Bab 6
Hari ini genap tiga tahun aku bekerja.
Situasinya masih sama. Feli dan beberapa staf sibuk merangkum berbagai kerajinan yang akan dikirim ke dua kota besar. Sementara Lita, ia sibuk melayani rombongan turis Ukraina yang datang berbelanja souvenir.
Menjajaki perkampungan menjadi tugasku. Seperti biasa, aku harus mengumpulkan beragam barang antik.
Selesai menangani transaksi, Yulita kemudian menuju ke arahku. Kasir cantik itu membawa segepok uang di tangan.
"Om Roni mana, Kar?"
"Dia tak masuk hari ini, anaknya sakit," gumamku pelan. Aku mengacak rambut pendekku kemudian meremasnya karena kesal.
"Trus, kau yakin pergi sendiri?" Sebersit kepanikan mencuat di wajah mungil Yulita.
Tak menjawab, aku malah sibuk membetulkan spion Strada. Sudah jadi konsekuensi bahwa aku harus tetap beraksi. Memang harus menunggu siapa? Lakukan saja setiap tugas sebisa mungkin.
"Kemarin kan kamu pingsan, Karina!!" Kali ini suara Lita terdengar seperti debur ombak. "Jangan sampai kau pingsan lagi."
"Aku akan membantu Karina hari ini," ucap seseorang yang menghampiri kami.
Aroma parfum Eu De Fragrant begitu memikat. Ia mengenakan kemeja putih yang melekat pas, mencetak dada bidangnya.
Tuan Kennar! Entah kenapa hati ini terasa bergemuruh melihatnya.
Lita menatapku dengan raut bahagia, apa yang diragukannya sirna. Ia kemudian memberiku tumpukan uang lengkap dengan daftar belanja.
Tuan Kennar memeriksa kendaraan yang sebenarnya sudah siap pakai karena aku telah mempersiapkan segala sesuatunya. Sementara aku hanya berdiri canggung dengan desiran yang tak kumengerti.
"Hai!" seru Tuan Kennar membuyarkan lamunanku. Satu tangannya melambai tepat di depan wajahku, tangan lainnya tenggelam dalam saku.
Ia menggeleng, menangkap basah diriku yang menatap kosong padanya. Setelah beberapa detik, ia terkekeh lucu. Mungkin geli dengan kekonyolanku.
"Well, kita berangkat!" Tuan Kennar membukakan pintu untukku, kemudian ia berbelok, masuk melalui pintu sebelah. Tentu ini adalah adegan yang manis.
Aku melambaikan tangan pada Lita sebagai tanda keberangkatan. Sambil mengangkat jempol, ia tersenyum ke arahku. Namun, lagi-lagi mataku menangkap pemandangan yang tak lazim. Feli berdiri di belakang Lita dengan wajah penuh lumuran darah. Tatapannya garang. Di tangannya ada sebilah pisau tajam yang hendak dihunjam pada batok kepala Lita.
Kedua mataku serasa bercerai. Aku memejam sebentar, kemudian kembali mendongak, menatap Feli dari mobil yang mulai menjauh. Kulihat ia sudah lenyap di belakang Lita.
Apa maksud penglihatan tadi? Napasku bertalu. Pikiran berkecamuk. Aku menggeleng lalu bergeming untuk beberapa saat.
"Ahm, apa kabarmu hari ini?" Suara Tuan Kennar mengejutkan lamunanku.
"Maaf, Tuan bicara apa? Tadi aku kurang fokus."
"Kau selalu saja kurang fokus." Tuan Kennar mengulum senyum. Bisa kurasakan keramahan di setiap nada bicaranya.
"Maafkan saya, Tuan!"
"Oh, jangan panggil saya Tuan. Panggil saja, Kennar."
"Baiklah, Ken--Kennar," ucapku dengan lidah yang berat.
***
Empat jam berlalu. Kami membeli banyak sekali kerajinan. Warga turut membantu memindahkan berbagai ukiran batu dan kayu ke bak mobil. Tidak luput juga berbagai motif tenunan. Semua barang telah aku rincikan beserta total biaya, tetapi masih ada kelebihan uang. Akhirnya aku alokasikan dengan membeli pernak-pernik, cendera mata dan anyaman. Tuntas sudah.
Kalau di desa-desa sebelumnya kami menolak suguhan dari warga itu karena berburu dengan waktu. Kali ini kami tidak menolak, haus melanda setelah perjalan panjang.
Kami duduk bersama warga di beranda rumah mereka.
"Berapa usiamu, Nak?" tanya seorang wanita paruh baya padaku.
"Dua puluh, Bu! Masih muda," jawabku dengan tawa semringah. Tuan Kennar mengamatiku dengan saksama. Ia duduk di ujung beranda. Mata kami beradu. Lagi, sanubari ini berdebar.
"Masih single, kah?" Wanita tadi bertanya lagi.
"Sekarang sih masih single, Bu. Double-nya pas usia empat puluh nanti."
Semua tertawa terbahak sementara Kennar menatapku penuh arti. Mungkin Kennar kaget, aku yang biasa diam ternyata bisa melucu.
"Cuma mau bilang, segeralah punya pendamping, Nak! Tak baik sendirian." Bibir sang wanita tersungging miring. Ia menatap aku dan Tuan Kennar bergantian sembari mengulum senyum.
Kennar jadi salah tingkah, tetapi ia sembunyikan dengan tertawa. Sesekali ia menyisir rambut pendeknya itu dengan jemari.
Mengerti maksud wanita itu, aku segera menyambar.
"Bu, itu adalah Tuan Kennar, pewaris perusahaan," ucapku sembari memandang Kennar yang sedang duduk bersila. Semua mengikuti arah pandangku. Kemudian raut wajah mereka mengendur karena menyesal.
