Share

Bab 4: Haus Perhatian Dariku?

Keesokan paginya, Viona bangun lebih awal dari biasanya. Matanya sedikit bengkak akibat tangis yang sepanjang malam. Ia teringat untuk menjual kalungnya, karena hari ini ia sudah berjanji untuk melunasi biaya rumah sakit Ibunya, kemudian Viona mengambil ponselnya dan menghubungi seorang teman dekat, berharap bisa segera menjual kalung pemberian Mark.

"Lina? Bisa bantu aku mencarikan seseorang yang bisa membeli kalung?" tanya Viona dengan suara yang sedikit serak.

Di seberang sana, Lina terdengar terkejut karena tiba-tiba saja Viona menghubunginya pagi-pagi sekali. “Kalung yang mahal itu? Yang diberikan oleh suamimu? Kenapa kamu mau menjualnya, Viona?”

Viona menghela napas panjang, berusaha menahan emosi. "Nanti aku ceritakan semuanya, Lina. Tolong bantu aku dulu, ya."

Lina setuju dan mereka segera menyusun rencana untuk bertemu dengan calon pembeli kalung tersebut. Setelah urusan dengan Lina selesai, Viona merasa sedikit lega. Dia tahu bahwa setelah ini pasti Mark akan marah kepadanya, tapi langkah ini sangat berarti baginya.

**

Sementara di ruang kerja, Mark sudah bersiap-siap untuk pergi ke rumah sakit. Pagi itu, dia tidak sarapan dan langsung keluar rumah dengan wajah yang sangat dingin.

Sesampainya di rumah sakit, Mark langsung menuju ruangan tempat Maria dirawat. Dia ingin memastikan bahwa semuanya sudah diatur dengan baik.

“Mark, apa kabar?” Sapa paman Viona yang terkejut dengan kehadiran Mark di rumah sakit.

“Baik. Terima kasih, Paman, karena sudah membantu Viona merawat Ibu,” Mark masuk ke dalam ruang perawatan Maria, dilihatnya Maria yang masih tertidur karena beberapa waktu lalu baru diberikan obat.

“Bukan masalah, Maria adalah Kakakku, jadi sudah kewajibanku untuk membantunya.” 

Mark hanya mengangguk mendengar perkataan Paman Viona, selanjutnya ia memberikan memberikan kwitansi pelunasan dari saku jasnya.

“M-mark … apakah Viona—” perkataan Paman Viona terputus ketika pintu ruangan dibuka dan memunculkan Viona.

Viona terkejut karena melihat Mark yang sudah ada di ruangan sang Ibu.

“Mau apa dia datang kemari?” desis Viona. Bukan hanya tidak suka Mark ada di sini. Melainkan memorinya kembali pada saat dirinya melihat Mark dan Stella bermesraan di rumah sakit yang sama tadi malam. 

Andy lalu mendekat dan menepuk bahu Viona. "Viona, kamu tidak perlu khawatir tentang biaya perawatan Ibumu lagi. Mark sudah mengaturnya."

Kekecewaan terlihat dari sorot mata Viona terhadap Mark. Dia merasa seolah-olah tidak dianggap dalam keputusan yang sangat penting mengenai perawatan ibunya. 

Setiap kali Mark mengambil keputusan sepihak, Viona merasa dirinya semakin kecil, tidak berdaya, dan tidak dihargai. 

Namun, saat melihat raut wajah Maria tampak lebih tenang. Ketika melihat Mark datang menjenguk, Viona merasa jika Maria terlihat senang dijenguk oleh menantunya. 

“Maaf … aku tertidur karena obat yang diberikan oleh dokter,” Maria baru terbangun dan menyadari di ruangannya ada anak dan menantunya.

Hal itu membuat Mark mendekat ke arah brankar Maria.

“Terima kasih, Mark, atas perhatianmu kepada keluarga kami,” kata Maria dengan suara lembut seraya menggenggam tangan Mark.

"Saya hanya ingin memastikan Ibu mendapatkan perawatan yang terbaik." jawab Mark dengan senyum hangat.

Viona melihat Ibunya yang sangat menyayangi Mark, tanpa Ibunya mengetahui sehancur apa hati Viona. Kemudian Viona mengalihkan pandangannya dan membuka tas jinjing yang ia bawa. Tadi Viona sudah menyiapkan makanan untuk ibunya dan juga Andy yang setia menjaga Maria di rumah sakit selama ia tidak ada di sana. 

