[Gaunnya indah sekali, terima kasih, Mark.]Viona tersentak begitu membaca pesan di ponsel Mark, suaminya. Tadi, Viona hanya sedang membereskan ruang kerja suaminya seperti biasa. Namun, ponsel suaminya ternyata tertinggal di ruang kerja, dan sebuah pesan muncul di layar. Dengan ragu, akhirnya Viona membuka pesan tersebut. Beberapa detik kemudian, sebuah pesan baru kembali muncul. Kali ini menampilkan sebuah foto seorang wanita mengenakan gaun mewah berwarna merah marun dengan senyum menggoda.Namun, bukan senyuman wanita itu yang mengusiknya, melainkan gaun yang dikenakan wanita itu.Selama empat tahun menjadi istri Mark Dexter, Viona belum pernah merasakan diberikan hadiah, terlebih gaun seindah itu.Viona memandangi foto itu, matanya mulai berkaca-kaca. Perasaannya campur aduk antara marah, kecewa, dan hancur. Gaun itu begitu indah, lebih indah dari apa pun yang pernah ia miliki. Ironisnya, gaun itu bukan untuknya.Gaun itu adalah hadiah untuk Stella. Dengan tangan bergetar, Viona
Mark membalikkan tubuhnya, punggung tegapnya seakan menjadi tembok yang tak bisa ditembus. “Itu bukan urusanmu,” katanya dengan suara datar, kemudian melangkah pergi meninggalkan Viona sendirian di dalam ruang kerjanya.Viona terdiam, terkejut dengan perkataan Mark. Air matanya sudah mengembang, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Hatinya terasa sakit dan hancur.Hati Viona terasa remuk, seperti baru saja dihantam oleh bebatuan besar. Ucapan Mark menusuknya lebih dalam daripada pisau tajam. Selama ini, Viona selalu berusaha memahami, selalu menerima kekurangan dalam hubungan mereka.“Tega sekali dia berucap seperti itu padaku,” lirih Viona seraya menggigit bibirnya menahan gejolak sakit yang menggemuruh dalam dadanya.Viona mencoba menahan air matanya. Dia tidak ingin larut dalam kesedihan ini. Dengan cepat, dia memutuskan untuk pergi ke rumah sakit, tempat ibunya dirawat. Dia harus mengetahui keadaan ibunya.Sesampainya di rumah sakit, Viona langsung menuju ke ruang p
Mark baru saja sampai di rumah, sebelumnya ia sudah mendengar dari Asistennya, Ben, bahwa Ibu Viona harus dipindahkan ke ruang intensif.Ketika Mark masuk ke dalam kamarnya, Mark melihat Viona duduk dengan wajah yang tampak lelah dan matanya sembab, Viona tidak menoleh atau mengucapkan sepatah kata pun. Mark terus melangkah masuk. Lalu membuka mantel hitam yang masih membungkus tubuhnya seraya melirik ke arah Viona. Dan wanita itu masih diam seribu bahasa, tanpa mengatakan apapun padanya.“Bagaimana kondisi Ibumu?” tanya Mark dengan suara rendah.Viona menoleh, ada jeda sebelum Viona menjawab pertanyaan Mark. Dipandangnya wajah pria yang telah menjadi suaminya selama empat tahun, sorot matanya kepada Viona tidak pernah sedalam ketika Mark bersama Stella tadi, dengan perasaan yang hancur, Viona menghela napas berat. “Mark. Mari bercerai!”Mark benar-benar terkejut, ia seketika membalikkan tubuhnya dan menatap wajah Viona dengan tatapan yang menghunus karena mendengar perkataan sang i
Keesokan paginya, Viona bangun lebih awal dari biasanya. Matanya sedikit bengkak akibat tangis yang sepanjang malam. Ia teringat untuk menjual kalungnya, karena hari ini ia sudah berjanji untuk melunasi biaya rumah sakit Ibunya, kemudian Viona mengambil ponselnya dan menghubungi seorang teman dekat, berharap bisa segera menjual kalung pemberian Mark."Lina? Bisa bantu aku mencarikan seseorang yang bisa membeli kalung?" tanya Viona dengan suara yang sedikit serak.Di seberang sana, Lina terdengar terkejut karena tiba-tiba saja Viona menghubunginya pagi-pagi sekali. “Kalung yang mahal itu? Yang diberikan oleh suamimu? Kenapa kamu mau menjualnya, Viona?”Viona menghela napas panjang, berusaha menahan emosi. "Nanti aku ceritakan semuanya, Lina. Tolong bantu aku dulu, ya."Lina setuju dan mereka segera menyusun rencana untuk bertemu dengan calon pembeli kalung tersebut. Setelah urusan dengan Lina selesai, Viona merasa sedikit lega. Dia tahu bahwa setelah ini pasti Mark akan marah kepadanya,
