Mark membeku seketika oleh kehadiran Stella yang tiba-tiba masuk ke dalam pembicaraan mereka.Bukan maksud Mark untuk membuat Viona membahas Stella. Namun, ucapan Viona yang mengalir deras, seperti sungai yang meluap di musim penghujan, tak bisa dibendung. Mata Viona yang hitam pekat bersinar tajam, memancarkan amarah yang sudah lama terpendam.“Jangan membawa wanita lain dalam masalah kita, Viona!” sergah Mark, suaranya meninggi namun bergetar, mencoba menahan amarah yang mendidih di dalam dirinya.Ia tidak ingin Viona menyeret nama Stella ke dalam rumah tangga mereka, seolah-olah wanita itu adalah duri yang merusak segala.Viona menyunggingkan senyum sinis, bibirnya yang merah merekah mengukir sebuah senyum yang tak dapat diartikan sekadar tanda persetujuan atau penolakan. Tatapan matanya seolah menelanjangi Mark, mengeksplorasi setiap inci dari pertahanan pria itu.“Terserah kau saja, Mark. Yang jelas, aku tetap ingin berpisah denganmu,” ucapnya tenang, namun tegas, seperti pisau y
Pertemuannya dengan Stella beberapa saat yang lalu masih membekas di benak Viona, seperti duri yang menancap dalam di hati. Kalimat-kalimat yang dilontarkan Stella menggema di kepalanya, mengguncang keputusannya yang selama ini menggantung di udara. Kini, dia semakin yakin.Dia harus berpisah dengan Mark. Tidak ada lagi alasan untuk bertahan dalam pernikahan yang hanya membawa luka dan kekecewaan. Dan lebih dari itu, dia ingin kembali menjadi penyanyi opera, merasakan kebebasan yang dirindukannya sejak lama.Saat itu, Viona melangkah keluar dari ruang rawat ibunya di rumah sakit, langkahnya mantap meskipun hatinya terasa berat. Takdir seakan menariknya kembali ke panggung opera, memanggilnya dengan lembut namun tegas. Tiba-tiba, suara seseorang memanggilnya.“Viona. Kau mau pergi ke mana?” tanya Andy, pamannya, yang baru saja datang dan melihat Viona di koridor rumah sakit.Viona menatap pamannya dengan tatapan datarnya, seolah-olah perasaannya tersembunyi di balik mata yang dingin. “
Viona menarik napas panjang, menyusuri lorong-lorong panjang gedung pertunjukan yang sunyi, akhirnya mencapai ruang make up yang penuh dengan kenangan masa lalu.Wajahnya bercahaya dengan peluh yang mengering, dan jantungnya masih berdebar keras, meski pertunjukan telah usai beberapa waktu lalu.Ia melangkah masuk, menatap bayangannya di cermin besar di depannya—seorang wanita dengan rambut hitam yang berkilau, mata yang masih menyimpan sisa-sisa semangat dari panggung, dan senyum samar yang terbit di sudut bibirnya.“Walaupun sudah lama tidak tampil, tapi suaramu masih bagus saja, Viona,” puji Lina dengan tulus, matanya berbinar kekaguman. Viona tersenyum kecil, mengangguk perlahan, merasakan kehangatan pujian itu meresap ke dalam hatinya.“Ya. Aku sangat bersyukur karena masih bisa tampil dengan suaraku yang masih terdengar bagus di telinga yang mendengarnya,” jawab Viona, suaranya penuh kelegaan. Ada kebanggaan terselip dalam kalimat itu, kebanggaan yang tak dapat disembunyikan.Me
Viona menelan salivanya dengan pelan, jantungnya berdegup kencang saat menatap Mark yang tengah berdiri di depannya, wajahnya memerah penuh dengan kebencian.Malam itu begitu dingin, tapi hawa panas yang membara di antara mereka membuat udara di sekitarnya terasa menyesakkan.“Ini … ini tidak seperti yang kau pikirkan, Mark,” kata Viona, suaranya bergetar meski ia mencoba menegarkan diri. Matanya yang gelap mencari-cari tanda pengertian di wajah pria itu, tetapi hanya menemukan kemarahan yang berkobar-kobar.“Lagi pula, sedang apa kau di sini malam-malam begini? Tidak mungkin jika menemui ibuku, kan?” lanjutnya, mencoba mengalihkan perhatian Mark dari kesalahpahaman yang sedang terjadi.Ia tahu betul bahwa suaminya ini pasti baru saja menemui Stella yang mungkin masih dirawat di rumah sakit itu. Sejak pertemuan mereka terakhir kali, kecurigaannya semakin menguat.Ada sesuatu yang disembunyikan Mark, sesuatu yang berhubungan dengan Stella, wanita yang selalu menjadi duri dalam daging d
