Mark tersedak, sementara Viona menundukkan kepala, merasa seperti dunia runtuh di sekelilingnya.
“Ibu, kenapa tiba-tiba membahas tentang anak?” Mark membuka percakapan, suaranya berusaha tenang namun ada nada tersirat ketidaknyamanan.
Di seberangnya, Sarah, ibu Mark, menatap putranya dengan tatapan datar yang tak terbaca. Wanita paruh baya itu, dengan garis-garis waktu di wajahnya yang menunjukkan kebijaksanaan hidup, tersenyum tipis.
“Mark, kau pun tahu, sudah saatnya kalian memikirkan untuk memiliki keturunan. Usiamu juga sudah tidak lagi muda, dan aku ingin melihat cucu sebelum terlalu tua untuk bermain dengan mereka."
Mark menghela napas panjang, menimbang kata-katanya sebelum menjawab. "Ibu, Viona masih sangat muda. Aku tidak ingin terburu-buru. Kami masih ingin menikmati waktu berdua," balasnya dengan nada yang seimbang antara lembut dan tegas.
Di sisi lain meja, Viona duduk diam. Wanita muda dengan rambut panjang hitam dan mata yang selalu tampak penuh perasaan itu, hanya tersenyum tipis.
Di dalam hatinya, ia merasa tertekan oleh harapan yang ditimpakan padanya. Perbincangan ini terasa seperti tekanan yang tak pernah ia harapkan.
“Mark, ingat. Usiamu sudah menginjak kepala tiga. Biasanya umur segitu sudah memikirkan apakah akan memiliki bayi laki-laki atau perempuan. Umur Viona memang masih muda, tapi umurmu sudah tua. Ingat itu!” Sarah melanjutkan, nada suaranya yang lembut namun penuh tekanan membuat suasana semakin canggung.
Mark melirik ke arah Viona yang masih diam, tidak memberikan komentar apa pun. Di dalam benaknya, keputusan untuk berpisah sudah bulat. Untuk apa membahas seorang bayi sementara rumah tangganya sudah di ujung tanduk?
Makan malam itu berakhir tanpa kesepakatan atau pemahaman yang lebih baik. Setelah berpamitan dengan orang tua Mark, pasangan itu menuju mobil mereka.
Perjalanan pulang terasa panjang dan sunyi, hanya diiringi suara jalanan yang menderu.
Mark akhirnya memecah kesunyian dengan nada datar tapi tegas, "Viona, kau boleh pergi berbelanja, sesuka hatimu. Beli semua yang kau inginkan menggunakan kartu yang aku berikan.”
Viona menoleh, tatapannya datar. “Tapi, kau tetap tidak boleh bekerja, seperti permintaanmu yang kemarin,” lanjut Mark, matanya menatap Viona dengan tegas.
Viona tersenyum kecut mendengar ucapan Mark. Baginya, tawaran itu sama sekali tidak berarti. Ia menatap keluar jendela, menyaksikan pemandangan malam yang berkelebat cepat.
Di benaknya, Viona memikirkan kesepakatan mereka: bahwa Mark tidak akan menemui Stella lagi. Namun, ia tahu bahwa kenyataan jauh dari kata adil. Stella akan tetap hadir dalam hidup mereka, menghantui rumah tangga yang sudah retak.
Viona menarik napas dalam-dalam, merasa lelah dan terjebak dalam situasi yang tampaknya tak berujung. Ia berpikir bahwa Mark, dengan egonya yang besar, tidak pernah benar-benar memperhatikan perasaannya.
‘Ini benar-benar tidak adil!’ ucapnya dalam hati, kemudian menggelengkan kepalanya perlahan.
Mark, menyadari Viona semakin jauh dalam pikirannya, menatapnya dengan tatapan tajam. "Viona, jangan keras kepala. Kita sudah memiliki kesepakatan sebelum menikah. Kau tahu betapa sulitnya situasi ini jika kau memilih untuk berpisah. Kau tidak akan memiliki apa-apa. Aku hanya ingin kita tetap bersama, menemukan cara untuk memperbaiki ini."
“Aku tahu!” Viona menjawab singkat, dengan nada ketus yang mencerminkan rasa frustrasinya.
Kesabaran Mark tampaknya sudah habis mendengar respons istrinya. Wajahnya menegang, pertanda bahwa percakapan ini menuju ke arah yang lebih serius.
Setibanya di rumah, Mark tidak langsung keluar dari mobil. Ia mengunci pintu, mencegah Viona untuk pergi. Suasana di dalam mobil menjadi semakin tegang, seperti badai yang siap meledak kapan saja.
Viona mencoba membuka pintu mobil, tetapi sia-sia. Pintu itu terkunci rapat. “Buka pintunya, Mark. Aku ingin keluar,” katanya dengan suara yang dingin, nyaris tak berperasaan.
Mark mengusap wajahnya dengan frustrasi. “Mau sampai kapan kau bersikap seperti ini padaku, Viona?” tanyanya, suaranya lebih dingin daripada sebelumnya.
Ada ketegangan yang nyata di antara mereka, ketegangan yang seolah mengancam akan meledak setiap saat.
