Beranda / Rumah Tangga / Mari Bercerai, Tuan CEO Arogan! / Bab 6: Tidak akan Melepasmu!

Share

Bab 6: Tidak akan Melepasmu!

Penulis: Salwa Maulidya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-07-31 16:58:12

Mark tersedak, sementara Viona menundukkan kepala, merasa seperti dunia runtuh di sekelilingnya. 

“Ibu, kenapa tiba-tiba membahas tentang anak?” Mark membuka percakapan, suaranya berusaha tenang namun ada nada tersirat ketidaknyamanan.

Di seberangnya, Sarah, ibu Mark, menatap putranya dengan tatapan datar yang tak terbaca. Wanita paruh baya itu, dengan garis-garis waktu di wajahnya yang menunjukkan kebijaksanaan hidup, tersenyum tipis.

“Mark, kau pun tahu, sudah saatnya kalian memikirkan untuk memiliki keturunan. Usiamu juga sudah tidak lagi muda, dan aku ingin melihat cucu sebelum terlalu tua untuk bermain dengan mereka."

Mark menghela napas panjang, menimbang kata-katanya sebelum menjawab. "Ibu, Viona masih sangat muda. Aku tidak ingin terburu-buru. Kami masih ingin menikmati waktu berdua," balasnya dengan nada yang seimbang antara lembut dan tegas.

Di sisi lain meja, Viona duduk diam. Wanita muda dengan rambut panjang hitam dan mata yang selalu tampak penuh perasaan itu, hanya tersenyum tipis.

Di dalam hatinya, ia merasa tertekan oleh harapan yang ditimpakan padanya. Perbincangan ini terasa seperti tekanan yang tak pernah ia harapkan.

“Mark, ingat. Usiamu sudah menginjak kepala tiga. Biasanya umur segitu sudah memikirkan apakah akan memiliki bayi laki-laki atau perempuan. Umur Viona memang masih muda, tapi umurmu sudah tua. Ingat itu!” Sarah melanjutkan, nada suaranya yang lembut namun penuh tekanan membuat suasana semakin canggung.

Mark melirik ke arah Viona yang masih diam, tidak memberikan komentar apa pun. Di dalam benaknya, keputusan untuk berpisah sudah bulat. Untuk apa membahas seorang bayi sementara rumah tangganya sudah di ujung tanduk?

Makan malam itu berakhir tanpa kesepakatan atau pemahaman yang lebih baik. Setelah berpamitan dengan orang tua Mark, pasangan itu menuju mobil mereka.

Perjalanan pulang terasa panjang dan sunyi, hanya diiringi suara jalanan yang menderu.

Mark akhirnya memecah kesunyian dengan nada datar tapi tegas, "Viona, kau boleh pergi berbelanja, sesuka hatimu. Beli semua yang kau inginkan menggunakan kartu yang aku berikan.”

Viona menoleh, tatapannya datar. “Tapi, kau tetap tidak boleh bekerja, seperti permintaanmu yang kemarin,” lanjut Mark, matanya menatap Viona dengan tegas.

Viona tersenyum kecut mendengar ucapan Mark. Baginya, tawaran itu sama sekali tidak berarti. Ia menatap keluar jendela, menyaksikan pemandangan malam yang berkelebat cepat.

Di benaknya, Viona memikirkan kesepakatan mereka: bahwa Mark tidak akan menemui Stella lagi. Namun, ia tahu bahwa kenyataan jauh dari kata adil. Stella akan tetap hadir dalam hidup mereka, menghantui rumah tangga yang sudah retak.

Viona menarik napas dalam-dalam, merasa lelah dan terjebak dalam situasi yang tampaknya tak berujung. Ia berpikir bahwa Mark, dengan egonya yang besar, tidak pernah benar-benar memperhatikan perasaannya.

‘Ini benar-benar tidak adil!’ ucapnya dalam hati, kemudian menggelengkan kepalanya perlahan.

Mark, menyadari Viona semakin jauh dalam pikirannya, menatapnya dengan tatapan tajam. "Viona, jangan keras kepala. Kita sudah memiliki kesepakatan sebelum menikah. Kau tahu betapa sulitnya situasi ini jika kau memilih untuk berpisah. Kau tidak akan memiliki apa-apa. Aku hanya ingin kita tetap bersama, menemukan cara untuk memperbaiki ini."

