"Argh! Di mana kau, Viona?!" pekik Mark, suaranya melengking dengan kemarahan yang tak terbendung.Ia mengangkat tangan, lalu meninju tembok kamarnya dengan kekuatan yang cukup untuk membuat dinding bergetar. Matanya menyala penuh amarah, menatap kosong ke arah kamar yang kini terasa terlalu sepi dan dingin.Bayangan Viona seolah menghantui setiap sudut ruangan, tapi tubuhnya tak ada di sana. Sudah berhari-hari ia pergi, meninggalkan rumah tanpa sepatah kata pun.Bahkan pesan-pesan yang dikirimnya, yang awalnya hanya berisi kata-kata tanya penuh kecemasan, kini telah berubah menjadi ancaman terselubung, tapi semua itu tetap tak mendapat balasan.Mark menghempaskan tubuhnya ke tepi tempat tidur, jemarinya menjambak rambut hitamnya yang berantakan. Ia merasa seperti berada di jurang kehancuran, ditinggalkan oleh satu-satunya orang yang seharusnya menjadi miliknya sepenuhnya. Kepalanya tertunduk, napasnya berat."Aku pastikan kau akan kembali padaku, Viona," gumamnya, suaranya rendah nam
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Cahaya mentari pagi mengintip malu-malu melalui celah tirai putih di kamar hotel Viona. Udara segar yang masuk dari balkon menyapa wajahnya yang baru terbangun dari tidur malam yang tidak sepenuhnya tenang. Rasa lelah masih melekat di pundaknya, namun pemandangan indah yang terhampar di depan mata segera membuai indra Viona. Pantai Barceloneta yang elok terbentang dengan pasir putih bersih dan ombak kecil yang menyapa garis pantai, seakan mengundangnya untuk beranjak dari tempat tidur dan merasakan angin segar.Viona memandang keluar dengan mata berbinar. Ia meraih jubah tipisnya, mengenakannya perlahan, dan berjalan menuju balkon. Angin pagi yang lembut berhembus, membelai wajahnya. Segarnya udara pantai begitu memanjakan, mengusir sisa-sisa rasa lelah di tubuhnya. "Indah dan segar sekali," gumamnya, sambil merentangkan kedua tangannya. Sebuah senyum perlahan terbit di bibirnya, menikmati momen damai ini yang jarang sekali ia rasakan dalam ke
"Kau gila, huh? Apa yang ingin kau lakukan? Untuk apa bertemu dengan Randy? Jangan macam-macam, Mark!" seru Viona, suaranya tajam dan penuh amarah.Ia menepis tangan Mark dengan kasar, merasakan panas di sekujur tubuhnya akibat dari perdebatan yang tak kunjung usai. Matanya berkilat dengan kemarahan yang terpendam, tetapi ia tahu harus tetap tegar.Mark hanya tersenyum sinis, tatapan tajamnya menancap di wajah Viona. “Aku hanya ingin bicara dengannya, Viona. Kenapa? Kau takut? Takut ketahuan kalau kau dan dia memiliki hubungan serius, bukan sekadar rekan kerja?” suaranya penuh dengan sindiran, seakan menikam langsung ke jantung hati Viona.Plak!Tangan Viona mendarat di pipi Mark, suaranya nyaring memecah kesunyian malam. Untuk sesaat, dunia terasa berhenti. Udara yang lembap dari laut di sekitar mereka pun seolah menahan napas."Kau selalu menuduhku, Mark!" jerit Viona, nadanya bergetar. “Kau tak pernah sadar diri dengan apa yang kau lakukan selama empat tahun pernikahan kita!" Air m
“Kau ingin bicara denganku, Tuan Mark?” tanya Randy dengan sopan, meski nada suaranya tegas. Matanya menatap lurus pada pria di depannya, tanpa ragu sedikit pun.Mark perlahan berbalik, wajahnya menampilkan kemarahan yang sulit disembunyikan. “Apa yang sebenarnya kau inginkan dari istriku, Randy?” desisnya dingin, seperti ular yang siap menyerang. Di setiap kata yang keluar, terdengar kekecewaan dan kepemilikan yang teramat besar.Randy mengangkat alisnya, terkejut dengan tuduhan langsung yang dilontarkan kepadanya. "Kau tahu, Viona adalah penyanyi opera yang luar biasa berbakat. Aku, sebagai pemilik Opera Happy Music, tentunya ingin bekerja sama dengannya. Lantas, apa maksudmu dengan pertanyaan itu?” jawab Randy, tenang namun waspada, membaca emosi yang berkobar dari pria di hadapannya.Mark menggeram, melangkah maju, mendekati Randy dengan penuh intensitas. “Jangan mengelak dari pertanyaanku, Randy. Aku sedang berbicara serius denganmu!” suaranya mendesak, penuh amarah yang siap mel
