Bab 2
Sinar mentari pagi, menyusup dari cela pepohonan.
Para tetangga sibuk menata pekarangan. Mereka menyiram halaman, walau belum tengah hari sudah kering dan berdebu lagi. Anak-anak di gang kami pun telah segar, berpakaian seragam. Mereka biasa berjalan kaki ke sekolah, melewati setiap rumah dan menegur siapa saja.
"Met pagi, Kak Karina!" seru mereka bersamaan setelah hitungan ketiga dari anak yang paling besar.
"Selamat pagi, Dek!" balasku dengan melambaikan kedua tangan pada mereka.
Aktivitas berikut adalah memanaskan mesin motor di halaman, rutinitasku sebelum ke kantor. Tidak lupa, menyulap si matic beroda dua itu jadi kilap.
Sementara di meja beranda sudah ada secangkir kopi dan sepiring penuh sukun goreng. Kia, adik laki-lakiku, menyiapkan sarapan itu. Sekejap, dua potong penganan itu kubabat habis. Sangat gurih. Ingin tambah lagi dan tanganku meraih piring. Tapi???
Tapi ... raib!!! Sepiring sukun amblas tak berjejak.
Aku menunduk, menengok ke bawah meja. Jangan sampai sukun itu tumpah.
Tidak ada. Tidak ada sepotong sukun pun di sana.
Kembali kutengok piring kosong tadi.
Astaga ...
Penuh gumpalan rambut. Ulat-ulat putih menggeliat keluar masuk. Makin dicermati, binatang itu semakin besar.
Rasa takutku berkecamuk. Tidak masuk akal. Bagaimana bisa makanan menjadi gumpalan rambut dalam sekejap dan ulat muncul secara gaib?
Tiada pilihan selain menyambar motor. Melaju pergi. Melewati jalanan kota yang belum macet dan akhirnya tiba dengan selamat di kantor.
Hmm, sekian tahun bangunan bergaya Belanda itu belum dibaharui warnanya. Kantorku memang tidak segar bila dipandang, pucat, tapi setidaknya telah memberiku cukup nafkah.
Aku berhenti di garasi. Agak gugup, mendapati Mio-J milik Feli sudah duluan terparkir. Belum ada kendaraan lain selain milik kami berdua.
“Jangan masuk ...,” batinku meringis. Tapi kaki berlaku lain. Terus berjalan menyambangi gedung tua itu. Sepi di dalamnya. Entah kenapa, aku merasa tak nyaman. Lorong panjang dan lantai berdebu, membuatku ngeri.
(Kreekkkk)
Pintu yang berada di tengah lorong, terbuka setengah. Itu adalah ruang penyimpanan kerajinan tenun.
Aku melangkah ke sana dengan was-was.
Mendorong pintu dan membuatnya benar-benar terbuka. Aroma ramuan pewarna dari ribuan kain tenun, memenuhi ruangan delapan kali sepuluh meter itu.
"Halo, siapa di sini?" Beberapa kali kulontarkan pertanyaan yang sama. Memergoki setiap sudut tumpukan tenunan walau tak menemukan seseorang.
(Krek)
Aku menoleh cepat ke arah pintu.
Bruk ... tertutup sempurna.
Aku menganga. Membelalak tak percaya. Menyaksikan bahwa pintu itu menutup tanpa bantuan siapa pun.
Setengah berlari, kutarik pintu agar bisa keluar. Sia-sia. Kucoba lagi, kali ini dengan penuh tenaga. Tetap sia-sia.
"Anjir ..., " aku menepuk dahi. Aku terkunci di tempat ini. Bagaimana bisa?
Syet ... syet ... syet ...
Terdengar sesuatu terseok-seok di belakangku. Aku berbalik ... terkejut dan refleks meloncat tinggi tanpa berpindah.
Astaga ...
Seorang wanita telanjang, menyeret diri di lantai. Layaknya hewan melata, ia mendekat ke arahku dengan susah payah. Wajahnya hancur. Mulut terbuka lebar, penuh ulat. Namun, lagi-lagi sorot matanya, tidak asing bagiku.
Darah pekat menjejaki lantai, di setiap perpindahan tubuhnya. Aku meringis. Menyandarkan pundak pada pintu, tak bisa mundur lagi. Buntu!
"Tolong, jangan ganggu aku," ucapku memohon.
Masih terseok, makluk itu mengangkat tangan kanannya ke arahku. Seakan meminta pertolongan. Semakin dekat, semakin deras peluh menghujani pelipisku.
"Aku mohon, jangan ganggu aku," ucapku lagi.
Ia terus
mengesot, tangannya yang berlumuran darah hampir meraih betisku.
