Bab 5
Tiga jam berlalu.
Pukul 10.15, Avanza silver melaju gagah membelah jalanan. Perfect milik Ed Sheeran mengalun lembut. Aku berada di balik kemudi, sedangkan Feli duduk beku di sebelahku. Semoga saja tidak terjadi hal yang seram.
"Bisakah menambah kecepatan?" ucap Feli tanpa menoleh. Aku menggigit bibir, lalu mengikuti perintahnya.
Satu tikungan berlalu. Dua ratus meter lagi untuk tiba bandara. Entah kenapa, ingin sekedar melirik ke arah Feli. Hendak memastikan bahwa ia tidak berganti wujud. Kutekuk spion ke arahnya dan melihat refleksi diri Feli.
Ia nampak beku, menatap lurus ke depan. Tidak ada yang aneh. Telinga, mata, hidung dan mulutnya berada pada tempat yang benar. Mobil terus melaju cepat. Tak boleh telat menjemput Tuan Kennar. Namun, tiba-tiba muncul rasa aneh.
Mungkinkah ada yang tak beres?
Mataku menangkap sesuatu berwarna hitam di dasar mobil. Apakah Feli memakai sepatu hitam? Sambil terus mengemudi, kutengok ke bawah.
Astaga ...
Kaki Feli berubah wujud. Menjadi besar. Sebesar kaki raksasa. Hitam legam juga berlendir.
Tatapanku meredup. Gelap. Aku pingsan total setelah memarkir mobil di area bandara.
***
Pandanganku belum pulih betul. Yang kulihat pertama adalah langit-langit mobil berwarna abu-abu. Kemudian tampak seorang pria di balik kemudi. Bahunya tegap, berambut cepak rapi. Kennar? Pastilah itu Tuan Kennar.
Kemudian, kusadari bahwa aku sedang berbaring membujur di kursi tengah. Pusing masih kurasakan, apalagi siuman saat mobil tengah melaju kencang. Oh, teganya mereka! Bukan mengusahakan pertolongan pertama, malah meneruskan perjalanan.
Mataku mencari Feli. Aku tersentak kaget saat tahu bahwa Feli menopang kepalaku di atas pahanya.
Napasku memburu. Kurasakan aliran darah yang panas mengalir naik ke kepala. Kupandang ke kiri atas, mengecek siapa yang menopang aku.
Sosok tak berkepala. Cuma badan sampai batang leher.
"Wuaaa ...." Aku memekik keras. Dengan cepat melompat ke kursi depan, di samping kemudi. Melanggar sekat batas.
Tuan Kennar menepikan mobil. Berhenti di sebelah kiri jalan.
"Maaf, kamu kenapa?" tanyanya lembut. Ia menenangkanku, menepuk-nepuk lututku dengan tangan kiri sementara tangan kanannya masih merangkul setir. Tuan Kennar menatapku lekat, merasa heran.
Aku bergeming. Detik kemudian berbalik menatap Feli. Wanita itu nampak seperti semula, punya kepala lagi.
"Are you okay?" Tuan Kennar setengah membelalak, iris coklatnya begitu jelas.
Aku mengangguk pelan. Ia mengulum senyum.
Fuhh, sungguh memalukan. Kesan awal yang buruk di depan majikan tampan. Awalnya pingsan, sekarang malah lompat galah di dalam mobil.
"Baiklah, jangan sekali pun menengok ke belakang!" ucap Tuan Kennar serius. Mobil kembali dilajukan.
What? Bukankah Feli yang ada di kursi belakang? Apa Tuan Kennar tahu sesuatu tentang wanita itu?
Aku memperbaiki posisi duduk dan menghadap lurus ke depan. Cuma menatap jalanan dan pohon-pohon yang seolah berlari.
Kecepatan mobil tiba-tiba diperlambat. Aku mendelik pada Tuan Kennar. Mungkinkah dirinya akan berhenti untuk berberlanja? Jika iya, maka aku akan ikut agar tidak sendirian dengan Feli di dalam mobil.
