Satu tahun kemudian …."Ayah, lihat boneka Letta!" seru Alleta dengan suara riang, mengangkat boneka Barbie bergaun merah berkilauan. Matanya berbinar-binar, pipinya memerah karena kegirangan.Mark menunduk, mengangkat Alleta ke pangkuannya. "Siapa yang memberikan ini, hm?" tanyanya sambil tersenyum lebar."Kakek Alex!" jawab Alleta antusias, memeluk boneka itu erat. "Kata Kakek, ini spesial!""Spesial sekali, ya? Kamu harus bilang terima kasih sama Kakek Alex," ujar Mark, mengusap rambut anak perempuannya yang lebat dan hitam.Alleta bangkit dari pangkuan Mark berjalan cepat mengecup pipi Alex, "Thank you, grand Pa!" celoteh Alleta dengan suara cerianya.Alex, yang duduk di sofa bersebelahan dengan Viona, hanya terkekeh. "Anak ini benar-benar tahu bagaimana mencuri hati seorang kakek," katanya sambil mengangguk puas."Ayah saja yang terlalu memanjakannya." goda Viona sambil membawa nampan berisi minuman hangat. Bayi mungil mereka kini sedang aktif-aktifnya. Namanya Alleta, ceria dan
Suara tawa riang mengisi ruang keluarga. Mark duduk di lantai beralas karpet, kedua bayi kembarnya berada di pelukannya. Di sebelahnya, Viona tertawa kecil sambil merapikan seragam anak sulung mereka, Leo, yang sedang bersiap berangkat ke sekolah.“Ayah, aku sudah besar. Aku bisa pasang sepatu sendiri,” ucap Alleta dengan penuh percaya diri, meski tali sepatunya masih belum terikat sempurna.Mark tersenyum sambil mengangkat salah satu bayi, yang memekik kegirangan. “Benar, Nak, Ayah sekarang sibuk sama dua jagoan kecil ini. Kamu harus bantu Mama, ya?”Alleta mengangguk dengan wajah ceria, lalu melompat-lompat di tempat. “Iya, Pa. Nanti aku belajar cara mengganti popok juga!”Viona tertawa sambil menggelengkan kepala. "Kau kakak yang baik untuk kedua adikmu, Alleta.”Alleta mengecup pipi ibunya, bahagia mendapatkan pujiannya.Salah satu bayi menoleh ke arah Mark dan berseru, “Ayah!” sambil meraih wajahnya dengan tangan mungilnya. Yang satunya tidak mau kalah dan berseru, “Ibu!” dengan
[Gaunnya indah sekali, terima kasih, Mark.]Viona tersentak begitu membaca pesan di ponsel Mark, suaminya. Tadi, Viona hanya sedang membereskan ruang kerja suaminya seperti biasa. Namun, ponsel suaminya ternyata tertinggal di ruang kerja, dan sebuah pesan muncul di layar. Dengan ragu, akhirnya Viona membuka pesan tersebut. Beberapa detik kemudian, sebuah pesan baru kembali muncul. Kali ini menampilkan sebuah foto seorang wanita mengenakan gaun mewah berwarna merah marun dengan senyum menggoda.Namun, bukan senyuman wanita itu yang mengusiknya, melainkan gaun yang dikenakan wanita itu.Selama empat tahun menjadi istri Mark Dexter, Viona belum pernah merasakan diberikan hadiah, terlebih gaun seindah itu.Viona memandangi foto itu, matanya mulai berkaca-kaca. Perasaannya campur aduk antara marah, kecewa, dan hancur. Gaun itu begitu indah, lebih indah dari apa pun yang pernah ia miliki. Ironisnya, gaun itu bukan untuknya.Gaun itu adalah hadiah untuk Stella. Dengan tangan bergetar, Viona
