Di kamar yang remang-remang, aroma maskulin Mark memenuhi udara, mendominasi ruangan. Hembusan napasnya kasar dan berat, seakan-akan setiap detiknya adalah pertarungan antara hasrat dan kemarahan.Di atas ranjang, Viona terbaring, tubuhnya terkulai lemah. Kain seprai yang terserak di sekeliling mereka seolah menjadi saksi bisu dari drama yang terjadi.Mark mendekat, tatapannya gelap, seakan dipenuhi badai yang mengamuk dalam hatinya. “Kau pikir kau bisa meninggalkanku begitu saja, Viona?” suaranya rendah, hampir seperti bisikan namun penuh dengan nada ancaman."Buang saja permintaan gilamu itu! Aku tidak akan pernah melepaskanmu, tidak sekarang, tidak besok, tidak akan pernah." Nadanya dingin, tapi ada sesuatu di baliknya—sebuah keterikatan yang lebih dalam dari sekadar amarah.Viona memalingkan wajahnya, tak ingin menatap mata pria yang pernah ia cintai itu. Rasa sakit menjalar dari bawah sana, memaksa dirinya untuk menggigit bibir menahan jerit tertahan.Air mata mengalir perlahan d
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Matahari pagi menyelinap melalui tirai jendela, memaksa cahayanya menari-nari di dinding kamar yang hampa. Viona membuka matanya, rasa kantuk masih bergelayut berat di kelopak matanya yang sembab, bekas tangis semalam masih jelas terlihat. Semalam adalah malam yang panjang, penuh dengan ratapan dan keputusasaan. Ia menangisi nasibnya yang malang, terperangkap dalam pernikahan tanpa cinta dengan Mark—pria bengis yang tidak pernah peduli, tidak pernah benar-benar melihatnya sebagai istri, bahkan sebagai manusia.Dulu, ada cinta di antara mereka, atau setidaknya Viona berpikir begitu. Namun, cinta itu sudah lama lenyap, tersapu oleh badai kekecewaan dan luka yang terus berdarah. Viona bahkan menyesal pernah mencintai pria seperti Mark, pria yang tidak memiliki hati, suaminya yang hanya menjadikannya hiasan rumah, sebuah kewajiban yang harus dipenuhi tanpa ada rasa peduli atau kasih sayang.Pintu kamar terbuka perlahan, dan Mark muncul dengan namp
Langit pagi memancarkan semburat jingga yang melatari deru napas gelisah Viona. Ketika Mark, suaminya, telah pergi ke kantor dengan wajah yang tertutup oleh topeng keseriusan, Viona segera merencanakan langkahnya yang sudah lama dinanti-nanti. Hatinya berdebar, bukan karena ketakutan, melainkan karena dorongan mendalam untuk melangkah keluar dari sangkar emas yang selama ini mengikatnya.Tanpa banyak berpikir, Viona mengambil tas tangan dan dengan cepat berjalan menuju pintu depan. Sejenak ia berdiri di ambang pintu, mendengarkan suara-suara halus pagi hari yang seolah membisikkan kebebasan di telinganya. Ia tidak ingin meminta izin, tidak ingin menjelaskan apa pun pada Mark. Bagi Viona, cukup sudah perdebatan-perdebatan tanpa makna, argumen yang hanya berakhir dengan kebisuan dan tatapan penuh rasa dingin. Hari ini, ia hanya ingin pergi ke gedung opera, tempat di mana hatinya masih bisa merasa hidup.“Lina?” panggil Viona setibanya di gedung opera, suaranya bergetar, bukan karena g
“Sebenarnya aku tidak ingin ikut campur dengan urusanmu, Viona. Hanya saja, aku harus tetap mengatakan ini padamu. Mau atau tidak itu keputusanmu,” Randy membuka percakapan, suaranya tenang namun tegas, menggetarkan udara seolah menembus hati Viona.Viona menaikkan alisnya, sedikit terkejut mendengar nada suara Randy yang tak biasanya. Dia menatap Randy dengan mata cemas yang penuh dengan pertanyaan. “Ada apa, Tuan Randy? Apakah … kau akan memecatku?” tanyanya dengan suara yang bergetar, mencoba menyembunyikan kegelisahannya.Randy terkekeh, namun kekehannya tidak membawa kehangatan; lebih mirip dengan tawa seorang pria yang tahu lebih banyak daripada yang dia biarkan.“Tentu saja bukan, Viona. Aku tidak akan mengambil keputusan seperti itu hanya karena kau sedang mengalami masalah dengan suamimu,” balas Randy, nada bicaranya berubah menjadi lebih lembut, hampir simpatik.Viona memainkan jarinya, sebuah kebiasaan lama yang selalu muncul ketika dia gugup. Masalahnya dengan suaminya tel