“Aku tahu!” Viona menjawab singkat, dengan nada ketus yang mencerminkan rasa frustrasinya.

Kesabaran Mark tampaknya sudah habis mendengar respons istrinya. Wajahnya menegang, pertanda bahwa percakapan ini menuju ke arah yang lebih serius.

Setibanya di rumah, Mark tidak langsung keluar dari mobil. Ia mengunci pintu, mencegah Viona untuk pergi. Suasana di dalam mobil menjadi semakin tegang, seperti badai yang siap meledak kapan saja.

Viona mencoba membuka pintu mobil, tetapi sia-sia. Pintu itu terkunci rapat. “Buka pintunya, Mark. Aku ingin keluar,” katanya dengan suara yang dingin, nyaris tak berperasaan.

Mark mengusap wajahnya dengan frustrasi. “Mau sampai kapan kau bersikap seperti ini padaku, Viona?” tanyanya, suaranya lebih dingin daripada sebelumnya.

Ada ketegangan yang nyata di antara mereka, ketegangan yang seolah mengancam akan meledak setiap saat.

Viona menatap Mark dengan tatapan kosong, seolah semua perasaan telah habis terkuras. Dengan suara datar, ia akhirnya berbicara, “Mark. Aku serius ingin berpisah denganmu. Aku tidak ingin bersamamu lagi!”

Wajah Mark berubah. “Dan sudah kukatakan berulang kali, aku tidak akan melepaskanmu!” jawabnya dengan nada tegas yang nyaris seperti ancaman.

Viona terdiam, merasa terjebak dalam lingkaran yang tidak pernah ia inginkan. Ia merasa lelah, lelah dengan keadaan yang memaksanya untuk tetap bertahan dalam hubungan yang tidak lagi membuatnya bahagia.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Voni Oktavia93
hadeee Mark kenapa dipertahankan sih rumah tangga yang toxis ini
goodnovel comment avatar
Gita Nirami
di tunggu bab selanjutnya ya author....
goodnovel comment avatar
Shera Arista
bibinya mata duitaannn .........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Mari Bercerai, Tuan CEO Arogan!   Bab 7: Keluargamu tidak Setuju!

    Di dalam rumah yang besar dan megah, keheningan malam terasa lebih mencekam bagi Mark. Ia memilih untuk tidur di kamar tamu, menjauh dari Viona, bukan karena keinginan tetapi karena suasana hatinya yang buruk.Hubungan mereka yang retak membuatnya merasa tidak siap untuk berbicara, apalagi mencoba membujuk Viona. Namun, di keheningan malam yang dingin, Mark merasakan kehampaan yang menggigit.Biasanya, Viona akan dengan tiba-tiba merapat ke pelukannya, mencari kehangatan dan kenyamanan. Kini, tanpa kehadiran Viona di sampingnya, Mark merasa seperti separuh dirinya hilang.Pagi hari, Mark mendengar suara aktivitas di dapur. Harapan sejenak menyelinap di hatinya; mungkin Viona akhirnya kembali membuat sarapan setelah beberapa hari menghilang dari dapur.Ia keluar dari kamar dengan harapan untuk melihat wajah Viona, tetapi yang ia temukan hanya para pelayan yang sibuk menyiapkan sarapan."Di mana Viona?" tanya Mark, suaranya penuh dengan keingintahuan.Salah seorang pelayan, dengan ekspr

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-13
  • Mari Bercerai, Tuan CEO Arogan!   Bab 8: Akan Menyanyi Seperti dulu