Sesampainya di rumah, Mark dan Viona melangkah ke dalam dengan suasana yang penuh ketegangan. Hati Viona berdegup tak karuan, rasa berdebar akibat ulah Mark yang telah mengemudikan mobilnya seperti dalam balapan.Suara mesin mobil yang meraung-raung mengisi telinganya, seakan merobek kedamaian yang dia dambakan. Ketika pintu rumah akhirnya terbuka, Viona melangkah masuk terlebih dahulu, membiarkan langkahnya menghilang dalam kegelapan interior yang mewah.“Tunggu, Viona!” teriak Mark, suaranya keras dan penuh komando, seolah petir di langit malam. Viona berhenti, tubuhnya terasa kaku di ambang pintu, tapi dia enggan menoleh, membiarkan suaranya mengisi ruang di sekitarnya.“Ibu meminta kita untuk berkunjung ke rumahnya,” lanjut Mark dengan nada yang seperti es yang retak, “Jika kamu ingin membuat masalah, nanti saja setelah kembali dari rumah orang tuaku.”Kata-kata Mark seperti belati yang menembus hati Viona. Mereka berada di ambang jurang, hubungan mereka terkatung-katung di tepi ke
Mark tersedak, sementara Viona menundukkan kepala, merasa seperti dunia runtuh di sekelilingnya. “Ibu, kenapa tiba-tiba membahas tentang anak?” Mark membuka percakapan, suaranya berusaha tenang namun ada nada tersirat ketidaknyamanan.Di seberangnya, Sarah, ibu Mark, menatap putranya dengan tatapan datar yang tak terbaca. Wanita paruh baya itu, dengan garis-garis waktu di wajahnya yang menunjukkan kebijaksanaan hidup, tersenyum tipis.“Mark, kau pun tahu, sudah saatnya kalian memikirkan untuk memiliki keturunan. Usiamu juga sudah tidak lagi muda, dan aku ingin melihat cucu sebelum terlalu tua untuk bermain dengan mereka."Mark menghela napas panjang, menimbang kata-katanya sebelum menjawab. "Ibu, Viona masih sangat muda. Aku tidak ingin terburu-buru. Kami masih ingin menikmati waktu berdua," balasnya dengan nada yang seimbang antara lembut dan tegas.Di sisi lain meja, Viona duduk diam. Wanita muda dengan rambut panjang hitam dan mata yang selalu tampak penuh perasaan itu, hanya terse
Di dalam rumah yang besar dan megah, keheningan malam terasa lebih mencekam bagi Mark. Ia memilih untuk tidur di kamar tamu, menjauh dari Viona, bukan karena keinginan tetapi karena suasana hatinya yang buruk.Hubungan mereka yang retak membuatnya merasa tidak siap untuk berbicara, apalagi mencoba membujuk Viona. Namun, di keheningan malam yang dingin, Mark merasakan kehampaan yang menggigit.Biasanya, Viona akan dengan tiba-tiba merapat ke pelukannya, mencari kehangatan dan kenyamanan. Kini, tanpa kehadiran Viona di sampingnya, Mark merasa seperti separuh dirinya hilang.Pagi hari, Mark mendengar suara aktivitas di dapur. Harapan sejenak menyelinap di hatinya; mungkin Viona akhirnya kembali membuat sarapan setelah beberapa hari menghilang dari dapur.Ia keluar dari kamar dengan harapan untuk melihat wajah Viona, tetapi yang ia temukan hanya para pelayan yang sibuk menyiapkan sarapan."Di mana Viona?" tanya Mark, suaranya penuh dengan keingintahuan.Salah seorang pelayan, dengan ekspr
Di ruang tamu yang remang, dengan lampu meja yang sinarnya temaram, Viona duduk dengan gelisah. Matanya menatap Sarah, bibinya, yang sejak tadi berusaha meyakinkannya agar mempertimbangkan kembali keputusannya. Keputusan untuk meninggalkan Mark.Sarah menghela napas panjang, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. “Viona, kau harus berpikir dua kali sebelum melakukan ini. Apa yang akan kau lakukan tanpa Mark? Kau tahu sendiri, hidup ini tidak mudah. Dan menjadi penyanyi opera... apakah itu benar-benar pilihan yang bijak?”Viona merasakan hatinya mencengkeram keras. Baginya, keputusan ini adalah jalan yang terbaik, satu-satunya jalan untuk keluar dari bayang-bayang Stella, wanita yang selalu menjadi prioritas Mark. Ia menatap bibinya dengan penuh keyakinan, meski hatinya tak sepenuhnya tenang.“Aku akan menjadi penyanyi opera lagi, Bibi. Aku akan mencari uang untuk biaya hidupku dan juga pengobatan Ibu. Bibi jangan khawatir, aku tidak akan menyusahkanmu dan Paman,” kata Viona