Pagi itu, cahaya matahari yang lembut menerobos masuk ke dalam ruang makan hotel mewah, menyinari wajah Viona yang baru saja menyelesaikan sarapannya.Aroma kopi masih samar di udara, tetapi Viona sudah kehilangan minat pada apa pun. Perhatiannya kini tertuju pada sosok yang berdiri di hadapannya. Mark. Suaminya.Mark duduk dengan kasar di hadapannya, tatapannya penuh dengan kekalutan yang sulit disembunyikan. Wajahnya memerah, dan meski ia berusaha menenangkan diri, amarahnya jelas terbaca dari napasnya yang pendek-pendek."Jadi, kapan kau akan pulang ke rumah?" Mark bertanya dengan suara datar, seakan mencoba menyembunyikan emosi yang bergemuruh di dalam dirinya.Viona menatapnya dengan mata yang penuh kelelahan, enggan berdebat namun tahu itu tak bisa dihindari. “Aku tidak akan pulang,” jawabnya dengan tenang, meski di dalam hatinya bergejolak. Ia menarik napas panjang sebelum melanjutkan, “Semua ini sudah selesai, Mark. Tidak ada lagi yang perlu ditunggu.”Mark mengepalkan tangann
“Jangan pernah menggangguku lagi, Mark!” ucapnya dengan tegas.Viona melangkah dengan langkah gontai, meninggalkan ruang makan dengan perasaan berat. Ia tak bisa lagi mendengar suara Mark yang terus memaksanya.Sesak di dadanya tak terbendung. Setiap kata yang diucapkan Mark menggema di telinganya, seakan menekan jiwa yang selama ini sudah tertindas.“Apa yang kulakukan? Mempertahankan bayi itu, jika aku benar-benar hamil?” Viona mengusap wajahnya pelan.“Aku harus memastikan terlebih dahulu,” ucapnya dengan penuh ketegangan.Saat sampai di kamar, ia menutup pintu perlahan dan duduk di tepi tempat tidur, matanya kosong menatap lantai. Dengan gerakan lambat, Viona mengusap wajahnya yang dipenuhi kelelahan dan kebingungan.Di depannya, kalender tergantung di dinding, seakan menatapnya kembali, menuntut perhatiannya. “Hh! Ini benar-benar gila.”Ia menelan ludah, pikirannya tak bisa berhenti berputar. Tangannya gemetar ketika ia mulai menghitung tanggal. Viona berhenti sejenak, jantungnya
Waktu sudah menunjuk angka delapan malam.Malam itu, lampu-lampu panggung yang megah memancarkan cahaya lembut ke seluruh ruangan, memantul pada tirai beludru merah yang menjuntai di setiap sudut teater opera.Di belakang panggung, suasana hening menyelimuti, hanya terdengar bunyi kecil dari alat make-up yang digunakan para artis untuk bersiap.Di sudut ruangan yang penuh dengan cermin besar dan lampu-lampu terang, Viona duduk di depan meja rias, mencoba menenangkan diri di tengah badai pikiran yang berputar-putar di kepalanya.Tangannya gemetar sedikit saat ia merapikan eyeshadow terakhir di kelopak matanya. Ia mencoba fokus pada pantulan dirinya di cermin, wajah yang dipoles sempurna untuk panggung opera yang akan ia jalani.Namun, pikirannya terus berlari kembali ke ucapan Mark pagi tadi. "Benih itu ... masa subur ..." kata-kata itu terus menghantui setiap detik pikirannya. Rasa takut perlahan merambat ke seluruh tubuhnya.Tiba-tiba, pintu ruang rias terbuka pelan, dan Lina, sahaba
Mark duduk di bangku yang menghadap ke lautan, tatapannya kosong menembus deburan ombak yang datang silih berganti. Asap rokok yang mengepul dari bibirnya melayang di udara malam yang dingin, seolah membawa semua kekesalan dan kemarahan yang ia pendam dalam hati.Langit gelap di atasnya berbaur dengan kilauan bintang, tapi pikirannya sama sekali tidak tertuju pada keindahan alam yang ada di depannya. Semua yang ada di dalam benaknya hanyalah satu hal: Viona.Ben berjalan perlahan mendekati Mark, langkah kakinya nyaris tak terdengar di atas pasir yang basah. Dia berhenti di samping majikannya, menatap sejenak ke arah pantai sebelum akhirnya berbicara, "Tuan, Nona Viona sedang tampil sekarang. Apakah Anda ingin melihatnya?"Mark tidak langsung menjawab. Ia mengisap rokoknya sekali lagi, menahan napas sejenak sebelum menghembuskannya dengan perlahan.Tatapannya tetap kosong, tidak ada sedikit pun antusiasme dalam suaranya ketika ia berkata, "Tidak, Ben. Aku tidak tertarik untuk melihat a