri dengan berkas yang ada dihadapannya.
Serena memicingkan matanya, "Kau menghindari obrolan ini? Jangan bilang kalau kau berbohong?"
Tepat sasaran, Bastian melirik kakak perempuannya itu tanpa menimpali ucapannya, "Bukankah kau lebih baik pulang? apa anak-anakmu tidak mencari ibunya yang berkeliaran kemana-mana ini?"
Serena menyandarkan punggungnya kekepela kursi, "Kau tidak bisa membohongiku, Bas," katanya dengan senyum, lalu bangkit, "baiklah aku akan menunggu gadis itu bersamamu akhir pekan, aku harap kau berhasil, Bro." Wanitu itu keluar dari ruangan tersebut, mmbuat Bastian cukup lega.
"Huh! merepotkan sekali."
*****
Seperti biasanya, Gia sampai dikantor 30 menit lebih cepat. Ia segera menyiapkan beberapa berkas yang harus ia serahkan pada CEO nya, ia juga menyiapkan minuman untuk Bastian. Gadis itu melirik arlojinya setelah siap dengan tugas diawal harinya.
"Lima menit lagi pasti dia datang," gumamnya, Gia segera keluar dari ruangan Bossnya itu dan kembali ketempat kerjanya.
Tak lama, sesuai perkiraannya, Bastian datang dengan perfeksionisnya. Sesaat hal itu membuat Gia terpikat sesaat, tetapi segera tersedar dari pikiran lainnya itu. Gadis itu bangkit dan memberi salam pada Bastian yang dibalas hanya dengan anggukan kepala.
Gia kembali duduk saat melihat boss nya sudah memasuki ruangan, "Aku rasa ia taka kan pernah menikah dengan perilaku dingin dan kaku seperti itu," gumamnya.
Di sisi lain ruangan, Bastian sibuk dengan berkas-berkasnya sesekali ia menyesap minuman yang ada dimejanya. Ditengah-tengah pekerjaannya dering telepon berbunyi, Bastian meraih benda pipih itu dan menerima panggilan tersebut tanpa mengalihkan pandangannya dari berkas-berkas miliknya.
"Halo?"
"Bastian, apa makanan favorit kekasihmu?"
"Mom? makanan favorit?"
"Iya, Mommy akan berbelanja hari ini dan berencana membuatkan calon menantu mommy makanan kesukannya. Jadi?"
Bastian memijat pelipisnya, ia melupakannya, "Mom, kau bisa menyiapkan apapun, aku yakin dia pasti menyukainya," ujar Bastian pasrah.
"Ah, kalau begitu, apa yang tidak bisa ia makan? Mommy tidak mau melukai calon menantu mommy."
"Dia bisa memakan semuanya, Mom, dan berhenti memanggilnya 'Calon menantu', itu menggangguku."
"Mengapa itu mengganggumu? kalian akan segera menikah, wajar jika mommy memanggilnya begitu, 'kan"
Bastian menghela napas, "Oky, terserah saja. Bastian sibuk sekarang, nanti Bas telepon lagi." Bastian memutus panggilan tersebut sebelum mommynya sempat menjawab.
Pemuda itu meletakkan ponselnya keatas meja sedikit membanting, ia menyandarkan punggung ke kepala kursi sembari menghela napas berat. Bastian melirik ketempat Gia berada, gadis berkuncir kuda, dengan penampilan sederhana dan profesional, hal yang membuatnya bisa mempertahankan Gia menjadi sekretarisnya selama lebih dari 2 tahun.
"Apa aku harus benar-benar menggunakannya?" gumamnya. Menit berikutnya ia beralih kembali dengan layar tab nya, tetapi baru beberapa menit ia sudah kembali melirik tempat sekretarisnya itu. "Akh, sudahlah. Aku hanya ingin masalah ini segera selesai," monolognya, lalu menekan satu tombol di telepon kantornya yang menyambungkan ketelepon kantor Gia.
