Bab 17Sudah empat hari kami mencurahkan perhatian pada Feli. Namun, responnya berbeda. Ia suka didekati Kennar, tapi benci jika aku yang mendekatinya. Mengakibatkan jiwa detektifku semakin tertantang.Lagi, ia menolak makan siang gratis yang kutawarkan dalam kotak. Mungkin tak berselera dengan lauknya atau kemasannya, entahlah. Selalu saja Feli mengembalikan suguhanku yang mahal. Lalu di depan mataku dengan senang menerima nasi bungkus yang diberikan Kennar. Padahal kami berdua sedang bersandiwara.Siang ini aku merayu Feli lagi."Fel, aku membawakanmu makan siang. Ini enak, rugi jika kau menolaknya." Dengan senyum termanis, aku memamerkan isi nasi kotak yang kubawa. Ia terpancing, beranjak dari meja kerja, lalu mendatangiku."Bukan tak tertarik pada pemberianmu, Karina. Aku heran, dulu kau benci padaku bahkan pernah mempermalukan aku di hadapan banyak orang dan sekarang ... dengan segala kebaikan kau ingin menarik hatiku. Apa maksudmu?" Feli berdiri beku di hadapanku dengan mata me
Bab 18Apa??? Aku menampar pipi sendiri. Ke kampungnya??? Kupanjatkan doa dalam hati, semoga aku tak menjadi santapan lezatnya di sana. Bukankah ia sudah lama tak makan daging? Melintas di ingatanku bagaimana Feli menelan daging kerbau tanpa kunyah.[Oke, aku mau] balasku setelah beberapa saat.[Baiklah, aku akan menelepon besok pagi.] Wanita itu mengirim pesan terakhir, kemudian berlalu offline.***Jam empat sore, aku baru saja tiba di rumah. Duduk di teras sambil menelepon Kennar, memberitahukan kalau besok aku akan menemani Feli ke kampungnya. Ia memberi dukungan juga mengingatkan agar aku tak lupa membawa serta penangkal Suanggi. Setelah itu, aku memberi tahu Kia dan adikku itu merasa khawatir. Namun, Kia berjanji akan menghubungi polisi jika aku tak kunjung pulang.Aku kembali ke kamar, mempersiapkan segala sesuatu hingga beres. Lalu, teringat roti tawar yang tadi diberikan Feli. Tentu saja tak akan kumakan, melainkan ingin membuangnya.Aku membuka tas kantor. Ada bau amis merua
Bab 19Aku mengeraskan tungkai. Berusaha berdiri kokoh di saat semua otot tiba-tiba melemah."Kau terlalu, Feli. Kenapa menakutiku di tempat seperti ini?" Gemetar aku berucap."Kau takut?" Ia menyeringai. Kulihat bentukan giginya berubah aneh. Gingsul semua."Aku hanya ingin berteman, tolong jangan jadikan aku musuhmu!" Walau takut, aku berusaha meyakinkannya. "Kalau mau jadi temanku, kau harus terbiasa melihat wujudku ini," ujarnya kemudian mengulang tawa yang mengerikan, "Kikikkk ... kikikikkk ... kikikk ...."Aku berusaha menatapnya senormal mungkin. Menyembunyikan rasa aneh, ngeri, dan seram yang meracau pikiran. Aku tak mungkin melawan Feli di hutan begini. Tak mungkin menang. Lagi pula, ini juga belum saatnya."Baiklah, aku siap dengan segala wujudmu. Aku akan membiasakan diri!""Benarkah?" tanya Feli dengan kornea yang memutih total dan lingkaran mata yang kian legam. Mirip saat Helga kerasukan."Ya," jawabku mantap.Aakkk ... aakkk ... aaakkkkk ....Kelabakan, aku pun mundur
Bab 20Oleh kayu itu, kami mendarat di suatu tempat. Aku mendongak, melihat atap alang. Ternyata kami berada di dalam rumah berdindingkan geribik bambu. Ada tungku perapian di tengah rumah sebagai penerangan."Ini rumahku," ucap Feli sembari menunduk mengambil kayu yang tadi kami pijak, kemudian membuangnya di dekat tungku. Bukannya mencermati rumah Feli, aku malah tercengang pada kayu itu."Bagaimana mungkin kita melayang ke sini hanya dengan menginjak kayu itu?" tanyaku pada Feli."Jika terdesak, apa saja bisa dipakai terbang," ucap Feli datar."Apa saja?"Feli menatapku malas. Sepertinya ia bosan menjelaskan. Namun, ia tetap menyahut. "Semua benda bisa dipakai buat terbang, sekalipun itu kulit kacang," ucap Feli lemah kemudian beranjak mengitari rumahnya. Wanita itu sudah nampak normal lagi, walau wajah pucatnya tetap sama.Aku duduk dekat tungku. Memasukkan kayu tadi ke dalam api, sehingga perapian kembali menyala.***Kedua orang tua Feli keluar dari kamar yang menyerupai sekat t
