Langit pagi memancarkan semburat jingga yang melatari deru napas gelisah Viona. Ketika Mark, suaminya, telah pergi ke kantor dengan wajah yang tertutup oleh topeng keseriusan, Viona segera merencanakan langkahnya yang sudah lama dinanti-nanti. Hatinya berdebar, bukan karena ketakutan, melainkan karena dorongan mendalam untuk melangkah keluar dari sangkar emas yang selama ini mengikatnya.Tanpa banyak berpikir, Viona mengambil tas tangan dan dengan cepat berjalan menuju pintu depan. Sejenak ia berdiri di ambang pintu, mendengarkan suara-suara halus pagi hari yang seolah membisikkan kebebasan di telinganya. Ia tidak ingin meminta izin, tidak ingin menjelaskan apa pun pada Mark. Bagi Viona, cukup sudah perdebatan-perdebatan tanpa makna, argumen yang hanya berakhir dengan kebisuan dan tatapan penuh rasa dingin. Hari ini, ia hanya ingin pergi ke gedung opera, tempat di mana hatinya masih bisa merasa hidup.“Lina?” panggil Viona setibanya di gedung opera, suaranya bergetar, bukan karena g
“Sebenarnya aku tidak ingin ikut campur dengan urusanmu, Viona. Hanya saja, aku harus tetap mengatakan ini padamu. Mau atau tidak itu keputusanmu,” Randy membuka percakapan, suaranya tenang namun tegas, menggetarkan udara seolah menembus hati Viona.Viona menaikkan alisnya, sedikit terkejut mendengar nada suara Randy yang tak biasanya. Dia menatap Randy dengan mata cemas yang penuh dengan pertanyaan. “Ada apa, Tuan Randy? Apakah … kau akan memecatku?” tanyanya dengan suara yang bergetar, mencoba menyembunyikan kegelisahannya.Randy terkekeh, namun kekehannya tidak membawa kehangatan; lebih mirip dengan tawa seorang pria yang tahu lebih banyak daripada yang dia biarkan.“Tentu saja bukan, Viona. Aku tidak akan mengambil keputusan seperti itu hanya karena kau sedang mengalami masalah dengan suamimu,” balas Randy, nada bicaranya berubah menjadi lebih lembut, hampir simpatik.Viona memainkan jarinya, sebuah kebiasaan lama yang selalu muncul ketika dia gugup. Masalahnya dengan suaminya tel
Malam telah jatuh dengan suramnya, seperti selimut kelam yang menyelubungi kota, menyembunyikan segala rahasia yang tersimpan di balik jendela-jendela rumah.Di sebuah rumah megah, di mana keheningan seharusnya berkuasa, terdengar suara keras yang memecah malam.“Argh! Kurang ajar!” raungnya, suaranya menggema di seluruh rumah, menusuk keheningan yang baru saja ia hancurkan. Matanya menelusuri setiap sudut kamar yang kini kosong, menatap ranjang yang dingin dan rapi, tanpa bekas kehadiran seseorang yang ia harapkan ada di sana.Hatinya serasa diremuk, terbakar oleh amarah yang terus membara. Ia mendengus kasar, seperti binatang buas yang kehilangan buruannya.Mark keluar dari kamar dengan langkah lebar, tatapannya tajam, memburu apa pun yang bisa menjelaskan kepergian Viona.Dalam kebingungannya, ia menemukan sekelompok pelayan yang berdiri tak jauh dari sana, tubuh mereka kaku seperti patung, wajah mereka pucat karena ketakutan.Tanpa basa-basi, Mark mendekat dengan tatapan yang seol