"Keruanganku, sekarang!" ujarnya tegas.
Pintu diketuk, setelah mendapat ijin untuk masuk Gia membuka pintu ruangan bossnya. Gadis itu berdiri dihadapan Bastian, sedikit terkejut dan kaget karena tiba-tiba dipanggil keruangan itu. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?"
Bastian diam dan justru mengamati gadis itu dengan teliti, ia bangkit dan berjalan mengitari tubuh Gia membuat gadis itu merasa ngeri. Bastian bersandar dipinggir meja menghadap Gia dengan tangan masuk kedalam saku celananya.
"Apa kau ada rencana akhir pekan ini?" tanya Bastian semakin membuatnya terkejut, tetapi tetap dengan ekspresi yang masih bisa ia kontrol.
"Akhir pekan ini saya ada jadwal kunjungan adik saya, Pak."
"Begitu rupanya." Bastian mengangguk paham.
"Tapi, jika ada sesuatu yang mendesak, saya bisa membatalkan kunjungan adik saya," tambahnya.
Bastian menaikkan sebelah alisnya, "Apa tak masalah? aku membutuhkanmu dari pukul 4 sore sampai malam," katanya.
"Ah, begitu. Kalau begitu saya akan mengunjungi adik saya dipagi hari, setelah itu saya akan segera menemui anda. Kalau boleh tahu, dimana kita akan mengadakan rapat, Pak?"
"Rapat? aku tidak mengajakmu untuk rapat. Aku mengajakmu untuk dinner bersama keluargaku." Satu kalimat yang mampu membuat fungsi otak Gia terasa berhenti sejenak. Gadis itu mencerna perlahan kata-kata CEOnya itu.
"M-maaf pak, apa saya tidak salah dengar, dinner?" tanya Gia mengkonfirmasi ulang ucapan Bastian.
"Aku rasa telingamu masih berfungsi dengan baik, nona Gia."
Gia masih dibuat speecless dengan ucapan Bastian, "K-kenapa saya? anda bisa pergi bersama kekasih anda, bukan?" Konyol, Gia merutuki pertanyaan konyolnya. Ia sesaat lupa jika Bastian paling tidak suka jika ada orang yang membicarakan kekasih di depannya.
"Bukankah kau tahu, nona Gia?" Gadis itu menunduk.
"Maaf, pak. Tapi, tetap saja, kenapa harus saya?"
"Karena aku tak punya pilihan lain. Tenang saja, aku akan membayarmu, anggap saja ini adalah kerja lemburmu."
Gia terdiam, ia merasa aneh, ada sedikit rasa yang membuatnya merasa sesak, "Maaf pak, tapi saya tidak bisa." Gia membungkuk, "permisi."
Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam, tetapi belum membuat Gia beranjak dari depan komputernya. Sesekali ia meregangkan tubuhnya yang mulai terasa pegal, gadis itu menghela napas saat melihat setumpuk berkas yang harus ia kerjakan. "Sepertinya aku tidak bisa pulang malam ini," gumamnya lalu kembali sibuk dengan pekerjaannya, tanpa menyadari seseorang yang sudah berdiri di depan tempat kerjanya. Gia tersentak ketika suara ketukan terdengar dari mejanya, ia menoleh dan melihat orang yang ia kenal tengah berdiri didepan mejanya, "Kau lembur, nona Gia?" tanya laki-laki itu. "Ah, iya pak." Max tersenyum lalu meletakkan sebuah gelas yang ia bawa di atas meja Gia membuat gadis itu bingung, "Minumlah, aku membuatkanmu kopi." "Emm..., terimakasih pak." Max menggangguk, "ah, pak Bastian sudah pergi sejak 1 jam yang lalu pak," katanya, ketika melihat Max masih berada di posisi yang sama."Tidak-tidak, aku tidak mencari boss."Gadis itu mengangguk kecil, tetapi juga tetap menerka-nerka tujuan