    Di ruang tamu yang remang, dengan lampu meja yang sinarnya temaram, Viona duduk dengan gelisah. Matanya menatap Sarah, bibinya, yang sejak tadi berusaha meyakinkannya agar mempertimbangkan kembali keputusannya. Keputusan untuk meninggalkan Mark.Sarah menghela napas panjang, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. “Viona, kau harus berpikir dua kali sebelum melakukan ini. Apa yang akan kau lakukan tanpa Mark? Kau tahu sendiri, hidup ini tidak mudah. Dan menjadi penyanyi opera... apakah itu benar-benar pilihan yang bijak?”Viona merasakan hatinya mencengkeram keras. Baginya, keputusan ini adalah jalan yang terbaik, satu-satunya jalan untuk keluar dari bayang-bayang Stella, wanita yang selalu menjadi prioritas Mark. Ia menatap bibinya dengan penuh keyakinan, meski hatinya tak sepenuhnya tenang.“Aku akan menjadi penyanyi opera lagi, Bibi. Aku akan mencari uang untuk biaya hidupku dan juga pengobatan Ibu. Bibi jangan khawatir, aku tidak akan menyusahkanmu dan Paman,” kata Viona

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-19
  • Mari Bercerai, Tuan CEO Arogan!   Bab 9: Memulai Hidup yang Baru

    Pagi itu, matahari baru saja terbit ketika Viona bersiap-siap di kamarnya. Ia sudah memutuskan, dan hari ini adalah langkah pertamanya untuk kembali ke panggung opera yang pernah ia tinggalkan.Matahari pagi menyelinap melalui jendela, memancarkan sinar lembut yang seolah memberikan semangat baru pada dirinya.Viona menatap bayangannya di cermin; wajah yang dulu dipenuhi kebahagiaan kini tampak berbeda, lebih tegas, meski ada guratan kesedihan yang tak bisa disembunyikan.Ketika ia keluar dari rumah, Lina sudah menunggunya di depan gerbang dengan mobil kecilnya. Mereka berdua menuju gedung studio Mels Opera, tempat di mana Viona dulu menghabiskan hari-harinya sebagai penyanyi.Perjalanan menuju gedung itu dipenuhi dengan keheningan, hanya sesekali terdengar suara kendaraan yang melintas. Lina merasa canggung, ingin menanyakan sesuatu tapi menahan diri hingga mereka tiba di tujuan.Setelah mobil terparkir, Lina akhirnya tak bisa menahan diri lagi. “Viona, kau benar-benar yakin dengan k

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-20
  • Mari Bercerai, Tuan CEO Arogan!   Bab 10: Kita tidak akan Bercerai!

    Brak!Mark menggebrak meja kerjanya, mengisi ruangan dengan suara yang menggema, memantul di dinding marmer dan lukisan-lukisan megah yang menggantung di sekitarnya.Mata Mark menyala penuh amarah, tatapannya menghunjam tajam ke wajah Ben yang pucat pasi. Lelaki itu meneguk ludah, merasa seperti seorang terhukum yang baru saja mendengar vonisnya."Jangan bilang wanita itu kembali bekerja di sana?" Mark menggeram, suaranya terdengar seperti suara binatang buas yang tengah terluka parah.Rahangnya mengeras, menonjolkan otot-otot yang tegang di sekitar lehernya, menandakan ketidaksenangan yang merasuki seluruh tubuhnya. Ben hanya bisa mengangguk ragu, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang.Ia tahu, saat-saat seperti ini adalah saat-saat di mana bosnya berubah menjadi sosok yang sangat menakutkan."I—Iya, Tuan," jawab Ben, suaranya gemetar. "Saya melihatnya secara langsung. Nyonya Viona masuk ke dalam gedung itu bersama sahabatnya."Mark mendengus, suaranya terdengar

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-21
  • Mari Bercerai, Tuan CEO Arogan!   Bab 11: Alasanku ingin Bercerai denganmu

    Mark menggenggam tangan Viona dengan kekuatan yang nyaris menyakitkan, menariknya keluar dari ruang rawat ibunya. Di sepanjang lorong rumah sakit yang dingin dan sunyi, langkah-langkah mereka terdengar menggema, beradu dengan keramik putih yang membentang di bawah kaki.Wajah Viona memucat, tetapi dia tidak berkata apa-apa. Matanya menatap lurus ke depan, berusaha untuk tidak menunjukkan ketakutan yang perlahan merayap di dalam hatinya.“Mark, lepaskan aku!” pinta Viona, suaranya bergetar meskipun ia berusaha untuk terdengar tegar. Ia meronta, mencoba melepaskan tangannya dari genggaman Mark, tetapi pria itu tak bergeming.Genggamannya justru semakin kuat, seolah menegaskan bahwa ia tidak akan menyerah begitu saja. Hawa kemarahan terasa semakin kental di antara mereka, memenuhi udara dengan ketegangan yang nyaris meledak.Mark terus menyeretnya tanpa berkata-kata, wajahnya penuh dengan amarah yang terpendam, dan akhirnya berhenti di sudut lorong yang cukup sepi.Dia melepaskan genggam

