Keesokan paginya, Viona bangun lebih awal dari biasanya. Matanya sedikit bengkak akibat tangis yang sepanjang malam. Ia teringat untuk menjual kalungnya, karena hari ini ia sudah berjanji untuk melunasi biaya rumah sakit Ibunya, kemudian Viona mengambil ponselnya dan menghubungi seorang teman dekat, berharap bisa segera menjual kalung pemberian Mark.
"Lina? Bisa bantu aku mencarikan seseorang yang bisa membeli kalung?" tanya Viona dengan suara yang sedikit serak.
Di seberang sana, Lina terdengar terkejut karena tiba-tiba saja Viona menghubunginya pagi-pagi sekali. “Kalung yang mahal itu? Yang diberikan oleh suamimu? Kenapa kamu mau menjualnya, Viona?”
Viona menghela napas panjang, berusaha menahan emosi. "Nanti aku ceritakan semuanya, Lina. Tolong bantu aku dulu, ya."
Lina setuju dan mereka segera menyusun rencana untuk bertemu dengan calon pembeli kalung tersebut. Setelah urusan dengan Lina selesai, Viona merasa sedikit lega. Dia tahu bahwa setelah ini pasti Mark akan marah kepadanya, tapi langkah ini sangat berarti baginya.
**
Sementara di ruang kerja, Mark sudah bersiap-siap untuk pergi ke rumah sakit. Pagi itu, dia tidak sarapan dan langsung keluar rumah dengan wajah yang sangat dingin.
Sesampainya di rumah sakit, Mark langsung menuju ruangan tempat Maria dirawat. Dia ingin memastikan bahwa semuanya sudah diatur dengan baik.
“Mark, apa kabar?” Sapa paman Viona yang terkejut dengan kehadiran Mark di rumah sakit.
“Baik. Terima kasih, Paman, karena sudah membantu Viona merawat Ibu,” Mark masuk ke dalam ruang perawatan Maria, dilihatnya Maria yang masih tertidur karena beberapa waktu lalu baru diberikan obat.
“Bukan masalah, Maria adalah Kakakku, jadi sudah kewajibanku untuk membantunya.”
Mark hanya mengangguk mendengar perkataan Paman Viona, selanjutnya ia memberikan memberikan kwitansi pelunasan dari saku jasnya.
“M-mark … apakah Viona—” perkataan Paman Viona terputus ketika pintu ruangan dibuka dan memunculkan Viona.
Viona terkejut karena melihat Mark yang sudah ada di ruangan sang Ibu.
“Mau apa dia datang kemari?” desis Viona. Bukan hanya tidak suka Mark ada di sini. Melainkan memorinya kembali pada saat dirinya melihat Mark dan Stella bermesraan di rumah sakit yang sama tadi malam.
Andy lalu mendekat dan menepuk bahu Viona. "Viona, kamu tidak perlu khawatir tentang biaya perawatan Ibumu lagi. Mark sudah mengaturnya."
Kekecewaan terlihat dari sorot mata Viona terhadap Mark. Dia merasa seolah-olah tidak dianggap dalam keputusan yang sangat penting mengenai perawatan ibunya.
Setiap kali Mark mengambil keputusan sepihak, Viona merasa dirinya semakin kecil, tidak berdaya, dan tidak dihargai.
Namun, saat melihat raut wajah Maria tampak lebih tenang. Ketika melihat Mark datang menjenguk, Viona merasa jika Maria terlihat senang dijenguk oleh menantunya.
“Maaf … aku tertidur karena obat yang diberikan oleh dokter,” Maria baru terbangun dan menyadari di ruangannya ada anak dan menantunya.
Hal itu membuat Mark mendekat ke arah brankar Maria.
“Terima kasih, Mark, atas perhatianmu kepada keluarga kami,” kata Maria dengan suara lembut seraya menggenggam tangan Mark.
"Saya hanya ingin memastikan Ibu mendapatkan perawatan yang terbaik." jawab Mark dengan senyum hangat.
Viona melihat Ibunya yang sangat menyayangi Mark, tanpa Ibunya mengetahui sehancur apa hati Viona. Kemudian Viona mengalihkan pandangannya dan membuka tas jinjing yang ia bawa. Tadi Viona sudah menyiapkan makanan untuk ibunya dan juga Andy yang setia menjaga Maria di rumah sakit selama ia tidak ada di sana.
"Ibu, aku bawakan makanan. Ini untuk Ibu dan Paman," kata FL sambil menyerahkan bungkusan makanan.
