Mark berjalan mondar-mandir di ruang tamu yang gelap, dengan langkah yang semakin cepat dan gelisah. Matanya yang gelap, berkilat tajam di bawah sorotan lampu temaram, dipenuhi dengan api kemarahan yang tak kunjung padam.Suasana hatinya sehitam malam di luar jendela, dan pikirannya terus dibanjiri oleh pertanyaan yang sama: di mana Viona? Setiap sudut kota sudah ia jelajahi, setiap kemungkinan sudah ia perhitungkan, tetapi Viona seolah lenyap ditelan bumi.Ponselnya berdering tiba-tiba, memecah keheningan yang menekan. Mark dengan cepat meraih ponsel itu, berharap kabar yang dinantikannya. Ben, asistennya yang setia, akhirnya menghubunginya setelah lama tak memberikan kabar."Tuan. Saya sudah menemukan keberadaan Nona Viona," suara Ben terdengar di seberang telepon, penuh kehati-hatian.Mark merasakan jantungnya berdegup kencang, campuran antara harapan dan kemarahan yang mendidih. "Cepat katakan di mana dia!" titahnya dingin, suaranya terdengar seperti bilah pisau yang mengiris udar
Mark mengikuti taksi yang digunakan Viona dengan jarak yang cukup dekat untuk memastikan tidak kehilangan jejak, namun cukup jauh agar tak terlihat. Matanya yang tajam berkilat penuh amarah dan ketegangan, mengamati setiap belokan yang diambil oleh mobil tersebut. Ada kekuatan tak kasatmata yang menariknya ke depan, seolah setiap meter yang ia tempuh mendekatkannya pada jawaban dari kebingungannya.“Aku harus tahu,” gumam Mark dengan nada rendah, hampir seperti desisan ular yang siap menyerang. “Aku harus memastikan apakah dia pulang ke rumah atau ke tempat lain. Kali ini, aku tidak akan membiarkan Viona meninggalkan rumah kita lagi. Tidak akan.”Di dalam taksi, Viona duduk di pojok, menyandarkan kepalanya pada kaca jendela. Pandangannya kosong, melayang jauh keluar jendela, mengikuti arus lampu kota yang berkelebat cepat. Di tangannya, ponsel terus bergetar dengan pesan-pesan dan panggilan tak terjawab dari Mark. Ia menatap layar ponselnya dengan tatapan lelah.“Kenapa di saat aku
"Jangan membawa pria lain dalam urusan rumah tangga kita, Mark!" suara Viona menggema di dalam kamar itu, tegas dan penuh ketegasan, meskipun di dalam hatinya, ada rasa takut yang menggelayut, takut akan kenyataan yang harus ia hadapi, takut akan keputusan yang harus ia buat.Mark hanya menyunggingkan senyum, senyum yang tidak mengandung kebahagiaan, melainkan sinisme yang terbungkus dalam selubung kepalsuan."Lantas, apa lagi yang ingin kau bahas, huh?" balas Mark dengan nada yang tak kalah dingin, matanya yang gelap menatap Viona seolah menantangnya untuk melanjutkan.Viona menarik napasnya dalam-dalam, mencoba mengumpulkan kekuatan dari dalam dirinya, menatap wajah pria yang selama ini menjadi suaminya, namun bukan sebagai suami yang penuh kasih, melainkan sebagai pria yang telah menghancurkan harapannya."Sudah kukatakan berulang kali padamu. Aku ingin bercerai denganmu agar kau bebas bisa bersama dengan kekasihmu—" kata-kata Viona terputus oleh teriakan Mark yang meledak-ledak, p
Lina membuka pintu apartemennya dengan cepat saat Viona tiba, tubuhnya yang lemah dan bergetar terlihat begitu rapuh di bawah pancaran lampu malam.Viona, yang air matanya terus mengalir tanpa henti, segera merangkul sahabatnya. Tangisannya begitu lepas, seolah-olah ia ingin membebaskan semua beban yang menyesakkan dadanya.“Tenangkan dirimu, Viona,” bisik Lina lembut, suaranya seperti angin sepoi yang mencoba menenangkan badai. Ia membawa Viona masuk ke dalam apartemennya yang sepi, sebuah ruang yang seolah-olah diciptakan untuk kesendirian dan keheningan.Mereka duduk di sofa ruang tengah, tempat di mana keheningan menjadi saksi bisu perasaan yang membuncah di antara mereka.“Kau bisa tinggal di sini sepuasmu, Viona,” lanjut Lina, berusaha menciptakan kenyamanan di tengah kerapuhan temannya. “Aku hanya tinggal seorang diri, dan aku senang kau mau tinggal di sini. Tidak ada yang lebih penting dari dirimu sekarang.”Viona, dengan mata yang masih basah dan bibir gemetar, akhirnya terse
