Waktu sudah menunjuk angka delapan malam.Malam itu, lampu-lampu panggung yang megah memancarkan cahaya lembut ke seluruh ruangan, memantul pada tirai beludru merah yang menjuntai di setiap sudut teater opera.Di belakang panggung, suasana hening menyelimuti, hanya terdengar bunyi kecil dari alat make-up yang digunakan para artis untuk bersiap.Di sudut ruangan yang penuh dengan cermin besar dan lampu-lampu terang, Viona duduk di depan meja rias, mencoba menenangkan diri di tengah badai pikiran yang berputar-putar di kepalanya.Tangannya gemetar sedikit saat ia merapikan eyeshadow terakhir di kelopak matanya. Ia mencoba fokus pada pantulan dirinya di cermin, wajah yang dipoles sempurna untuk panggung opera yang akan ia jalani.Namun, pikirannya terus berlari kembali ke ucapan Mark pagi tadi. "Benih itu ... masa subur ..." kata-kata itu terus menghantui setiap detik pikirannya. Rasa takut perlahan merambat ke seluruh tubuhnya.Tiba-tiba, pintu ruang rias terbuka pelan, dan Lina, sahaba
Mark duduk di bangku yang menghadap ke lautan, tatapannya kosong menembus deburan ombak yang datang silih berganti. Asap rokok yang mengepul dari bibirnya melayang di udara malam yang dingin, seolah membawa semua kekesalan dan kemarahan yang ia pendam dalam hati.Langit gelap di atasnya berbaur dengan kilauan bintang, tapi pikirannya sama sekali tidak tertuju pada keindahan alam yang ada di depannya. Semua yang ada di dalam benaknya hanyalah satu hal: Viona.Ben berjalan perlahan mendekati Mark, langkah kakinya nyaris tak terdengar di atas pasir yang basah. Dia berhenti di samping majikannya, menatap sejenak ke arah pantai sebelum akhirnya berbicara, "Tuan, Nona Viona sedang tampil sekarang. Apakah Anda ingin melihatnya?"Mark tidak langsung menjawab. Ia mengisap rokoknya sekali lagi, menahan napas sejenak sebelum menghembuskannya dengan perlahan.Tatapannya tetap kosong, tidak ada sedikit pun antusiasme dalam suaranya ketika ia berkata, "Tidak, Ben. Aku tidak tertarik untuk melihat a
Setelah dua jam penuh menunggu pentas berakhir, akhirnya Viona bisa menghela napas lega. Pementasan opera yang dipersiapkan dengan penuh keringat dan air mata itu telah berakhir dengan gemilang.Suara tepuk tangan yang bergemuruh dari penonton masih terngiang-ngiang di telinganya, membuat adrenalin dalam tubuhnya perlahan surut.Ia bisa merasakan perasaan puas yang mengalir dalam tiap tarikan napasnya, seolah udara malam itu adalah hadiah kecil dari alam semesta atas kerja kerasnya."Viona! Kau menjadi bintang di malam ini!" seru Lina dengan penuh semangat, mendekati sang sahabat dengan sorot mata yang memancarkan kekaguman yang tak terbantahkan.Viona tersenyum, senyum yang lebar namun sarat dengan kerendahan hati. "Semuanya menjadi bintang untuk malam ini, Lina," jawabnya, nadanya lembut namun tegas, seperti angin malam yang berbisik. "Kau pun melakukan yang terbaik untuk pentas kita di sini."Lina menggeleng pelan, tetap tak bisa mengalihkan pandangannya dari sosok Viona yang baru
Viona tersenyum tipis, senyum yang dingin dan mengandung makna mendalam, seperti tirai tipis yang menutupi lautan gelap. "Itu bukan urusanmu, Ben. Urus saja bos aroganmu itu," katanya dengan nada penuh ketegasan, setiap kata diucapkan dengan keteguhan yang hampir membekukan udara di sekelilingnya. "Aku tidak ingin melihatnya lagi di sini."Ben, meskipun memahami ketegasan Viona, memberanikan diri untuk menahan tangannya sebelum dia sempat beranjak pergi. Raut wajahnya dipenuhi dengan keraguan dan kecemasan, seakan kata-kata yang ingin dia ucapkan begitu berat, seberat batu karang yang terhempas oleh ombak laut.“Maaf, Nona Viona... tapi saya harus mengatakan hal ini,” ucapnya dengan suara rendah namun tegas, berusaha menyembunyikan kegugupan di balik nada suara yang bergetar.“Aku tidak mencintai Randy seperti yang kalian tuduhkan padaku, Ben. Jangan percaya dengan omong kosong bosmu itu,” kata Viona dengan nada yang cukup tegas, namun ada kilatan kesedihan yang tak tertahan di matany
