Bab 19Aku mengeraskan tungkai. Berusaha berdiri kokoh di saat semua otot tiba-tiba melemah."Kau terlalu, Feli. Kenapa menakutiku di tempat seperti ini?" Gemetar aku berucap."Kau takut?" Ia menyeringai. Kulihat bentukan giginya berubah aneh. Gingsul semua."Aku hanya ingin berteman, tolong jangan jadikan aku musuhmu!" Walau takut, aku berusaha meyakinkannya. "Kalau mau jadi temanku, kau harus terbiasa melihat wujudku ini," ujarnya kemudian mengulang tawa yang mengerikan, "Kikikkk ... kikikikkk ... kikikk ...."Aku berusaha menatapnya senormal mungkin. Menyembunyikan rasa aneh, ngeri, dan seram yang meracau pikiran. Aku tak mungkin melawan Feli di hutan begini. Tak mungkin menang. Lagi pula, ini juga belum saatnya."Baiklah, aku siap dengan segala wujudmu. Aku akan membiasakan diri!""Benarkah?" tanya Feli dengan kornea yang memutih total dan lingkaran mata yang kian legam. Mirip saat Helga kerasukan."Ya," jawabku mantap.Aakkk ... aakkk ... aaakkkkk ....Kelabakan, aku pun mundur
Bab 20Oleh kayu itu, kami mendarat di suatu tempat. Aku mendongak, melihat atap alang. Ternyata kami berada di dalam rumah berdindingkan geribik bambu. Ada tungku perapian di tengah rumah sebagai penerangan."Ini rumahku," ucap Feli sembari menunduk mengambil kayu yang tadi kami pijak, kemudian membuangnya di dekat tungku. Bukannya mencermati rumah Feli, aku malah tercengang pada kayu itu."Bagaimana mungkin kita melayang ke sini hanya dengan menginjak kayu itu?" tanyaku pada Feli."Jika terdesak, apa saja bisa dipakai terbang," ucap Feli datar."Apa saja?"Feli menatapku malas. Sepertinya ia bosan menjelaskan. Namun, ia tetap menyahut. "Semua benda bisa dipakai buat terbang, sekalipun itu kulit kacang," ucap Feli lemah kemudian beranjak mengitari rumahnya. Wanita itu sudah nampak normal lagi, walau wajah pucatnya tetap sama.Aku duduk dekat tungku. Memasukkan kayu tadi ke dalam api, sehingga perapian kembali menyala.***Kedua orang tua Feli keluar dari kamar yang menyerupai sekat t
Bab 21"Dia temanku, jangan sentuh dia!!!" Feli terus memekik.Namun, ayahnya mencakarku di dada. Kuku tajamnya merobek baju yang kupakai, tembus hingga kulit dadaku terluka dan berdarah. Feli tak sanggup menghentikan ayahnya. Belum lagi ibunya pun kini tampak kelaparan juga. Menatapku dari kejauhan dengan nafsu membuncah. Liur meleleh. Harus apa aku sekarang? Mati di tangan mereka? Oh, tidak!Feli berlari keluar rumah, memetik ranting pohon. Sementara ayah dan ibunya kini menyerangku. Aku menelungkupkan diri ke tanah. Bersujud mencium tanah.Kedua Suanggi itu melabrak punggungku dengan cakaran demi cakaran juga menggigit dengan gigi-gerigi yang buas. Hancur sudah, hancur pundakku. Penuh luka.Feli datang dan mendorong kedua orang tuanya hingga terhuyung jatuh."Cepat injak ranting ini, Karina!!!" teriak Feli sambil menghalangi aku dari terkaman buas dua Suanggi ganas itu.Aku dan Feli menginjak ranting itu.Tiba-tiba kami berdua menghilang dari rumah itu. Masuk lagi melalui portal
Bab 22Kulitku normal lagi. Ternyata seperti ini cara kaum mereka mengobati diri. Tak perlu dokter, tak butuh rumah sakit. Pantas Feli tak pernah sakit sekalipun wajahnya memang pucat. Feli lalu melayang ke sudut kamar, mengubah kembali dirinya. Menjadi manusia lagi. Aku hanya tercengang, sempat berpikir bagaimana reaksi Kia dan Kennar saat tahu aku terluka. Dan kini, semua tampak normal lagi. Hanya baju penuh koyakan kuku Suanggi yang akan jadi barang bukti agar mereka percaya."Kau sudah sembuh. Boleh pulang, tapi tinggalkan baju robekmu itu padaku. Pakai saja baju ini," Feli memberi selembar kaos V-leg berwarna hitam untukku."Baju sobek ini tetap kubawa, Feli. Aku akan menjahitnya, ini baju kesayanganku," ucapku setelah mengganti pakaian.Wanita ini mendekatiku. Mendekatkan wajahnya ke wajahku hingga hanya berjarak beberapa senti. Raut sinis dan bias matanya, mengancamku."Jangan kau sebarkan kejadian hari ini pada siapa pun!" "Tentu, aku janji," ucapku bohong. Ya, tentu saja ak
