Di ruang tamu yang remang, dengan lampu meja yang sinarnya temaram, Viona duduk dengan gelisah. Matanya menatap Sarah, bibinya, yang sejak tadi berusaha meyakinkannya agar mempertimbangkan kembali keputusannya. Keputusan untuk meninggalkan Mark.Sarah menghela napas panjang, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. “Viona, kau harus berpikir dua kali sebelum melakukan ini. Apa yang akan kau lakukan tanpa Mark? Kau tahu sendiri, hidup ini tidak mudah. Dan menjadi penyanyi opera... apakah itu benar-benar pilihan yang bijak?”Viona merasakan hatinya mencengkeram keras. Baginya, keputusan ini adalah jalan yang terbaik, satu-satunya jalan untuk keluar dari bayang-bayang Stella, wanita yang selalu menjadi prioritas Mark. Ia menatap bibinya dengan penuh keyakinan, meski hatinya tak sepenuhnya tenang.“Aku akan menjadi penyanyi opera lagi, Bibi. Aku akan mencari uang untuk biaya hidupku dan juga pengobatan Ibu. Bibi jangan khawatir, aku tidak akan menyusahkanmu dan Paman,” kata Viona
Pagi itu, matahari baru saja terbit ketika Viona bersiap-siap di kamarnya. Ia sudah memutuskan, dan hari ini adalah langkah pertamanya untuk kembali ke panggung opera yang pernah ia tinggalkan.Matahari pagi menyelinap melalui jendela, memancarkan sinar lembut yang seolah memberikan semangat baru pada dirinya.Viona menatap bayangannya di cermin; wajah yang dulu dipenuhi kebahagiaan kini tampak berbeda, lebih tegas, meski ada guratan kesedihan yang tak bisa disembunyikan.Ketika ia keluar dari rumah, Lina sudah menunggunya di depan gerbang dengan mobil kecilnya. Mereka berdua menuju gedung studio Mels Opera, tempat di mana Viona dulu menghabiskan hari-harinya sebagai penyanyi.Perjalanan menuju gedung itu dipenuhi dengan keheningan, hanya sesekali terdengar suara kendaraan yang melintas. Lina merasa canggung, ingin menanyakan sesuatu tapi menahan diri hingga mereka tiba di tujuan.Setelah mobil terparkir, Lina akhirnya tak bisa menahan diri lagi. “Viona, kau benar-benar yakin dengan k
Brak!Mark menggebrak meja kerjanya, mengisi ruangan dengan suara yang menggema, memantul di dinding marmer dan lukisan-lukisan megah yang menggantung di sekitarnya.Mata Mark menyala penuh amarah, tatapannya menghunjam tajam ke wajah Ben yang pucat pasi. Lelaki itu meneguk ludah, merasa seperti seorang terhukum yang baru saja mendengar vonisnya."Jangan bilang wanita itu kembali bekerja di sana?" Mark menggeram, suaranya terdengar seperti suara binatang buas yang tengah terluka parah.Rahangnya mengeras, menonjolkan otot-otot yang tegang di sekitar lehernya, menandakan ketidaksenangan yang merasuki seluruh tubuhnya. Ben hanya bisa mengangguk ragu, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang.Ia tahu, saat-saat seperti ini adalah saat-saat di mana bosnya berubah menjadi sosok yang sangat menakutkan."I—Iya, Tuan," jawab Ben, suaranya gemetar. "Saya melihatnya secara langsung. Nyonya Viona masuk ke dalam gedung itu bersama sahabatnya."Mark mendengus, suaranya terdengar
Mark menggenggam tangan Viona dengan kekuatan yang nyaris menyakitkan, menariknya keluar dari ruang rawat ibunya. Di sepanjang lorong rumah sakit yang dingin dan sunyi, langkah-langkah mereka terdengar menggema, beradu dengan keramik putih yang membentang di bawah kaki.Wajah Viona memucat, tetapi dia tidak berkata apa-apa. Matanya menatap lurus ke depan, berusaha untuk tidak menunjukkan ketakutan yang perlahan merayap di dalam hatinya.“Mark, lepaskan aku!” pinta Viona, suaranya bergetar meskipun ia berusaha untuk terdengar tegar. Ia meronta, mencoba melepaskan tangannya dari genggaman Mark, tetapi pria itu tak bergeming.Genggamannya justru semakin kuat, seolah menegaskan bahwa ia tidak akan menyerah begitu saja. Hawa kemarahan terasa semakin kental di antara mereka, memenuhi udara dengan ketegangan yang nyaris meledak.Mark terus menyeretnya tanpa berkata-kata, wajahnya penuh dengan amarah yang terpendam, dan akhirnya berhenti di sudut lorong yang cukup sepi.Dia melepaskan genggam
