"Kau gila, huh? Apa yang ingin kau lakukan? Untuk apa bertemu dengan Randy? Jangan macam-macam, Mark!" seru Viona, suaranya tajam dan penuh amarah.Ia menepis tangan Mark dengan kasar, merasakan panas di sekujur tubuhnya akibat dari perdebatan yang tak kunjung usai. Matanya berkilat dengan kemarahan yang terpendam, tetapi ia tahu harus tetap tegar.Mark hanya tersenyum sinis, tatapan tajamnya menancap di wajah Viona. “Aku hanya ingin bicara dengannya, Viona. Kenapa? Kau takut? Takut ketahuan kalau kau dan dia memiliki hubungan serius, bukan sekadar rekan kerja?” suaranya penuh dengan sindiran, seakan menikam langsung ke jantung hati Viona.Plak!Tangan Viona mendarat di pipi Mark, suaranya nyaring memecah kesunyian malam. Untuk sesaat, dunia terasa berhenti. Udara yang lembap dari laut di sekitar mereka pun seolah menahan napas."Kau selalu menuduhku, Mark!" jerit Viona, nadanya bergetar. “Kau tak pernah sadar diri dengan apa yang kau lakukan selama empat tahun pernikahan kita!" Air m
“Kau ingin bicara denganku, Tuan Mark?” tanya Randy dengan sopan, meski nada suaranya tegas. Matanya menatap lurus pada pria di depannya, tanpa ragu sedikit pun.Mark perlahan berbalik, wajahnya menampilkan kemarahan yang sulit disembunyikan. “Apa yang sebenarnya kau inginkan dari istriku, Randy?” desisnya dingin, seperti ular yang siap menyerang. Di setiap kata yang keluar, terdengar kekecewaan dan kepemilikan yang teramat besar.Randy mengangkat alisnya, terkejut dengan tuduhan langsung yang dilontarkan kepadanya. "Kau tahu, Viona adalah penyanyi opera yang luar biasa berbakat. Aku, sebagai pemilik Opera Happy Music, tentunya ingin bekerja sama dengannya. Lantas, apa maksudmu dengan pertanyaan itu?” jawab Randy, tenang namun waspada, membaca emosi yang berkobar dari pria di hadapannya.Mark menggeram, melangkah maju, mendekati Randy dengan penuh intensitas. “Jangan mengelak dari pertanyaanku, Randy. Aku sedang berbicara serius denganmu!” suaranya mendesak, penuh amarah yang siap mel
Pagi itu, cahaya matahari yang lembut menerobos masuk ke dalam ruang makan hotel mewah, menyinari wajah Viona yang baru saja menyelesaikan sarapannya.Aroma kopi masih samar di udara, tetapi Viona sudah kehilangan minat pada apa pun. Perhatiannya kini tertuju pada sosok yang berdiri di hadapannya. Mark. Suaminya.Mark duduk dengan kasar di hadapannya, tatapannya penuh dengan kekalutan yang sulit disembunyikan. Wajahnya memerah, dan meski ia berusaha menenangkan diri, amarahnya jelas terbaca dari napasnya yang pendek-pendek."Jadi, kapan kau akan pulang ke rumah?" Mark bertanya dengan suara datar, seakan mencoba menyembunyikan emosi yang bergemuruh di dalam dirinya.Viona menatapnya dengan mata yang penuh kelelahan, enggan berdebat namun tahu itu tak bisa dihindari. “Aku tidak akan pulang,” jawabnya dengan tenang, meski di dalam hatinya bergejolak. Ia menarik napas panjang sebelum melanjutkan, “Semua ini sudah selesai, Mark. Tidak ada lagi yang perlu ditunggu.”Mark mengepalkan tangann
