Mark baru saja sampai di rumah, sebelumnya ia sudah mendengar dari Asistennya, Ben, bahwa Ibu Viona harus dipindahkan ke ruang intensif.
Ketika Mark masuk ke dalam kamarnya, Mark melihat Viona duduk dengan wajah yang tampak lelah dan matanya sembab, Viona tidak menoleh atau mengucapkan sepatah kata pun.
Mark terus melangkah masuk. Lalu membuka mantel hitam yang masih membungkus tubuhnya seraya melirik ke arah Viona. Dan wanita itu masih diam seribu bahasa, tanpa mengatakan apapun padanya.
“Bagaimana kondisi Ibumu?” tanya Mark dengan suara rendah.
Viona menoleh, ada jeda sebelum Viona menjawab pertanyaan Mark.
Dipandangnya wajah pria yang telah menjadi suaminya selama empat tahun, sorot matanya kepada Viona tidak pernah sedalam ketika Mark bersama Stella tadi, dengan perasaan yang hancur, Viona menghela napas berat. “Mark. Mari bercerai!”
Mark benar-benar terkejut, ia seketika membalikkan tubuhnya dan menatap wajah Viona dengan tatapan yang menghunus karena mendengar perkataan sang istri. Apa katanya? Bercerai? Yang benar saja!
“Apa maksudmu, Viona?” tanya Mark dengan suara dingin. “Mengapa tiba-tiba kau meminta bercerai?”
“Apakah Nyonya Dexter ingin pergi keluar dan merasakan kehidupan setelah berada di sini?” Mark melangkah mendekati Viona. “Ingat, Viona. Segala kebutuhanmu sudah kuberikan termasuk kenyamanan dan fasilitas yang ada di rumah ini.”
Manik matanya begitu menyala. Menyala oleh kabut emosi karena permintaan Viona yang di luar akal sehatnya.
“Nyonya Dexter katamu? Apakah aku benar-benar Nyonya Dexter setelah apa yang aku dapatkan? Aku masih harus melapor padamu ketika aku ingin pergi ke rumah sakit atau menjenguk ayahku di penjara.”
Mata nyalang Viona menatap Mark. Sakit hatinya bukan hanya karena ia diperlakukan dingin dan buruk oleh Mark. Melainkan karena perselingkuhan antara Mark dan Stella selama pernikahan mereka.
Merasa terpojok dan dipenuhi kemarahan, Mark tidak bisa mengendalikan dirinya lagi. Ia melangkah maju, menangkap lengan Viona dengan kuat.
“Berani sekali kau berkata seperti itu padaku!” bisik Mark dengan mata yang dipenuhi oleh kabut emosi.
Tanpa memberikan kesempatan bagi Viona untuk melawan atau berbicara, Mark menariknya ke dalam pelukan yang tidak diinginkan, memaksa ciuman yang kasar.
Viona berusaha melawan, berteriak dan meronta, namun kekuatannya tidak sebanding dengan
kemarahan Mark. Tangisnya pecah saat ia merasa dirinya terperangkap dalam situasi yang penuh kekerasan dan rasa tidak berdaya.
Mark, dalam kebutaan amarah dan frustrasi, tidak mendengar jeritan hati Viona yang memohon untuk dilepaskan.
“Apa maumu sebenarnya, huh? Bukankah kau sudah bekerja keras untuk mendapatkan titel seorang Nyonya Dexter?” bisik Mark dengan tidak melepaskan Viona dalam dekapannya..
Bahkan, hingga saat ini Mark masih menganggap jika kesalahan ada pada Viona.
Viona mencoba untuk menarik dirinya untuk lepas dari Mark, “Karena aku tidak bisa hidup seperti ini lagi, Mark. Aku merasa seperti tawanan di rumah sendiri!”
Mendengar kata-kata itu, emosi Mark meledak, kemudian ia merengkuh tubuh Viona untuk lebih mendekat kepadanya, dan langsung mencumbu Viona, bibirnya bergerak ke leher dan mencium wanita itu.
