Mark bangun lebih dulu pagi itu. Matanya terbuka pelan-pelan, dan seketika rasa asing dari tempat tidur yang bukan miliknya membanjiri pikirannya.Kamar hotel ini terasa dingin, lebih karena hubungan mereka yang telah membeku daripada suhu udara pagi.Waktu sudah menunjuk angka delapan pagi, namun Viona masih meringkuk di sebelahnya, tubuhnya memunggungi Mark seolah ingin menghindar dari kenyataan.Mark menghela napas panjang, menatap punggung Viona yang terbungkus selimut. Ekspresinya kaku, dingin, namun matanya menyiratkan kerinduan yang tak terucapkan.Tangannya menyentuh tepi tempat tidur, dan ia duduk di sana, seolah memikirkan segala yang pernah mereka alami. Ia merasa kalah, tapi keengganan untuk menyerah lebih kuat."Masih berani melawanku, hm?" bisiknya lirih, seolah kalimat itu hanya untuk dirinya sendiri, namun ia berharap Viona mendengarnya.Viona membuka matanya perlahan, namun ia tetap tak bergerak. Dalam hati, ia bergumam, ‘Mark rupanya masih ada di sini.’ Kehadirannya
Pagi itu, Viona duduk di sudut restoran hotel, menikmati sarapan yang tampaknya tak lagi bisa menenangkan pikirannya.Makanan di depannya hanya menjadi formalitas. Fokusnya terpecah, pikirannya masih berkutat pada percakapan semalam dengan Mark, serta kegundahan yang terus mengintai di tiap detiknya.Tak lama, suara langkah kaki yang dikenalnya mendekat. "Viona. Bisa kita bicara?"Randy muncul dengan wajah tenang, namun sorot matanya menyiratkan hal yang serius. Viona menatapnya sejenak, kemudian mengangguk pelan. "Bisa, Tuan. Ada apa?" tanyanya dengan suara tenang, mencoba menutupi kegelisahan yang bersemayam di dalam hatinya.Randy duduk di hadapannya, tersenyum hangat. "Pertama, aku sangat berterima kasih padamu untuk perform yang luar biasa kemarin malam. Semua orang terpukau dengan penampilan kalian."Viona mengulas senyum kecil, meskipun hatinya masih terasa berat. "Aku ikut senang jika kau juga senang, Tuan Randy."Randy menggeleng dengan ekspresi sedikit jengkel, tapi ramah. "
Viona melangkah perlahan memasuki rumah sang ibu, tempat di mana segala kehangatan dan kenyamanan seharusnya menyelimuti hatinya.Setelah sekian lama terjebak dalam hubungan yang menyesakkan, rumah ibunya adalah satu-satunya pelarian yang dapat memberinya kedamaian.Begitu pintu rumah terbuka, Maria, ibunya, menyambutnya dengan senyum hangat. "Viona?" sapanya lembut, matanya berbinar penuh kasih saat melihat sang anak yang baru tiba.Viona membalas senyum itu, meskipun ada beban yang tampak jelas di wajahnya. Ia mendekat, memeluk ibunya erat-erat, seolah mencari pelukan itu untuk menguatkannya. Dalam pelukan itu, dia menghela napas panjang yang berat, mencoba melepas sedikit kepenatan di dalam dadanya."Aku rindu padamu, Ibu," katanya pelan, hampir seperti bisikan yang sarat akan rasa lelah.Maria membelai lembut rambut Viona, merasakan kekosongan yang dirasakan anaknya. "Ibu juga merindukanmu, sayang," jawab Maria dengan lembut, namun mata ibu itu menangkap sesuatu yang lebih dari se
Maria menatap Viona dalam-dalam, dengan mata yang penuh cinta dan kehangatan. "Jika itu yang membuatmu bahagia, sayang, maka aku akan mendukungmu. Hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan dengan orang yang tidak mencintaimu. Jangan pernah ragu mengambil keputusan yang akan membuatmu lebih baik, lebih bahagia."Air mata yang sedari tadi ditahan oleh Viona akhirnya jatuh juga. Namun, kali ini air mata itu bukan lagi cerminan kesedihan, melainkan kelegaan.Dalam pelukan ibunya, Viona merasakan kekuatan yang baru, kekuatan untuk melangkah maju dan meninggalkan semua rasa sakit yang pernah ia rasakan bersama Mark.Maria menatap Viona dengan penuh kasih, tatapan matanya lembut namun dipenuhi kekuatan seorang ibu yang siap melindungi anaknya dari segala kesedihan dunia. Kata-kata yang ia ucapkan barusan menggema di telinga Viona seperti alunan melodi yang menenangkan hati yang telah lama gersang.Dalam pelukan itu, Viona menemukan kehangatan yang telah lama hilang dalam kehidupannya bersam