Bab 21"Dia temanku, jangan sentuh dia!!!" Feli terus memekik.Namun, ayahnya mencakarku di dada. Kuku tajamnya merobek baju yang kupakai, tembus hingga kulit dadaku terluka dan berdarah. Feli tak sanggup menghentikan ayahnya. Belum lagi ibunya pun kini tampak kelaparan juga. Menatapku dari kejauhan dengan nafsu membuncah. Liur meleleh. Harus apa aku sekarang? Mati di tangan mereka? Oh, tidak!Feli berlari keluar rumah, memetik ranting pohon. Sementara ayah dan ibunya kini menyerangku. Aku menelungkupkan diri ke tanah. Bersujud mencium tanah.Kedua Suanggi itu melabrak punggungku dengan cakaran demi cakaran juga menggigit dengan gigi-gerigi yang buas. Hancur sudah, hancur pundakku. Penuh luka.Feli datang dan mendorong kedua orang tuanya hingga terhuyung jatuh."Cepat injak ranting ini, Karina!!!" teriak Feli sambil menghalangi aku dari terkaman buas dua Suanggi ganas itu.Aku dan Feli menginjak ranting itu.Tiba-tiba kami berdua menghilang dari rumah itu. Masuk lagi melalui portal
Bab 22Kulitku normal lagi. Ternyata seperti ini cara kaum mereka mengobati diri. Tak perlu dokter, tak butuh rumah sakit. Pantas Feli tak pernah sakit sekalipun wajahnya memang pucat. Feli lalu melayang ke sudut kamar, mengubah kembali dirinya. Menjadi manusia lagi. Aku hanya tercengang, sempat berpikir bagaimana reaksi Kia dan Kennar saat tahu aku terluka. Dan kini, semua tampak normal lagi. Hanya baju penuh koyakan kuku Suanggi yang akan jadi barang bukti agar mereka percaya."Kau sudah sembuh. Boleh pulang, tapi tinggalkan baju robekmu itu padaku. Pakai saja baju ini," Feli memberi selembar kaos V-leg berwarna hitam untukku."Baju sobek ini tetap kubawa, Feli. Aku akan menjahitnya, ini baju kesayanganku," ucapku setelah mengganti pakaian.Wanita ini mendekatiku. Mendekatkan wajahnya ke wajahku hingga hanya berjarak beberapa senti. Raut sinis dan bias matanya, mengancamku."Jangan kau sebarkan kejadian hari ini pada siapa pun!" "Tentu, aku janji," ucapku bohong. Ya, tentu saja ak
Bab 23Kikikikk ... kikikk ... kikikk ... aiiinnggg ....Tak ada manusia yang bisa menentukan takdirnya sendiri. Lahir adalah karya penciptaan Tuhan. Jika bisa mengubah alur, kupilih jadi manusia normal. Namun, jika bisa terlahir kedua kali, kupilih tetap lahir sebagai Suanggi. Masa kecilku sangat tak biasa. Kualami hal-hal yang berbeda dengan anak normal lainnya. Tubuh manusiaku dan ruh Suanggiku sering beradu untuk mencari jati diri. Jadi, aku hidup dalam dua karakter itu.Saat tidur, ruhku selalu keluar dengan lapar. Berjalan juga terbang. Mengelilingi hutan sampai area pedesaan. Meneliti setiap rumah, mengawasi manusia di dalamnya. Meneror mereka dan mengambil darah secara magis. Itu lezat.Karena cuma SD dan SMP yang ada di pusat desa, maka aku hanya mengenyam sampai di jenjang itu saja. Dulu itu aku melayang terbang dari rumah, lalu berjalan kaki saat mendekati sekolah. Guru atau teman yang tak kusukai, pasti kuteror di malam hari. Itulah permainan dan kesenangan sejati.Setel
Bab 24Pagi ini suasana kantor sedikit berbeda. Kantor terdengar riuh ketika aku datang. "Happy birthday.""Met Ultah.""Moga panjang umur.""Enteng jodoh yah, Tuan."Kennar tampak ceria menyambut ucapan para karyawan. Tampan, seperti biasanya. Ada juga Feli yang terus menempel mesra di sisi Kennar."Mat berbahagia, Kennar. God bless you abundantly." Aku memberi ucapan setelah melihat Feli sibuk menyiapkan keberangkatan kami semua."Thank you, Dear! Kau ikut?" tanyanya sembari menunjuk ke arah bus wisata di mana para karyawan berdesakan masuk."Tentu," ucapku lalu berlari kecil menuju pintu belakang bus, di mana beberapa kursi masih tersisa di sana.Ya, kami akan berpiknik ke pantai dan kantor diliburkan karena Kennar berulang tahun hari ini. Setiap karyawan mengajak serta pasangan mereka, mesra.Om Roni dengan istri dan tiga anaknya, gaduh di leret depan. Linse dan calon suaminya, duduk mesra di leret ke dua. Ferdy si office boy, pun menggandeng pacar barunya yang pemalu. Lalu kulih