Bab 3 Pintu terbuka, seseorang mendorong dari luar. Aku terpental ke depan. Suanggi itu lenyap! "Buat apa, pagi-pagi di sini?" tanya Lita, wajahnya mengendur, menatapku keheranan. Teman satu ini, rumahnya tak jauh dari kantor. Dia biasa tiba lebih dahulu, ketimbang aku. Hanya saja, pagi ini adalah hari sialku, mungkin. Aku menariknya masuk. Wanita muda itu duduk di kursi terdekat, sementara aku tetap berdiri. Kuceritakan segala sesuatu yang menimpaku. Matanya melotot, hanya bergeming mendengar penuturanku. Sesekali ia mengusap tengkuk. "Kau tahu, aku pun sering di datangi," ucap Lita setengah berbisik. "Kau mengenalinya? Matanya?" tanyaku sambil keluar mengikuti Lita. Ia menutup pintu dengan kasar. Kemudian kami berjalan menuju pajangan sarung di koridor sebelah kanan. "Menurutmu?" ia mendelik padaku, meminta jawaban. "Aku tidak asing dengan netra Suanggi itu," jawabku kecut. Ia berhenti melangkah, "Tetapi kita tidak bisa asal tuduh, bukan?" “Kau benar!” ucapku kecewa. Me
Bab 4Siang ini adalah jadwal rapat bulanan. Semua karyawan duduk melingkari meja bulat di ruang direktur. Terkecuali, kursi pemilik perusahaan yang masih terlihat kosong."Baiklah, rapat kita awali dengan pelaporan oleh General Manajer." Pak Geri Rajo membuka suara saat memasuki ruangan. Feli bangun berdiri, sementara pak Geri menarik kursi kebesaran dan mendudukinya.Puluhan mata berfokus pada Feli. Wanita misterius itu memaparkan banyak hal. Mulai tentang pengumpulan kerajinan, penyempurnaan produk siap jual hingga income bersih perusahaan. Sudah menjadi rahasia umum saat Feli berdiri selalu disertai bau menyengat. Antara bau badan dan bau amis darah. Juga sudah menjadi rahasia umum, yang mana semua karyawan tidak tutup hidung. Sebisa mungkin menahan mual.Feli mengembalikan kendali rapat pada duda beranak satu yaitu Pak Geri, si pemilik perusahaan. Kemudian setiap karyawan diberi kesempatan untuk melaporkan pencapaian kinerja masing-masing.Sampai pada giliranku untuk berbicara.
Bab 5Tiga jam berlalu.Pukul 10.15, Avanza silver melaju gagah membelah jalanan. Perfect milik Ed Sheeran mengalun lembut. Aku berada di balik kemudi, sedangkan Feli duduk beku di sebelahku. Semoga saja tidak terjadi hal yang seram."Bisakah menambah kecepatan?" ucap Feli tanpa menoleh. Aku menggigit bibir, lalu mengikuti perintahnya. Satu tikungan berlalu. Dua ratus meter lagi untuk tiba bandara. Entah kenapa, ingin sekedar melirik ke arah Feli. Hendak memastikan bahwa ia tidak berganti wujud. Kutekuk spion ke arahnya dan melihat refleksi diri Feli.Ia nampak beku, menatap lurus ke depan. Tidak ada yang aneh. Telinga, mata, hidung dan mulutnya berada pada tempat yang benar. Mobil terus melaju cepat. Tak boleh telat menjemput Tuan Kennar. Namun, tiba-tiba muncul rasa aneh.Mungkinkah ada yang tak beres? Mataku menangkap sesuatu berwarna hitam di dasar mobil. Apakah Feli memakai sepatu hitam? Sambil terus mengemudi, kutengok ke bawah. Astaga ...Kaki Feli berubah wujud. Menjadi bes
Bab 6Hari ini genap tiga tahun aku bekerja. Situasinya masih sama. Feli dan beberapa staf sibuk merangkum berbagai kerajinan yang akan dikirim ke dua kota besar. Sementara Lita, ia sibuk melayani rombongan turis Ukraina yang datang berbelanja souvenir. Menjajaki perkampungan menjadi tugasku. Seperti biasa, aku harus mengumpulkan beragam barang antik.Selesai menangani transaksi, Yulita kemudian menuju ke arahku. Kasir cantik itu membawa segepok uang di tangan."Om Roni mana, Kar?" "Dia tak masuk hari ini, anaknya sakit," gumamku pelan. Aku mengacak rambut pendekku kemudian meremasnya karena kesal."Trus, kau yakin pergi sendiri?" Sebersit kepanikan mencuat di wajah mungil Yulita.Tak menjawab, aku malah sibuk membetulkan spion Strada. Sudah jadi konsekuensi bahwa aku harus tetap beraksi. Memang harus menunggu siapa? Lakukan saja setiap tugas sebisa mungkin."Kemarin kan kamu pingsan, Karina!!" Kali ini suara Lita terdengar seperti debur ombak. "Jangan sampai kau pingsan lagi.""Ak