"Terima kasih, Nak," balas Maria yang berusaha untuk duduk, tentunya dibantu oleh Mark.
Setelah memastikan semua dalam keadaan baik, Mark berpamitan untuk pulang. Hari itu, dia sengaja tidak datang ke kantor untuk menjenguk ibu mertuanya, sementara urusan kantor ditangani oleh asistennya.
"Nak, kamu ikut pulang bersama suamimu, ya,” pinta Maria kepada sang anak.
Viona yang mendengarnya sontak terkejut dengan permintaan itu. "Aku ingin di sini terlebih dahulu menemani Ibu,”
Maria menggeleng. "Tidak bisa, Viona. Kamu butuh istirahat di rumah. Mark, tolong ajak Viona pulang," pinta Maria dengan tegas.
Mark mengangguk dan mengalihkan tatapannya kepada Viona.
“Ta—tapi ….”
Viona melihat tatapan Mark yang datar, membuat dirinya semakin tidak ingin pulang bersama suaminya itu. Akan tetapi, Viona juga tidak ingin Ibunya mengetahui apa yang sedang terjadi di rumah tangganya.
“Kalau begitu, kami pamit terlebih dahulu, Bu,” Mark menggenggam tangan Ibu mertuanya, “Semua sudah ku siapkan, Ibu hanya tinggal memanggil suster penjaga saja.” ujar Mark.
Akhirnya Viona ikut pulang bersama Mark. Di dalam mobil, suasana terasa sangat dingin. Viona menatap keluar jendela, menghindari bertatapan dengan Mark, karena pikirannya masih dipenuhi dengan pemandangan yang tadi malam ia lihat.
“Mark, aku tetap ingin kita berpisah,” kata Viona dengan nada tegas ketika akhirnya memutuskan untuk mengeluarkan suara tanpa melihat ke arah Mark yang sedang menyetir.
Kemarahan mulai terpancar di wajah Mark. "Kenapa kamu terus membahas ini? Kita bisa menyelesaikan masalah tanpa harus berpisah!”
"Aku … aku tidak melihat ada jalan lain. Aku sudah terlalu lelah dengan semua ini," jawab Viona.
Mark tersulut emosi lantas menepikan mobil di pinggir jalan. Dengan cepat, dia menarik tangan Viona untuk mendekat kepadanya. Mark mengerutkan kening, Viona tidak mengenakan kalung di lehernya.
"Viona, di mana kalung yang aku berikan saat pernikahan kita?" tanya Mark penuh intimidasi
"A—aku … aku sudah menjualnya,” jawab Viona datar.
Mark merasa marah dan tidak percaya. Bisa-bisanya wanita itu menjual barang penghargaan dalam pernikahan mereka.
"Apa? Kamu menjualnya? Apa kamu melakukan ini hanya karena kamu haus perhatian dariku? Kamu adalah istriku, Viona. Seharusnya kamu puas dengan itu!” Pekik Mark mengeluarkan emosinya yang mendalam.
Viona terkejut dengan perkataan Mark. Dia merasa terluka dan kecewa. "Ini bukan tentang perhatian, Mark. Ini tentang bagaimana kamu tidak pernah benar-benar mendengarkan atau memahami perasaanku."
Viona menarik tangannya dari genggaman Mark dan menjauh. Hal itu semakin membuat Mark marah. Dia menghidupkan mesin mobil dan mulai melajukan mobil dengan kecepatan tinggi.
"Mark, hati-hati! Apa kamu ingin kita mati?" teriak Viona. Matanya menyiratkan ketakutan saat Mark melajukan kendaraannya dengan kecepatan penuh.
Mark tak mengindahkan teriakan Viona. Ia tetap melaju dengan kecepatan penuh.