Malam telah jatuh dengan suramnya, seperti selimut kelam yang menyelubungi kota, menyembunyikan segala rahasia yang tersimpan di balik jendela-jendela rumah.Di sebuah rumah megah, di mana keheningan seharusnya berkuasa, terdengar suara keras yang memecah malam.“Argh! Kurang ajar!” raungnya, suaranya menggema di seluruh rumah, menusuk keheningan yang baru saja ia hancurkan. Matanya menelusuri setiap sudut kamar yang kini kosong, menatap ranjang yang dingin dan rapi, tanpa bekas kehadiran seseorang yang ia harapkan ada di sana.Hatinya serasa diremuk, terbakar oleh amarah yang terus membara. Ia mendengus kasar, seperti binatang buas yang kehilangan buruannya.Mark keluar dari kamar dengan langkah lebar, tatapannya tajam, memburu apa pun yang bisa menjelaskan kepergian Viona.Dalam kebingungannya, ia menemukan sekelompok pelayan yang berdiri tak jauh dari sana, tubuh mereka kaku seperti patung, wajah mereka pucat karena ketakutan.Tanpa basa-basi, Mark mendekat dengan tatapan yang seol
Mark berjalan mondar-mandir di ruang tamu yang gelap, dengan langkah yang semakin cepat dan gelisah. Matanya yang gelap, berkilat tajam di bawah sorotan lampu temaram, dipenuhi dengan api kemarahan yang tak kunjung padam.Suasana hatinya sehitam malam di luar jendela, dan pikirannya terus dibanjiri oleh pertanyaan yang sama: di mana Viona? Setiap sudut kota sudah ia jelajahi, setiap kemungkinan sudah ia perhitungkan, tetapi Viona seolah lenyap ditelan bumi.Ponselnya berdering tiba-tiba, memecah keheningan yang menekan. Mark dengan cepat meraih ponsel itu, berharap kabar yang dinantikannya. Ben, asistennya yang setia, akhirnya menghubunginya setelah lama tak memberikan kabar."Tuan. Saya sudah menemukan keberadaan Nona Viona," suara Ben terdengar di seberang telepon, penuh kehati-hatian.Mark merasakan jantungnya berdegup kencang, campuran antara harapan dan kemarahan yang mendidih. "Cepat katakan di mana dia!" titahnya dingin, suaranya terdengar seperti bilah pisau yang mengiris udar
Mark mengikuti taksi yang digunakan Viona dengan jarak yang cukup dekat untuk memastikan tidak kehilangan jejak, namun cukup jauh agar tak terlihat. Matanya yang tajam berkilat penuh amarah dan ketegangan, mengamati setiap belokan yang diambil oleh mobil tersebut. Ada kekuatan tak kasatmata yang menariknya ke depan, seolah setiap meter yang ia tempuh mendekatkannya pada jawaban dari kebingungannya.“Aku harus tahu,” gumam Mark dengan nada rendah, hampir seperti desisan ular yang siap menyerang. “Aku harus memastikan apakah dia pulang ke rumah atau ke tempat lain. Kali ini, aku tidak akan membiarkan Viona meninggalkan rumah kita lagi. Tidak akan.”Di dalam taksi, Viona duduk di pojok, menyandarkan kepalanya pada kaca jendela. Pandangannya kosong, melayang jauh keluar jendela, mengikuti arus lampu kota yang berkelebat cepat. Di tangannya, ponsel terus bergetar dengan pesan-pesan dan panggilan tak terjawab dari Mark. Ia menatap layar ponselnya dengan tatapan lelah.“Kenapa di saat aku
"Jangan membawa pria lain dalam urusan rumah tangga kita, Mark!" suara Viona menggema di dalam kamar itu, tegas dan penuh ketegasan, meskipun di dalam hatinya, ada rasa takut yang menggelayut, takut akan kenyataan yang harus ia hadapi, takut akan keputusan yang harus ia buat.Mark hanya menyunggingkan senyum, senyum yang tidak mengandung kebahagiaan, melainkan sinisme yang terbungkus dalam selubung kepalsuan."Lantas, apa lagi yang ingin kau bahas, huh?" balas Mark dengan nada yang tak kalah dingin, matanya yang gelap menatap Viona seolah menantangnya untuk melanjutkan.Viona menarik napasnya dalam-dalam, mencoba mengumpulkan kekuatan dari dalam dirinya, menatap wajah pria yang selama ini menjadi suaminya, namun bukan sebagai suami yang penuh kasih, melainkan sebagai pria yang telah menghancurkan harapannya."Sudah kukatakan berulang kali padamu. Aku ingin bercerai denganmu agar kau bebas bisa bersama dengan kekasihmu—" kata-kata Viona terputus oleh teriakan Mark yang meledak-ledak, p