Bab 9Keesokan hari ...Hujan menghantam bumi, membuat pagi terlihat seperti sore. Mengguyur tenda rumah duka yang di penuhi orang-orang berpakaian hitam. Mereka datang untuk melayat, sekalian mengikuti prosesi pemakaman Lita.Beberapa pria tampak menggulung ujung celana, sedang para perempuan menarik dress ke atas, sebab hujan membuat halaman menjadi becek. Kami juga sulit mendengar arahan dari keluarga jenazah walau menggunakan mikrofon.Untuk terakhir kalinya, satu persatu kami menengok mayat Lita yang sudah berada dalam peti kaca. Tembus pandang. Banyak orang geleng kepala karena melihat tubuh mayat yang menghitam. Mulai dari wajah, leher dan jemari yang nampak semakin legam. Tanda yang familiar pada korban kebengisan Suanggi.Akhirnya tiba juga pada acara penguburan, di mana pelayat beriringan menggunakan kendaraan masing-masing menuju TPU terdekat. Mayat yang dibawa oleh ambulan, tiba lebih dahulu. Kemudian langsung menurunkan jena
Bab 10"Hai, selamat pagi.""Selamat pagi, Pak." Om Roni yang sedang mencuci mobil di halaman kantor terpaksa setengah berteriak."Hai, selamat pagi.""Selamat pagi, Tuan," jawab beberapa karyawan yang sedang sibuk mengepak cendera mata yang dipesan oleh sebuah wedding organizer.Aku yang lagi merapikan tumpukan tenunan terpaksa mengangkat dagu, sekilas menatap kedatangan Pak Geri dan Kennar. Mereka selalu tersenyum segar, berbagi aura positif pada semua karyawan.Mata kami tertuju pada seorang wanita pendek, gendut, berkulit hitam, rambut keriting yang melangkah berdampingan dengan kedua pria itu. Cara wanita itu berjalan sangatlah unik, setengah melompat-lompat sehingga lipatan lemak di perutnya bergetar. Dia adalah kasir baru pengganti Lita. Namanya? Aku belum tahu.Pak Geri menjelaskan segala sesuatu padanya, mengenai harga setiap barang hingga diajari cara menggunakan mesin EDC. Sesekali pria tua itu melirik jam yang melingkar di tangannya. Saat rapat, sudah beliau beritahukan ka
Bab 11"Ya ampun ... seperti apakah ia menjelma?" tanyaku lagi."Lebih banyak menjadi Kucing hitam. Beberapa kali menjadi ular, tikus dan burung gagak. Pernah juga ia menghilang, menguap tanpa jejak." "Astaga!!" Aku menutup mulut, tak berkomentar lagi. Wanita itu ternyata lebih mengerikan dari dugaanku. Tidak heran jika ia sering lenyap saat jam kerja berlangsung.Aku menatap beku pada botol ramuan yang sejak tadi berdiri anggun di meja direktur. Iblis seperti itu tak cukup dilawan hanya dengan kapur dan garam. Tok ... tok ... tok ....Sigap, aku memasukkan botol ramuan itu kembali ke dalam tas. "Masuk!" seru Kennar, lalu seseorang mendorong pintu.Benar saja!Feli yang mengapit setumpuk laporan, melangkah masuk dengan elegan. Wajahnya? Wajahnya sudah normal lagi. Secepat itukah? Aku menatapnya bingung.Feli memandangku remeh. Ia tersenyum picik dan mengangkat sebelah alis. Mendeklarasikan bahwa dirinya belum terkalahkan."Kalian semakin akrab saja," ucap Feli kecut, ia memperhati
Bab 12"Kak," panggil si gembul lagi. Ia meloncat-loncat sambil memegang perut bagian bawah."Ya, kenapa?" "Bisa antar aku ke toilet?" "Lorong sebelah kanan, lurus, belok kiri, toiletnya terletak di sudut," jawabku ketus.Ia masih terus meloncat dengan wajah memelas. "Ayolah Kak Karinos cokolatos, antar aku sekali ini saja. Aku kan masih baru di sini."Luluh hatiku. Kasihan juga sama karyawan baru. Aku lantas memandu Helga, bersama menuju toilet. Melewati lorong-lorong panjang yang sempit. Apa yang terjadi di tempat ini pada zaman penjajahan Belanda? Pembantaian manusia di film kolonial, terbesit dalam pikiranku.Entah apa yang merasukimu Pak Geri. Bisa saja kau memiliki kantor di tempat seperti ini! Padahal kau punya ratusan hektar tanah kosong dan bisa mendirikan bangunan kantor baru yang lebih modern dan tidak pengap seperti ini."Silakan masuk," ujarku pada Helga, saat sudah di depan toilet. Ia mengeluarkan benda dari saku, menitip dua ponselnya padaku.Tujuh menit berlalu dan
