Waktu sudah menunjukkan angka sembilan pagi. Matahari di luar jendela ruang kantor yang besar bersinar terang, seolah tidak peduli dengan ketegangan yang menyelimuti ruangan. Di dalam, Mark duduk di belakang meja kerjanya, tatapan tajamnya terpaku pada layar ponselnya yang tak henti-hentinya diperiksa, menunggu balasan yang tak kunjung tiba. Pesan yang ia kirim kepada Viona sejak semalam masih terbengkalai tanpa jawaban, dan setiap detik yang berlalu semakin menambah beban di dadanya.Ben, asisten pribadinya, berdiri di dekat pintu, merasa canggung melihat bosnya yang tampak jauh lebih gelisah dari biasanya. Setelah beberapa saat, ia merasa perlu untuk berbicara.“Tuan, meeting sebentar lagi dimulai. Apakah ingin diundur terlebih dahulu?” tanyanya hati-hati, suaranya lembut tapi penuh kehati-hatian, menyadari betapa tegang suasana hari ini.Mark mengangkat kepalanya perlahan, matanya memandang kosong ke arah Ben sejenak sebelum akhirnya ia menghela napas panjang. Napas yang seolah-
"Permisi, Tuan. Ada Nyonya Sarah di luar," suara lembut sang pelayan yang tiba-tiba menginterupsi keheningan ruang kerja membuat Mark mendongak.Ia sedang tenggelam dalam tumpukan dokumen, berusaha menyibukkan diri dari kekosongan yang menggerogoti hatinya. Jemarinya berhenti memijat kening, tanda dari kebingungan yang mulai menyelinap dalam pikirannya."Ibu?" gumamnya, hampir tak percaya. Apa yang diinginkan ibunya sekarang? Dan, lebih penting lagi, apa yang akan ia katakan jika Sarah menanyakan Viona?Hatinya berdebar kencang. Viona tak ada di sini. Sejak mereka menikah empat tahun lalu, kehidupan rumah tangga mereka tak pernah harmonis, tak pernah terasa benar. Namun, di hadapan ibunya, ia tak bisa menunjukkan retakan-retakan dalam pernikahannya yang rapuh.Setelah menarik napas panjang, ia bangkit. Sepasang sepatu kulitnya berbunyi pelan saat ia melangkah keluar dari ruang kerja, menelusuri lorong yang hening.Setibanya di ruang tengah, Mark bisa melihat ibunya duduk anggun di ata
"Argh! Di mana kau, Viona?!" pekik Mark, suaranya melengking dengan kemarahan yang tak terbendung.Ia mengangkat tangan, lalu meninju tembok kamarnya dengan kekuatan yang cukup untuk membuat dinding bergetar. Matanya menyala penuh amarah, menatap kosong ke arah kamar yang kini terasa terlalu sepi dan dingin.Bayangan Viona seolah menghantui setiap sudut ruangan, tapi tubuhnya tak ada di sana. Sudah berhari-hari ia pergi, meninggalkan rumah tanpa sepatah kata pun.Bahkan pesan-pesan yang dikirimnya, yang awalnya hanya berisi kata-kata tanya penuh kecemasan, kini telah berubah menjadi ancaman terselubung, tapi semua itu tetap tak mendapat balasan.Mark menghempaskan tubuhnya ke tepi tempat tidur, jemarinya menjambak rambut hitamnya yang berantakan. Ia merasa seperti berada di jurang kehancuran, ditinggalkan oleh satu-satunya orang yang seharusnya menjadi miliknya sepenuhnya. Kepalanya tertunduk, napasnya berat."Aku pastikan kau akan kembali padaku, Viona," gumamnya, suaranya rendah nam
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Cahaya mentari pagi mengintip malu-malu melalui celah tirai putih di kamar hotel Viona. Udara segar yang masuk dari balkon menyapa wajahnya yang baru terbangun dari tidur malam yang tidak sepenuhnya tenang. Rasa lelah masih melekat di pundaknya, namun pemandangan indah yang terhampar di depan mata segera membuai indra Viona. Pantai Barceloneta yang elok terbentang dengan pasir putih bersih dan ombak kecil yang menyapa garis pantai, seakan mengundangnya untuk beranjak dari tempat tidur dan merasakan angin segar.Viona memandang keluar dengan mata berbinar. Ia meraih jubah tipisnya, mengenakannya perlahan, dan berjalan menuju balkon. Angin pagi yang lembut berhembus, membelai wajahnya. Segarnya udara pantai begitu memanjakan, mengusir sisa-sisa rasa lelah di tubuhnya. "Indah dan segar sekali," gumamnya, sambil merentangkan kedua tangannya. Sebuah senyum perlahan terbit di bibirnya, menikmati momen damai ini yang jarang sekali ia rasakan dalam ke