Viona menatap Mark dengan tatapan kosong, seolah semua perasaan telah habis terkuras. Dengan suara datar, ia akhirnya berbicara, “Mark. Aku serius ingin berpisah denganmu. Aku tidak ingin bersamamu lagi!”
Wajah Mark berubah. “Dan sudah kukatakan berulang kali, aku tidak akan melepaskanmu!” jawabnya dengan nada tegas yang nyaris seperti ancaman.
Viona terdiam, merasa terjebak dalam lingkaran yang tidak pernah ia inginkan. Ia merasa lelah, lelah dengan keadaan yang memaksanya untuk tetap bertahan dalam hubungan yang tidak lagi membuatnya bahagia.
Di dalam rumah yang besar dan megah, keheningan malam terasa lebih mencekam bagi Mark. Ia memilih untuk tidur di kamar tamu, menjauh dari Viona, bukan karena keinginan tetapi karena suasana hatinya yang buruk.Hubungan mereka yang retak membuatnya merasa tidak siap untuk berbicara, apalagi mencoba membujuk Viona. Namun, di keheningan malam yang dingin, Mark merasakan kehampaan yang menggigit.Biasanya, Viona akan dengan tiba-tiba merapat ke pelukannya, mencari kehangatan dan kenyamanan. Kini, tanpa kehadiran Viona di sampingnya, Mark merasa seperti separuh dirinya hilang.Pagi hari, Mark mendengar suara aktivitas di dapur. Harapan sejenak menyelinap di hatinya; mungkin Viona akhirnya kembali membuat sarapan setelah beberapa hari menghilang dari dapur.Ia keluar dari kamar dengan harapan untuk melihat wajah Viona, tetapi yang ia temukan hanya para pelayan yang sibuk menyiapkan sarapan."Di mana Viona?" tanya Mark, suaranya penuh dengan keingintahuan.Salah seorang pelayan, dengan ekspr
Di ruang tamu yang remang, dengan lampu meja yang sinarnya temaram, Viona duduk dengan gelisah. Matanya menatap Sarah, bibinya, yang sejak tadi berusaha meyakinkannya agar mempertimbangkan kembali keputusannya. Keputusan untuk meninggalkan Mark.Sarah menghela napas panjang, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. “Viona, kau harus berpikir dua kali sebelum melakukan ini. Apa yang akan kau lakukan tanpa Mark? Kau tahu sendiri, hidup ini tidak mudah. Dan menjadi penyanyi opera... apakah itu benar-benar pilihan yang bijak?”Viona merasakan hatinya mencengkeram keras. Baginya, keputusan ini adalah jalan yang terbaik, satu-satunya jalan untuk keluar dari bayang-bayang Stella, wanita yang selalu menjadi prioritas Mark. Ia menatap bibinya dengan penuh keyakinan, meski hatinya tak sepenuhnya tenang.“Aku akan menjadi penyanyi opera lagi, Bibi. Aku akan mencari uang untuk biaya hidupku dan juga pengobatan Ibu. Bibi jangan khawatir, aku tidak akan menyusahkanmu dan Paman,” kata Viona
Pagi itu, matahari baru saja terbit ketika Viona bersiap-siap di kamarnya. Ia sudah memutuskan, dan hari ini adalah langkah pertamanya untuk kembali ke panggung opera yang pernah ia tinggalkan.Matahari pagi menyelinap melalui jendela, memancarkan sinar lembut yang seolah memberikan semangat baru pada dirinya.Viona menatap bayangannya di cermin; wajah yang dulu dipenuhi kebahagiaan kini tampak berbeda, lebih tegas, meski ada guratan kesedihan yang tak bisa disembunyikan.Ketika ia keluar dari rumah, Lina sudah menunggunya di depan gerbang dengan mobil kecilnya. Mereka berdua menuju gedung studio Mels Opera, tempat di mana Viona dulu menghabiskan hari-harinya sebagai penyanyi.Perjalanan menuju gedung itu dipenuhi dengan keheningan, hanya sesekali terdengar suara kendaraan yang melintas. Lina merasa canggung, ingin menanyakan sesuatu tapi menahan diri hingga mereka tiba di tujuan.Setelah mobil terparkir, Lina akhirnya tak bisa menahan diri lagi. “Viona, kau benar-benar yakin dengan k
Brak!Mark menggebrak meja kerjanya, mengisi ruangan dengan suara yang menggema, memantul di dinding marmer dan lukisan-lukisan megah yang menggantung di sekitarnya.Mata Mark menyala penuh amarah, tatapannya menghunjam tajam ke wajah Ben yang pucat pasi. Lelaki itu meneguk ludah, merasa seperti seorang terhukum yang baru saja mendengar vonisnya."Jangan bilang wanita itu kembali bekerja di sana?" Mark menggeram, suaranya terdengar seperti suara binatang buas yang tengah terluka parah.Rahangnya mengeras, menonjolkan otot-otot yang tegang di sekitar lehernya, menandakan ketidaksenangan yang merasuki seluruh tubuhnya. Ben hanya bisa mengangguk ragu, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang.Ia tahu, saat-saat seperti ini adalah saat-saat di mana bosnya berubah menjadi sosok yang sangat menakutkan."I—Iya, Tuan," jawab Ben, suaranya gemetar. "Saya melihatnya secara langsung. Nyonya Viona masuk ke dalam gedung itu bersama sahabatnya."Mark mendengus, suaranya terdengar