Mark membalikkan tubuhnya, punggung tegapnya seakan menjadi tembok yang tak bisa ditembus. “Itu bukan urusanmu,” katanya dengan suara datar, kemudian melangkah pergi meninggalkan Viona sendirian di dalam ruang kerjanya.Viona terdiam, terkejut dengan perkataan Mark. Air matanya sudah mengembang, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Hatinya terasa sakit dan hancur.Hati Viona terasa remuk, seperti baru saja dihantam oleh bebatuan besar. Ucapan Mark menusuknya lebih dalam daripada pisau tajam. Selama ini, Viona selalu berusaha memahami, selalu menerima kekurangan dalam hubungan mereka.“Tega sekali dia berucap seperti itu padaku,” lirih Viona seraya menggigit bibirnya menahan gejolak sakit yang menggemuruh dalam dadanya.Viona mencoba menahan air matanya. Dia tidak ingin larut dalam kesedihan ini. Dengan cepat, dia memutuskan untuk pergi ke rumah sakit, tempat ibunya dirawat. Dia harus mengetahui keadaan ibunya.Sesampainya di rumah sakit, Viona langsung menuju ke ruang p
Mark baru saja sampai di rumah, sebelumnya ia sudah mendengar dari Asistennya, Ben, bahwa Ibu Viona harus dipindahkan ke ruang intensif.Ketika Mark masuk ke dalam kamarnya, Mark melihat Viona duduk dengan wajah yang tampak lelah dan matanya sembab, Viona tidak menoleh atau mengucapkan sepatah kata pun. Mark terus melangkah masuk. Lalu membuka mantel hitam yang masih membungkus tubuhnya seraya melirik ke arah Viona. Dan wanita itu masih diam seribu bahasa, tanpa mengatakan apapun padanya.“Bagaimana kondisi Ibumu?” tanya Mark dengan suara rendah.Viona menoleh, ada jeda sebelum Viona menjawab pertanyaan Mark. Dipandangnya wajah pria yang telah menjadi suaminya selama empat tahun, sorot matanya kepada Viona tidak pernah sedalam ketika Mark bersama Stella tadi, dengan perasaan yang hancur, Viona menghela napas berat. “Mark. Mari bercerai!”Mark benar-benar terkejut, ia seketika membalikkan tubuhnya dan menatap wajah Viona dengan tatapan yang menghunus karena mendengar perkataan sang i
Keesokan paginya, Viona bangun lebih awal dari biasanya. Matanya sedikit bengkak akibat tangis yang sepanjang malam. Ia teringat untuk menjual kalungnya, karena hari ini ia sudah berjanji untuk melunasi biaya rumah sakit Ibunya, kemudian Viona mengambil ponselnya dan menghubungi seorang teman dekat, berharap bisa segera menjual kalung pemberian Mark."Lina? Bisa bantu aku mencarikan seseorang yang bisa membeli kalung?" tanya Viona dengan suara yang sedikit serak.Di seberang sana, Lina terdengar terkejut karena tiba-tiba saja Viona menghubunginya pagi-pagi sekali. “Kalung yang mahal itu? Yang diberikan oleh suamimu? Kenapa kamu mau menjualnya, Viona?”Viona menghela napas panjang, berusaha menahan emosi. "Nanti aku ceritakan semuanya, Lina. Tolong bantu aku dulu, ya."Lina setuju dan mereka segera menyusun rencana untuk bertemu dengan calon pembeli kalung tersebut. Setelah urusan dengan Lina selesai, Viona merasa sedikit lega. Dia tahu bahwa setelah ini pasti Mark akan marah kepadanya,
Sesampainya di rumah, Mark dan Viona melangkah ke dalam dengan suasana yang penuh ketegangan. Hati Viona berdegup tak karuan, rasa berdebar akibat ulah Mark yang telah mengemudikan mobilnya seperti dalam balapan.Suara mesin mobil yang meraung-raung mengisi telinganya, seakan merobek kedamaian yang dia dambakan. Ketika pintu rumah akhirnya terbuka, Viona melangkah masuk terlebih dahulu, membiarkan langkahnya menghilang dalam kegelapan interior yang mewah.“Tunggu, Viona!” teriak Mark, suaranya keras dan penuh komando, seolah petir di langit malam. Viona berhenti, tubuhnya terasa kaku di ambang pintu, tapi dia enggan menoleh, membiarkan suaranya mengisi ruang di sekitarnya.“Ibu meminta kita untuk berkunjung ke rumahnya,” lanjut Mark dengan nada yang seperti es yang retak, “Jika kamu ingin membuat masalah, nanti saja setelah kembali dari rumah orang tuaku.”Kata-kata Mark seperti belati yang menembus hati Viona. Mereka berada di ambang jurang, hubungan mereka terkatung-katung di tepi ke