"Keluar dari kamarku sekarang juga!" Viona berteriak, suaranya memecah kesunyian malam yang tegang. Setiap kata yang dia ucapkan seperti mencakar udara di sekelilingnya, menambah intensitas dari ketegangan yang ada.Namun, Mark malah menarik tangan Viona dengan paksa, membuatnya terpaksa melangkah masuk ke dalam kamar dengan kekuatan yang tidak bisa dihindari."Mark, pergi!" teriak Viona sekali lagi, suaranya penuh dengan kemarahan dan keputusasaan yang membara seperti api yang mengamuk.Namun, kata-katanya seolah hanya menambah kemarahan di wajah Mark, yang kini tampak seperti badai yang siap meledak. “Siapa kau, berani mengusirku, huh?” bisik Mark dengan matanya yang tajam menatap Viona, seolah setiap kata adalah duri yang siap melukai.Dalam keadaan emosi yang menggelegak, Mark tidak mendengarkan permohonan Viona. Sebaliknya, ia mencium bibir Viona dengan ganas, ciuman yang penuh dengan nafsu dan kemarahan yang membakar.Viona memberontak, berusaha menjauhkan tubuhnya dari ciuman y
Mark bangun lebih dulu pagi itu. Matanya terbuka pelan-pelan, dan seketika rasa asing dari tempat tidur yang bukan miliknya membanjiri pikirannya.Kamar hotel ini terasa dingin, lebih karena hubungan mereka yang telah membeku daripada suhu udara pagi.Waktu sudah menunjuk angka delapan pagi, namun Viona masih meringkuk di sebelahnya, tubuhnya memunggungi Mark seolah ingin menghindar dari kenyataan.Mark menghela napas panjang, menatap punggung Viona yang terbungkus selimut. Ekspresinya kaku, dingin, namun matanya menyiratkan kerinduan yang tak terucapkan.Tangannya menyentuh tepi tempat tidur, dan ia duduk di sana, seolah memikirkan segala yang pernah mereka alami. Ia merasa kalah, tapi keengganan untuk menyerah lebih kuat."Masih berani melawanku, hm?" bisiknya lirih, seolah kalimat itu hanya untuk dirinya sendiri, namun ia berharap Viona mendengarnya.Viona membuka matanya perlahan, namun ia tetap tak bergerak. Dalam hati, ia bergumam, ‘Mark rupanya masih ada di sini.’ Kehadirannya
Pagi itu, Viona duduk di sudut restoran hotel, menikmati sarapan yang tampaknya tak lagi bisa menenangkan pikirannya.Makanan di depannya hanya menjadi formalitas. Fokusnya terpecah, pikirannya masih berkutat pada percakapan semalam dengan Mark, serta kegundahan yang terus mengintai di tiap detiknya.Tak lama, suara langkah kaki yang dikenalnya mendekat. "Viona. Bisa kita bicara?"Randy muncul dengan wajah tenang, namun sorot matanya menyiratkan hal yang serius. Viona menatapnya sejenak, kemudian mengangguk pelan. "Bisa, Tuan. Ada apa?" tanyanya dengan suara tenang, mencoba menutupi kegelisahan yang bersemayam di dalam hatinya.Randy duduk di hadapannya, tersenyum hangat. "Pertama, aku sangat berterima kasih padamu untuk perform yang luar biasa kemarin malam. Semua orang terpukau dengan penampilan kalian."Viona mengulas senyum kecil, meskipun hatinya masih terasa berat. "Aku ikut senang jika kau juga senang, Tuan Randy."Randy menggeleng dengan ekspresi sedikit jengkel, tapi ramah. "
Viona melangkah perlahan memasuki rumah sang ibu, tempat di mana segala kehangatan dan kenyamanan seharusnya menyelimuti hatinya.Setelah sekian lama terjebak dalam hubungan yang menyesakkan, rumah ibunya adalah satu-satunya pelarian yang dapat memberinya kedamaian.Begitu pintu rumah terbuka, Maria, ibunya, menyambutnya dengan senyum hangat. "Viona?" sapanya lembut, matanya berbinar penuh kasih saat melihat sang anak yang baru tiba.Viona membalas senyum itu, meskipun ada beban yang tampak jelas di wajahnya. Ia mendekat, memeluk ibunya erat-erat, seolah mencari pelukan itu untuk menguatkannya. Dalam pelukan itu, dia menghela napas panjang yang berat, mencoba melepas sedikit kepenatan di dalam dadanya."Aku rindu padamu, Ibu," katanya pelan, hampir seperti bisikan yang sarat akan rasa lelah.Maria membelai lembut rambut Viona, merasakan kekosongan yang dirasakan anaknya. "Ibu juga merindukanmu, sayang," jawab Maria dengan lembut, namun mata ibu itu menangkap sesuatu yang lebih dari se