Mark menggenggam tangan Viona dengan kekuatan yang nyaris menyakitkan, menariknya keluar dari ruang rawat ibunya. Di sepanjang lorong rumah sakit yang dingin dan sunyi, langkah-langkah mereka terdengar menggema, beradu dengan keramik putih yang membentang di bawah kaki.Wajah Viona memucat, tetapi dia tidak berkata apa-apa. Matanya menatap lurus ke depan, berusaha untuk tidak menunjukkan ketakutan yang perlahan merayap di dalam hatinya.“Mark, lepaskan aku!” pinta Viona, suaranya bergetar meskipun ia berusaha untuk terdengar tegar. Ia meronta, mencoba melepaskan tangannya dari genggaman Mark, tetapi pria itu tak bergeming.Genggamannya justru semakin kuat, seolah menegaskan bahwa ia tidak akan menyerah begitu saja. Hawa kemarahan terasa semakin kental di antara mereka, memenuhi udara dengan ketegangan yang nyaris meledak.Mark terus menyeretnya tanpa berkata-kata, wajahnya penuh dengan amarah yang terpendam, dan akhirnya berhenti di sudut lorong yang cukup sepi.Dia melepaskan genggam
Mark membeku seketika oleh kehadiran Stella yang tiba-tiba masuk ke dalam pembicaraan mereka.Bukan maksud Mark untuk membuat Viona membahas Stella. Namun, ucapan Viona yang mengalir deras, seperti sungai yang meluap di musim penghujan, tak bisa dibendung. Mata Viona yang hitam pekat bersinar tajam, memancarkan amarah yang sudah lama terpendam.“Jangan membawa wanita lain dalam masalah kita, Viona!” sergah Mark, suaranya meninggi namun bergetar, mencoba menahan amarah yang mendidih di dalam dirinya.Ia tidak ingin Viona menyeret nama Stella ke dalam rumah tangga mereka, seolah-olah wanita itu adalah duri yang merusak segala.Viona menyunggingkan senyum sinis, bibirnya yang merah merekah mengukir sebuah senyum yang tak dapat diartikan sekadar tanda persetujuan atau penolakan. Tatapan matanya seolah menelanjangi Mark, mengeksplorasi setiap inci dari pertahanan pria itu.“Terserah kau saja, Mark. Yang jelas, aku tetap ingin berpisah denganmu,” ucapnya tenang, namun tegas, seperti pisau y
Pertemuannya dengan Stella beberapa saat yang lalu masih membekas di benak Viona, seperti duri yang menancap dalam di hati. Kalimat-kalimat yang dilontarkan Stella menggema di kepalanya, mengguncang keputusannya yang selama ini menggantung di udara. Kini, dia semakin yakin.Dia harus berpisah dengan Mark. Tidak ada lagi alasan untuk bertahan dalam pernikahan yang hanya membawa luka dan kekecewaan. Dan lebih dari itu, dia ingin kembali menjadi penyanyi opera, merasakan kebebasan yang dirindukannya sejak lama.Saat itu, Viona melangkah keluar dari ruang rawat ibunya di rumah sakit, langkahnya mantap meskipun hatinya terasa berat. Takdir seakan menariknya kembali ke panggung opera, memanggilnya dengan lembut namun tegas. Tiba-tiba, suara seseorang memanggilnya.“Viona. Kau mau pergi ke mana?” tanya Andy, pamannya, yang baru saja datang dan melihat Viona di koridor rumah sakit.Viona menatap pamannya dengan tatapan datarnya, seolah-olah perasaannya tersembunyi di balik mata yang dingin. “
Viona menarik napas panjang, menyusuri lorong-lorong panjang gedung pertunjukan yang sunyi, akhirnya mencapai ruang make up yang penuh dengan kenangan masa lalu.Wajahnya bercahaya dengan peluh yang mengering, dan jantungnya masih berdebar keras, meski pertunjukan telah usai beberapa waktu lalu.Ia melangkah masuk, menatap bayangannya di cermin besar di depannya—seorang wanita dengan rambut hitam yang berkilau, mata yang masih menyimpan sisa-sisa semangat dari panggung, dan senyum samar yang terbit di sudut bibirnya.“Walaupun sudah lama tidak tampil, tapi suaramu masih bagus saja, Viona,” puji Lina dengan tulus, matanya berbinar kekaguman. Viona tersenyum kecil, mengangguk perlahan, merasakan kehangatan pujian itu meresap ke dalam hatinya.“Ya. Aku sangat bersyukur karena masih bisa tampil dengan suaraku yang masih terdengar bagus di telinga yang mendengarnya,” jawab Viona, suaranya penuh kelegaan. Ada kebanggaan terselip dalam kalimat itu, kebanggaan yang tak dapat disembunyikan.Me