Home / Thriller / Manusia Setengah Iblis / Lidah Menjulur Panjang

Share

Lidah Menjulur Panjang

Bab 4

Siang ini adalah jadwal rapat bulanan. Semua karyawan duduk melingkari meja bulat di ruang direktur. Terkecuali, kursi pemilik perusahaan yang masih terlihat kosong.

"Baiklah, rapat kita awali dengan pelaporan oleh General Manajer." Pak Geri Rajo membuka suara saat memasuki ruangan. Feli bangun berdiri, sementara pak Geri menarik kursi kebesaran dan mendudukinya.

Puluhan mata berfokus pada Feli. Wanita misterius itu memaparkan banyak hal. Mulai tentang pengumpulan kerajinan, penyempurnaan produk siap jual hingga income bersih perusahaan. 

Sudah menjadi rahasia umum saat Feli berdiri selalu disertai bau menyengat. Antara bau badan dan bau amis darah. Juga sudah menjadi rahasia umum, yang mana semua karyawan tidak tutup hidung. Sebisa mungkin menahan mual.

Feli mengembalikan kendali rapat pada duda beranak satu yaitu Pak Geri, si pemilik perusahaan. Kemudian setiap karyawan diberi kesempatan untuk melaporkan pencapaian kinerja masing-masing.

Sampai pada giliranku untuk berbicara. 

Aku menceritakan suka duka menjelajahi pedesaan saat berburu kerajinan. Ancaman perubahan cuaca di perjalanan, juga mengeluh tentang Om Roni, si supir ngantuk. Bagaimana aku harus gantian menyetir karena kuatir. Semua tertawa, menatap cengir pada Om Roni. Supir tua itu mengakak geli, sama sekali tak ada ekspresi malu. 

Tanpa sadar, ada yang luput dari perhatian kami. Seseorang tidak turut tertawa, tapi menjulurkan lidah. Alat pengecapnya itu tumbuh memanjang sampai ke batas dada. Ditarik masuk ke dalam mulut lalu menjulur lagi. Berulang kali ... seperti ular mengecap mangsa.

"Di akhir kata, saya infokan satu hal. Besok putra saya, Kennar Rajo akan datang dari Amerika!" Sorotan tegas terpancar dari netra Pak Geri. 

"Ia akan memimpin perusahaan selagi saya pergi berobat," ucap Pak Geri menahan kesedihan. 

Kami tertunduk, merasakan dalamnya pilu di kehidupan orang sekelas dia. Istri mati tak wajar, anak semata wayang merantau jauh. Sementara ia? Menduda. Sendiri dalam kesepian, hingga sakit-sakitan. Walau begitu, ia berusaha terlihat tegar. 

"Saya menderita penyakit aneh," ucapnya dengan mata yang sudah berkaca-kaca, diikuti buliran bening yang mengalir di kedua sudutnya. Cepat dia hapus dengan jari kelingking.

Terbawa perasaan, beberapa karyawan terlihat sedih dan muram. Terlebih mereka yang telah lama mengabdi di kantor ini. Mereka yang mengecap asam asin dalam rongga misterius perusahaan. Ada apa di balik ini? 

"Saya minta Feli dan Karina agar besok menjemput Kennar di bandara." Dengan sendu ia memandangi Feli dan aku untuk meminta persetujuan. Dengan cepat, kami mengangguk bersamaan.

Apakah ngeri pergi bersama Feli? Ya.

Haruskah menjemput Tuan Kennar? Ya.

Entah apa jadinya besok.

***

Bunyi guyuran air dari dalam kamar mandi, membangunkanku. Aku duduk di pinggir kasur karena masih bermalas-malasan. Menit kemudian mataku memicing pada jam di dinding. Ternyata baru pukul 05.32.

Guyuran air terdengar lagi. Kali ini, bunyinya lebih intens.

Kini dahiku mengernyit. Baru ngeh dengan bunyi dari dalam kamar mandi. Siapa yang memasuki kamar mandiku? Apakah Kia? Ah, tak mungkin. Aku kan telah mengunci pintu semalam.

Aku berdiri di depan pintu kamar mandi. Dengan saksama mendengar aktivitas di dalamnya. 

Hening.

Kupijat kening dengan satu jari. Mungkinkah aku salah dengar? 

Kini terdengar bunyi mengucak. Kucakkan pakaian atau sejenisnya. Aku berdiri mematung dan terus menguping. 

Pelan-pelan, kubuka pintu berbahan plastik itu. Mendapat sedikit celah untuk mengintip.

Ya ampun ...

Seorang wanita sedang mengucak sesuatu berwarna putih pada bak mandi. Aku menilik benda itu. 

Deg!

Usus. Ia tengah mengucak usus segar yang sangat panjang. Usus gempal dan berlemak. Usus manusia.

Ia mencelup organ pencernaan itu ke dalam bak mandi. Mengakibatkan air memerah, berdarah. Bau anyir menukik pernapasanku. Ingin muntah rasanya.

Kubanting daun pintu dengan kasar. Berharap ia segera menghilang. Ternyata tidak. 

Wanita itu malah berbalik memelototiku. Ia tersenyum menyeringai, kemudian meluruskan kedua tangan ke depan. Ia berjalan mendekatiku, rupanya ingin mencekik. 

Aku mundur, ia maju. Aku menjauh, ia mendekat. Sampai akhirnya kakiku terpeleset oleh botol pengharum ruangan yang kebetulan ada di lantai kamar. 

Aku jatuh tak berdaya. 

Gemas, suanggi itu terus mendekati. Kali ini tangannya telah mencekik batang leherku. Aku melawan. Kucengkeram kedua pergelangan tangannya, berharap ia melepas cekikan ini. 

Sial, dia lebih bertenaga. 

Kini napasku tidak normal lagi. Tidak bisa menghirup udara. Jangan sampai aku mati seperti ini. Mati tak wajar seperti istri Pak Geri Rajo dan beberapa karyawan lainnya.

Dengan segenap tenaga yang masih tersisa, aku mengangkat kaki kanan setinggi beberapa inci. 

Brakk ... 

Tendanganku kena telak di dadanya. Iblis itu menghilang, lenyap begitu saja.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status