"Ibu, aku bawakan makanan. Ini untuk Ibu dan Paman," kata FL sambil menyerahkan bungkusan makanan.

"Terima kasih, Nak," balas Maria yang berusaha untuk duduk, tentunya dibantu oleh Mark.

Setelah memastikan semua dalam keadaan baik, Mark berpamitan untuk pulang. Hari itu, dia sengaja tidak datang ke kantor untuk menjenguk ibu mertuanya, sementara urusan kantor ditangani oleh asistennya.

"Nak, kamu ikut pulang bersama suamimu, ya,” pinta Maria kepada sang anak. 

Viona yang mendengarnya sontak terkejut dengan permintaan itu. "Aku ingin di sini terlebih dahulu menemani Ibu,” 

Maria menggeleng. "Tidak bisa, Viona. Kamu butuh istirahat di rumah. Mark, tolong ajak Viona pulang," pinta Maria dengan tegas.

Mark mengangguk dan mengalihkan tatapannya kepada Viona.

“Ta—tapi ….” 

Viona melihat tatapan Mark yang datar, membuat dirinya semakin tidak ingin pulang bersama suaminya itu. Akan tetapi, Viona juga tidak ingin Ibunya mengetahui apa yang sedang terjadi di rumah tangganya.

“Kalau begitu, kami pamit terlebih dahulu, Bu,” Mark menggenggam tangan Ibu mertuanya, “Semua sudah ku siapkan, Ibu hanya tinggal memanggil suster penjaga saja.” ujar Mark.

Akhirnya Viona ikut pulang bersama Mark. Di dalam mobil, suasana terasa sangat dingin. Viona menatap keluar jendela, menghindari bertatapan dengan Mark, karena pikirannya masih dipenuhi dengan pemandangan yang tadi malam ia lihat.

“Mark, aku tetap ingin kita berpisah,” kata Viona dengan nada tegas ketika akhirnya memutuskan untuk mengeluarkan suara tanpa melihat ke arah Mark yang sedang menyetir.

Kemarahan mulai terpancar di wajah Mark. "Kenapa kamu terus membahas ini? Kita bisa menyelesaikan masalah tanpa harus berpisah!” 

"Aku … aku tidak melihat ada jalan lain. Aku sudah terlalu lelah dengan semua ini," jawab Viona. 

Mark tersulut emosi lantas menepikan mobil di pinggir jalan. Dengan cepat, dia menarik tangan Viona untuk mendekat kepadanya. Mark mengerutkan kening, Viona tidak mengenakan kalung di lehernya. 

"Viona, di mana kalung yang aku berikan saat pernikahan kita?" tanya Mark penuh intimidasi

"A—aku … aku sudah menjualnya,” jawab Viona datar. 

Mark merasa marah dan tidak percaya. Bisa-bisanya wanita itu menjual barang penghargaan dalam pernikahan mereka. 

"Apa? Kamu menjualnya? Apa kamu melakukan ini hanya karena kamu haus perhatian dariku? Kamu adalah istriku, Viona. Seharusnya kamu puas dengan itu!” Pekik Mark mengeluarkan emosinya yang mendalam. 

Viona terkejut dengan perkataan Mark. Dia merasa terluka dan kecewa. "Ini bukan tentang perhatian, Mark. Ini tentang bagaimana kamu tidak pernah benar-benar mendengarkan atau memahami perasaanku."

Viona menarik tangannya dari genggaman Mark dan menjauh. Hal itu semakin membuat Mark marah. Dia menghidupkan mesin mobil dan mulai melajukan mobil dengan kecepatan tinggi.

"Mark, hati-hati! Apa kamu ingin kita mati?" teriak Viona. Matanya menyiratkan ketakutan saat Mark melajukan kendaraannya dengan kecepatan penuh. 

Mark tak mengindahkan teriakan Viona. Ia tetap melaju dengan kecepatan penuh. 

Salwa Maulidya

Terima kasih sudah mampir dan membaca... Jangan lupa tinggalkan komentar setelah membaca :D

| 2
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Voni Oktavia93
Mark wajar la viona minta perhatianmu dia kan istrimu dodol kamu mark
goodnovel comment avatar
Shera Arista
hayolooohh di minta cucu tuu sama mamih hahah...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status