Ternyata tidak. Tuan Kennar justru menyunggingkan senyum padaku. Ia mengulurkan tangan kanannya sambil tangan kiri tetap menahan setang.
"Aku, Kennar," ucapnya ramah. Deretan gigi putihnya berbaris rapi.
Bunga-bunga melayang indah dalam ruang fantasiku. Melati, Mawar, Krisan bahkan bunga-bunga yang baru kulihat, ada di sana. Sungguh tampan makhluk ini. Wajah persegi dengan lengkung rahang yang keras menciptakan pesona tegas pria sejati.
Aku meraih tangannya. Bibirku bergetar hebat. Perasaan gugup dan konyol bercampur jadi satu.
"Panggil aku, Karina," ucapku pelan. Tak banyak senyum di wajahku.
Tuan Kennar tersenyum manis, ia mengembalikan kecepatan mobil dan membuka percakapan.
"Sudah berapa lama kerja pada Ayah saya?"
"Hampir tiga tahun."
"Betah, kan?"
"Lumayan betah," jawabku datar sambil menikmati mata indah pria ini.
Ingin sekali menengok Feli di belakang, tetapi tak sanggup rasanya jika dia menjelma lagi.
"Kau cantik natural." Tuan Kennar berucap ketus, mirip cara bule menyatakan fakta. Ia menatapku sekilas.
Wajahku merona. Aku salah tingkah! Cepat-cepat kutampar imajinasi bodoh ini. Lalu, bunga-bunga fantasi lenyap berganti dengan buluh kuduk yang berdiri tegak. Merinding.
Lewat kaca spion, kulihat Feli sedang berganti wujud. Rambutnya berantakan menutupi wajah. Lidah menjulur panjang. Bola mata menggantung keluar dari bingkainya. Itulah yang terjadi saat kemarahannya tak mendapatkan objek dan ruang.
Bab 6Hari ini genap tiga tahun aku bekerja. Situasinya masih sama. Feli dan beberapa staf sibuk merangkum berbagai kerajinan yang akan dikirim ke dua kota besar. Sementara Lita, ia sibuk melayani rombongan turis Ukraina yang datang berbelanja souvenir. Menjajaki perkampungan menjadi tugasku. Seperti biasa, aku harus mengumpulkan beragam barang antik.Selesai menangani transaksi, Yulita kemudian menuju ke arahku. Kasir cantik itu membawa segepok uang di tangan."Om Roni mana, Kar?" "Dia tak masuk hari ini, anaknya sakit," gumamku pelan. Aku mengacak rambut pendekku kemudian meremasnya karena kesal."Trus, kau yakin pergi sendiri?" Sebersit kepanikan mencuat di wajah mungil Yulita.Tak menjawab, aku malah sibuk membetulkan spion Strada. Sudah jadi konsekuensi bahwa aku harus tetap beraksi. Memang harus menunggu siapa? Lakukan saja setiap tugas sebisa mungkin."Kemarin kan kamu pingsan, Karina!!" Kali ini suara Lita terdengar seperti debur ombak. "Jangan sampai kau pingsan lagi.""Ak
Bab 7Perjalanan pulang terasa lebih cepat dari berangkat. Kami melewati lereng perbukitan yang hijau di mana banyak elang terbang mengikuti kecepatan mobil."Kita singgah makan dulu?" tawar Tuan Kennar.Aku tak mendengar ucapannya karena derasnya angin yang menyisir masuk melalui kaca yang terbuka. Lalu sesuatu yang hangat menyentuh punggung tanganku.Pria di sampingku ... oh no!! Dia menggenggam erat jemari ini. Diri ini berdebar. Kupandangi wajah tegas yang tengah menatapku dengan bias damai. Sejenak mengulum senyum, ia kembali fokus menyetir.Apa yang ada di otak pria ini? Seharusnya ia sadar, telah berlaku tak sopan. Menggenggam jemariku tanpa ijin. Pantaskah aku marah? Ataukah begitu cara pria berkelas memberi perhatian?"Baiklah kita singgah makan karena aku tak sempat sarapan tadi pagi," jawabku setelah sekian menit.Aku masih menatap kedua tangan kami yang bertaut. Berani sekali Kennar menyetir dengan satu tangan padahal sangatlah berbahaya.***Restoran ini tidak ramai. Set