Gia menghempas tubuhnya di sofa sesaat setelah baru saja sampai dikediamannya tepat pukul 9 malam, gadis itu menghela napasnnya berat sembari memejamkan mata. Meeting yang ia kira akan berjalan lebih ceat ternyata tidak sesuai dengan perkiraannya, terlebih lagi suasana meeting yang sangat tegang untuknya mendengar para pimpinan beradu argumen. “Kau baru pulang, Nak?” tanya seorang wanita yang baru saja keluar dari kamarnya. Gia menoleh dan melihat ibunya sudah duduk disampingnya, gadis itu beralih memeluk wanita tersebut dengan manja. “Gia lelah mama.” Wanita itu mengusap kepala anaknya lembut, “Maafkan mama karena selalu merepotkanmu, Sayang,” ujarnya membuat Gia merasa berslah seketika. “Aku tak menyalahkan mama, aku hanya ingin bercerita karena hari ini adalah hari yang cukup berat untukku.” “Tetap saja, mama tak bisa membantumu.” “Sudahlah mama, Gia yang bertugas menggantikan papa. Melihat mama sehat saja aku sudah senang,” kata gadis itu. Wanita itu mencium pucuk kepala put
Gia menerjapkan matanya ketika sayup-sayup mendengar suara beberapa barang-barang yang berdenting. Gadis itu meregangkan badannya, matanya beralih pada seorang pemuda yang berdiri membelakanginya, ia memeriksa arlojinya yang menunjukkan pukul setengah 6 pagi.“Sejak kapan kau sampai?” tanya gadis itu kepada pemuda yang masih membelakanginya.“15 menit yang lalu,” jawabnya masih sibuk dengan kegiatannya.“Kau sedang apa, Carl?” tanya Gia yang kini sudah berdiri disamping Carlos.“Aku membawakan makanan untukmu, aku tau kau belum makan dari semalam,” ujarnya.“Kau tak perlu repot-repot membawakan makanan untukku, Carl.”“Apa salahnya?”“Aku hanya tak mau semakin membebanimu. Kau sudah cukup membantu keluargaku.”“Bisakah kau berhenti mengatakan itu? Aku bosan mendengarnya. Lagi pula aku sudah bilang bukan jika kita ini keluarga,” kata Carlos sembari duduk di sofa, “makanlah selagi hangat, aku membuatnya sendiri.”Gia diam dan menuruti permintaan pemuda itu, gadis itu melahap ma
Dua manusia berbeda jenis kelamin itu duduk berhadapan disebuah cafeteria rumah sakit, kecanggungan tak luput dari keduanya. Gia hanya diam, meminum kopinya dengan tenang dan sesekali melirik bossnya itu yang juga hanya memandangnya. Gadis itu berdekhem, “Jadi kenapa anda sampai datang menjenguk ibu saya, pak?” “Apa ada salah jika atasan mencoba lebih memperhatikan pegawainya?” “Tentu saja tidak, tapi anda bukanlah orang yang bisa melakukan hal-hal seperti itu,” ujar Gia dengan suara yang sedikit pelan tetapi masih bisa terdengar dengan jelas di telinga Bastian. “Kau sepertinya sangat mengetahui tabiatku, nona Gia.” Gia diam, siapapun pasti juga akan berpikir seperti itu meski baru pertama kali bertemu dengan orang seperti Bastian. Manusia kaku seperti batu yang dengan sengaja diberi nyawa oleh Tuhan. “Baiklah, aku tak mau berbasa-basi lagi. Aku kesini masih dengan pertanyaan yang sama.” “Maaf pak, tapi jawaban saya tetap sama.” Bastian sedikit berdecak, “Baiklah, aku akan memb
Gia menarik pergelangan tangan Bastian kasar untuk segera keluar dari ruangan tersebut, setelah sedikit lebih jauh dari ruangan ibunya, ia menghempas cekalannya itu dan menghadap Bastian dengan kesal. “Kenapa anda bisa berbicara semudah itu didepan mama saya?”“Aku hanya mempermudah urusan kita.”“Mempermudah? Saya bahkan tidak pernah setuju dengan itu.”Bastian memandang Gia aneh, “Bukankah itu juga menguntungkan untukmu? Aku tidak melakukannya untuk kepentinganku sendiri.”Gia mengusap wajahnya kasar, ia kesal dan lelah. Mengapa ia harus menghadapi manusia seperti Bastian untuk saat ini? Gadis itu menghela napas, “Sebaiknya anda pergi sekarang, pak. Bukankah anda ada urusan?”Bastian mengangguk, “Baiklah, aku tunggu kau besok pagi diruanganku.” Ia pun pergi meninggalkan Gia dengan perasaan yang masih dongkol itu.“Apalagi ini, Tuhan?”*****Gia berangkat kekantornya seperti biasanya, tetapi dengan perasaan yang berbeda. Untuk pertama kalinya ia merasa benar-benar enggan untu