“Jangan pernah menggangguku lagi, Mark!” ucapnya dengan tegas.Viona melangkah dengan langkah gontai, meninggalkan ruang makan dengan perasaan berat. Ia tak bisa lagi mendengar suara Mark yang terus memaksanya.Sesak di dadanya tak terbendung. Setiap kata yang diucapkan Mark menggema di telinganya, seakan menekan jiwa yang selama ini sudah tertindas.“Apa yang kulakukan? Mempertahankan bayi itu, jika aku benar-benar hamil?” Viona mengusap wajahnya pelan.“Aku harus memastikan terlebih dahulu,” ucapnya dengan penuh ketegangan.Saat sampai di kamar, ia menutup pintu perlahan dan duduk di tepi tempat tidur, matanya kosong menatap lantai. Dengan gerakan lambat, Viona mengusap wajahnya yang dipenuhi kelelahan dan kebingungan.Di depannya, kalender tergantung di dinding, seakan menatapnya kembali, menuntut perhatiannya. “Hh! Ini benar-benar gila.”Ia menelan ludah, pikirannya tak bisa berhenti berputar. Tangannya gemetar ketika ia mulai menghitung tanggal. Viona berhenti sejenak, jantungnya
Waktu sudah menunjuk angka delapan malam.Malam itu, lampu-lampu panggung yang megah memancarkan cahaya lembut ke seluruh ruangan, memantul pada tirai beludru merah yang menjuntai di setiap sudut teater opera.Di belakang panggung, suasana hening menyelimuti, hanya terdengar bunyi kecil dari alat make-up yang digunakan para artis untuk bersiap.Di sudut ruangan yang penuh dengan cermin besar dan lampu-lampu terang, Viona duduk di depan meja rias, mencoba menenangkan diri di tengah badai pikiran yang berputar-putar di kepalanya.Tangannya gemetar sedikit saat ia merapikan eyeshadow terakhir di kelopak matanya. Ia mencoba fokus pada pantulan dirinya di cermin, wajah yang dipoles sempurna untuk panggung opera yang akan ia jalani.Namun, pikirannya terus berlari kembali ke ucapan Mark pagi tadi. "Benih itu ... masa subur ..." kata-kata itu terus menghantui setiap detik pikirannya. Rasa takut perlahan merambat ke seluruh tubuhnya.Tiba-tiba, pintu ruang rias terbuka pelan, dan Lina, sahaba
Mark duduk di bangku yang menghadap ke lautan, tatapannya kosong menembus deburan ombak yang datang silih berganti. Asap rokok yang mengepul dari bibirnya melayang di udara malam yang dingin, seolah membawa semua kekesalan dan kemarahan yang ia pendam dalam hati.Langit gelap di atasnya berbaur dengan kilauan bintang, tapi pikirannya sama sekali tidak tertuju pada keindahan alam yang ada di depannya. Semua yang ada di dalam benaknya hanyalah satu hal: Viona.Ben berjalan perlahan mendekati Mark, langkah kakinya nyaris tak terdengar di atas pasir yang basah. Dia berhenti di samping majikannya, menatap sejenak ke arah pantai sebelum akhirnya berbicara, "Tuan, Nona Viona sedang tampil sekarang. Apakah Anda ingin melihatnya?"Mark tidak langsung menjawab. Ia mengisap rokoknya sekali lagi, menahan napas sejenak sebelum menghembuskannya dengan perlahan.Tatapannya tetap kosong, tidak ada sedikit pun antusiasme dalam suaranya ketika ia berkata, "Tidak, Ben. Aku tidak tertarik untuk melihat a
Setelah dua jam penuh menunggu pentas berakhir, akhirnya Viona bisa menghela napas lega. Pementasan opera yang dipersiapkan dengan penuh keringat dan air mata itu telah berakhir dengan gemilang.Suara tepuk tangan yang bergemuruh dari penonton masih terngiang-ngiang di telinganya, membuat adrenalin dalam tubuhnya perlahan surut.Ia bisa merasakan perasaan puas yang mengalir dalam tiap tarikan napasnya, seolah udara malam itu adalah hadiah kecil dari alam semesta atas kerja kerasnya."Viona! Kau menjadi bintang di malam ini!" seru Lina dengan penuh semangat, mendekati sang sahabat dengan sorot mata yang memancarkan kekaguman yang tak terbantahkan.Viona tersenyum, senyum yang lebar namun sarat dengan kerendahan hati. "Semuanya menjadi bintang untuk malam ini, Lina," jawabnya, nadanya lembut namun tegas, seperti angin malam yang berbisik. "Kau pun melakukan yang terbaik untuk pentas kita di sini."Lina menggeleng pelan, tetap tak bisa mengalihkan pandangannya dari sosok Viona yang baru