Bab 7Perjalanan pulang terasa lebih cepat dari berangkat. Kami melewati lereng perbukitan yang hijau di mana banyak elang terbang mengikuti kecepatan mobil."Kita singgah makan dulu?" tawar Tuan Kennar.Aku tak mendengar ucapannya karena derasnya angin yang menyisir masuk melalui kaca yang terbuka. Lalu sesuatu yang hangat menyentuh punggung tanganku.Pria di sampingku ... oh no!! Dia menggenggam erat jemari ini. Diri ini berdebar. Kupandangi wajah tegas yang tengah menatapku dengan bias damai. Sejenak mengulum senyum, ia kembali fokus menyetir.Apa yang ada di otak pria ini? Seharusnya ia sadar, telah berlaku tak sopan. Menggenggam jemariku tanpa ijin. Pantaskah aku marah? Ataukah begitu cara pria berkelas memberi perhatian?"Baiklah kita singgah makan karena aku tak sempat sarapan tadi pagi," jawabku setelah sekian menit.Aku masih menatap kedua tangan kami yang bertaut. Berani sekali Kennar menyetir dengan satu tangan padahal sangatlah berbahaya.***Restoran ini tidak ramai. Set
Bab 8"Jika itu benar, kita mau buat apa?" Aku mengepal tangan kanan, "Kau bisa melakukan sesuatu jika kau mau.""Kita tak mungkin membunuhnya, Karina." Kali ini suara Kennar melemah."Tapi kau bisa memecat dia!" Tercekat tenggorokanku setelah mengucapkan ini. Secara langsung sudah memerintah majikanku sendiri. "Ah, kau bukan lagi gadis pendiam atau pun humoris yang kukenal barusan. Kau berubah dalam sehari. Kau pemarah, kau tak bisa mengendalikan dirimu!" ucapnya ketus. Kennar pergi meninggalkanku dengan wajah kesal. Ia kembali ke kerumunan pelayat yang menanti jenazah Lita. Punggung tegap itu menghilang, membelok ke arah UGD. Sungguh, perasaanku hancur. Aku duduk bersandar di kursi taman, masih dalam area rumah sakit. Dua puluh tahun hidup di dunia, baru kali ini meluap dalam kemarahan. Buruknya, terjadi di depan majikan. Tuan muda yang kukagumi.Aku merasa bodoh. Lebih bodoh dari Suanggi mana pun yang elegan di siang hari, busuk di malam hari. Suanggi yang bersembunyi di balik
Bab 9Keesokan hari ...Hujan menghantam bumi, membuat pagi terlihat seperti sore. Mengguyur tenda rumah duka yang di penuhi orang-orang berpakaian hitam. Mereka datang untuk melayat, sekalian mengikuti prosesi pemakaman Lita.Beberapa pria tampak menggulung ujung celana, sedang para perempuan menarik dress ke atas, sebab hujan membuat halaman menjadi becek. Kami juga sulit mendengar arahan dari keluarga jenazah walau menggunakan mikrofon.Untuk terakhir kalinya, satu persatu kami menengok mayat Lita yang sudah berada dalam peti kaca. Tembus pandang. Banyak orang geleng kepala karena melihat tubuh mayat yang menghitam. Mulai dari wajah, leher dan jemari yang nampak semakin legam. Tanda yang familiar pada korban kebengisan Suanggi.Akhirnya tiba juga pada acara penguburan, di mana pelayat beriringan menggunakan kendaraan masing-masing menuju TPU terdekat. Mayat yang dibawa oleh ambulan, tiba lebih dahulu. Kemudian langsung menurunkan jena
Bab 10"Hai, selamat pagi.""Selamat pagi, Pak." Om Roni yang sedang mencuci mobil di halaman kantor terpaksa setengah berteriak."Hai, selamat pagi.""Selamat pagi, Tuan," jawab beberapa karyawan yang sedang sibuk mengepak cendera mata yang dipesan oleh sebuah wedding organizer.Aku yang lagi merapikan tumpukan tenunan terpaksa mengangkat dagu, sekilas menatap kedatangan Pak Geri dan Kennar. Mereka selalu tersenyum segar, berbagi aura positif pada semua karyawan.Mata kami tertuju pada seorang wanita pendek, gendut, berkulit hitam, rambut keriting yang melangkah berdampingan dengan kedua pria itu. Cara wanita itu berjalan sangatlah unik, setengah melompat-lompat sehingga lipatan lemak di perutnya bergetar. Dia adalah kasir baru pengganti Lita. Namanya? Aku belum tahu.Pak Geri menjelaskan segala sesuatu padanya, mengenai harga setiap barang hingga diajari cara menggunakan mesin EDC. Sesekali pria tua itu melirik jam yang melingkar di tangannya. Saat rapat, sudah beliau beritahukan ka