Bab 13Kami berguling di lantai, baku hantam sengit terjadi. Kemudian penghuni kantor berhamburan datang. Jangan ditanya berapa luka cakar di leher dan tangan, hanya karena aku begitu melindungi wajah.Mereka melerai kami. Itu yang kuingat. Setelah itu, gelap total. ***"Kau sudah boleh pulang sore ini," ucap wanita berseragam putih dengan stetoskop menggantung di lehernya. "Bagaimana dengan plester-plester di leherku, Dokter?""Lukanya sudah kering, suster akan segera datang membereskannya," ucap sang dokter dengan senyum ramah. Ia pergi meninggalkanku setelah memberi rentetan obat, lengkap dengan resep.Pintu kembali dibuka dan seseorang masuk. Kennar."Bagaimana dengan Helga?" Aku langsung bertanya."Aku baru saja menyelesaikan administrasinya dan ia juga telah pulang.""Keluarganya?""Mereka bilang, Helga memang mudah kerasukan. Itu kelemahan dia.""Apa dia masih akan bekerja bersama kita?" tanyaku lagi."Kurasa begitu. Ia malah khawatir telah mencederaimu," ucap Kennar sambil
Bab 14Sudah tiga hari aku diganggu Suanggi Feli, tapi ia tak bisa menerobos benteng pertahananku. Jadi, aku masih terbilang aman. Sebenarnya, ada dua hal yang kulakukan. Pertama, menaburi garam dan kapur sirih mengelilingi rumah saat malam tiba, dengan catatan setelah itu tak boleh lagi melangkah keluar rumah atau mengizinkan siapa pun dari luar untuk masuk. Roh Suanggi biasanya menunggu di luar dan akan menempel pada badan siapa saja sebagai jembatannya memasuki rumah. Garam membuat mata Suanggi sulit untuk melihat kita dan kapur sirih mengakibatkan Suanggi melepuh. Cara yang kedua, aku membawa serta tiga siung bawang merah tunggal ke mana-mana, bahkan saat tidur sekali pun. Bawang merah akan membuat mata Suanggi pedih, itu betul. Namun, bawang merah ruas tunggal adalah pilihan yang tepat. Sediakan dalam jumlah ganjil, satu atau tiga cukup.Suanggi selalu kalah pada penglihatan. Jadi jangan heran jika mereka tidak mampu berlama-lama bertatapan dengan kita. Mereka hanya akan memel
Bab 15POV KENNARAku, Kennar Rajo, MBA. Berusia 26 tahun, anak tunggal pasangan Gerry Rajo dan Almh. Keni Tamar. Masa kecilku sangatlah indah, bersama Ibu yang kucintai. Dia wanita yang ramah, tetapi sering ketakutan saat ayah pergi berbisnis ke luar daerah. Masih kuingat, berulang kali ia berteriak ketakutan di malam hari. Membuatku kaget terbangun, walau kemudian ia membujukku agar tidur lagi. Saat remaja baru kuketahui, apa penyebab ketakutannya itu. Ia diteror Suanggi.Tersimpan rapi dalam memoriku, saat berusia 14 tahun. Kala itu, Ayah dan Ibu merayakan ulang tahun pernikahan mereka yang ke-15. Mengundang berbagai kalangan, termasuk semua karyawan. Tentu saja Feli hadir. Standing party itu berjalan dengan meriah. Setiap mereka tenggelam dalam suasana gembira karena bertemu teman-teman lama. Layaknya reuni akbar. Perlu diketahui, kala itu aku sudah sering mendengar istilah Suanggi, tetapi belum melihat dengan mata kepala sendiri. Hingga ..."Berikut adalah pengundian door priz