"Masih bertanya apa mauku?" suara Viona terdengar serak, tapi tegas, menggema di antara dinding-dinding ruangan.Matanya membara dengan amarah yang telah lama tertahan. “Aku ingin bercerai denganmu, Tuan CEO arogan!” ucapnya dengan suara yang lantang, tanpa ragu.“Sial!” umpat Mark pelan.Tangan Mark mengepal erat, jari-jarinya memutih karena kekuatan yang ia kerahkan. Hatinya tersentak mendengar permintaan itu, tapi Mark adalah Mark. Pria yang tidak pernah kalah, apalagi dalam urusan rumah tangga dan cintanya.Bukan hanya karena gengsi sebagai seorang CEO yang selalu mendapatkan apa yang ia inginkan, tapi lebih dari itu, dari lubuk hatinya yang paling dalam, ia tidak ingin berpisah dengan Viona.Meski terkadang sikapnya keras, meski terkadang perkataannya tajam, cintanya pada Viona tetap ada, meski tertutup oleh ego yang begitu besar.“Aku akan memberimu apa saja asalkan bukan cerai, Viona. Apa kau tidak mengerti, huh? Harus berapa kali aku bicara padamu agar kau paham?” desis Mark,
Di kamar yang remang-remang, aroma maskulin Mark memenuhi udara, mendominasi ruangan. Hembusan napasnya kasar dan berat, seakan-akan setiap detiknya adalah pertarungan antara hasrat dan kemarahan.Di atas ranjang, Viona terbaring, tubuhnya terkulai lemah. Kain seprai yang terserak di sekeliling mereka seolah menjadi saksi bisu dari drama yang terjadi.Mark mendekat, tatapannya gelap, seakan dipenuhi badai yang mengamuk dalam hatinya. “Kau pikir kau bisa meninggalkanku begitu saja, Viona?” suaranya rendah, hampir seperti bisikan namun penuh dengan nada ancaman."Buang saja permintaan gilamu itu! Aku tidak akan pernah melepaskanmu, tidak sekarang, tidak besok, tidak akan pernah." Nadanya dingin, tapi ada sesuatu di baliknya—sebuah keterikatan yang lebih dalam dari sekadar amarah.Viona memalingkan wajahnya, tak ingin menatap mata pria yang pernah ia cintai itu. Rasa sakit menjalar dari bawah sana, memaksa dirinya untuk menggigit bibir menahan jerit tertahan.Air mata mengalir perlahan d
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Matahari pagi menyelinap melalui tirai jendela, memaksa cahayanya menari-nari di dinding kamar yang hampa. Viona membuka matanya, rasa kantuk masih bergelayut berat di kelopak matanya yang sembab, bekas tangis semalam masih jelas terlihat. Semalam adalah malam yang panjang, penuh dengan ratapan dan keputusasaan. Ia menangisi nasibnya yang malang, terperangkap dalam pernikahan tanpa cinta dengan Mark—pria bengis yang tidak pernah peduli, tidak pernah benar-benar melihatnya sebagai istri, bahkan sebagai manusia.Dulu, ada cinta di antara mereka, atau setidaknya Viona berpikir begitu. Namun, cinta itu sudah lama lenyap, tersapu oleh badai kekecewaan dan luka yang terus berdarah. Viona bahkan menyesal pernah mencintai pria seperti Mark, pria yang tidak memiliki hati, suaminya yang hanya menjadikannya hiasan rumah, sebuah kewajiban yang harus dipenuhi tanpa ada rasa peduli atau kasih sayang.Pintu kamar terbuka perlahan, dan Mark muncul dengan namp
Langit pagi memancarkan semburat jingga yang melatari deru napas gelisah Viona. Ketika Mark, suaminya, telah pergi ke kantor dengan wajah yang tertutup oleh topeng keseriusan, Viona segera merencanakan langkahnya yang sudah lama dinanti-nanti. Hatinya berdebar, bukan karena ketakutan, melainkan karena dorongan mendalam untuk melangkah keluar dari sangkar emas yang selama ini mengikatnya.Tanpa banyak berpikir, Viona mengambil tas tangan dan dengan cepat berjalan menuju pintu depan. Sejenak ia berdiri di ambang pintu, mendengarkan suara-suara halus pagi hari yang seolah membisikkan kebebasan di telinganya. Ia tidak ingin meminta izin, tidak ingin menjelaskan apa pun pada Mark. Bagi Viona, cukup sudah perdebatan-perdebatan tanpa makna, argumen yang hanya berakhir dengan kebisuan dan tatapan penuh rasa dingin. Hari ini, ia hanya ingin pergi ke gedung opera, tempat di mana hatinya masih bisa merasa hidup.“Lina?” panggil Viona setibanya di gedung opera, suaranya bergetar, bukan karena g