[Gaunnya indah sekali, terima kasih, Mark.]Viona tersentak begitu membaca pesan di ponsel Mark, suaminya. Tadi, Viona hanya sedang membereskan ruang kerja suaminya seperti biasa. Namun, ponsel suaminya ternyata tertinggal di ruang kerja, dan sebuah pesan muncul di layar. Dengan ragu, akhirnya Viona membuka pesan tersebut. Beberapa detik kemudian, sebuah pesan baru kembali muncul. Kali ini menampilkan sebuah foto seorang wanita mengenakan gaun mewah berwarna merah marun dengan senyum menggoda.Namun, bukan senyuman wanita itu yang mengusiknya, melainkan gaun yang dikenakan wanita itu.Selama empat tahun menjadi istri Mark Dexter, Viona belum pernah merasakan diberikan hadiah, terlebih gaun seindah itu.Viona memandangi foto itu, matanya mulai berkaca-kaca. Perasaannya campur aduk antara marah, kecewa, dan hancur. Gaun itu begitu indah, lebih indah dari apa pun yang pernah ia miliki. Ironisnya, gaun itu bukan untuknya.Gaun itu adalah hadiah untuk Stella. Dengan tangan bergetar, Viona
Mark membalikkan tubuhnya, punggung tegapnya seakan menjadi tembok yang tak bisa ditembus. “Itu bukan urusanmu,” katanya dengan suara datar, kemudian melangkah pergi meninggalkan Viona sendirian di dalam ruang kerjanya.Viona terdiam, terkejut dengan perkataan Mark. Air matanya sudah mengembang, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Hatinya terasa sakit dan hancur.Hati Viona terasa remuk, seperti baru saja dihantam oleh bebatuan besar. Ucapan Mark menusuknya lebih dalam daripada pisau tajam. Selama ini, Viona selalu berusaha memahami, selalu menerima kekurangan dalam hubungan mereka.“Tega sekali dia berucap seperti itu padaku,” lirih Viona seraya menggigit bibirnya menahan gejolak sakit yang menggemuruh dalam dadanya.Viona mencoba menahan air matanya. Dia tidak ingin larut dalam kesedihan ini. Dengan cepat, dia memutuskan untuk pergi ke rumah sakit, tempat ibunya dirawat. Dia harus mengetahui keadaan ibunya.Sesampainya di rumah sakit, Viona langsung menuju ke ruang p
Mark baru saja sampai di rumah, sebelumnya ia sudah mendengar dari Asistennya, Ben, bahwa Ibu Viona harus dipindahkan ke ruang intensif.Ketika Mark masuk ke dalam kamarnya, Mark melihat Viona duduk dengan wajah yang tampak lelah dan matanya sembab, Viona tidak menoleh atau mengucapkan sepatah kata pun. Mark terus melangkah masuk. Lalu membuka mantel hitam yang masih membungkus tubuhnya seraya melirik ke arah Viona. Dan wanita itu masih diam seribu bahasa, tanpa mengatakan apapun padanya.“Bagaimana kondisi Ibumu?” tanya Mark dengan suara rendah.Viona menoleh, ada jeda sebelum Viona menjawab pertanyaan Mark. Dipandangnya wajah pria yang telah menjadi suaminya selama empat tahun, sorot matanya kepada Viona tidak pernah sedalam ketika Mark bersama Stella tadi, dengan perasaan yang hancur, Viona menghela napas berat. “Mark. Mari bercerai!”Mark benar-benar terkejut, ia seketika membalikkan tubuhnya dan menatap wajah Viona dengan tatapan yang menghunus karena mendengar perkataan sang i
Keesokan paginya, Viona bangun lebih awal dari biasanya. Matanya sedikit bengkak akibat tangis yang sepanjang malam. Ia teringat untuk menjual kalungnya, karena hari ini ia sudah berjanji untuk melunasi biaya rumah sakit Ibunya, kemudian Viona mengambil ponselnya dan menghubungi seorang teman dekat, berharap bisa segera menjual kalung pemberian Mark."Lina? Bisa bantu aku mencarikan seseorang yang bisa membeli kalung?" tanya Viona dengan suara yang sedikit serak.Di seberang sana, Lina terdengar terkejut karena tiba-tiba saja Viona menghubunginya pagi-pagi sekali. “Kalung yang mahal itu? Yang diberikan oleh suamimu? Kenapa kamu mau menjualnya, Viona?”Viona menghela napas panjang, berusaha menahan emosi. "Nanti aku ceritakan semuanya, Lina. Tolong bantu aku dulu, ya."Lina setuju dan mereka segera menyusun rencana untuk bertemu dengan calon pembeli kalung tersebut. Setelah urusan dengan Lina selesai, Viona merasa sedikit lega. Dia tahu bahwa setelah ini pasti Mark akan marah kepadanya,