Share

Bab 6: Tidak akan Melepasmu!

Mark tersedak, sementara Viona menundukkan kepala, merasa seperti dunia runtuh di sekelilingnya. 

“Ibu, kenapa tiba-tiba membahas tentang anak?” Mark membuka percakapan, suaranya berusaha tenang namun ada nada tersirat ketidaknyamanan.

Di seberangnya, Sarah, ibu Mark, menatap putranya dengan tatapan datar yang tak terbaca. Wanita paruh baya itu, dengan garis-garis waktu di wajahnya yang menunjukkan kebijaksanaan hidup, tersenyum tipis.

“Mark, kau pun tahu, sudah saatnya kalian memikirkan untuk memiliki keturunan. Usiamu juga sudah tidak lagi muda, dan aku ingin melihat cucu sebelum terlalu tua untuk bermain dengan mereka."

Mark menghela napas panjang, menimbang kata-katanya sebelum menjawab. "Ibu, Viona masih sangat muda. Aku tidak ingin terburu-buru. Kami masih ingin menikmati waktu berdua," balasnya dengan nada yang seimbang antara lembut dan tegas.

Di sisi lain meja, Viona duduk diam. Wanita muda dengan rambut panjang hitam dan mata yang selalu tampak penuh perasaan itu, hanya tersenyum tipis.

Di dalam hatinya, ia merasa tertekan oleh harapan yang ditimpakan padanya. Perbincangan ini terasa seperti tekanan yang tak pernah ia harapkan.

“Mark, ingat. Usiamu sudah menginjak kepala tiga. Biasanya umur segitu sudah memikirkan apakah akan memiliki bayi laki-laki atau perempuan. Umur Viona memang masih muda, tapi umurmu sudah tua. Ingat itu!” Sarah melanjutkan, nada suaranya yang lembut namun penuh tekanan membuat suasana semakin canggung.

Mark melirik ke arah Viona yang masih diam, tidak memberikan komentar apa pun. Di dalam benaknya, keputusan untuk berpisah sudah bulat. Untuk apa membahas seorang bayi sementara rumah tangganya sudah di ujung tanduk?

Makan malam itu berakhir tanpa kesepakatan atau pemahaman yang lebih baik. Setelah berpamitan dengan orang tua Mark, pasangan itu menuju mobil mereka.

Perjalanan pulang terasa panjang dan sunyi, hanya diiringi suara jalanan yang menderu.

Mark akhirnya memecah kesunyian dengan nada datar tapi tegas, "Viona, kau boleh pergi berbelanja, sesuka hatimu. Beli semua yang kau inginkan menggunakan kartu yang aku berikan.”

Viona menoleh, tatapannya datar. “Tapi, kau tetap tidak boleh bekerja, seperti permintaanmu yang kemarin,” lanjut Mark, matanya menatap Viona dengan tegas.

Viona tersenyum kecut mendengar ucapan Mark. Baginya, tawaran itu sama sekali tidak berarti. Ia menatap keluar jendela, menyaksikan pemandangan malam yang berkelebat cepat.

Di benaknya, Viona memikirkan kesepakatan mereka: bahwa Mark tidak akan menemui Stella lagi. Namun, ia tahu bahwa kenyataan jauh dari kata adil. Stella akan tetap hadir dalam hidup mereka, menghantui rumah tangga yang sudah retak.

Viona menarik napas dalam-dalam, merasa lelah dan terjebak dalam situasi yang tampaknya tak berujung. Ia berpikir bahwa Mark, dengan egonya yang besar, tidak pernah benar-benar memperhatikan perasaannya.

‘Ini benar-benar tidak adil!’ ucapnya dalam hati, kemudian menggelengkan kepalanya perlahan.

Mark, menyadari Viona semakin jauh dalam pikirannya, menatapnya dengan tatapan tajam. "Viona, jangan keras kepala. Kita sudah memiliki kesepakatan sebelum menikah. Kau tahu betapa sulitnya situasi ini jika kau memilih untuk berpisah. Kau tidak akan memiliki apa-apa. Aku hanya ingin kita tetap bersama, menemukan cara untuk memperbaiki ini."

“Aku tahu!” Viona menjawab singkat, dengan nada ketus yang mencerminkan rasa frustrasinya.

Kesabaran Mark tampaknya sudah habis mendengar respons istrinya. Wajahnya menegang, pertanda bahwa percakapan ini menuju ke arah yang lebih serius.

Setibanya di rumah, Mark tidak langsung keluar dari mobil. Ia mengunci pintu, mencegah Viona untuk pergi. Suasana di dalam mobil menjadi semakin tegang, seperti badai yang siap meledak kapan saja.

Viona mencoba membuka pintu mobil, tetapi sia-sia. Pintu itu terkunci rapat. “Buka pintunya, Mark. Aku ingin keluar,” katanya dengan suara yang dingin, nyaris tak berperasaan.

Mark mengusap wajahnya dengan frustrasi. “Mau sampai kapan kau bersikap seperti ini padaku, Viona?” tanyanya, suaranya lebih dingin daripada sebelumnya.

Ada ketegangan yang nyata di antara mereka, ketegangan yang seolah mengancam akan meledak setiap saat.

Viona menatap Mark dengan tatapan kosong, seolah semua perasaan telah habis terkuras. Dengan suara datar, ia akhirnya berbicara, “Mark. Aku serius ingin berpisah denganmu. Aku tidak ingin bersamamu lagi!”

Wajah Mark berubah. “Dan sudah kukatakan berulang kali, aku tidak akan melepaskanmu!” jawabnya dengan nada tegas yang nyaris seperti ancaman.

Viona terdiam, merasa terjebak dalam lingkaran yang tidak pernah ia inginkan. Ia merasa lelah, lelah dengan keadaan yang memaksanya untuk tetap bertahan dalam hubungan yang tidak lagi membuatnya bahagia.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Voni Oktavia93
hadeee Mark kenapa dipertahankan sih rumah tangga yang toxis ini
goodnovel comment avatar
Gita Nirami
di tunggu bab selanjutnya ya author....
goodnovel comment avatar
Shera Arista
bibinya mata duitaannn .........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status