Mark berjalan mondar-mandir di ruang tamu yang gelap, dengan langkah yang semakin cepat dan gelisah. Matanya yang gelap, berkilat tajam di bawah sorotan lampu temaram, dipenuhi dengan api kemarahan yang tak kunjung padam.Suasana hatinya sehitam malam di luar jendela, dan pikirannya terus dibanjiri oleh pertanyaan yang sama: di mana Viona? Setiap sudut kota sudah ia jelajahi, setiap kemungkinan sudah ia perhitungkan, tetapi Viona seolah lenyap ditelan bumi.Ponselnya berdering tiba-tiba, memecah keheningan yang menekan. Mark dengan cepat meraih ponsel itu, berharap kabar yang dinantikannya. Ben, asistennya yang setia, akhirnya menghubunginya setelah lama tak memberikan kabar."Tuan. Saya sudah menemukan keberadaan Nona Viona," suara Ben terdengar di seberang telepon, penuh kehati-hatian.Mark merasakan jantungnya berdegup kencang, campuran antara harapan dan kemarahan yang mendidih. "Cepat katakan di mana dia!" titahnya dingin, suaranya terdengar seperti bilah pisau yang mengiris udar
Mark mengikuti taksi yang digunakan Viona dengan jarak yang cukup dekat untuk memastikan tidak kehilangan jejak, namun cukup jauh agar tak terlihat. Matanya yang tajam berkilat penuh amarah dan ketegangan, mengamati setiap belokan yang diambil oleh mobil tersebut. Ada kekuatan tak kasatmata yang menariknya ke depan, seolah setiap meter yang ia tempuh mendekatkannya pada jawaban dari kebingungannya.“Aku harus tahu,” gumam Mark dengan nada rendah, hampir seperti desisan ular yang siap menyerang. “Aku harus memastikan apakah dia pulang ke rumah atau ke tempat lain. Kali ini, aku tidak akan membiarkan Viona meninggalkan rumah kita lagi. Tidak akan.”Di dalam taksi, Viona duduk di pojok, menyandarkan kepalanya pada kaca jendela. Pandangannya kosong, melayang jauh keluar jendela, mengikuti arus lampu kota yang berkelebat cepat. Di tangannya, ponsel terus bergetar dengan pesan-pesan dan panggilan tak terjawab dari Mark. Ia menatap layar ponselnya dengan tatapan lelah.“Kenapa di saat aku
"Jangan membawa pria lain dalam urusan rumah tangga kita, Mark!" suara Viona menggema di dalam kamar itu, tegas dan penuh ketegasan, meskipun di dalam hatinya, ada rasa takut yang menggelayut, takut akan kenyataan yang harus ia hadapi, takut akan keputusan yang harus ia buat.Mark hanya menyunggingkan senyum, senyum yang tidak mengandung kebahagiaan, melainkan sinisme yang terbungkus dalam selubung kepalsuan."Lantas, apa lagi yang ingin kau bahas, huh?" balas Mark dengan nada yang tak kalah dingin, matanya yang gelap menatap Viona seolah menantangnya untuk melanjutkan.Viona menarik napasnya dalam-dalam, mencoba mengumpulkan kekuatan dari dalam dirinya, menatap wajah pria yang selama ini menjadi suaminya, namun bukan sebagai suami yang penuh kasih, melainkan sebagai pria yang telah menghancurkan harapannya."Sudah kukatakan berulang kali padamu. Aku ingin bercerai denganmu agar kau bebas bisa bersama dengan kekasihmu—" kata-kata Viona terputus oleh teriakan Mark yang meledak-ledak, p
Lina membuka pintu apartemennya dengan cepat saat Viona tiba, tubuhnya yang lemah dan bergetar terlihat begitu rapuh di bawah pancaran lampu malam.Viona, yang air matanya terus mengalir tanpa henti, segera merangkul sahabatnya. Tangisannya begitu lepas, seolah-olah ia ingin membebaskan semua beban yang menyesakkan dadanya.“Tenangkan dirimu, Viona,” bisik Lina lembut, suaranya seperti angin sepoi yang mencoba menenangkan badai. Ia membawa Viona masuk ke dalam apartemennya yang sepi, sebuah ruang yang seolah-olah diciptakan untuk kesendirian dan keheningan.Mereka duduk di sofa ruang tengah, tempat di mana keheningan menjadi saksi bisu perasaan yang membuncah di antara mereka.“Kau bisa tinggal di sini sepuasmu, Viona,” lanjut Lina, berusaha menciptakan kenyamanan di tengah kerapuhan temannya. “Aku hanya tinggal seorang diri, dan aku senang kau mau tinggal di sini. Tidak ada yang lebih penting dari dirimu sekarang.”Viona, dengan mata yang masih basah dan bibir gemetar, akhirnya terse