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-23
  • Mari Bercerai, Tuan CEO Arogan!   Bab 12: Sayang Sekali

    Mark membeku seketika oleh kehadiran Stella yang tiba-tiba masuk ke dalam pembicaraan mereka.Bukan maksud Mark untuk membuat Viona membahas Stella. Namun, ucapan Viona yang mengalir deras, seperti sungai yang meluap di musim penghujan, tak bisa dibendung. Mata Viona yang hitam pekat bersinar tajam, memancarkan amarah yang sudah lama terpendam.“Jangan membawa wanita lain dalam masalah kita, Viona!” sergah Mark, suaranya meninggi namun bergetar, mencoba menahan amarah yang mendidih di dalam dirinya.Ia tidak ingin Viona menyeret nama Stella ke dalam rumah tangga mereka, seolah-olah wanita itu adalah duri yang merusak segala.Viona menyunggingkan senyum sinis, bibirnya yang merah merekah mengukir sebuah senyum yang tak dapat diartikan sekadar tanda persetujuan atau penolakan. Tatapan matanya seolah menelanjangi Mark, mengeksplorasi setiap inci dari pertahanan pria itu.“Terserah kau saja, Mark. Yang jelas, aku tetap ingin berpisah denganmu,” ucapnya tenang, namun tegas, seperti pisau y

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-24
  • Mari Bercerai, Tuan CEO Arogan!   Bab 13: Back to Perform

    Pertemuannya dengan Stella beberapa saat yang lalu masih membekas di benak Viona, seperti duri yang menancap dalam di hati. Kalimat-kalimat yang dilontarkan Stella menggema di kepalanya, mengguncang keputusannya yang selama ini menggantung di udara. Kini, dia semakin yakin.Dia harus berpisah dengan Mark. Tidak ada lagi alasan untuk bertahan dalam pernikahan yang hanya membawa luka dan kekecewaan. Dan lebih dari itu, dia ingin kembali menjadi penyanyi opera, merasakan kebebasan yang dirindukannya sejak lama.Saat itu, Viona melangkah keluar dari ruang rawat ibunya di rumah sakit, langkahnya mantap meskipun hatinya terasa berat. Takdir seakan menariknya kembali ke panggung opera, memanggilnya dengan lembut namun tegas. Tiba-tiba, suara seseorang memanggilnya.“Viona. Kau mau pergi ke mana?” tanya Andy, pamannya, yang baru saja datang dan melihat Viona di koridor rumah sakit.Viona menatap pamannya dengan tatapan datarnya, seolah-olah perasaannya tersembunyi di balik mata yang dingin. “

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-25
  • Mari Bercerai, Tuan CEO Arogan!   Bab 14: Teman Baru

    Viona menarik napas panjang, menyusuri lorong-lorong panjang gedung pertunjukan yang sunyi, akhirnya mencapai ruang make up yang penuh dengan kenangan masa lalu.Wajahnya bercahaya dengan peluh yang mengering, dan jantungnya masih berdebar keras, meski pertunjukan telah usai beberapa waktu lalu.Ia melangkah masuk, menatap bayangannya di cermin besar di depannya—seorang wanita dengan rambut hitam yang berkilau, mata yang masih menyimpan sisa-sisa semangat dari panggung, dan senyum samar yang terbit di sudut bibirnya.“Walaupun sudah lama tidak tampil, tapi suaramu masih bagus saja, Viona,” puji Lina dengan tulus, matanya berbinar kekaguman. Viona tersenyum kecil, mengangguk perlahan, merasakan kehangatan pujian itu meresap ke dalam hatinya.“Ya. Aku sangat bersyukur karena masih bisa tampil dengan suaraku yang masih terdengar bagus di telinga yang mendengarnya,” jawab Viona, suaranya penuh kelegaan. Ada kebanggaan terselip dalam kalimat itu, kebanggaan yang tak dapat disembunyikan.Me