Bab 8"Jika itu benar, kita mau buat apa?" Aku mengepal tangan kanan, "Kau bisa melakukan sesuatu jika kau mau.""Kita tak mungkin membunuhnya, Karina." Kali ini suara Kennar melemah."Tapi kau bisa memecat dia!" Tercekat tenggorokanku setelah mengucapkan ini. Secara langsung sudah memerintah majikanku sendiri. "Ah, kau bukan lagi gadis pendiam atau pun humoris yang kukenal barusan. Kau berubah dalam sehari. Kau pemarah, kau tak bisa mengendalikan dirimu!" ucapnya ketus. Kennar pergi meninggalkanku dengan wajah kesal. Ia kembali ke kerumunan pelayat yang menanti jenazah Lita. Punggung tegap itu menghilang, membelok ke arah UGD. Sungguh, perasaanku hancur. Aku duduk bersandar di kursi taman, masih dalam area rumah sakit. Dua puluh tahun hidup di dunia, baru kali ini meluap dalam kemarahan. Buruknya, terjadi di depan majikan. Tuan muda yang kukagumi.Aku merasa bodoh. Lebih bodoh dari Suanggi mana pun yang elegan di siang hari, busuk di malam hari. Suanggi yang bersembunyi di balik
Bab 9Keesokan hari ...Hujan menghantam bumi, membuat pagi terlihat seperti sore. Mengguyur tenda rumah duka yang di penuhi orang-orang berpakaian hitam. Mereka datang untuk melayat, sekalian mengikuti prosesi pemakaman Lita.Beberapa pria tampak menggulung ujung celana, sedang para perempuan menarik dress ke atas, sebab hujan membuat halaman menjadi becek. Kami juga sulit mendengar arahan dari keluarga jenazah walau menggunakan mikrofon.Untuk terakhir kalinya, satu persatu kami menengok mayat Lita yang sudah berada dalam peti kaca. Tembus pandang. Banyak orang geleng kepala karena melihat tubuh mayat yang menghitam. Mulai dari wajah, leher dan jemari yang nampak semakin legam. Tanda yang familiar pada korban kebengisan Suanggi.Akhirnya tiba juga pada acara penguburan, di mana pelayat beriringan menggunakan kendaraan masing-masing menuju TPU terdekat. Mayat yang dibawa oleh ambulan, tiba lebih dahulu. Kemudian langsung menurunkan jena
Bab 10"Hai, selamat pagi.""Selamat pagi, Pak." Om Roni yang sedang mencuci mobil di halaman kantor terpaksa setengah berteriak."Hai, selamat pagi.""Selamat pagi, Tuan," jawab beberapa karyawan yang sedang sibuk mengepak cendera mata yang dipesan oleh sebuah wedding organizer.Aku yang lagi merapikan tumpukan tenunan terpaksa mengangkat dagu, sekilas menatap kedatangan Pak Geri dan Kennar. Mereka selalu tersenyum segar, berbagi aura positif pada semua karyawan.Mata kami tertuju pada seorang wanita pendek, gendut, berkulit hitam, rambut keriting yang melangkah berdampingan dengan kedua pria itu. Cara wanita itu berjalan sangatlah unik, setengah melompat-lompat sehingga lipatan lemak di perutnya bergetar. Dia adalah kasir baru pengganti Lita. Namanya? Aku belum tahu.Pak Geri menjelaskan segala sesuatu padanya, mengenai harga setiap barang hingga diajari cara menggunakan mesin EDC. Sesekali pria tua itu melirik jam yang melingkar di tangannya. Saat rapat, sudah beliau beritahukan ka