Mark tersedak, sementara Viona menundukkan kepala, merasa seperti dunia runtuh di sekelilingnya. “Ibu, kenapa tiba-tiba membahas tentang anak?” Mark membuka percakapan, suaranya berusaha tenang namun ada nada tersirat ketidaknyamanan.Di seberangnya, Sarah, ibu Mark, menatap putranya dengan tatapan datar yang tak terbaca. Wanita paruh baya itu, dengan garis-garis waktu di wajahnya yang menunjukkan kebijaksanaan hidup, tersenyum tipis.“Mark, kau pun tahu, sudah saatnya kalian memikirkan untuk memiliki keturunan. Usiamu juga sudah tidak lagi muda, dan aku ingin melihat cucu sebelum terlalu tua untuk bermain dengan mereka."Mark menghela napas panjang, menimbang kata-katanya sebelum menjawab. "Ibu, Viona masih sangat muda. Aku tidak ingin terburu-buru. Kami masih ingin menikmati waktu berdua," balasnya dengan nada yang seimbang antara lembut dan tegas.Di sisi lain meja, Viona duduk diam. Wanita muda dengan rambut panjang hitam dan mata yang selalu tampak penuh perasaan itu, hanya terse
Suara tawa riang mengisi ruang keluarga. Mark duduk di lantai beralas karpet, kedua bayi kembarnya berada di pelukannya. Di sebelahnya, Viona tertawa kecil sambil merapikan seragam anak sulung mereka, Leo, yang sedang bersiap berangkat ke sekolah.“Ayah, aku sudah besar. Aku bisa pasang sepatu sendiri,” ucap Alleta dengan penuh percaya diri, meski tali sepatunya masih belum terikat sempurna.Mark tersenyum sambil mengangkat salah satu bayi, yang memekik kegirangan. “Benar, Nak, Ayah sekarang sibuk sama dua jagoan kecil ini. Kamu harus bantu Mama, ya?”Alleta mengangguk dengan wajah ceria, lalu melompat-lompat di tempat. “Iya, Pa. Nanti aku belajar cara mengganti popok juga!”Viona tertawa sambil menggelengkan kepala. "Kau kakak yang baik untuk kedua adikmu, Alleta.”Alleta mengecup pipi ibunya, bahagia mendapatkan pujiannya.Salah satu bayi menoleh ke arah Mark dan berseru, “Ayah!” sambil meraih wajahnya dengan tangan mungilnya. Yang satunya tidak mau kalah dan berseru, “Ibu!” dengan
Satu tahun kemudian …."Ayah, lihat boneka Letta!" seru Alleta dengan suara riang, mengangkat boneka Barbie bergaun merah berkilauan. Matanya berbinar-binar, pipinya memerah karena kegirangan.Mark menunduk, mengangkat Alleta ke pangkuannya. "Siapa yang memberikan ini, hm?" tanyanya sambil tersenyum lebar."Kakek Alex!" jawab Alleta antusias, memeluk boneka itu erat. "Kata Kakek, ini spesial!""Spesial sekali, ya? Kamu harus bilang terima kasih sama Kakek Alex," ujar Mark, mengusap rambut anak perempuannya yang lebat dan hitam.Alleta bangkit dari pangkuan Mark berjalan cepat mengecup pipi Alex, "Thank you, grand Pa!" celoteh Alleta dengan suara cerianya.Alex, yang duduk di sofa bersebelahan dengan Viona, hanya terkekeh. "Anak ini benar-benar tahu bagaimana mencuri hati seorang kakek," katanya sambil mengangguk puas."Ayah saja yang terlalu memanjakannya." goda Viona sambil membawa nampan berisi minuman hangat. Bayi mungil mereka kini sedang aktif-aktifnya. Namanya Alleta, ceria dan