Bab 16Ayah membuang pandangannya ke pekarangan rumah. "Dulu jauh sebelum kau lahir, ayah terlanjur berjanji pada kedua orang tuanya di kampung. Kalau anak mereka, Feli, akan terus bekerja bersama kita.""Jadi, Ayah mengenal orang tua Feli?" tanyaku lagi karena hal ini sungguh baru kuketahui."Ya, kenal karena kecelakaan," ucap Ayah setengah menerawang, memutar kembali ingatannya bertahun-tahun silam. Aku termangu menatap pekarangan yang juga ditatap Ayah."Di awal merintis usaha dulu, aku selalu menjelajahi kampung seorang diri. Mengabaikan panas dan hujan demi target kesuksesan. Dari satu desa ke desa lain, lewati lembah, mendaki bukit, mengarungi jalanan terjal. Semua itu, aku selalu lolos. Sampai pada hari sial itu ..." "Teruskan ceritamu, Ayah," kataku sambil kembali memijit lembut bahunya."Itu adalah hari di mana hujan turun sangat derast. Sungai kering yang biasa kulewati dipenuhi air, akibatnya mobil pick-up terus meraung di genangan lumpur. Aku berusaha agar bisa melewati s
Bab 31Seminggu kemudian, aku dan Kennar tengah berdiskusi ringan saat Helga memanggil lewat sambungan intercom antar ruangan."Selamat pagi, ya bagaimana?" Kennar menjepit telepon di antara telinga dan bahu."Tuan, seorang wanita hendak bertemu anda. Apa sudah buat janji dengannya?" Suara Helga seperti biasa terdengar nyaring."Ya, Helga. Dia calon manager yang baru. Tolong antar dia ke sini.""Siap, Tuan."Tok ... tok ..."Silahkan masuk." Aku menyahut pelan, sementara Kennar sibuk mempersiapkan surat kontrak kerja.Helga mendorong pintu, lalu seorang wanita dengan tinggi sekitar 160 cm melangkah masuk. Helga mengedipkan mata dan memamerkan senyum kekuningan sebelum menutup pintu dan berlalu pergi."Selamat pagi, saya Ellen." Wanita itu memberi salam."Ya, Ellen, duduk di sini." Aku menunjuk pada kursi putar berukuran sedang yang ada di depan meja kami.Ellen tersenyum ramah lalu menarik kursi dan mendudukinya. Dia cantik dan elegan. Kulit kuning langsat, berbulu mata lentik dan hid
Bab 30Dua bulan setelahnya, banyak hal berubah.Kantor tua itu akhirnya kami jual. Kantor yang baru jauh lebih modern, bahkan cenderung mewah. Tidak ada lagi lorong-lorong gelap dan blind spot yang menakutkan. Semua sudut kantor nampak terang dan segar. Berdinding kaca dan banyak ventilasi udara. Sistem kerja pun jauh lebih canggih. Buku daftar hadir karyawan beralih ke 'finger print attendance'. Marketing sistem juga menggunakan internet bukan lagi koneksi manual.Dan, tentu saja aku bukan lagi karyawan, tapi owner cantik yang selalu mendampingi sang direktur. Satu hal penting yang belum terisi yaitu posisi manager yang dulu dipegang oleh Feli. Untuk posisi ini, kami tidak merekrut sembarang orang karena membutuhkan pengalaman dan keahlian khusus.Sampai saat ini, kami masih menyeleksi beberapa kandidat yang diajukan oleh sebuah biro personalia. Biro yang merekomendasikan sosok-sosok unggul dalam dunia kerja.Aku masih berkutat dengan layar laptop saat Kennar masuk ke ruang direkt
Bab 29Beberapa hari setelah itu, Kennar memberitahukan kabar gembira. Pak Geri sembuh total. Tentu ini membuat heran para tim medis yang menanganinya di Singapura. Bagaimana tidak? Dari hasil rontgen, banyak organ dalam yang rusak parah dan sulit disembuhkan. Tapi toh secara ajaib dia sembuh.Sukar dimengerti secara medis. Namun, bisa dijelaskan dengan cara yang berbeda.Jadi saat kami melenyapkan Feli, tanpa sengaja kami juga telah menyembuhkan Pak Geri. Saat Suanggi binasa maka semua santet yang dia lakukan pada orang lain akan musnah pula.Itulah sebabnya aku bersikeras untuk terus berfokus agar Feli cepat dilenyapkan. Karena aku tahu, Pak Geri hanyalah salah satu korbannya. Di luar sana, ada banyak orang yang juga diserang oleh Suanggi itu. Diteror dan organ dalam mereka dimakan. Mereka adalah teman kost, tetangga dan sesama karyawan yang tidak berani melawannya.Aku yakin, kini mereka semua kembali normal. Sehat seperti sedia kala dan aku bahagia telah berperan di atas semuanya