“Kalau begitu, kita selesaikan malam ini juga,” katanya dengan suara dingin
Entah mengapa tubuh Viona begitu indah sehingga membuat sesuatu dalam diri Mark langsung menegang jika sudah menyentuh Viona.
Dihempaskannya Viona ke atas ranjang. Tetapi, Viona terus berteriak meminta untuk dilepaskan. Mark terlihat sangat berbeda jika sudah berurusan dengan sisi liarnya, membuat Viona harus melepaskan diri.
“Jangan, Mark. Aku mohon!” suara viona bergetar, dia terlihat sangat lemah di tempat tidur.
Rambut hitam legamnya berantakan di bantal itu membuat Viona terlihat sangat menawan sehingga Mark semakin ingin mengacak-acak dan menggagahinya.
Mark mencium paksa bibir merah Viona dan menatapnya dengan tatapan haus.
“Setiap kali aku menidurimu, kau selalu berkata jangan. Namun, setelahnya kau terlihat sangat menikmatinya, hm?”
Mark kembali mencumbu bibir serta leher jenjang Viona dengan penuh gairah. Meski berulang kali Viona meronta dan menolak keinginan Mark yang ingin menyentuhnya, rupanya tidak membuat Mark berhenti.
“Argh! Mark. Berhenti!” pekik Viona benar-benar marah karena Mark selalu seenaknya padanya. Namun, pertahanannya mulai luntur karena tenaga Mark yang lebih kuat darinya.
Viona hanya pasrah. Menggigit bibirnya agar tidak mengeluarkan desahan atau apa pun itu. Ia tak ingin Mark semakin puas menyiksanya seperti ini di bawah kungkungannya.
Setelah Mark merasa puas, ia melihat wanita di bawahnya dalam keadaan yang kacau. Lalu Mark membungkus Viona dengan selimut tebal untuk menutupi tubuh polosnya, kemudian ia beranjak dari atas ranjang untuk memunguti kembali pakaiannya.
Namun, langkahnya terhenti seketika. Menatap Viona yang tampak kelelahan melayaninya.
“Sekeras apa pun kau meminta cerai dariku, jangan harap aku akan mengabulkannya!”
Lantas keluar dari kamar tersebut, dan memilih tidur di tempat kerjanya.
Hmm~ Satu kata buat Mark, wkwkwk... Terima kasih sudah mampir dan membaca...
Keesokan paginya, Viona bangun lebih awal dari biasanya. Matanya sedikit bengkak akibat tangis yang sepanjang malam. Ia teringat untuk menjual kalungnya, karena hari ini ia sudah berjanji untuk melunasi biaya rumah sakit Ibunya, kemudian Viona mengambil ponselnya dan menghubungi seorang teman dekat, berharap bisa segera menjual kalung pemberian Mark."Lina? Bisa bantu aku mencarikan seseorang yang bisa membeli kalung?" tanya Viona dengan suara yang sedikit serak.Di seberang sana, Lina terdengar terkejut karena tiba-tiba saja Viona menghubunginya pagi-pagi sekali. “Kalung yang mahal itu? Yang diberikan oleh suamimu? Kenapa kamu mau menjualnya, Viona?”Viona menghela napas panjang, berusaha menahan emosi. "Nanti aku ceritakan semuanya, Lina. Tolong bantu aku dulu, ya."Lina setuju dan mereka segera menyusun rencana untuk bertemu dengan calon pembeli kalung tersebut. Setelah urusan dengan Lina selesai, Viona merasa sedikit lega. Dia tahu bahwa setelah ini pasti Mark akan marah kepadanya,
