Bab 11"Ya ampun ... seperti apakah ia menjelma?" tanyaku lagi."Lebih banyak menjadi Kucing hitam. Beberapa kali menjadi ular, tikus dan burung gagak. Pernah juga ia menghilang, menguap tanpa jejak." "Astaga!!" Aku menutup mulut, tak berkomentar lagi. Wanita itu ternyata lebih mengerikan dari dugaanku. Tidak heran jika ia sering lenyap saat jam kerja berlangsung.Aku menatap beku pada botol ramuan yang sejak tadi berdiri anggun di meja direktur. Iblis seperti itu tak cukup dilawan hanya dengan kapur dan garam. Tok ... tok ... tok ....Sigap, aku memasukkan botol ramuan itu kembali ke dalam tas. "Masuk!" seru Kennar, lalu seseorang mendorong pintu.Benar saja!Feli yang mengapit setumpuk laporan, melangkah masuk dengan elegan. Wajahnya? Wajahnya sudah normal lagi. Secepat itukah? Aku menatapnya bingung.Feli memandangku remeh. Ia tersenyum picik dan mengangkat sebelah alis. Mendeklarasikan bahwa dirinya belum terkalahkan."Kalian semakin akrab saja," ucap Feli kecut, ia memperhati
Bab 12"Kak," panggil si gembul lagi. Ia meloncat-loncat sambil memegang perut bagian bawah."Ya, kenapa?" "Bisa antar aku ke toilet?" "Lorong sebelah kanan, lurus, belok kiri, toiletnya terletak di sudut," jawabku ketus.Ia masih terus meloncat dengan wajah memelas. "Ayolah Kak Karinos cokolatos, antar aku sekali ini saja. Aku kan masih baru di sini."Luluh hatiku. Kasihan juga sama karyawan baru. Aku lantas memandu Helga, bersama menuju toilet. Melewati lorong-lorong panjang yang sempit. Apa yang terjadi di tempat ini pada zaman penjajahan Belanda? Pembantaian manusia di film kolonial, terbesit dalam pikiranku.Entah apa yang merasukimu Pak Geri. Bisa saja kau memiliki kantor di tempat seperti ini! Padahal kau punya ratusan hektar tanah kosong dan bisa mendirikan bangunan kantor baru yang lebih modern dan tidak pengap seperti ini."Silakan masuk," ujarku pada Helga, saat sudah di depan toilet. Ia mengeluarkan benda dari saku, menitip dua ponselnya padaku.Tujuh menit berlalu dan
Bab 13Kami berguling di lantai, baku hantam sengit terjadi. Kemudian penghuni kantor berhamburan datang. Jangan ditanya berapa luka cakar di leher dan tangan, hanya karena aku begitu melindungi wajah.Mereka melerai kami. Itu yang kuingat. Setelah itu, gelap total. ***"Kau sudah boleh pulang sore ini," ucap wanita berseragam putih dengan stetoskop menggantung di lehernya. "Bagaimana dengan plester-plester di leherku, Dokter?""Lukanya sudah kering, suster akan segera datang membereskannya," ucap sang dokter dengan senyum ramah. Ia pergi meninggalkanku setelah memberi rentetan obat, lengkap dengan resep.Pintu kembali dibuka dan seseorang masuk. Kennar."Bagaimana dengan Helga?" Aku langsung bertanya."Aku baru saja menyelesaikan administrasinya dan ia juga telah pulang.""Keluarganya?""Mereka bilang, Helga memang mudah kerasukan. Itu kelemahan dia.""Apa dia masih akan bekerja bersama kita?" tanyaku lagi."Kurasa begitu. Ia malah khawatir telah mencederaimu," ucap Kennar sambil
Bab 14Sudah tiga hari aku diganggu Suanggi Feli, tapi ia tak bisa menerobos benteng pertahananku. Jadi, aku masih terbilang aman. Sebenarnya, ada dua hal yang kulakukan. Pertama, menaburi garam dan kapur sirih mengelilingi rumah saat malam tiba, dengan catatan setelah itu tak boleh lagi melangkah keluar rumah atau mengizinkan siapa pun dari luar untuk masuk. Roh Suanggi biasanya menunggu di luar dan akan menempel pada badan siapa saja sebagai jembatannya memasuki rumah. Garam membuat mata Suanggi sulit untuk melihat kita dan kapur sirih mengakibatkan Suanggi melepuh. Cara yang kedua, aku membawa serta tiga siung bawang merah tunggal ke mana-mana, bahkan saat tidur sekali pun. Bawang merah akan membuat mata Suanggi pedih, itu betul. Namun, bawang merah ruas tunggal adalah pilihan yang tepat. Sediakan dalam jumlah ganjil, satu atau tiga cukup.Suanggi selalu kalah pada penglihatan. Jadi jangan heran jika mereka tidak mampu berlama-lama bertatapan dengan kita. Mereka hanya akan memel