Viona tersenyum tipis, senyum yang dingin dan mengandung makna mendalam, seperti tirai tipis yang menutupi lautan gelap. "Itu bukan urusanmu, Ben. Urus saja bos aroganmu itu," katanya dengan nada penuh ketegasan, setiap kata diucapkan dengan keteguhan yang hampir membekukan udara di sekelilingnya. "Aku tidak ingin melihatnya lagi di sini."Ben, meskipun memahami ketegasan Viona, memberanikan diri untuk menahan tangannya sebelum dia sempat beranjak pergi. Raut wajahnya dipenuhi dengan keraguan dan kecemasan, seakan kata-kata yang ingin dia ucapkan begitu berat, seberat batu karang yang terhempas oleh ombak laut.“Maaf, Nona Viona... tapi saya harus mengatakan hal ini,” ucapnya dengan suara rendah namun tegas, berusaha menyembunyikan kegugupan di balik nada suara yang bergetar.“Aku tidak mencintai Randy seperti yang kalian tuduhkan padaku, Ben. Jangan percaya dengan omong kosong bosmu itu,” kata Viona dengan nada yang cukup tegas, namun ada kilatan kesedihan yang tak tertahan di matany
Suara tawa riang mengisi ruang keluarga. Mark duduk di lantai beralas karpet, kedua bayi kembarnya berada di pelukannya. Di sebelahnya, Viona tertawa kecil sambil merapikan seragam anak sulung mereka, Leo, yang sedang bersiap berangkat ke sekolah.“Ayah, aku sudah besar. Aku bisa pasang sepatu sendiri,” ucap Alleta dengan penuh percaya diri, meski tali sepatunya masih belum terikat sempurna.Mark tersenyum sambil mengangkat salah satu bayi, yang memekik kegirangan. “Benar, Nak, Ayah sekarang sibuk sama dua jagoan kecil ini. Kamu harus bantu Mama, ya?”Alleta mengangguk dengan wajah ceria, lalu melompat-lompat di tempat. “Iya, Pa. Nanti aku belajar cara mengganti popok juga!”Viona tertawa sambil menggelengkan kepala. "Kau kakak yang baik untuk kedua adikmu, Alleta.”Alleta mengecup pipi ibunya, bahagia mendapatkan pujiannya.Salah satu bayi menoleh ke arah Mark dan berseru, “Ayah!” sambil meraih wajahnya dengan tangan mungilnya. Yang satunya tidak mau kalah dan berseru, “Ibu!” dengan
Satu tahun kemudian …."Ayah, lihat boneka Letta!" seru Alleta dengan suara riang, mengangkat boneka Barbie bergaun merah berkilauan. Matanya berbinar-binar, pipinya memerah karena kegirangan.Mark menunduk, mengangkat Alleta ke pangkuannya. "Siapa yang memberikan ini, hm?" tanyanya sambil tersenyum lebar."Kakek Alex!" jawab Alleta antusias, memeluk boneka itu erat. "Kata Kakek, ini spesial!""Spesial sekali, ya? Kamu harus bilang terima kasih sama Kakek Alex," ujar Mark, mengusap rambut anak perempuannya yang lebat dan hitam.Alleta bangkit dari pangkuan Mark berjalan cepat mengecup pipi Alex, "Thank you, grand Pa!" celoteh Alleta dengan suara cerianya.Alex, yang duduk di sofa bersebelahan dengan Viona, hanya terkekeh. "Anak ini benar-benar tahu bagaimana mencuri hati seorang kakek," katanya sambil mengangguk puas."Ayah saja yang terlalu memanjakannya." goda Viona sambil membawa nampan berisi minuman hangat. Bayi mungil mereka kini sedang aktif-aktifnya. Namanya Alleta, ceria dan