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-26

Bab terbaru

  • Mari Bercerai, Tuan CEO Arogan!   Our Happy Ending

    Suara tawa riang mengisi ruang keluarga. Mark duduk di lantai beralas karpet, kedua bayi kembarnya berada di pelukannya. Di sebelahnya, Viona tertawa kecil sambil merapikan seragam anak sulung mereka, Leo, yang sedang bersiap berangkat ke sekolah.“Ayah, aku sudah besar. Aku bisa pasang sepatu sendiri,” ucap Alleta dengan penuh percaya diri, meski tali sepatunya masih belum terikat sempurna.Mark tersenyum sambil mengangkat salah satu bayi, yang memekik kegirangan. “Benar, Nak, Ayah sekarang sibuk sama dua jagoan kecil ini. Kamu harus bantu Mama, ya?”Alleta mengangguk dengan wajah ceria, lalu melompat-lompat di tempat. “Iya, Pa. Nanti aku belajar cara mengganti popok juga!”Viona tertawa sambil menggelengkan kepala. "Kau kakak yang baik untuk kedua adikmu, Alleta.”Alleta mengecup pipi ibunya, bahagia mendapatkan pujiannya.Salah satu bayi menoleh ke arah Mark dan berseru, “Ayah!” sambil meraih wajahnya dengan tangan mungilnya. Yang satunya tidak mau kalah dan berseru, “Ibu!” dengan

  • Mari Bercerai, Tuan CEO Arogan!   Kehadiran Keluarga Baru

    Satu tahun kemudian …."Ayah, lihat boneka Letta!" seru Alleta dengan suara riang, mengangkat boneka Barbie bergaun merah berkilauan. Matanya berbinar-binar, pipinya memerah karena kegirangan.Mark menunduk, mengangkat Alleta ke pangkuannya. "Siapa yang memberikan ini, hm?" tanyanya sambil tersenyum lebar."Kakek Alex!" jawab Alleta antusias, memeluk boneka itu erat. "Kata Kakek, ini spesial!""Spesial sekali, ya? Kamu harus bilang terima kasih sama Kakek Alex," ujar Mark, mengusap rambut anak perempuannya yang lebat dan hitam.Alleta bangkit dari pangkuan Mark berjalan cepat mengecup pipi Alex, "Thank you, grand Pa!" celoteh Alleta dengan suara cerianya.Alex, yang duduk di sofa bersebelahan dengan Viona, hanya terkekeh. "Anak ini benar-benar tahu bagaimana mencuri hati seorang kakek," katanya sambil mengangguk puas."Ayah saja yang terlalu memanjakannya." goda Viona sambil membawa nampan berisi minuman hangat. Bayi mungil mereka kini sedang aktif-aktifnya. Namanya Alleta, ceria dan

  • Mari Bercerai, Tuan CEO Arogan!   Nama yang Indah

    Mark terbangun dengan mata yang terasa berat. Ia melihat ke sekeliling kamar dengan bingung, suara tangisan bayi membelah keheningan malam. Pukul tiga pagi, pikirnya sambil mengusap wajah yang lelah."Viona?" panggilnya pelan, tapi tidak ada jawaban. Ia berbalik, menemukan sisi ranjang Viona kosong.Mark bergegas keluar kamar, menuju suara tangisan itu. Di ruang bayi, ia melihat Viona dengan sabar menggendong bayi mereka, menepuk-nepuk punggungnya yang mungil dengan lembut."Kenapa kau tidak membangunkanku?" tanya Mark, suaranya serak.Viona menoleh dengan senyum lelah tapi lembut. "Kau sudah terlalu capek, Mark. Biar aku yang mengurusnya.""Tidak, ini juga tanggung jawabku," kata Mark tegas, lalu mendekat untuk mengambil bayi mereka. Namun begitu bayi itu berpindah ke pelukannya, tangisannya malah semakin kencang."Kenapa dia makin menangis? Aku sudah pegang dengan benar, kan?" tanya Mark panik, mengayun-ayunkan bayi mereka dengan canggung.Suara melengking yang memekakkan telinga b