Bab 23Kikikikk ... kikikk ... kikikk ... aiiinnggg ....Tak ada manusia yang bisa menentukan takdirnya sendiri. Lahir adalah karya penciptaan Tuhan. Jika bisa mengubah alur, kupilih jadi manusia normal. Namun, jika bisa terlahir kedua kali, kupilih tetap lahir sebagai Suanggi. Masa kecilku sangat tak biasa. Kualami hal-hal yang berbeda dengan anak normal lainnya. Tubuh manusiaku dan ruh Suanggiku sering beradu untuk mencari jati diri. Jadi, aku hidup dalam dua karakter itu.Saat tidur, ruhku selalu keluar dengan lapar. Berjalan juga terbang. Mengelilingi hutan sampai area pedesaan. Meneliti setiap rumah, mengawasi manusia di dalamnya. Meneror mereka dan mengambil darah secara magis. Itu lezat.Karena cuma SD dan SMP yang ada di pusat desa, maka aku hanya mengenyam sampai di jenjang itu saja. Dulu itu aku melayang terbang dari rumah, lalu berjalan kaki saat mendekati sekolah. Guru atau teman yang tak kusukai, pasti kuteror di malam hari. Itulah permainan dan kesenangan sejati.Setel
Bab 24Pagi ini suasana kantor sedikit berbeda. Kantor terdengar riuh ketika aku datang. "Happy birthday.""Met Ultah.""Moga panjang umur.""Enteng jodoh yah, Tuan."Kennar tampak ceria menyambut ucapan para karyawan. Tampan, seperti biasanya. Ada juga Feli yang terus menempel mesra di sisi Kennar."Mat berbahagia, Kennar. God bless you abundantly." Aku memberi ucapan setelah melihat Feli sibuk menyiapkan keberangkatan kami semua."Thank you, Dear! Kau ikut?" tanyanya sembari menunjuk ke arah bus wisata di mana para karyawan berdesakan masuk."Tentu," ucapku lalu berlari kecil menuju pintu belakang bus, di mana beberapa kursi masih tersisa di sana.Ya, kami akan berpiknik ke pantai dan kantor diliburkan karena Kennar berulang tahun hari ini. Setiap karyawan mengajak serta pasangan mereka, mesra.Om Roni dengan istri dan tiga anaknya, gaduh di leret depan. Linse dan calon suaminya, duduk mesra di leret ke dua. Ferdy si office boy, pun menggandeng pacar barunya yang pemalu. Lalu kulih
Bab 25Villa itu sungguh terawat. Dibangun menghadap lautan dengan sentuhan tradisional, yaitu semua bagiannya berbahan kayu. Setiap kamar dilengkapi kolam renang pribadi di depannya.Hanya ada tiga karyawan di sana, mereka bekerja dan menetap di Villa itu. Dengan ramah, mereka menyambut kami bertiga."Ah, kau sangat mirip Bu Keni," bisik salah seorang, padaku. Kennar mendengar itu, lalu menatapku sesaat. Ia ingin menanggapi, tapi cepat dibatalkan, karena fokus kami harus tertuju pada Feli.Kennar dan Feli menapaki tangga kayu menuju kamar pribadi Kennar. Sementara aku, membuka tas dengan hati-hati. Kukeluarkan ornamen yang berada di bagian atas lalu menutup kembali tas ini. Dua jam lamanya, aku sibuk menata ornamen-ornamen itu ke titik yang pas. Menukar posisi patung di beberapa sudut dan mengganti benda ukiran dengan anyaman. Setelah itu aku menelepon Feli juga Kennar yang tak tahu sedang apa di dalam sana."Aku pamit duluan yah, ini sudah jam lima sore," ucapku beralibi agar Feli
Bab 26Ah sial, itu bukan bunyi biasa. Bukan desiran angin. Lebih tepatnya itu teriakan beberapa gagak yang mengamuk. Seperti di hutan kala bersama Feli dulu. Aku berharap itu cuman gagak biasa, bukan kumpulan Suanggi yang tengah berpatroli."Ini sulit, Karina," celoteh Kennar yang sedang berdiri lalu jongkok lagi mengejar tikus itu. "Cuma satu ekor, tapi sulit kutangkap," Kennar mengeluh."Kau harus mematikan tikus itu, kita tidak aman sekarang.""Kenapa?""Dengar, Kennar. Beberapa gagak di luar sana, bisa saja adalah jelmaan orang tua Feli.""Tidak mungkin, Karina!" ujar Kennar yang kini membuat perangkap baru yaitu membuka lebar pintu lemari kemudian mendesak posisi si tikus agar terpaksa masuk ke dalamnya. Jawaban Kennar membuatku jengkel, "Kaum Suanggi mempunyai naluri yang hebat, mereka tahu jika ada salah satu anggota keluarganya dalam bahaya."Kennar tak menjawab, tapi malah meloncat girang saat tikus itu masuk perangkap. Terkunci di dalam lemari."Jadi bagaimana sekarang?""