Terima kasih sudah mampir dan membaca... Jangan lupa tinggalkan komentar setelah membaca :D
Sesampainya di rumah, Mark dan Viona melangkah ke dalam dengan suasana yang penuh ketegangan. Hati Viona berdegup tak karuan, rasa berdebar akibat ulah Mark yang telah mengemudikan mobilnya seperti dalam balapan.Suara mesin mobil yang meraung-raung mengisi telinganya, seakan merobek kedamaian yang dia dambakan. Ketika pintu rumah akhirnya terbuka, Viona melangkah masuk terlebih dahulu, membiarkan langkahnya menghilang dalam kegelapan interior yang mewah.“Tunggu, Viona!” teriak Mark, suaranya keras dan penuh komando, seolah petir di langit malam. Viona berhenti, tubuhnya terasa kaku di ambang pintu, tapi dia enggan menoleh, membiarkan suaranya mengisi ruang di sekitarnya.“Ibu meminta kita untuk berkunjung ke rumahnya,” lanjut Mark dengan nada yang seperti es yang retak, “Jika kamu ingin membuat masalah, nanti saja setelah kembali dari rumah orang tuaku.”Kata-kata Mark seperti belati yang menembus hati Viona. Mereka berada di ambang jurang, hubungan mereka terkatung-katung di tepi ke
Mark tersedak, sementara Viona menundukkan kepala, merasa seperti dunia runtuh di sekelilingnya. “Ibu, kenapa tiba-tiba membahas tentang anak?” Mark membuka percakapan, suaranya berusaha tenang namun ada nada tersirat ketidaknyamanan.Di seberangnya, Sarah, ibu Mark, menatap putranya dengan tatapan datar yang tak terbaca. Wanita paruh baya itu, dengan garis-garis waktu di wajahnya yang menunjukkan kebijaksanaan hidup, tersenyum tipis.“Mark, kau pun tahu, sudah saatnya kalian memikirkan untuk memiliki keturunan. Usiamu juga sudah tidak lagi muda, dan aku ingin melihat cucu sebelum terlalu tua untuk bermain dengan mereka."Mark menghela napas panjang, menimbang kata-katanya sebelum menjawab. "Ibu, Viona masih sangat muda. Aku tidak ingin terburu-buru. Kami masih ingin menikmati waktu berdua," balasnya dengan nada yang seimbang antara lembut dan tegas.Di sisi lain meja, Viona duduk diam. Wanita muda dengan rambut panjang hitam dan mata yang selalu tampak penuh perasaan itu, hanya terse
Di dalam rumah yang besar dan megah, keheningan malam terasa lebih mencekam bagi Mark. Ia memilih untuk tidur di kamar tamu, menjauh dari Viona, bukan karena keinginan tetapi karena suasana hatinya yang buruk.Hubungan mereka yang retak membuatnya merasa tidak siap untuk berbicara, apalagi mencoba membujuk Viona. Namun, di keheningan malam yang dingin, Mark merasakan kehampaan yang menggigit.Biasanya, Viona akan dengan tiba-tiba merapat ke pelukannya, mencari kehangatan dan kenyamanan. Kini, tanpa kehadiran Viona di sampingnya, Mark merasa seperti separuh dirinya hilang.Pagi hari, Mark mendengar suara aktivitas di dapur. Harapan sejenak menyelinap di hatinya; mungkin Viona akhirnya kembali membuat sarapan setelah beberapa hari menghilang dari dapur.Ia keluar dari kamar dengan harapan untuk melihat wajah Viona, tetapi yang ia temukan hanya para pelayan yang sibuk menyiapkan sarapan."Di mana Viona?" tanya Mark, suaranya penuh dengan keingintahuan.Salah seorang pelayan, dengan ekspr
Di ruang tamu yang remang, dengan lampu meja yang sinarnya temaram, Viona duduk dengan gelisah. Matanya menatap Sarah, bibinya, yang sejak tadi berusaha meyakinkannya agar mempertimbangkan kembali keputusannya. Keputusan untuk meninggalkan Mark.Sarah menghela napas panjang, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. “Viona, kau harus berpikir dua kali sebelum melakukan ini. Apa yang akan kau lakukan tanpa Mark? Kau tahu sendiri, hidup ini tidak mudah. Dan menjadi penyanyi opera... apakah itu benar-benar pilihan yang bijak?”Viona merasakan hatinya mencengkeram keras. Baginya, keputusan ini adalah jalan yang terbaik, satu-satunya jalan untuk keluar dari bayang-bayang Stella, wanita yang selalu menjadi prioritas Mark. Ia menatap bibinya dengan penuh keyakinan, meski hatinya tak sepenuhnya tenang.“Aku akan menjadi penyanyi opera lagi, Bibi. Aku akan mencari uang untuk biaya hidupku dan juga pengobatan Ibu. Bibi jangan khawatir, aku tidak akan menyusahkanmu dan Paman,” kata Viona