Bab 28Di depan pintu kamar di mana jasad Feli berada, sudah berdiri dua karyawan Villa. Wajah mereka yang terlihat tegang dan bingung membuat kami mempercepat langkah."Apa yang terjadi?" Kennar memelototi mereka."Ah, Tuan. Itu ... tikus itu sedang berusaha masuk ke lubang perut wanita yang dibawa Tuan sore tadi. Kami mengecek keamanan Villa dan menemukan pintu kamar terbuka sedangkan Tuan tidak ada di dalam.""Tolong jangan sebarkan apa yang kalian lihat ini. Aku akan menjelaskannya nanti." "Baik, Tuan. Apa anda perlu bantuan?" tanya salah satunya."Ayolah jangan membuang waktu. Kita harus segera melenyapkan Feli." Aku menimbrung pembicaraan mereka."Baiklah," ucap kedua karyawan Villa itu dengan anggukan setuju.Di atas dipan, tubuh Feli masih teronggok dengan lubang besar di perut. Lubang yang telah ditimbuni ramuan, gunting, pisau, peniti dan jarum. Tentu sulit bagi si tikus untuk masuk ke dalamnya. "Bagaimana tikus ini bisa keluar dari lemari? Aku bahkan telah mengunci lemari
Bab 27Sepasang Suanggi melangkah masuk. Yang satu wanita telanjang, berwajah keriput dengan rambut berombak panjang hingga ke betis. Yang satu lagi pria tua dengan kedua bola mata menyala seperti bola-bola api."Mau apa kalian??!!" teriakku ketakutan, sementara Kennar justru kembali memungut pisau berdarah tadi lalu mengancam kedua Suanggi yang tengah bergerak maju."Berhenti di situ dan jangan maju lagi!!!" Kennar mengacungkan pisau ke depan.Kedua Suanggi itu sama sekali tak menggubris. Mereka terus mendekati kami, semakin dekat hingga setiap detil tubuhnya terlihat jelas. Tentu saja Kennar begitu jijik dengan kebugilan mereka."Hey you, go back home and dress up!!!" seru Kennar pada si Suanggi wanita.Suanggi itu malah menyeringai marah, mungkin karena tak paham bahasa inggris, sedangkan Kennar hanya menjaga tutur jadi tidak tega memakai bahasa indonesia."Jangan berbicara apapun pada mereka," ujarku pada Kennar."Tell me, why?""Percuma saja, Kennar. Dalam jelmaan yang sesempurna
Bab 26Ah sial, itu bukan bunyi biasa. Bukan desiran angin. Lebih tepatnya itu teriakan beberapa gagak yang mengamuk. Seperti di hutan kala bersama Feli dulu. Aku berharap itu cuman gagak biasa, bukan kumpulan Suanggi yang tengah berpatroli."Ini sulit, Karina," celoteh Kennar yang sedang berdiri lalu jongkok lagi mengejar tikus itu. "Cuma satu ekor, tapi sulit kutangkap," Kennar mengeluh."Kau harus mematikan tikus itu, kita tidak aman sekarang.""Kenapa?""Dengar, Kennar. Beberapa gagak di luar sana, bisa saja adalah jelmaan orang tua Feli.""Tidak mungkin, Karina!" ujar Kennar yang kini membuat perangkap baru yaitu membuka lebar pintu lemari kemudian mendesak posisi si tikus agar terpaksa masuk ke dalamnya. Jawaban Kennar membuatku jengkel, "Kaum Suanggi mempunyai naluri yang hebat, mereka tahu jika ada salah satu anggota keluarganya dalam bahaya."Kennar tak menjawab, tapi malah meloncat girang saat tikus itu masuk perangkap. Terkunci di dalam lemari."Jadi bagaimana sekarang?""