“Maaf karena merepotkan anda, pak Bastian,” ujar Gia setelah berhadapan dengan Bastian. Untuk beberapa detik Bastian dibuat terdiam melihat gadis yang kini ada di depannya, hingga membuat gadis itu merasa salah tingkah sendiri karena bossnya itu terus memandangnya dari ujung rambut hingga kaki. Gaun berwarna peach 5cm diatas lutut yang sangat cocok dengan warna kulit Gia yang putih, sepatu high hells yang tak terlalu tinggi, serta rambut yang kini tergerai bergelombang memberikan kesan fress pada dirinya. Penampilan yang tak pernah terbayangkan oleh Bastian. “Kau… sangat berbeda hari ini,” ujar Bastian tanpa sadar. “A-apa ini terlalu berlebihan? Saya bisa menggantinya dengan yang lebih sederhana lagi, jika anda mau,” kata gadis itu sedikit panik. “Tidak- tidak, maksudku kau cantik hari ini, eh… emh…, maksudku kau tak perlu menggantinya, itu cocok untukmu,” kata pemuda itu dengan gugup. “T-terimakasih, pak.” Entah mengapa Gia merasa kedua pipinya memanas sekarang, ia memegang kedu
“Jadi, kapan kalian akan menikah?”Ukhuk! Ukhuk! Ukhukk!Satu pertanyaan yang mampu membuat Gia terbatuk-batuk karena terkejut, Bastian segera menyerahkan segelas air kepada gadis itu dan meminumnya. “Kau tak apa-apa, sayang?” tanya Bastian yang dibalas anggukan oleh gadis itu.“Kau tak apa-apa, Gia? Maaf pertanyaan Mommy membuatmu terkejut,” kata wanita itu.“Mom, kami belum berpikir kesana,” kata Bastian.Gia meletakkan minumannya, “B-benar, Mom. Saya rasa itu terlalu cepat untuk kami?”“Apa lagi yang kalian tunggu?” tanya ayah Bastian.“Benar, Bastian sudah cukup mampu untuk menghidupi mu Gia, jadi kau tak perlu khawatir,” timpal wanita paruh baya itu.“Mom, sudahlah, aku dan Gia belum terpikir untuk menikah.”Wanita itu menghela napasnya menyerah dengan putranya, raut kecewa terpancar dari wajahnya membuat suasana yang hangat menjadi sedikit awkward. “Kalau begitu bagaimana jika kalian bertunangan saja?” celetuk wanita yang duduk bersebrangan dengan Gia.Semua pasang mata
Gia duduk berhadapan dengan kedua orang tua Bastian serta ibunya yang duduk di sampingnya dengan perasaan gugup. Gadis itu memainkan ujung bajunya awkward, meskipun sebenarnya keadaan tidak setegang itu, justru ibu Bastian dan ibunya sudah terlihat dekat. “Jadi bagaimana menurut anda?” tanya ayah Bastian. “Keputusan saya tergantung pada Gia, saya hanya ingin putri saya bahagia karena mungkin umur saya pun tak akan lama lagi,” ujar ibu Gia membuat gadis itu menoleh kearahnya seketika. “Ma! Mama ngomong apa sih?” Wanita yang dipanggilnya mama itu hanya tersenyum sembari mengusap kepala putrinya. “Jika Bastian bisa berjanji untuk membahagiakan Gia, maka saya akan suka rela menyetujuinya.” Gia memandang ibunya denga tatapan sedih dan bersalah karena sudah membohongi wanita itu. “Maafin Gia, Mama, jangankan bahagia kami bahkan sama sekali tidak saling mencintainya,” batinnya. “Anda tenang saja, meskipun anak itu terlihat kaku tetapi saya yakin dia akan membahagiakan Gia sepenuhnya.”