Lina menghela napas panjang, sebuah tarikan udara yang seolah mengangkat semua beban di dadanya, lalu memeluk Viona dengan erat.Di dalam pelukan itu, ia berharap mampu memberikan kekuatan yang mungkin sudah lama hilang dari hati sahabatnya. Kegelapan malam di luar seakan menggambarkan perasaan Viona yang dipenuhi oleh kesedihan tak berujung.“Kau tidak bodoh, Viona. Kau hanya mencintai seseorang yang mungkin belum belajar bagaimana mencintai balik. Tapi, kau tidak boleh terus-menerus mengorbankan dirimu. Ada batasnya.” Suara Lina lembut namun tegas, menggema di ruangan yang hening.Kalimat itu seperti mencoba menggetarkan dinding-dinding hati Viona yang rapuh, mencoba membuatnya sadar bahwa dirinya pantas untuk diperjuangkan, bukan hanya menjadi korban dari hubungan yang tak pernah berkembang.Viona tersenyum tipis, senyumnya samar dan penuh kepedihan yang terpendam. “Itulah kenapa aku pergi dulu dari hidup Mark. Siapa tahu dia mau mengubah hidupnya dan ... meninggalkan Stella.” Kata
Suara tawa riang mengisi ruang keluarga. Mark duduk di lantai beralas karpet, kedua bayi kembarnya berada di pelukannya. Di sebelahnya, Viona tertawa kecil sambil merapikan seragam anak sulung mereka, Leo, yang sedang bersiap berangkat ke sekolah.“Ayah, aku sudah besar. Aku bisa pasang sepatu sendiri,” ucap Alleta dengan penuh percaya diri, meski tali sepatunya masih belum terikat sempurna.Mark tersenyum sambil mengangkat salah satu bayi, yang memekik kegirangan. “Benar, Nak, Ayah sekarang sibuk sama dua jagoan kecil ini. Kamu harus bantu Mama, ya?”Alleta mengangguk dengan wajah ceria, lalu melompat-lompat di tempat. “Iya, Pa. Nanti aku belajar cara mengganti popok juga!”Viona tertawa sambil menggelengkan kepala. "Kau kakak yang baik untuk kedua adikmu, Alleta.”Alleta mengecup pipi ibunya, bahagia mendapatkan pujiannya.Salah satu bayi menoleh ke arah Mark dan berseru, “Ayah!” sambil meraih wajahnya dengan tangan mungilnya. Yang satunya tidak mau kalah dan berseru, “Ibu!” dengan
Satu tahun kemudian …."Ayah, lihat boneka Letta!" seru Alleta dengan suara riang, mengangkat boneka Barbie bergaun merah berkilauan. Matanya berbinar-binar, pipinya memerah karena kegirangan.Mark menunduk, mengangkat Alleta ke pangkuannya. "Siapa yang memberikan ini, hm?" tanyanya sambil tersenyum lebar."Kakek Alex!" jawab Alleta antusias, memeluk boneka itu erat. "Kata Kakek, ini spesial!""Spesial sekali, ya? Kamu harus bilang terima kasih sama Kakek Alex," ujar Mark, mengusap rambut anak perempuannya yang lebat dan hitam.Alleta bangkit dari pangkuan Mark berjalan cepat mengecup pipi Alex, "Thank you, grand Pa!" celoteh Alleta dengan suara cerianya.Alex, yang duduk di sofa bersebelahan dengan Viona, hanya terkekeh. "Anak ini benar-benar tahu bagaimana mencuri hati seorang kakek," katanya sambil mengangguk puas."Ayah saja yang terlalu memanjakannya." goda Viona sambil membawa nampan berisi minuman hangat. Bayi mungil mereka kini sedang aktif-aktifnya. Namanya Alleta, ceria dan