Bab 15POV KENNARAku, Kennar Rajo, MBA. Berusia 26 tahun, anak tunggal pasangan Gerry Rajo dan Almh. Keni Tamar. Masa kecilku sangatlah indah, bersama Ibu yang kucintai. Dia wanita yang ramah, tetapi sering ketakutan saat ayah pergi berbisnis ke luar daerah. Masih kuingat, berulang kali ia berteriak ketakutan di malam hari. Membuatku kaget terbangun, walau kemudian ia membujukku agar tidur lagi. Saat remaja baru kuketahui, apa penyebab ketakutannya itu. Ia diteror Suanggi.Tersimpan rapi dalam memoriku, saat berusia 14 tahun. Kala itu, Ayah dan Ibu merayakan ulang tahun pernikahan mereka yang ke-15. Mengundang berbagai kalangan, termasuk semua karyawan. Tentu saja Feli hadir. Standing party itu berjalan dengan meriah. Setiap mereka tenggelam dalam suasana gembira karena bertemu teman-teman lama. Layaknya reuni akbar. Perlu diketahui, kala itu aku sudah sering mendengar istilah Suanggi, tetapi belum melihat dengan mata kepala sendiri. Hingga ..."Berikut adalah pengundian door priz
Bab 16Ayah membuang pandangannya ke pekarangan rumah. "Dulu jauh sebelum kau lahir, ayah terlanjur berjanji pada kedua orang tuanya di kampung. Kalau anak mereka, Feli, akan terus bekerja bersama kita.""Jadi, Ayah mengenal orang tua Feli?" tanyaku lagi karena hal ini sungguh baru kuketahui."Ya, kenal karena kecelakaan," ucap Ayah setengah menerawang, memutar kembali ingatannya bertahun-tahun silam. Aku termangu menatap pekarangan yang juga ditatap Ayah."Di awal merintis usaha dulu, aku selalu menjelajahi kampung seorang diri. Mengabaikan panas dan hujan demi target kesuksesan. Dari satu desa ke desa lain, lewati lembah, mendaki bukit, mengarungi jalanan terjal. Semua itu, aku selalu lolos. Sampai pada hari sial itu ..." "Teruskan ceritamu, Ayah," kataku sambil kembali memijit lembut bahunya."Itu adalah hari di mana hujan turun sangat derast. Sungai kering yang biasa kulewati dipenuhi air, akibatnya mobil pick-up terus meraung di genangan lumpur. Aku berusaha agar bisa melewati s
Bab 17Sudah empat hari kami mencurahkan perhatian pada Feli. Namun, responnya berbeda. Ia suka didekati Kennar, tapi benci jika aku yang mendekatinya. Mengakibatkan jiwa detektifku semakin tertantang.Lagi, ia menolak makan siang gratis yang kutawarkan dalam kotak. Mungkin tak berselera dengan lauknya atau kemasannya, entahlah. Selalu saja Feli mengembalikan suguhanku yang mahal. Lalu di depan mataku dengan senang menerima nasi bungkus yang diberikan Kennar. Padahal kami berdua sedang bersandiwara.Siang ini aku merayu Feli lagi."Fel, aku membawakanmu makan siang. Ini enak, rugi jika kau menolaknya." Dengan senyum termanis, aku memamerkan isi nasi kotak yang kubawa. Ia terpancing, beranjak dari meja kerja, lalu mendatangiku."Bukan tak tertarik pada pemberianmu, Karina. Aku heran, dulu kau benci padaku bahkan pernah mempermalukan aku di hadapan banyak orang dan sekarang ... dengan segala kebaikan kau ingin menarik hatiku. Apa maksudmu?" Feli berdiri beku di hadapanku dengan mata me
Bab 18Apa??? Aku menampar pipi sendiri. Ke kampungnya??? Kupanjatkan doa dalam hati, semoga aku tak menjadi santapan lezatnya di sana. Bukankah ia sudah lama tak makan daging? Melintas di ingatanku bagaimana Feli menelan daging kerbau tanpa kunyah.[Oke, aku mau] balasku setelah beberapa saat.[Baiklah, aku akan menelepon besok pagi.] Wanita itu mengirim pesan terakhir, kemudian berlalu offline.***Jam empat sore, aku baru saja tiba di rumah. Duduk di teras sambil menelepon Kennar, memberitahukan kalau besok aku akan menemani Feli ke kampungnya. Ia memberi dukungan juga mengingatkan agar aku tak lupa membawa serta penangkal Suanggi. Setelah itu, aku memberi tahu Kia dan adikku itu merasa khawatir. Namun, Kia berjanji akan menghubungi polisi jika aku tak kunjung pulang.Aku kembali ke kamar, mempersiapkan segala sesuatu hingga beres. Lalu, teringat roti tawar yang tadi diberikan Feli. Tentu saja tak akan kumakan, melainkan ingin membuangnya.Aku membuka tas kantor. Ada bau amis merua