Bab 25Villa itu sungguh terawat. Dibangun menghadap lautan dengan sentuhan tradisional, yaitu semua bagiannya berbahan kayu. Setiap kamar dilengkapi kolam renang pribadi di depannya.Hanya ada tiga karyawan di sana, mereka bekerja dan menetap di Villa itu. Dengan ramah, mereka menyambut kami bertiga."Ah, kau sangat mirip Bu Keni," bisik salah seorang, padaku. Kennar mendengar itu, lalu menatapku sesaat. Ia ingin menanggapi, tapi cepat dibatalkan, karena fokus kami harus tertuju pada Feli.Kennar dan Feli menapaki tangga kayu menuju kamar pribadi Kennar. Sementara aku, membuka tas dengan hati-hati. Kukeluarkan ornamen yang berada di bagian atas lalu menutup kembali tas ini. Dua jam lamanya, aku sibuk menata ornamen-ornamen itu ke titik yang pas. Menukar posisi patung di beberapa sudut dan mengganti benda ukiran dengan anyaman. Setelah itu aku menelepon Feli juga Kennar yang tak tahu sedang apa di dalam sana."Aku pamit duluan yah, ini sudah jam lima sore," ucapku beralibi agar Feli
Bab 24Pagi ini suasana kantor sedikit berbeda. Kantor terdengar riuh ketika aku datang. "Happy birthday.""Met Ultah.""Moga panjang umur.""Enteng jodoh yah, Tuan."Kennar tampak ceria menyambut ucapan para karyawan. Tampan, seperti biasanya. Ada juga Feli yang terus menempel mesra di sisi Kennar."Mat berbahagia, Kennar. God bless you abundantly." Aku memberi ucapan setelah melihat Feli sibuk menyiapkan keberangkatan kami semua."Thank you, Dear! Kau ikut?" tanyanya sembari menunjuk ke arah bus wisata di mana para karyawan berdesakan masuk."Tentu," ucapku lalu berlari kecil menuju pintu belakang bus, di mana beberapa kursi masih tersisa di sana.Ya, kami akan berpiknik ke pantai dan kantor diliburkan karena Kennar berulang tahun hari ini. Setiap karyawan mengajak serta pasangan mereka, mesra.Om Roni dengan istri dan tiga anaknya, gaduh di leret depan. Linse dan calon suaminya, duduk mesra di leret ke dua. Ferdy si office boy, pun menggandeng pacar barunya yang pemalu. Lalu kulih
Bab 23Kikikikk ... kikikk ... kikikk ... aiiinnggg ....Tak ada manusia yang bisa menentukan takdirnya sendiri. Lahir adalah karya penciptaan Tuhan. Jika bisa mengubah alur, kupilih jadi manusia normal. Namun, jika bisa terlahir kedua kali, kupilih tetap lahir sebagai Suanggi. Masa kecilku sangat tak biasa. Kualami hal-hal yang berbeda dengan anak normal lainnya. Tubuh manusiaku dan ruh Suanggiku sering beradu untuk mencari jati diri. Jadi, aku hidup dalam dua karakter itu.Saat tidur, ruhku selalu keluar dengan lapar. Berjalan juga terbang. Mengelilingi hutan sampai area pedesaan. Meneliti setiap rumah, mengawasi manusia di dalamnya. Meneror mereka dan mengambil darah secara magis. Itu lezat.Karena cuma SD dan SMP yang ada di pusat desa, maka aku hanya mengenyam sampai di jenjang itu saja. Dulu itu aku melayang terbang dari rumah, lalu berjalan kaki saat mendekati sekolah. Guru atau teman yang tak kusukai, pasti kuteror di malam hari. Itulah permainan dan kesenangan sejati.Setel