Mark terbangun dengan mata yang terasa berat. Ia melihat ke sekeliling kamar dengan bingung, suara tangisan bayi membelah keheningan malam. Pukul tiga pagi, pikirnya sambil mengusap wajah yang lelah."Viona?" panggilnya pelan, tapi tidak ada jawaban. Ia berbalik, menemukan sisi ranjang Viona kosong.Mark bergegas keluar kamar, menuju suara tangisan itu. Di ruang bayi, ia melihat Viona dengan sabar menggendong bayi mereka, menepuk-nepuk punggungnya yang mungil dengan lembut."Kenapa kau tidak membangunkanku?" tanya Mark, suaranya serak.Viona menoleh dengan senyum lelah tapi lembut. "Kau sudah terlalu capek, Mark. Biar aku yang mengurusnya.""Tidak, ini juga tanggung jawabku," kata Mark tegas, lalu mendekat untuk mengambil bayi mereka. Namun begitu bayi itu berpindah ke pelukannya, tangisannya malah semakin kencang."Kenapa dia makin menangis? Aku sudah pegang dengan benar, kan?" tanya Mark panik, mengayun-ayunkan bayi mereka dengan canggung.Suara melengking yang memekakkan telinga b
Viona merasakan kontraksi yang begitu kuat saat sedang duduk di sofa. Tiba-tiba, aliran hangat merembes ke bawah, membuatnya panik."Mark!" panggilnya dengan suara gemetar. "Air ketubanku pecah!"Mark, yang sedang membaca laporan di ruang kerjanya, langsung berlari ke ruang tamu dengan wajah panik. "Apa? Pecah? Apa yang harus kita lakukan?!" Serangkaian pertanyaan meluncur tanpa henti dari mulutnya.Mark mendekat namun tak tahu harus apa. Rasa panik menguasai pikirannya. "Bagaimana ini?" Sakitkah?" Pertanyaan konyol Mark malah keluar melihat wajah puas istrinya yang kembali merasakan kontraksi."Rumah sakit, Mark! Kita harus segera ke rumah sakit!" kata Viona, mencoba tetap tenang meski rasa sakit mulai menusuk.Mark mengangguk, lalu berlari ke sana kemari, mengambil kunci mobil, tas bayi, dan bahkan jas kerjanya."Di mana kunci mobil? Ah, ini! Tas? Apa kita butuh pakaian? Kenapa pakaianku yang kubawa? Ya Tuhan, aku bahkan tidak tahu apa yang harus aku lakukan!"Viona tersenyum lemah
Di sebuah toko perlengkapan bayi yang megah, Mark dan Viona sibuk memilih barang untuk menyambut kelahiran buah hati mereka.Usia kehamilan Viona sudah menginjak sembilan bulan, dan pasangan itu tengah dipenuhi suka cita.Mereka sengaja tidak mengetahui jenis kelamin bayi mereka, berharap mendapatkan kejutan yang manis saat kelahiran tiba.Mark memegang sepasang sepatu bayi mungil berwarna putih di tangannya. Ia memandangi sepatu itu dengan tatapan penuh rasa bangga. "Bagaimana menurutmu? Sepatu ini sempurna, bukan?"Viona yang sedang memeriksa selimut bayi bermotif bunga menoleh, alisnya terangkat. "Putih lagi, Mark? Kita sudah punya lebih dari cukup barang putih. Haruskan semuanya berwarna polos?""Putih itu elegan dan netral," Mark menjawab sambil mengangkat bahu, senyumnya lebar. "Lagipula, kita tidak tahu jenis kelamin bayi. Putih adalah pilihan yang paling aman."Viona menghela napas panjang, meletakkan selimut yang sedang ia periksa. "Mark, bayi kita juga butuh warna! Hidup itu
Mark sedang berdiri di depan jendela besar kantornya. Langit mendung di luar, menggambarkan suasana kota yang penuh hiruk-pikuk.Ia memutar gelas kopi di tangannya, pikirannya melayang. Suara ketukan pintu memecah lamunannya."Masuk," katanya tegas, tanpa menoleh.Ben, sekretaris pribadinya, masuk dengan langkah hati-hati. Wajahnya tampak lebih serius dari biasanya.“Tuan Mark, ada kabar penting yang perlu Anda ketahui,” ucap Ben dengan nada pelan tapi jelas. Ben tampak ragu namun ia harus melakukan ini.Mark mengangkat alis dan memutar tubuhnya, menatap Ben dengan ekspresi datar. “Apa itu, Ben?”Ben menelan ludah, seolah mencari cara terbaik untuk menyampaikan berita tersebut. “Tuan saya tahu anda tidak mau mendengar laporan tentang nona Stella, namun kali ini anda harus mendengarkan. Stella … dia sudah tiada.”Mark mengerutkan kening, matanya menyipit. “Maksudmu … sudah tiada? Jelaskan, Ben.”Ben menarik napas dalam sebelum melanjutkan. “Kondisinya semakin memburuk di rumah sakit te