  • Mari Bercerai, Tuan CEO Arogan!   Bab 115: Dia telah Lahir

    Viona merasakan kontraksi yang begitu kuat saat sedang duduk di sofa. Tiba-tiba, aliran hangat merembes ke bawah, membuatnya panik."Mark!" panggilnya dengan suara gemetar. "Air ketubanku pecah!"Mark, yang sedang membaca laporan di ruang kerjanya, langsung berlari ke ruang tamu dengan wajah panik. "Apa? Pecah? Apa yang harus kita lakukan?!" Serangkaian pertanyaan meluncur tanpa henti dari mulutnya.Mark mendekat namun tak tahu harus apa. Rasa panik menguasai pikirannya. "Bagaimana ini?" Sakitkah?" Pertanyaan konyol Mark malah keluar melihat wajah puas istrinya yang kembali merasakan kontraksi."Rumah sakit, Mark! Kita harus segera ke rumah sakit!" kata Viona, mencoba tetap tenang meski rasa sakit mulai menusuk.Mark mengangguk, lalu berlari ke sana kemari, mengambil kunci mobil, tas bayi, dan bahkan jas kerjanya."Di mana kunci mobil? Ah, ini! Tas? Apa kita butuh pakaian? Kenapa pakaianku yang kubawa? Ya Tuhan, aku bahkan tidak tahu apa yang harus aku lakukan!"Viona tersenyum lemah

  • Mari Bercerai, Tuan CEO Arogan!   Bab 114: Debat Kecil

    Di sebuah toko perlengkapan bayi yang megah, Mark dan Viona sibuk memilih barang untuk menyambut kelahiran buah hati mereka.Usia kehamilan Viona sudah menginjak sembilan bulan, dan pasangan itu tengah dipenuhi suka cita.Mereka sengaja tidak mengetahui jenis kelamin bayi mereka, berharap mendapatkan kejutan yang manis saat kelahiran tiba.Mark memegang sepasang sepatu bayi mungil berwarna putih di tangannya. Ia memandangi sepatu itu dengan tatapan penuh rasa bangga. "Bagaimana menurutmu? Sepatu ini sempurna, bukan?"Viona yang sedang memeriksa selimut bayi bermotif bunga menoleh, alisnya terangkat. "Putih lagi, Mark? Kita sudah punya lebih dari cukup barang putih. Haruskan semuanya berwarna polos?""Putih itu elegan dan netral," Mark menjawab sambil mengangkat bahu, senyumnya lebar. "Lagipula, kita tidak tahu jenis kelamin bayi. Putih adalah pilihan yang paling aman."Viona menghela napas panjang, meletakkan selimut yang sedang ia periksa. "Mark, bayi kita juga butuh warna! Hidup itu

  • Mari Bercerai, Tuan CEO Arogan!   Bab 113: Kabar Kematian

    Mark sedang berdiri di depan jendela besar kantornya. Langit mendung di luar, menggambarkan suasana kota yang penuh hiruk-pikuk.Ia memutar gelas kopi di tangannya, pikirannya melayang. Suara ketukan pintu memecah lamunannya."Masuk," katanya tegas, tanpa menoleh.Ben, sekretaris pribadinya, masuk dengan langkah hati-hati. Wajahnya tampak lebih serius dari biasanya.“Tuan Mark, ada kabar penting yang perlu Anda ketahui,” ucap Ben dengan nada pelan tapi jelas. Ben tampak ragu namun ia harus melakukan ini.Mark mengangkat alis dan memutar tubuhnya, menatap Ben dengan ekspresi datar. “Apa itu, Ben?”Ben menelan ludah, seolah mencari cara terbaik untuk menyampaikan berita tersebut. “Tuan saya tahu anda tidak mau mendengar laporan tentang nona Stella, namun kali ini anda harus mendengarkan. Stella … dia sudah tiada.”Mark mengerutkan kening, matanya menyipit. “Maksudmu … sudah tiada? Jelaskan, Ben.”Ben menarik napas dalam sebelum melanjutkan. “Kondisinya semakin memburuk di rumah sakit te

  • Mari Bercerai, Tuan CEO Arogan!   Bab 112: Kau Seorang Pembunuh!