Mark terbangun dengan mata yang terasa berat. Ia melihat ke sekeliling kamar dengan bingung, suara tangisan bayi membelah keheningan malam. Pukul tiga pagi, pikirnya sambil mengusap wajah yang lelah."Viona?" panggilnya pelan, tapi tidak ada jawaban. Ia berbalik, menemukan sisi ranjang Viona kosong.Mark bergegas keluar kamar, menuju suara tangisan itu. Di ruang bayi, ia melihat Viona dengan sabar menggendong bayi mereka, menepuk-nepuk punggungnya yang mungil dengan lembut."Kenapa kau tidak membangunkanku?" tanya Mark, suaranya serak.Viona menoleh dengan senyum lelah tapi lembut. "Kau sudah terlalu capek, Mark. Biar aku yang mengurusnya.""Tidak, ini juga tanggung jawabku," kata Mark tegas, lalu mendekat untuk mengambil bayi mereka. Namun begitu bayi itu berpindah ke pelukannya, tangisannya malah semakin kencang."Kenapa dia makin menangis? Aku sudah pegang dengan benar, kan?" tanya Mark panik, mengayun-ayunkan bayi mereka dengan canggung.Suara melengking yang memekakkan telinga b
Viona merasakan kontraksi yang begitu kuat saat sedang duduk di sofa. Tiba-tiba, aliran hangat merembes ke bawah, membuatnya panik."Mark!" panggilnya dengan suara gemetar. "Air ketubanku pecah!"Mark, yang sedang membaca laporan di ruang kerjanya, langsung berlari ke ruang tamu dengan wajah panik. "Apa? Pecah? Apa yang harus kita lakukan?!" Serangkaian pertanyaan meluncur tanpa henti dari mulutnya.Mark mendekat namun tak tahu harus apa. Rasa panik menguasai pikirannya. "Bagaimana ini?" Sakitkah?" Pertanyaan konyol Mark malah keluar melihat wajah puas istrinya yang kembali merasakan kontraksi."Rumah sakit, Mark! Kita harus segera ke rumah sakit!" kata Viona, mencoba tetap tenang meski rasa sakit mulai menusuk.Mark mengangguk, lalu berlari ke sana kemari, mengambil kunci mobil, tas bayi, dan bahkan jas kerjanya."Di mana kunci mobil? Ah, ini! Tas? Apa kita butuh pakaian? Kenapa pakaianku yang kubawa? Ya Tuhan, aku bahkan tidak tahu apa yang harus aku lakukan!"Viona tersenyum lemah
Di sebuah toko perlengkapan bayi yang megah, Mark dan Viona sibuk memilih barang untuk menyambut kelahiran buah hati mereka.Usia kehamilan Viona sudah menginjak sembilan bulan, dan pasangan itu tengah dipenuhi suka cita.Mereka sengaja tidak mengetahui jenis kelamin bayi mereka, berharap mendapatkan kejutan yang manis saat kelahiran tiba.Mark memegang sepasang sepatu bayi mungil berwarna putih di tangannya. Ia memandangi sepatu itu dengan tatapan penuh rasa bangga. "Bagaimana menurutmu? Sepatu ini sempurna, bukan?"Viona yang sedang memeriksa selimut bayi bermotif bunga menoleh, alisnya terangkat. "Putih lagi, Mark? Kita sudah punya lebih dari cukup barang putih. Haruskan semuanya berwarna polos?""Putih itu elegan dan netral," Mark menjawab sambil mengangkat bahu, senyumnya lebar. "Lagipula, kita tidak tahu jenis kelamin bayi. Putih adalah pilihan yang paling aman."Viona menghela napas panjang, meletakkan selimut yang sedang ia periksa. "Mark, bayi kita juga butuh warna! Hidup itu
Mark sedang berdiri di depan jendela besar kantornya. Langit mendung di luar, menggambarkan suasana kota yang penuh hiruk-pikuk.Ia memutar gelas kopi di tangannya, pikirannya melayang. Suara ketukan pintu memecah lamunannya."Masuk," katanya tegas, tanpa menoleh.Ben, sekretaris pribadinya, masuk dengan langkah hati-hati. Wajahnya tampak lebih serius dari biasanya.“Tuan Mark, ada kabar penting yang perlu Anda ketahui,” ucap Ben dengan nada pelan tapi jelas. Ben tampak ragu namun ia harus melakukan ini.Mark mengangkat alis dan memutar tubuhnya, menatap Ben dengan ekspresi datar. “Apa itu, Ben?”Ben menelan ludah, seolah mencari cara terbaik untuk menyampaikan berita tersebut. “Tuan saya tahu anda tidak mau mendengar laporan tentang nona Stella, namun kali ini anda harus mendengarkan. Stella … dia sudah tiada.”Mark mengerutkan kening, matanya menyipit. “Maksudmu … sudah tiada? Jelaskan, Ben.”Ben menarik napas dalam sebelum melanjutkan. “Kondisinya semakin memburuk di rumah sakit te