Pagi itu, sinar matahari menembus jendela besar di ruang tamu. Viona sedang merapikan bunga di vas ketika bel pintu berbunyi.Ia berjalan menuju pintu dan membuka perlahan, menatap sosok yang sudah familiar berdiri di depan rumah.“Ayah,” sapanya lembut. Senyum kecil menghiasi wajahnya.Alex lega melihat senyum segar Viona. Mereka berdua berpelukan dan Viona mengajak masuk mertuanya itu.Alex, dengan jas abu-abu yang rapi, mengangguk singkat. “Pagi, Viona. Maaf datang tanpa memberi tahu. Aku sengaja datang untuk melihat keadaanmu."“Tidak perlu memberi tahu juga tidak masalah, Ayah. Silakan masuk. Aku akan menyiapkan teh hijau kesukaanmu," senyum akrab keduanya bagai ayah dan anak. Viona mempersilahkan ayah mertuanya itu duduk di sofa.Alex melangkah masuk, memperhatikan interior rumah yang terasa hangat dan nyaman. Bahagia melihat keadaan menantunya yang sehat. Ia duduk di sofa, sementara Viona menuangkan teh hangat untuknya.“Ada sesuatu yang ingin Ayah bicarakan?” Viona bertanya, d
Pintu rumah megah itu terbuka dengan suara klik lembut, memperlihatkan sosok Mark yang baru saja pulang.Jas hitamnya masih rapi, meskipun ekspresi wajahnya terlihat tegang. Ia meletakkan tas kerjanya di meja ruang tamu tanpa berkata apa-apa.“Mark,” suara Viona yang lembut menyambutnya dari sofa. Wanita itu menoleh dari dokumen yang sedang ia baca, wajahnya menyiratkan kekhawatiran.Mark mengangguk singkat. “Ada apa?” tanyanya dengan nada datar, meskipun matanya sedikit melunak saat melihat Viona.Hati Mark perih melihat istrinya yang hamil dan selama ini ia acuhkan. Viona mendekat dan debar kerinduan Mark membuncah melihat wajah cantik penuh kesabaran Viona.Viona menatapnya ragu sejenak sebelum akhirnya berbicara, memilih kata-katanya dengan hati-hati.“Mila meneleponku tadi siang. Dia … memarahiku, katanya semua ini salahku karena aku yang membuat putrinya kesusahan dan sakit. Jujur Mark, apa benar kau menutup akses Stella di rumah sakitmu?”Mark menghela napas berat, kemudian dud
Langit pagi yang cerah terasa kontras dengan suasana hati Mila yang kacau balau.Stella terbaring lemah di ruang perawatan sebuah rumah sakit biasa, jauh dari kenyamanan fasilitas rumah sakit mewah milik Mark. Nafas Stella masih berat, namun kondisinya perlahan stabil.Ranjang kecil dengan kasur yang tidak nyaman jauh dari kata mewah seperti yang biasa Milla terima dari rumah sakit sebelumnya.Mila sedih menatap putrinya berjajar dalam ruangan besar bersama pasien lain yang entah sakit apa.Tirai untuk privasi ruangan pasien memang mampu menutup tubuh putrinya agar tidak terlihat pasien lain tetapi malah membuat ia sangat kegerahan.Apalagi kamar mandi yang digunakan juga bersama. Mila tidak yakin keadaan putrinya membaik dengan segala fasilitas minim yang ia lihat saat ini.Mila sampai tidak bisa menyembunyikan kemarahan dan frustasinya. Ia menggenggam erat ponselnya, mencoba menghubungi Mark lagi untuk yang kesekian kalinya, tetapi tidak ada jawaban. Mila tahu Mark dengan sengaja me