Mark terbangun dengan mata yang terasa berat. Ia melihat ke sekeliling kamar dengan bingung, suara tangisan bayi membelah keheningan malam. Pukul tiga pagi, pikirnya sambil mengusap wajah yang lelah."Viona?" panggilnya pelan, tapi tidak ada jawaban. Ia berbalik, menemukan sisi ranjang Viona kosong.Mark bergegas keluar kamar, menuju suara tangisan itu. Di ruang bayi, ia melihat Viona dengan sabar menggendong bayi mereka, menepuk-nepuk punggungnya yang mungil dengan lembut."Kenapa kau tidak membangunkanku?" tanya Mark, suaranya serak.Viona menoleh dengan senyum lelah tapi lembut. "Kau sudah terlalu capek, Mark. Biar aku yang mengurusnya.""Tidak, ini juga tanggung jawabku," kata Mark tegas, lalu mendekat untuk mengambil bayi mereka. Namun begitu bayi itu berpindah ke pelukannya, tangisannya malah semakin kencang."Kenapa dia makin menangis? Aku sudah pegang dengan benar, kan?" tanya Mark panik, mengayun-ayunkan bayi mereka dengan canggung.Suara melengking yang memekakkan telinga b
Viona merasakan kontraksi yang begitu kuat saat sedang duduk di sofa. Tiba-tiba, aliran hangat merembes ke bawah, membuatnya panik."Mark!" panggilnya dengan suara gemetar. "Air ketubanku pecah!"Mark, yang sedang membaca laporan di ruang kerjanya, langsung berlari ke ruang tamu dengan wajah panik. "Apa? Pecah? Apa yang harus kita lakukan?!" Serangkaian pertanyaan meluncur tanpa henti dari mulutnya.Mark mendekat namun tak tahu harus apa. Rasa panik menguasai pikirannya. "Bagaimana ini?" Sakitkah?" Pertanyaan konyol Mark malah keluar melihat wajah puas istrinya yang kembali merasakan kontraksi."Rumah sakit, Mark! Kita harus segera ke rumah sakit!" kata Viona, mencoba tetap tenang meski rasa sakit mulai menusuk.Mark mengangguk, lalu berlari ke sana kemari, mengambil kunci mobil, tas bayi, dan bahkan jas kerjanya."Di mana kunci mobil? Ah, ini! Tas? Apa kita butuh pakaian? Kenapa pakaianku yang kubawa? Ya Tuhan, aku bahkan tidak tahu apa yang harus aku lakukan!"Viona tersenyum lemah
Di sebuah toko perlengkapan bayi yang megah, Mark dan Viona sibuk memilih barang untuk menyambut kelahiran buah hati mereka.Usia kehamilan Viona sudah menginjak sembilan bulan, dan pasangan itu tengah dipenuhi suka cita.Mereka sengaja tidak mengetahui jenis kelamin bayi mereka, berharap mendapatkan kejutan yang manis saat kelahiran tiba.Mark memegang sepasang sepatu bayi mungil berwarna putih di tangannya. Ia memandangi sepatu itu dengan tatapan penuh rasa bangga. "Bagaimana menurutmu? Sepatu ini sempurna, bukan?"Viona yang sedang memeriksa selimut bayi bermotif bunga menoleh, alisnya terangkat. "Putih lagi, Mark? Kita sudah punya lebih dari cukup barang putih. Haruskan semuanya berwarna polos?""Putih itu elegan dan netral," Mark menjawab sambil mengangkat bahu, senyumnya lebar. "Lagipula, kita tidak tahu jenis kelamin bayi. Putih adalah pilihan yang paling aman."Viona menghela napas panjang, meletakkan selimut yang sedang ia periksa. "Mark, bayi kita juga butuh warna! Hidup itu
Mark sedang berdiri di depan jendela besar kantornya. Langit mendung di luar, menggambarkan suasana kota yang penuh hiruk-pikuk.Ia memutar gelas kopi di tangannya, pikirannya melayang. Suara ketukan pintu memecah lamunannya."Masuk," katanya tegas, tanpa menoleh.Ben, sekretaris pribadinya, masuk dengan langkah hati-hati. Wajahnya tampak lebih serius dari biasanya.“Tuan Mark, ada kabar penting yang perlu Anda ketahui,” ucap Ben dengan nada pelan tapi jelas. Ben tampak ragu namun ia harus melakukan ini.Mark mengangkat alis dan memutar tubuhnya, menatap Ben dengan ekspresi datar. “Apa itu, Ben?”Ben menelan ludah, seolah mencari cara terbaik untuk menyampaikan berita tersebut. “Tuan saya tahu anda tidak mau mendengar laporan tentang nona Stella, namun kali ini anda harus mendengarkan. Stella … dia sudah tiada.”Mark mengerutkan kening, matanya menyipit. “Maksudmu … sudah tiada? Jelaskan, Ben.”Ben menarik napas dalam sebelum melanjutkan. “Kondisinya semakin memburuk di rumah sakit te