Pagi itu, sinar matahari menembus jendela besar di ruang tamu. Viona sedang merapikan bunga di vas ketika bel pintu berbunyi.Ia berjalan menuju pintu dan membuka perlahan, menatap sosok yang sudah familiar berdiri di depan rumah.“Ayah,” sapanya lembut. Senyum kecil menghiasi wajahnya.Alex lega melihat senyum segar Viona. Mereka berdua berpelukan dan Viona mengajak masuk mertuanya itu.Alex, dengan jas abu-abu yang rapi, mengangguk singkat. “Pagi, Viona. Maaf datang tanpa memberi tahu. Aku sengaja datang untuk melihat keadaanmu."“Tidak perlu memberi tahu juga tidak masalah, Ayah. Silakan masuk. Aku akan menyiapkan teh hijau kesukaanmu," senyum akrab keduanya bagai ayah dan anak. Viona mempersilahkan ayah mertuanya itu duduk di sofa.Alex melangkah masuk, memperhatikan interior rumah yang terasa hangat dan nyaman. Bahagia melihat keadaan menantunya yang sehat. Ia duduk di sofa, sementara Viona menuangkan teh hangat untuknya.“Ada sesuatu yang ingin Ayah bicarakan?” Viona bertanya, d
Pintu rumah megah itu terbuka dengan suara klik lembut, memperlihatkan sosok Mark yang baru saja pulang.Jas hitamnya masih rapi, meskipun ekspresi wajahnya terlihat tegang. Ia meletakkan tas kerjanya di meja ruang tamu tanpa berkata apa-apa.“Mark,” suara Viona yang lembut menyambutnya dari sofa. Wanita itu menoleh dari dokumen yang sedang ia baca, wajahnya menyiratkan kekhawatiran.Mark mengangguk singkat. “Ada apa?” tanyanya dengan nada datar, meskipun matanya sedikit melunak saat melihat Viona.Hati Mark perih melihat istrinya yang hamil dan selama ini ia acuhkan. Viona mendekat dan debar kerinduan Mark membuncah melihat wajah cantik penuh kesabaran Viona.Viona menatapnya ragu sejenak sebelum akhirnya berbicara, memilih kata-katanya dengan hati-hati.“Mila meneleponku tadi siang. Dia … memarahiku, katanya semua ini salahku karena aku yang membuat putrinya kesusahan dan sakit. Jujur Mark, apa benar kau menutup akses Stella di rumah sakitmu?”Mark menghela napas berat, kemudian dud
Langit pagi yang cerah terasa kontras dengan suasana hati Mila yang kacau balau.Stella terbaring lemah di ruang perawatan sebuah rumah sakit biasa, jauh dari kenyamanan fasilitas rumah sakit mewah milik Mark. Nafas Stella masih berat, namun kondisinya perlahan stabil.Ranjang kecil dengan kasur yang tidak nyaman jauh dari kata mewah seperti yang biasa Milla terima dari rumah sakit sebelumnya.Mila sedih menatap putrinya berjajar dalam ruangan besar bersama pasien lain yang entah sakit apa.Tirai untuk privasi ruangan pasien memang mampu menutup tubuh putrinya agar tidak terlihat pasien lain tetapi malah membuat ia sangat kegerahan.Apalagi kamar mandi yang digunakan juga bersama. Mila tidak yakin keadaan putrinya membaik dengan segala fasilitas minim yang ia lihat saat ini.Mila sampai tidak bisa menyembunyikan kemarahan dan frustasinya. Ia menggenggam erat ponselnya, mencoba menghubungi Mark lagi untuk yang kesekian kalinya, tetapi tidak ada jawaban. Mila tahu Mark dengan sengaja me