Setelah menyelesaikan semua jadwal mereka pada hari itu, keduanya memutuskan kembali ke rumah orang tua Bastian saat bulan sudah meninggi. Sangat terlihat dari raut muka Gia jika gadis itu kelelahan. Seperti biasa mereka disambut hangat oleh seluruh penghuni rumah, tak terkecuali para pelayan. Gia berjalan menuju kamarnya setelah lebih dulu menyapa calon mertuanya yang ada di ruang keluarga. Gadis itu menghempaskan tubuhnya yang kelelahan keatas kasur empuk milik keluarga Da Frans itu. Gadis itu memandang langit-langit kamar tidurnya, pikirannya masih mencerna apakah keputusan yang ia pilih sampai kini adalah yang terbaik. Bagaimana jika justru pilihannya akan membuat hidupnya semakin terluka? Gia bangkit dari tidurnya, gadis itu menepuk kedua pipinya cukup kencang secara tiba-tiba, "Kau harus menerima semua resiko dari keputusan yang kau ambil, Gia!" monolognya. Tanpa ia sadari seorang pria sedang berdiri diambang pintu sembari menatapnya aneh, "Sedang apa kau? kenapa menam
Siang itu Gia dan Bastian disibukkan dengan pemilihan baju pernikahan mereka. Banyak gaun yang harus Gia coba, meskipun gadis itu sejujurnya lebih ingin acara yang sederhana, tetapi mengingat jika pasangannya adalah salah satu anggota keluarga da Franch, pada akhirnya ia pun memutuskan untuk mengikuti permintaan Lousi dan keluarganya.Da Franch Family, keluarga kaya raya yang memiliki banyak scandal tetapi tak pernah terjatuhkan selama puluhan tahun. Bahkan, saat sebuah rumor tersebar dengan cepat pula rumor itu menghilang bak tak pernah ada.Meskipun kakek Thomson masih cukup sehat, tetapi jabatan kepala keluarga Da Franch kini sudah diturunkan pada Jefran, ayah Bastian. Tentu saja Bastian yang akan meneruskan menjadi kepala keluarga selanjutnya."Bagaimana menurut anda?" tanya seorang pelayan pada Bastian setelah Gia muncul. Ini adalah gaun ke 10 yang gadis itu coba, dan hampir semua gaun yang ia coba mendapat komentar tak sedap dari Bastian.Dengan wajah kesalnya gadis itu menatap
"Jadi, acara makan malam kali ini adalah untuk membahas tanggal pernikahan kalian yang akan dipercepat!" ujar Jefran membuat Gia membelalakkan matanya terkejut, "kami berencana untuk mengadakan pernikahan kalian dalam 2 minggu lagi." "Apa?!" pekik Gia, "t-tunggu mom, dad, kenapa tiba-tiba dipercepat? bukankah mom dan dad sudah setuju jika pernikahan kami dilakukan 3 bulan lagi?" "Ini untuk kebaikan kamu dan mama kamu, Gia," ujar Lousi. "Iya, Gia. Semakin cepat kamu menjadi anggota keluarga Da Franch, semakin mudah untuk kami menjaga kalian," jelas Jefran. "Kenapa mom dan dad tidak mengobrolkannya dulu pada kami?" "Kami sudah mengobrolkannya dengan mamamu Gia, begitupun Bastian yang juga tidak ingin membuat kalian lebih tidak aman lagi dari sebelumnya," ucap Lousi, gadis itu menoleh bergantian pada mamanya dan juga Bastian. Apakah hanya dirinya yang tidak tahu apa-apa disini? "Tetap saja kenapa kalian tidak bertanya pendapat Gia terlebih dulu?" tanyanya. "Sayang, ini untuk kebaik