Lina menghela napas panjang, sebuah tarikan udara yang seolah mengangkat semua beban di dadanya, lalu memeluk Viona dengan erat.Di dalam pelukan itu, ia berharap mampu memberikan kekuatan yang mungkin sudah lama hilang dari hati sahabatnya. Kegelapan malam di luar seakan menggambarkan perasaan Viona yang dipenuhi oleh kesedihan tak berujung.“Kau tidak bodoh, Viona. Kau hanya mencintai seseorang yang mungkin belum belajar bagaimana mencintai balik. Tapi, kau tidak boleh terus-menerus mengorbankan dirimu. Ada batasnya.” Suara Lina lembut namun tegas, menggema di ruangan yang hening.Kalimat itu seperti mencoba menggetarkan dinding-dinding hati Viona yang rapuh, mencoba membuatnya sadar bahwa dirinya pantas untuk diperjuangkan, bukan hanya menjadi korban dari hubungan yang tak pernah berkembang.Viona tersenyum tipis, senyumnya samar dan penuh kepedihan yang terpendam. “Itulah kenapa aku pergi dulu dari hidup Mark. Siapa tahu dia mau mengubah hidupnya dan ... meninggalkan Stella.” Kata
Waktu sudah menunjukkan angka sembilan pagi. Matahari di luar jendela ruang kantor yang besar bersinar terang, seolah tidak peduli dengan ketegangan yang menyelimuti ruangan. Di dalam, Mark duduk di belakang meja kerjanya, tatapan tajamnya terpaku pada layar ponselnya yang tak henti-hentinya diperiksa, menunggu balasan yang tak kunjung tiba. Pesan yang ia kirim kepada Viona sejak semalam masih terbengkalai tanpa jawaban, dan setiap detik yang berlalu semakin menambah beban di dadanya.Ben, asisten pribadinya, berdiri di dekat pintu, merasa canggung melihat bosnya yang tampak jauh lebih gelisah dari biasanya. Setelah beberapa saat, ia merasa perlu untuk berbicara.“Tuan, meeting sebentar lagi dimulai. Apakah ingin diundur terlebih dahulu?” tanyanya hati-hati, suaranya lembut tapi penuh kehati-hatian, menyadari betapa tegang suasana hari ini.Mark mengangkat kepalanya perlahan, matanya memandang kosong ke arah Ben sejenak sebelum akhirnya ia menghela napas panjang. Napas yang seolah-
"Permisi, Tuan. Ada Nyonya Sarah di luar," suara lembut sang pelayan yang tiba-tiba menginterupsi keheningan ruang kerja membuat Mark mendongak.Ia sedang tenggelam dalam tumpukan dokumen, berusaha menyibukkan diri dari kekosongan yang menggerogoti hatinya. Jemarinya berhenti memijat kening, tanda dari kebingungan yang mulai menyelinap dalam pikirannya."Ibu?" gumamnya, hampir tak percaya. Apa yang diinginkan ibunya sekarang? Dan, lebih penting lagi, apa yang akan ia katakan jika Sarah menanyakan Viona?Hatinya berdebar kencang. Viona tak ada di sini. Sejak mereka menikah empat tahun lalu, kehidupan rumah tangga mereka tak pernah harmonis, tak pernah terasa benar. Namun, di hadapan ibunya, ia tak bisa menunjukkan retakan-retakan dalam pernikahannya yang rapuh.Setelah menarik napas panjang, ia bangkit. Sepasang sepatu kulitnya berbunyi pelan saat ia melangkah keluar dari ruang kerja, menelusuri lorong yang hening.Setibanya di ruang tengah, Mark bisa melihat ibunya duduk anggun di ata
"Argh! Di mana kau, Viona?!" pekik Mark, suaranya melengking dengan kemarahan yang tak terbendung.Ia mengangkat tangan, lalu meninju tembok kamarnya dengan kekuatan yang cukup untuk membuat dinding bergetar. Matanya menyala penuh amarah, menatap kosong ke arah kamar yang kini terasa terlalu sepi dan dingin.Bayangan Viona seolah menghantui setiap sudut ruangan, tapi tubuhnya tak ada di sana. Sudah berhari-hari ia pergi, meninggalkan rumah tanpa sepatah kata pun.Bahkan pesan-pesan yang dikirimnya, yang awalnya hanya berisi kata-kata tanya penuh kecemasan, kini telah berubah menjadi ancaman terselubung, tapi semua itu tetap tak mendapat balasan.Mark menghempaskan tubuhnya ke tepi tempat tidur, jemarinya menjambak rambut hitamnya yang berantakan. Ia merasa seperti berada di jurang kehancuran, ditinggalkan oleh satu-satunya orang yang seharusnya menjadi miliknya sepenuhnya. Kepalanya tertunduk, napasnya berat."Aku pastikan kau akan kembali padaku, Viona," gumamnya, suaranya rendah nam