Sesampainya di rumah, Mark dan Viona melangkah ke dalam dengan suasana yang penuh ketegangan. Hati Viona berdegup tak karuan, rasa berdebar akibat ulah Mark yang telah mengemudikan mobilnya seperti dalam balapan.Suara mesin mobil yang meraung-raung mengisi telinganya, seakan merobek kedamaian yang dia dambakan. Ketika pintu rumah akhirnya terbuka, Viona melangkah masuk terlebih dahulu, membiarkan langkahnya menghilang dalam kegelapan interior yang mewah.“Tunggu, Viona!” teriak Mark, suaranya keras dan penuh komando, seolah petir di langit malam. Viona berhenti, tubuhnya terasa kaku di ambang pintu, tapi dia enggan menoleh, membiarkan suaranya mengisi ruang di sekitarnya.“Ibu meminta kita untuk berkunjung ke rumahnya,” lanjut Mark dengan nada yang seperti es yang retak, “Jika kamu ingin membuat masalah, nanti saja setelah kembali dari rumah orang tuaku.”Kata-kata Mark seperti belati yang menembus hati Viona. Mereka berada di ambang jurang, hubungan mereka terkatung-katung di tepi ke
Mark tersedak, sementara Viona menundukkan kepala, merasa seperti dunia runtuh di sekelilingnya. “Ibu, kenapa tiba-tiba membahas tentang anak?” Mark membuka percakapan, suaranya berusaha tenang namun ada nada tersirat ketidaknyamanan.Di seberangnya, Sarah, ibu Mark, menatap putranya dengan tatapan datar yang tak terbaca. Wanita paruh baya itu, dengan garis-garis waktu di wajahnya yang menunjukkan kebijaksanaan hidup, tersenyum tipis.“Mark, kau pun tahu, sudah saatnya kalian memikirkan untuk memiliki keturunan. Usiamu juga sudah tidak lagi muda, dan aku ingin melihat cucu sebelum terlalu tua untuk bermain dengan mereka."Mark menghela napas panjang, menimbang kata-katanya sebelum menjawab. "Ibu, Viona masih sangat muda. Aku tidak ingin terburu-buru. Kami masih ingin menikmati waktu berdua," balasnya dengan nada yang seimbang antara lembut dan tegas.Di sisi lain meja, Viona duduk diam. Wanita muda dengan rambut panjang hitam dan mata yang selalu tampak penuh perasaan itu, hanya terse
Di dalam rumah yang besar dan megah, keheningan malam terasa lebih mencekam bagi Mark. Ia memilih untuk tidur di kamar tamu, menjauh dari Viona, bukan karena keinginan tetapi karena suasana hatinya yang buruk.Hubungan mereka yang retak membuatnya merasa tidak siap untuk berbicara, apalagi mencoba membujuk Viona. Namun, di keheningan malam yang dingin, Mark merasakan kehampaan yang menggigit.Biasanya, Viona akan dengan tiba-tiba merapat ke pelukannya, mencari kehangatan dan kenyamanan. Kini, tanpa kehadiran Viona di sampingnya, Mark merasa seperti separuh dirinya hilang.Pagi hari, Mark mendengar suara aktivitas di dapur. Harapan sejenak menyelinap di hatinya; mungkin Viona akhirnya kembali membuat sarapan setelah beberapa hari menghilang dari dapur.Ia keluar dari kamar dengan harapan untuk melihat wajah Viona, tetapi yang ia temukan hanya para pelayan yang sibuk menyiapkan sarapan."Di mana Viona?" tanya Mark, suaranya penuh dengan keingintahuan.Salah seorang pelayan, dengan ekspr
Di ruang tamu yang remang, dengan lampu meja yang sinarnya temaram, Viona duduk dengan gelisah. Matanya menatap Sarah, bibinya, yang sejak tadi berusaha meyakinkannya agar mempertimbangkan kembali keputusannya. Keputusan untuk meninggalkan Mark.Sarah menghela napas panjang, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. “Viona, kau harus berpikir dua kali sebelum melakukan ini. Apa yang akan kau lakukan tanpa Mark? Kau tahu sendiri, hidup ini tidak mudah. Dan menjadi penyanyi opera... apakah itu benar-benar pilihan yang bijak?”Viona merasakan hatinya mencengkeram keras. Baginya, keputusan ini adalah jalan yang terbaik, satu-satunya jalan untuk keluar dari bayang-bayang Stella, wanita yang selalu menjadi prioritas Mark. Ia menatap bibinya dengan penuh keyakinan, meski hatinya tak sepenuhnya tenang.“Aku akan menjadi penyanyi opera lagi, Bibi. Aku akan mencari uang untuk biaya hidupku dan juga pengobatan Ibu. Bibi jangan khawatir, aku tidak akan menyusahkanmu dan Paman,” kata Viona