"Kau gila, huh? Apa yang ingin kau lakukan? Untuk apa bertemu dengan Randy? Jangan macam-macam, Mark!" seru Viona, suaranya tajam dan penuh amarah.Ia menepis tangan Mark dengan kasar, merasakan panas di sekujur tubuhnya akibat dari perdebatan yang tak kunjung usai. Matanya berkilat dengan kemarahan yang terpendam, tetapi ia tahu harus tetap tegar.Mark hanya tersenyum sinis, tatapan tajamnya menancap di wajah Viona. “Aku hanya ingin bicara dengannya, Viona. Kenapa? Kau takut? Takut ketahuan kalau kau dan dia memiliki hubungan serius, bukan sekadar rekan kerja?” suaranya penuh dengan sindiran, seakan menikam langsung ke jantung hati Viona.Plak!Tangan Viona mendarat di pipi Mark, suaranya nyaring memecah kesunyian malam. Untuk sesaat, dunia terasa berhenti. Udara yang lembap dari laut di sekitar mereka pun seolah menahan napas."Kau selalu menuduhku, Mark!" jerit Viona, nadanya bergetar. “Kau tak pernah sadar diri dengan apa yang kau lakukan selama empat tahun pernikahan kita!" Air m
“Kau ingin bicara denganku, Tuan Mark?” tanya Randy dengan sopan, meski nada suaranya tegas. Matanya menatap lurus pada pria di depannya, tanpa ragu sedikit pun.Mark perlahan berbalik, wajahnya menampilkan kemarahan yang sulit disembunyikan. “Apa yang sebenarnya kau inginkan dari istriku, Randy?” desisnya dingin, seperti ular yang siap menyerang. Di setiap kata yang keluar, terdengar kekecewaan dan kepemilikan yang teramat besar.Randy mengangkat alisnya, terkejut dengan tuduhan langsung yang dilontarkan kepadanya. "Kau tahu, Viona adalah penyanyi opera yang luar biasa berbakat. Aku, sebagai pemilik Opera Happy Music, tentunya ingin bekerja sama dengannya. Lantas, apa maksudmu dengan pertanyaan itu?” jawab Randy, tenang namun waspada, membaca emosi yang berkobar dari pria di hadapannya.Mark menggeram, melangkah maju, mendekati Randy dengan penuh intensitas. “Jangan mengelak dari pertanyaanku, Randy. Aku sedang berbicara serius denganmu!” suaranya mendesak, penuh amarah yang siap mel
Pagi itu, cahaya matahari yang lembut menerobos masuk ke dalam ruang makan hotel mewah, menyinari wajah Viona yang baru saja menyelesaikan sarapannya.Aroma kopi masih samar di udara, tetapi Viona sudah kehilangan minat pada apa pun. Perhatiannya kini tertuju pada sosok yang berdiri di hadapannya. Mark. Suaminya.Mark duduk dengan kasar di hadapannya, tatapannya penuh dengan kekalutan yang sulit disembunyikan. Wajahnya memerah, dan meski ia berusaha menenangkan diri, amarahnya jelas terbaca dari napasnya yang pendek-pendek."Jadi, kapan kau akan pulang ke rumah?" Mark bertanya dengan suara datar, seakan mencoba menyembunyikan emosi yang bergemuruh di dalam dirinya.Viona menatapnya dengan mata yang penuh kelelahan, enggan berdebat namun tahu itu tak bisa dihindari. “Aku tidak akan pulang,” jawabnya dengan tenang, meski di dalam hatinya bergejolak. Ia menarik napas panjang sebelum melanjutkan, “Semua ini sudah selesai, Mark. Tidak ada lagi yang perlu ditunggu.”Mark mengepalkan tangann
“Jangan pernah menggangguku lagi, Mark!” ucapnya dengan tegas.Viona melangkah dengan langkah gontai, meninggalkan ruang makan dengan perasaan berat. Ia tak bisa lagi mendengar suara Mark yang terus memaksanya.Sesak di dadanya tak terbendung. Setiap kata yang diucapkan Mark menggema di telinganya, seakan menekan jiwa yang selama ini sudah tertindas.“Apa yang kulakukan? Mempertahankan bayi itu, jika aku benar-benar hamil?” Viona mengusap wajahnya pelan.“Aku harus memastikan terlebih dahulu,” ucapnya dengan penuh ketegangan.Saat sampai di kamar, ia menutup pintu perlahan dan duduk di tepi tempat tidur, matanya kosong menatap lantai. Dengan gerakan lambat, Viona mengusap wajahnya yang dipenuhi kelelahan dan kebingungan.Di depannya, kalender tergantung di dinding, seakan menatapnya kembali, menuntut perhatiannya. “Hh! Ini benar-benar gila.”Ia menelan ludah, pikirannya tak bisa berhenti berputar. Tangannya gemetar ketika ia mulai menghitung tanggal. Viona berhenti sejenak, jantungnya