Bastian berdiri dibarisan rak pembalut hanya diam memandang satu persatu produk-produk itu. Ia agak menyesali dirinya karena tidak bertanya apa yang biasa ia gunakan, dan juga ia masih mempertanyakan didalam otaknya bagaimana bisa pembalut wanita memiliki sayap? "Sayap? Apa dia akan terbang?" gumamnya, "merk apa yang harus aku belikan untuknya?" monolognya lagi, "Akh. Kubelikan saja semua merk biarkan dia memilih sendiri apa yang dia mau." Final, pada akhirnya Bastian membeli 1 pembalut setiap merk dan setiap kemasan yang berbeda. Sekembalinya Bastian dari swalayan, ia segera mencari keberadaan Gia dengan membawa satu kantong belanja full yang hanya berisi pembalut, membuat Gia membelalakkan matanya terkejut terheran-heran dengan laki-laki satu ini. "Bas! kamu mau membuka toko, kenapa beli sebanyak ini?" Laki-laki itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal, "Aku tidak tahu apa yang biasanya kau gunakan, dan apa maksud dari pesanmu yang bersayap." Gia memijat pelipisnya, "Kau kan
"Jika bukan karena kita adalah tunangan, dia pasti sudah ku tendang keujung dunia!" ujarnya asal. Tak berapa lama, Gia menyusul Bastian yang sudah menunggunya diloby toko. Tanpa memperdulikan pemuda itu ia berlalu begitu saja keluar toko meninggalkan Bastian dibelakangnya. Bastian yang terkejut melihat tingkah Gia pun segera menyusul gadis yang kini sudah memasuki mobil itu. Setelah Bastian memasuki mobil, mereka pun melajukan kendaraannya. Tak ada satupun obrolan dikeduanya membuat suasanasemakin canggung, terlebih dengan wajah Gia yang terlihat tidak bersahabat. Pemuda itu teringat dengan penjelasan Max yag mengatakan wanita yang bisa berubah seperti singa sewaktu-waktu, apakah saat ini ia akan menjumpai sosok Gia yang seperti itu? "Ekhem." pada akhirnya Bastian mencoba untuk memberanikan diri untuk membuka obrolan, "ada apa denganmu?" tanya pemuda itu sembari sesekali melirik gadis yang hanya diam dengan tangan bersilang didepan dada dan wajah yang menatap keluar jendela. "Aku
Sudah satu minggu semenjak kejadian penculikan Gia terjadi, dan juga kini Gia dan ibunya sudah tinggal di apartement yang sama dengan Bastian, kamar mereka hanya bersebelahan. Mulai saat itu pula Gia dan Bastian selalu berangkat dan pulang kantor bersama.Meski terlihat romantis dan baik-baik saja, nyatanya hubungan mereka masih sangat canggung. Namun, juga banyak orang yang mendoakan dan mendukung hubungan mereka agar sampai dijenjang pernikahan, tentu saja tak sedikit manusia yang masih menghujat Gia yang tak pantas bersanding dengan seorang Bastian."Kau sudah memberitahu mama, jika nanti kita ada acara makan malam bersama keluargaku?" tanya Bastian."Sudah, nanti akan ku ingatkan lagi." Bastian mengangguk.*****Jam makan siang tiba, Gia hendak bangkit dari duduknya sebelum Bastian lebih dulu mengajaknya untuk makan siang di luar area kantor. Tentu saja gadis itu tidak bisa menolak ajakan pemuda itu. Setelah makan siang selesai, Bastian tidak mengajak Gia untuk kembali ke kantor t