Pagi itu, sinar matahari menembus jendela besar di ruang tamu. Viona sedang merapikan bunga di vas ketika bel pintu berbunyi.Ia berjalan menuju pintu dan membuka perlahan, menatap sosok yang sudah familiar berdiri di depan rumah.“Ayah,” sapanya lembut. Senyum kecil menghiasi wajahnya.Alex lega melihat senyum segar Viona. Mereka berdua berpelukan dan Viona mengajak masuk mertuanya itu.Alex, dengan jas abu-abu yang rapi, mengangguk singkat. “Pagi, Viona. Maaf datang tanpa memberi tahu. Aku sengaja datang untuk melihat keadaanmu."“Tidak perlu memberi tahu juga tidak masalah, Ayah. Silakan masuk. Aku akan menyiapkan teh hijau kesukaanmu," senyum akrab keduanya bagai ayah dan anak. Viona mempersilahkan ayah mertuanya itu duduk di sofa.Alex melangkah masuk, memperhatikan interior rumah yang terasa hangat dan nyaman. Bahagia melihat keadaan menantunya yang sehat. Ia duduk di sofa, sementara Viona menuangkan teh hangat untuknya.“Ada sesuatu yang ingin Ayah bicarakan?” Viona bertanya, d
Pintu rumah megah itu terbuka dengan suara klik lembut, memperlihatkan sosok Mark yang baru saja pulang.Jas hitamnya masih rapi, meskipun ekspresi wajahnya terlihat tegang. Ia meletakkan tas kerjanya di meja ruang tamu tanpa berkata apa-apa.“Mark,” suara Viona yang lembut menyambutnya dari sofa. Wanita itu menoleh dari dokumen yang sedang ia baca, wajahnya menyiratkan kekhawatiran.Mark mengangguk singkat. “Ada apa?” tanyanya dengan nada datar, meskipun matanya sedikit melunak saat melihat Viona.Hati Mark perih melihat istrinya yang hamil dan selama ini ia acuhkan. Viona mendekat dan debar kerinduan Mark membuncah melihat wajah cantik penuh kesabaran Viona.Viona menatapnya ragu sejenak sebelum akhirnya berbicara, memilih kata-katanya dengan hati-hati.“Mila meneleponku tadi siang. Dia … memarahiku, katanya semua ini salahku karena aku yang membuat putrinya kesusahan dan sakit. Jujur Mark, apa benar kau menutup akses Stella di rumah sakitmu?”Mark menghela napas berat, kemudian dud
Langit pagi yang cerah terasa kontras dengan suasana hati Mila yang kacau balau.Stella terbaring lemah di ruang perawatan sebuah rumah sakit biasa, jauh dari kenyamanan fasilitas rumah sakit mewah milik Mark. Nafas Stella masih berat, namun kondisinya perlahan stabil.Ranjang kecil dengan kasur yang tidak nyaman jauh dari kata mewah seperti yang biasa Milla terima dari rumah sakit sebelumnya.Mila sedih menatap putrinya berjajar dalam ruangan besar bersama pasien lain yang entah sakit apa.Tirai untuk privasi ruangan pasien memang mampu menutup tubuh putrinya agar tidak terlihat pasien lain tetapi malah membuat ia sangat kegerahan.Apalagi kamar mandi yang digunakan juga bersama. Mila tidak yakin keadaan putrinya membaik dengan segala fasilitas minim yang ia lihat saat ini.Mila sampai tidak bisa menyembunyikan kemarahan dan frustasinya. Ia menggenggam erat ponselnya, mencoba menghubungi Mark lagi untuk yang kesekian kalinya, tetapi tidak ada jawaban. Mila tahu Mark dengan sengaja me