    Pagi itu, sinar matahari menembus jendela besar di ruang tamu. Viona sedang merapikan bunga di vas ketika bel pintu berbunyi.Ia berjalan menuju pintu dan membuka perlahan, menatap sosok yang sudah familiar berdiri di depan rumah.“Ayah,” sapanya lembut. Senyum kecil menghiasi wajahnya.Alex lega melihat senyum segar Viona. Mereka berdua berpelukan dan Viona mengajak masuk mertuanya itu.Alex, dengan jas abu-abu yang rapi, mengangguk singkat. “Pagi, Viona. Maaf datang tanpa memberi tahu. Aku sengaja datang untuk melihat keadaanmu."“Tidak perlu memberi tahu juga tidak masalah, Ayah. Silakan masuk. Aku akan menyiapkan teh hijau kesukaanmu," senyum akrab keduanya bagai ayah dan anak. Viona mempersilahkan ayah mertuanya itu duduk di sofa.Alex melangkah masuk, memperhatikan interior rumah yang terasa hangat dan nyaman. Bahagia melihat keadaan menantunya yang sehat. Ia duduk di sofa, sementara Viona menuangkan teh hangat untuknya.“Ada sesuatu yang ingin Ayah bicarakan?” Viona bertanya, d

  • Mari Bercerai, Tuan CEO Arogan!   Bab 111: Permintaan Maaf, Sekali lagi

    Pintu rumah megah itu terbuka dengan suara klik lembut, memperlihatkan sosok Mark yang baru saja pulang.Jas hitamnya masih rapi, meskipun ekspresi wajahnya terlihat tegang. Ia meletakkan tas kerjanya di meja ruang tamu tanpa berkata apa-apa.“Mark,” suara Viona yang lembut menyambutnya dari sofa. Wanita itu menoleh dari dokumen yang sedang ia baca, wajahnya menyiratkan kekhawatiran.Mark mengangguk singkat. “Ada apa?” tanyanya dengan nada datar, meskipun matanya sedikit melunak saat melihat Viona.Hati Mark perih melihat istrinya yang hamil dan selama ini ia acuhkan. Viona mendekat dan debar kerinduan Mark membuncah melihat wajah cantik penuh kesabaran Viona.Viona menatapnya ragu sejenak sebelum akhirnya berbicara, memilih kata-katanya dengan hati-hati.“Mila meneleponku tadi siang. Dia … memarahiku, katanya semua ini salahku karena aku yang membuat putrinya kesusahan dan sakit. Jujur Mark, apa benar kau menutup akses Stella di rumah sakitmu?”Mark menghela napas berat, kemudian dud

  • Mari Bercerai, Tuan CEO Arogan!   Bab 110: Inikah yang Disebut Karma?

    Langit pagi yang cerah terasa kontras dengan suasana hati Mila yang kacau balau.Stella terbaring lemah di ruang perawatan sebuah rumah sakit biasa, jauh dari kenyamanan fasilitas rumah sakit mewah milik Mark. Nafas Stella masih berat, namun kondisinya perlahan stabil.Ranjang kecil dengan kasur yang tidak nyaman jauh dari kata mewah seperti yang biasa Milla terima dari rumah sakit sebelumnya.Mila sedih menatap putrinya berjajar dalam ruangan besar bersama pasien lain yang entah sakit apa.Tirai untuk privasi ruangan pasien memang mampu menutup tubuh putrinya agar tidak terlihat pasien lain tetapi malah membuat ia sangat kegerahan.Apalagi kamar mandi yang digunakan juga bersama. Mila tidak yakin keadaan putrinya membaik dengan segala fasilitas minim yang ia lihat saat ini.Mila sampai tidak bisa menyembunyikan kemarahan dan frustasinya. Ia menggenggam erat ponselnya, mencoba menghubungi Mark lagi untuk yang kesekian kalinya, tetapi tidak ada jawaban. Mila tahu Mark dengan sengaja me

DMCA.com Protection Status