BRAK! Suara gebrakan pintu mengejutkan semua orang yang ada disana, tak lama puluhan orang berbaju hitam sudah mengepung tempat tersebut. "Apa-apaan ini?" tanya Bertho bingung sekaligus panik. Seorang pemuda yang berwajah sangat familiar segera menghampiri Bastian yang masih tersungkur dengan diikuti beberapa anak buahnya yang segera meringkus orang-orang suruhan Bertho dengan pemuda itu juga. "Brengsek! lepaskan aku! apa-apaan ini, Bas! kau menjebakku, Sialan!" Makinya sembari berjalan keluar dari gedung tersebut, bersama anak buah BAstian yang lain. "Kenapa kau lama sekali?" tanya Bastian pada Max yang kini mencoba membantunya bangkit. Detik berikutnya Gia pun menghampiri Bastian dan mencoba membantu pemuda itu untuk berdiri. Entah kenapa rasanya menyesakkan melihat Bastian meringis kesakitan seperti itu. "Tentu saja aku harus menikmati moment yang belum pernah ku lihat sebelumnya," jawabnya santai. "Kau baik-baik saja, Bas?" tanya Gia khawatir. "Bukankah seharusnya aku yang
BUGH! Bastian tersungkur saat sebuah benda tumpul menghantam punggungnya. Namun satu pukulan tak cukup untuk menumbangkannya, ia segera bangkit dan berbalik menghadap beberapa orang yang sudah siap untuk menyerangnya. Pemuda itu tersenyum simpul, "Trup, huh?" gumamnya. Bastian bersiap dengan posisi kuda-kudanya, siap menghabisi semua orang yang ada ditempat itu. Satu orang, dua orang, tiga orang, ia berhasil melumpuhkan setengah dari orang-orang itu dalam waktu singkat. Memukuli orang adalah bakatnya yang tak bisa dilihat oleh sembarang orang, ia sudah di didik dengan sedemikian rupa untuk menjadi pewaris keluarga konglomerat. Kini hanya tinggal beberapa orang saja dihadapannya, ia harus menyelesaikannya sesegera mungkin untuk bisa mencari keberadaan Gia yang sebenarnya.Satu pukulan terakhir, setelah ini ia akan segera pergi mencari Gia. Setidaknya itu yang ia rwncanakan sebelum matanya menangkap sosok Gia yang tengah di seret oleh seorang pria.Konsentrasinya buyar seketika membu
Bastian memasuki sebuah ruangan dengan raut marah yang sangat terlukis jelas diwajahnya, seolah-olah berkata siapapun yang menahannya maka dia akan mati saat itu juga. Dia membuka paksa pintu ruangan tersebut, membuat seseorang yang ada di dalamnya memandangnya terkejut."Bisakah kau berhenti mengganggu milikku sejenak, David?!" ujar Bastian yang sudah sebisa mungkin menahan keinginannya untuk langsung memukuli pria dihadapannya itu.Laki-laki yang duduk di sebuah sofa itu memandang bergantian Bastian dan beberapa anak buahnya yang kini menatapnya takut. Laki-laki itu menghela napas, "Bukankah aku sudah bilang tidak ingin menerima tamu." Ucapan itu ia tujukan untuk anak buahnya."Maaf tuan, tapi tuan Bastian yang--"Prangg!Sebuah vas bunga meluncur melewati Bastian begitu saja, tepat terkena pemuda berpakaian hitam yang ada di belakanag Bastian, pemuda yang sesaat sebelumnya berbicara. "Siapa yang menyuruhmu bicara, bangsat?" tanyanya dengan santai, ia menghela napas, "pergilah kalia