Mark membeku seketika oleh kehadiran Stella yang tiba-tiba masuk ke dalam pembicaraan mereka.Bukan maksud Mark untuk membuat Viona membahas Stella. Namun, ucapan Viona yang mengalir deras, seperti sungai yang meluap di musim penghujan, tak bisa dibendung. Mata Viona yang hitam pekat bersinar tajam, memancarkan amarah yang sudah lama terpendam.“Jangan membawa wanita lain dalam masalah kita, Viona!” sergah Mark, suaranya meninggi namun bergetar, mencoba menahan amarah yang mendidih di dalam dirinya.Ia tidak ingin Viona menyeret nama Stella ke dalam rumah tangga mereka, seolah-olah wanita itu adalah duri yang merusak segala.Viona menyunggingkan senyum sinis, bibirnya yang merah merekah mengukir sebuah senyum yang tak dapat diartikan sekadar tanda persetujuan atau penolakan. Tatapan matanya seolah menelanjangi Mark, mengeksplorasi setiap inci dari pertahanan pria itu.“Terserah kau saja, Mark. Yang jelas, aku tetap ingin berpisah denganmu,” ucapnya tenang, namun tegas, seperti pisau y
Pertemuannya dengan Stella beberapa saat yang lalu masih membekas di benak Viona, seperti duri yang menancap dalam di hati. Kalimat-kalimat yang dilontarkan Stella menggema di kepalanya, mengguncang keputusannya yang selama ini menggantung di udara. Kini, dia semakin yakin.Dia harus berpisah dengan Mark. Tidak ada lagi alasan untuk bertahan dalam pernikahan yang hanya membawa luka dan kekecewaan. Dan lebih dari itu, dia ingin kembali menjadi penyanyi opera, merasakan kebebasan yang dirindukannya sejak lama.Saat itu, Viona melangkah keluar dari ruang rawat ibunya di rumah sakit, langkahnya mantap meskipun hatinya terasa berat. Takdir seakan menariknya kembali ke panggung opera, memanggilnya dengan lembut namun tegas. Tiba-tiba, suara seseorang memanggilnya.“Viona. Kau mau pergi ke mana?” tanya Andy, pamannya, yang baru saja datang dan melihat Viona di koridor rumah sakit.Viona menatap pamannya dengan tatapan datarnya, seolah-olah perasaannya tersembunyi di balik mata yang dingin. “
Viona menarik napas panjang, menyusuri lorong-lorong panjang gedung pertunjukan yang sunyi, akhirnya mencapai ruang make up yang penuh dengan kenangan masa lalu.Wajahnya bercahaya dengan peluh yang mengering, dan jantungnya masih berdebar keras, meski pertunjukan telah usai beberapa waktu lalu.Ia melangkah masuk, menatap bayangannya di cermin besar di depannya—seorang wanita dengan rambut hitam yang berkilau, mata yang masih menyimpan sisa-sisa semangat dari panggung, dan senyum samar yang terbit di sudut bibirnya.“Walaupun sudah lama tidak tampil, tapi suaramu masih bagus saja, Viona,” puji Lina dengan tulus, matanya berbinar kekaguman. Viona tersenyum kecil, mengangguk perlahan, merasakan kehangatan pujian itu meresap ke dalam hatinya.“Ya. Aku sangat bersyukur karena masih bisa tampil dengan suaraku yang masih terdengar bagus di telinga yang mendengarnya,” jawab Viona, suaranya penuh kelegaan. Ada kebanggaan terselip dalam kalimat itu, kebanggaan yang tak dapat disembunyikan.Me
Viona menelan salivanya dengan pelan, jantungnya berdegup kencang saat menatap Mark yang tengah berdiri di depannya, wajahnya memerah penuh dengan kebencian.Malam itu begitu dingin, tapi hawa panas yang membara di antara mereka membuat udara di sekitarnya terasa menyesakkan.“Ini … ini tidak seperti yang kau pikirkan, Mark,” kata Viona, suaranya bergetar meski ia mencoba menegarkan diri. Matanya yang gelap mencari-cari tanda pengertian di wajah pria itu, tetapi hanya menemukan kemarahan yang berkobar-kobar.“Lagi pula, sedang apa kau di sini malam-malam begini? Tidak mungkin jika menemui ibuku, kan?” lanjutnya, mencoba mengalihkan perhatian Mark dari kesalahpahaman yang sedang terjadi.Ia tahu betul bahwa suaminya ini pasti baru saja menemui Stella yang mungkin masih dirawat di rumah sakit itu. Sejak pertemuan mereka terakhir kali, kecurigaannya semakin menguat.Ada sesuatu yang disembunyikan Mark, sesuatu yang berhubungan dengan Stella, wanita yang selalu menjadi duri dalam daging d