Bab 14Sudah tiga hari aku diganggu Suanggi Feli, tapi ia tak bisa menerobos benteng pertahananku. Jadi, aku masih terbilang aman. Sebenarnya, ada dua hal yang kulakukan. Pertama, menaburi garam dan kapur sirih mengelilingi rumah saat malam tiba, dengan catatan setelah itu tak boleh lagi melangkah keluar rumah atau mengizinkan siapa pun dari luar untuk masuk. Roh Suanggi biasanya menunggu di luar dan akan menempel pada badan siapa saja sebagai jembatannya memasuki rumah. Garam membuat mata Suanggi sulit untuk melihat kita dan kapur sirih mengakibatkan Suanggi melepuh. Cara yang kedua, aku membawa serta tiga siung bawang merah tunggal ke mana-mana, bahkan saat tidur sekali pun. Bawang merah akan membuat mata Suanggi pedih, itu betul. Namun, bawang merah ruas tunggal adalah pilihan yang tepat. Sediakan dalam jumlah ganjil, satu atau tiga cukup.Suanggi selalu kalah pada penglihatan. Jadi jangan heran jika mereka tidak mampu berlama-lama bertatapan dengan kita. Mereka hanya akan memel
Bab 15POV KENNARAku, Kennar Rajo, MBA. Berusia 26 tahun, anak tunggal pasangan Gerry Rajo dan Almh. Keni Tamar. Masa kecilku sangatlah indah, bersama Ibu yang kucintai. Dia wanita yang ramah, tetapi sering ketakutan saat ayah pergi berbisnis ke luar daerah. Masih kuingat, berulang kali ia berteriak ketakutan di malam hari. Membuatku kaget terbangun, walau kemudian ia membujukku agar tidur lagi. Saat remaja baru kuketahui, apa penyebab ketakutannya itu. Ia diteror Suanggi.Tersimpan rapi dalam memoriku, saat berusia 14 tahun. Kala itu, Ayah dan Ibu merayakan ulang tahun pernikahan mereka yang ke-15. Mengundang berbagai kalangan, termasuk semua karyawan. Tentu saja Feli hadir. Standing party itu berjalan dengan meriah. Setiap mereka tenggelam dalam suasana gembira karena bertemu teman-teman lama. Layaknya reuni akbar. Perlu diketahui, kala itu aku sudah sering mendengar istilah Suanggi, tetapi belum melihat dengan mata kepala sendiri. Hingga ..."Berikut adalah pengundian door priz
Bab 16Ayah membuang pandangannya ke pekarangan rumah. "Dulu jauh sebelum kau lahir, ayah terlanjur berjanji pada kedua orang tuanya di kampung. Kalau anak mereka, Feli, akan terus bekerja bersama kita.""Jadi, Ayah mengenal orang tua Feli?" tanyaku lagi karena hal ini sungguh baru kuketahui."Ya, kenal karena kecelakaan," ucap Ayah setengah menerawang, memutar kembali ingatannya bertahun-tahun silam. Aku termangu menatap pekarangan yang juga ditatap Ayah."Di awal merintis usaha dulu, aku selalu menjelajahi kampung seorang diri. Mengabaikan panas dan hujan demi target kesuksesan. Dari satu desa ke desa lain, lewati lembah, mendaki bukit, mengarungi jalanan terjal. Semua itu, aku selalu lolos. Sampai pada hari sial itu ..." "Teruskan ceritamu, Ayah," kataku sambil kembali memijit lembut bahunya."Itu adalah hari di mana hujan turun sangat derast. Sungai kering yang biasa kulewati dipenuhi air, akibatnya mobil pick-up terus meraung di genangan lumpur. Aku berusaha agar bisa melewati s
Bab 17Sudah empat hari kami mencurahkan perhatian pada Feli. Namun, responnya berbeda. Ia suka didekati Kennar, tapi benci jika aku yang mendekatinya. Mengakibatkan jiwa detektifku semakin tertantang.Lagi, ia menolak makan siang gratis yang kutawarkan dalam kotak. Mungkin tak berselera dengan lauknya atau kemasannya, entahlah. Selalu saja Feli mengembalikan suguhanku yang mahal. Lalu di depan mataku dengan senang menerima nasi bungkus yang diberikan Kennar. Padahal kami berdua sedang bersandiwara.Siang ini aku merayu Feli lagi."Fel, aku membawakanmu makan siang. Ini enak, rugi jika kau menolaknya." Dengan senyum termanis, aku memamerkan isi nasi kotak yang kubawa. Ia terpancing, beranjak dari meja kerja, lalu mendatangiku."Bukan tak tertarik pada pemberianmu, Karina. Aku heran, dulu kau benci padaku bahkan pernah mempermalukan aku di hadapan banyak orang dan sekarang ... dengan segala kebaikan kau ingin menarik hatiku. Apa maksudmu?" Feli berdiri beku di hadapanku dengan mata me