Bab 11"Ya ampun ... seperti apakah ia menjelma?" tanyaku lagi."Lebih banyak menjadi Kucing hitam. Beberapa kali menjadi ular, tikus dan burung gagak. Pernah juga ia menghilang, menguap tanpa jejak." "Astaga!!" Aku menutup mulut, tak berkomentar lagi. Wanita itu ternyata lebih mengerikan dari dugaanku. Tidak heran jika ia sering lenyap saat jam kerja berlangsung.Aku menatap beku pada botol ramuan yang sejak tadi berdiri anggun di meja direktur. Iblis seperti itu tak cukup dilawan hanya dengan kapur dan garam. Tok ... tok ... tok ....Sigap, aku memasukkan botol ramuan itu kembali ke dalam tas. "Masuk!" seru Kennar, lalu seseorang mendorong pintu.Benar saja!Feli yang mengapit setumpuk laporan, melangkah masuk dengan elegan. Wajahnya? Wajahnya sudah normal lagi. Secepat itukah? Aku menatapnya bingung.Feli memandangku remeh. Ia tersenyum picik dan mengangkat sebelah alis. Mendeklarasikan bahwa dirinya belum terkalahkan."Kalian semakin akrab saja," ucap Feli kecut, ia memperhati
Bab 12"Kak," panggil si gembul lagi. Ia meloncat-loncat sambil memegang perut bagian bawah."Ya, kenapa?" "Bisa antar aku ke toilet?" "Lorong sebelah kanan, lurus, belok kiri, toiletnya terletak di sudut," jawabku ketus.Ia masih terus meloncat dengan wajah memelas. "Ayolah Kak Karinos cokolatos, antar aku sekali ini saja. Aku kan masih baru di sini."Luluh hatiku. Kasihan juga sama karyawan baru. Aku lantas memandu Helga, bersama menuju toilet. Melewati lorong-lorong panjang yang sempit. Apa yang terjadi di tempat ini pada zaman penjajahan Belanda? Pembantaian manusia di film kolonial, terbesit dalam pikiranku.Entah apa yang merasukimu Pak Geri. Bisa saja kau memiliki kantor di tempat seperti ini! Padahal kau punya ratusan hektar tanah kosong dan bisa mendirikan bangunan kantor baru yang lebih modern dan tidak pengap seperti ini."Silakan masuk," ujarku pada Helga, saat sudah di depan toilet. Ia mengeluarkan benda dari saku, menitip dua ponselnya padaku.Tujuh menit berlalu dan
Bab 13Kami berguling di lantai, baku hantam sengit terjadi. Kemudian penghuni kantor berhamburan datang. Jangan ditanya berapa luka cakar di leher dan tangan, hanya karena aku begitu melindungi wajah.Mereka melerai kami. Itu yang kuingat. Setelah itu, gelap total. ***"Kau sudah boleh pulang sore ini," ucap wanita berseragam putih dengan stetoskop menggantung di lehernya. "Bagaimana dengan plester-plester di leherku, Dokter?""Lukanya sudah kering, suster akan segera datang membereskannya," ucap sang dokter dengan senyum ramah. Ia pergi meninggalkanku setelah memberi rentetan obat, lengkap dengan resep.Pintu kembali dibuka dan seseorang masuk. Kennar."Bagaimana dengan Helga?" Aku langsung bertanya."Aku baru saja menyelesaikan administrasinya dan ia juga telah pulang.""Keluarganya?""Mereka bilang, Helga memang mudah kerasukan. Itu kelemahan dia.""Apa dia masih akan bekerja bersama kita?" tanyaku lagi."Kurasa begitu. Ia malah khawatir telah mencederaimu," ucap Kennar sambil