Pagi itu, matahari baru saja terbit ketika Viona bersiap-siap di kamarnya. Ia sudah memutuskan, dan hari ini adalah langkah pertamanya untuk kembali ke panggung opera yang pernah ia tinggalkan.Matahari pagi menyelinap melalui jendela, memancarkan sinar lembut yang seolah memberikan semangat baru pada dirinya.Viona menatap bayangannya di cermin; wajah yang dulu dipenuhi kebahagiaan kini tampak berbeda, lebih tegas, meski ada guratan kesedihan yang tak bisa disembunyikan.Ketika ia keluar dari rumah, Lina sudah menunggunya di depan gerbang dengan mobil kecilnya. Mereka berdua menuju gedung studio Mels Opera, tempat di mana Viona dulu menghabiskan hari-harinya sebagai penyanyi.Perjalanan menuju gedung itu dipenuhi dengan keheningan, hanya sesekali terdengar suara kendaraan yang melintas. Lina merasa canggung, ingin menanyakan sesuatu tapi menahan diri hingga mereka tiba di tujuan.Setelah mobil terparkir, Lina akhirnya tak bisa menahan diri lagi. “Viona, kau benar-benar yakin dengan k
Brak!Mark menggebrak meja kerjanya, mengisi ruangan dengan suara yang menggema, memantul di dinding marmer dan lukisan-lukisan megah yang menggantung di sekitarnya.Mata Mark menyala penuh amarah, tatapannya menghunjam tajam ke wajah Ben yang pucat pasi. Lelaki itu meneguk ludah, merasa seperti seorang terhukum yang baru saja mendengar vonisnya."Jangan bilang wanita itu kembali bekerja di sana?" Mark menggeram, suaranya terdengar seperti suara binatang buas yang tengah terluka parah.Rahangnya mengeras, menonjolkan otot-otot yang tegang di sekitar lehernya, menandakan ketidaksenangan yang merasuki seluruh tubuhnya. Ben hanya bisa mengangguk ragu, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang.Ia tahu, saat-saat seperti ini adalah saat-saat di mana bosnya berubah menjadi sosok yang sangat menakutkan."I—Iya, Tuan," jawab Ben, suaranya gemetar. "Saya melihatnya secara langsung. Nyonya Viona masuk ke dalam gedung itu bersama sahabatnya."Mark mendengus, suaranya terdengar
Mark menggenggam tangan Viona dengan kekuatan yang nyaris menyakitkan, menariknya keluar dari ruang rawat ibunya. Di sepanjang lorong rumah sakit yang dingin dan sunyi, langkah-langkah mereka terdengar menggema, beradu dengan keramik putih yang membentang di bawah kaki.Wajah Viona memucat, tetapi dia tidak berkata apa-apa. Matanya menatap lurus ke depan, berusaha untuk tidak menunjukkan ketakutan yang perlahan merayap di dalam hatinya.“Mark, lepaskan aku!” pinta Viona, suaranya bergetar meskipun ia berusaha untuk terdengar tegar. Ia meronta, mencoba melepaskan tangannya dari genggaman Mark, tetapi pria itu tak bergeming.Genggamannya justru semakin kuat, seolah menegaskan bahwa ia tidak akan menyerah begitu saja. Hawa kemarahan terasa semakin kental di antara mereka, memenuhi udara dengan ketegangan yang nyaris meledak.Mark terus menyeretnya tanpa berkata-kata, wajahnya penuh dengan amarah yang terpendam, dan akhirnya berhenti di sudut lorong yang cukup sepi.Dia melepaskan genggam