Bab 18Apa??? Aku menampar pipi sendiri. Ke kampungnya??? Kupanjatkan doa dalam hati, semoga aku tak menjadi santapan lezatnya di sana. Bukankah ia sudah lama tak makan daging? Melintas di ingatanku bagaimana Feli menelan daging kerbau tanpa kunyah.[Oke, aku mau] balasku setelah beberapa saat.[Baiklah, aku akan menelepon besok pagi.] Wanita itu mengirim pesan terakhir, kemudian berlalu offline.***Jam empat sore, aku baru saja tiba di rumah. Duduk di teras sambil menelepon Kennar, memberitahukan kalau besok aku akan menemani Feli ke kampungnya. Ia memberi dukungan juga mengingatkan agar aku tak lupa membawa serta penangkal Suanggi. Setelah itu, aku memberi tahu Kia dan adikku itu merasa khawatir. Namun, Kia berjanji akan menghubungi polisi jika aku tak kunjung pulang.Aku kembali ke kamar, mempersiapkan segala sesuatu hingga beres. Lalu, teringat roti tawar yang tadi diberikan Feli. Tentu saja tak akan kumakan, melainkan ingin membuangnya.Aku membuka tas kantor. Ada bau amis merua
Bab 19Aku mengeraskan tungkai. Berusaha berdiri kokoh di saat semua otot tiba-tiba melemah."Kau terlalu, Feli. Kenapa menakutiku di tempat seperti ini?" Gemetar aku berucap."Kau takut?" Ia menyeringai. Kulihat bentukan giginya berubah aneh. Gingsul semua."Aku hanya ingin berteman, tolong jangan jadikan aku musuhmu!" Walau takut, aku berusaha meyakinkannya. "Kalau mau jadi temanku, kau harus terbiasa melihat wujudku ini," ujarnya kemudian mengulang tawa yang mengerikan, "Kikikkk ... kikikikkk ... kikikk ...."Aku berusaha menatapnya senormal mungkin. Menyembunyikan rasa aneh, ngeri, dan seram yang meracau pikiran. Aku tak mungkin melawan Feli di hutan begini. Tak mungkin menang. Lagi pula, ini juga belum saatnya."Baiklah, aku siap dengan segala wujudmu. Aku akan membiasakan diri!""Benarkah?" tanya Feli dengan kornea yang memutih total dan lingkaran mata yang kian legam. Mirip saat Helga kerasukan."Ya," jawabku mantap.Aakkk ... aakkk ... aaakkkkk ....Kelabakan, aku pun mundur
Bab 20Oleh kayu itu, kami mendarat di suatu tempat. Aku mendongak, melihat atap alang. Ternyata kami berada di dalam rumah berdindingkan geribik bambu. Ada tungku perapian di tengah rumah sebagai penerangan."Ini rumahku," ucap Feli sembari menunduk mengambil kayu yang tadi kami pijak, kemudian membuangnya di dekat tungku. Bukannya mencermati rumah Feli, aku malah tercengang pada kayu itu."Bagaimana mungkin kita melayang ke sini hanya dengan menginjak kayu itu?" tanyaku pada Feli."Jika terdesak, apa saja bisa dipakai terbang," ucap Feli datar."Apa saja?"Feli menatapku malas. Sepertinya ia bosan menjelaskan. Namun, ia tetap menyahut. "Semua benda bisa dipakai buat terbang, sekalipun itu kulit kacang," ucap Feli lemah kemudian beranjak mengitari rumahnya. Wanita itu sudah nampak normal lagi, walau wajah pucatnya tetap sama.Aku duduk dekat tungku. Memasukkan kayu tadi ke dalam api, sehingga perapian kembali menyala.***Kedua orang tua Feli keluar dari kamar yang menyerupai sekat t
Bab 21"Dia temanku, jangan sentuh dia!!!" Feli terus memekik.Namun, ayahnya mencakarku di dada. Kuku tajamnya merobek baju yang kupakai, tembus hingga kulit dadaku terluka dan berdarah. Feli tak sanggup menghentikan ayahnya. Belum lagi ibunya pun kini tampak kelaparan juga. Menatapku dari kejauhan dengan nafsu membuncah. Liur meleleh. Harus apa aku sekarang? Mati di tangan mereka? Oh, tidak!Feli berlari keluar rumah, memetik ranting pohon. Sementara ayah dan ibunya kini menyerangku. Aku menelungkupkan diri ke tanah. Bersujud mencium tanah.Kedua Suanggi itu melabrak punggungku dengan cakaran demi cakaran juga menggigit dengan gigi-gerigi yang buas. Hancur sudah, hancur pundakku. Penuh luka.Feli datang dan mendorong kedua orang tuanya hingga terhuyung jatuh."Cepat injak ranting ini, Karina!!!" teriak Feli sambil menghalangi aku dari terkaman buas dua Suanggi ganas itu.Aku dan Feli menginjak ranting itu.Tiba-tiba kami berdua menghilang dari rumah itu. Masuk lagi melalui portal