Pagi itu, matahari baru saja terbit ketika Viona bersiap-siap di kamarnya. Ia sudah memutuskan, dan hari ini adalah langkah pertamanya untuk kembali ke panggung opera yang pernah ia tinggalkan.Matahari pagi menyelinap melalui jendela, memancarkan sinar lembut yang seolah memberikan semangat baru pada dirinya.Viona menatap bayangannya di cermin; wajah yang dulu dipenuhi kebahagiaan kini tampak berbeda, lebih tegas, meski ada guratan kesedihan yang tak bisa disembunyikan.Ketika ia keluar dari rumah, Lina sudah menunggunya di depan gerbang dengan mobil kecilnya. Mereka berdua menuju gedung studio Mels Opera, tempat di mana Viona dulu menghabiskan hari-harinya sebagai penyanyi.Perjalanan menuju gedung itu dipenuhi dengan keheningan, hanya sesekali terdengar suara kendaraan yang melintas. Lina merasa canggung, ingin menanyakan sesuatu tapi menahan diri hingga mereka tiba di tujuan.Setelah mobil terparkir, Lina akhirnya tak bisa menahan diri lagi. “Viona, kau benar-benar yakin dengan k
Brak!Mark menggebrak meja kerjanya, mengisi ruangan dengan suara yang menggema, memantul di dinding marmer dan lukisan-lukisan megah yang menggantung di sekitarnya.Mata Mark menyala penuh amarah, tatapannya menghunjam tajam ke wajah Ben yang pucat pasi. Lelaki itu meneguk ludah, merasa seperti seorang terhukum yang baru saja mendengar vonisnya."Jangan bilang wanita itu kembali bekerja di sana?" Mark menggeram, suaranya terdengar seperti suara binatang buas yang tengah terluka parah.Rahangnya mengeras, menonjolkan otot-otot yang tegang di sekitar lehernya, menandakan ketidaksenangan yang merasuki seluruh tubuhnya. Ben hanya bisa mengangguk ragu, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang.Ia tahu, saat-saat seperti ini adalah saat-saat di mana bosnya berubah menjadi sosok yang sangat menakutkan."I—Iya, Tuan," jawab Ben, suaranya gemetar. "Saya melihatnya secara langsung. Nyonya Viona masuk ke dalam gedung itu bersama sahabatnya."Mark mendengus, suaranya terdengar
Mark menggenggam tangan Viona dengan kekuatan yang nyaris menyakitkan, menariknya keluar dari ruang rawat ibunya. Di sepanjang lorong rumah sakit yang dingin dan sunyi, langkah-langkah mereka terdengar menggema, beradu dengan keramik putih yang membentang di bawah kaki.Wajah Viona memucat, tetapi dia tidak berkata apa-apa. Matanya menatap lurus ke depan, berusaha untuk tidak menunjukkan ketakutan yang perlahan merayap di dalam hatinya.“Mark, lepaskan aku!” pinta Viona, suaranya bergetar meskipun ia berusaha untuk terdengar tegar. Ia meronta, mencoba melepaskan tangannya dari genggaman Mark, tetapi pria itu tak bergeming.Genggamannya justru semakin kuat, seolah menegaskan bahwa ia tidak akan menyerah begitu saja. Hawa kemarahan terasa semakin kental di antara mereka, memenuhi udara dengan ketegangan yang nyaris meledak.Mark terus menyeretnya tanpa berkata-kata, wajahnya penuh dengan amarah yang terpendam, dan akhirnya berhenti di sudut lorong yang cukup sepi.Dia melepaskan genggam
Mark membeku seketika oleh kehadiran Stella yang tiba-tiba masuk ke dalam pembicaraan mereka.Bukan maksud Mark untuk membuat Viona membahas Stella. Namun, ucapan Viona yang mengalir deras, seperti sungai yang meluap di musim penghujan, tak bisa dibendung. Mata Viona yang hitam pekat bersinar tajam, memancarkan amarah yang sudah lama terpendam.“Jangan membawa wanita lain dalam masalah kita, Viona!” sergah Mark, suaranya meninggi namun bergetar, mencoba menahan amarah yang mendidih di dalam dirinya.Ia tidak ingin Viona menyeret nama Stella ke dalam rumah tangga mereka, seolah-olah wanita itu adalah duri yang merusak segala.Viona menyunggingkan senyum sinis, bibirnya yang merah merekah mengukir sebuah senyum yang tak dapat diartikan sekadar tanda persetujuan atau penolakan. Tatapan matanya seolah menelanjangi Mark, mengeksplorasi setiap inci dari pertahanan pria itu.“Terserah kau saja, Mark. Yang jelas, aku tetap ingin berpisah denganmu,” ucapnya tenang, namun tegas, seperti pisau y