"Wah Ibu minta maaf yah, Nak Kennar. Tadi Ibu pikirnya Nak ini supir baru pengganti Om Roni."
"Mana ada supir kantoran seganteng ini, Bu?" Aku pura-pura menggerutu kemudian menyengir melebar.
Semua tertawa sahut-sahutan mirip burung hutan yang hendak bertelur. Dari sudut sana, Kennar menatapku lekat. Tiba-tiba dia bicara.
"Menurut Ibu, saya dan Karina bagaimana? Cocok, kah?”
"Cocok, iya cocok! Makanya saya pikir kalian pacaran," ucap si Ibu berapi-api. Air sirih pinang beberapa kali muncrat dari mulutnya.
Wajahku merona sedangkan mata Tuan Kennar membulat. Tak menyangka, wanita desa itu begitu polos berujar.
Mereka tertawa, cekikan. Sepertinya doyan bicara asmara. Maklum mereka jarang menonton sinetron karena listrik belum ada di desa ini. Berkumpul dan bercanda di satu titik menjadi kebiasaan. Sebenarnya, harus beginilah kehidupan sosial manusia. Adanya kedekatan seperti ini yang jarang ditemui pada masyarakat urban.
"Makasi atas suguhan kalian. Kami pamit dulu." Aku bangkit dan memperbaiki celana yang sedari tadi kaku terlipat.
Bab 7Perjalanan pulang terasa lebih cepat dari berangkat. Kami melewati lereng perbukitan yang hijau di mana banyak elang terbang mengikuti kecepatan mobil."Kita singgah makan dulu?" tawar Tuan Kennar.Aku tak mendengar ucapannya karena derasnya angin yang menyisir masuk melalui kaca yang terbuka. Lalu sesuatu yang hangat menyentuh punggung tanganku.Pria di sampingku ... oh no!! Dia menggenggam erat jemari ini. Diri ini berdebar. Kupandangi wajah tegas yang tengah menatapku dengan bias damai. Sejenak mengulum senyum, ia kembali fokus menyetir.Apa yang ada di otak pria ini? Seharusnya ia sadar, telah berlaku tak sopan. Menggenggam jemariku tanpa ijin. Pantaskah aku marah? Ataukah begitu cara pria berkelas memberi perhatian?"Baiklah kita singgah makan karena aku tak sempat sarapan tadi pagi," jawabku setelah sekian menit.Aku masih menatap kedua tangan kami yang bertaut. Berani sekali Kennar menyetir dengan satu tangan padahal sangatlah berbahaya.***Restoran ini tidak ramai. Set
Bab 8"Jika itu benar, kita mau buat apa?" Aku mengepal tangan kanan, "Kau bisa melakukan sesuatu jika kau mau.""Kita tak mungkin membunuhnya, Karina." Kali ini suara Kennar melemah."Tapi kau bisa memecat dia!" Tercekat tenggorokanku setelah mengucapkan ini. Secara langsung sudah memerintah majikanku sendiri. "Ah, kau bukan lagi gadis pendiam atau pun humoris yang kukenal barusan. Kau berubah dalam sehari. Kau pemarah, kau tak bisa mengendalikan dirimu!" ucapnya ketus. Kennar pergi meninggalkanku dengan wajah kesal. Ia kembali ke kerumunan pelayat yang menanti jenazah Lita. Punggung tegap itu menghilang, membelok ke arah UGD. Sungguh, perasaanku hancur. Aku duduk bersandar di kursi taman, masih dalam area rumah sakit. Dua puluh tahun hidup di dunia, baru kali ini meluap dalam kemarahan. Buruknya, terjadi di depan majikan. Tuan muda yang kukagumi.Aku merasa bodoh. Lebih bodoh dari Suanggi mana pun yang elegan di siang hari, busuk di malam hari. Suanggi yang bersembunyi di balik
Bab 9Keesokan hari ...Hujan menghantam bumi, membuat pagi terlihat seperti sore. Mengguyur tenda rumah duka yang di penuhi orang-orang berpakaian hitam. Mereka datang untuk melayat, sekalian mengikuti prosesi pemakaman Lita.Beberapa pria tampak menggulung ujung celana, sedang para perempuan menarik dress ke atas, sebab hujan membuat halaman menjadi becek. Kami juga sulit mendengar arahan dari keluarga jenazah walau menggunakan mikrofon.Untuk terakhir kalinya, satu persatu kami menengok mayat Lita yang sudah berada dalam peti kaca. Tembus pandang. Banyak orang geleng kepala karena melihat tubuh mayat yang menghitam. Mulai dari wajah, leher dan jemari yang nampak semakin legam. Tanda yang familiar pada korban kebengisan Suanggi.Akhirnya tiba juga pada acara penguburan, di mana pelayat beriringan menggunakan kendaraan masing-masing menuju TPU terdekat. Mayat yang dibawa oleh ambulan, tiba lebih dahulu. Kemudian langsung menurunkan jena
Bab 10"Hai, selamat pagi.""Selamat pagi, Pak." Om Roni yang sedang mencuci mobil di halaman kantor terpaksa setengah berteriak."Hai, selamat pagi.""Selamat pagi, Tuan," jawab beberapa karyawan yang sedang sibuk mengepak cendera mata yang dipesan oleh sebuah wedding organizer.Aku yang lagi merapikan tumpukan tenunan terpaksa mengangkat dagu, sekilas menatap kedatangan Pak Geri dan Kennar. Mereka selalu tersenyum segar, berbagi aura positif pada semua karyawan.Mata kami tertuju pada seorang wanita pendek, gendut, berkulit hitam, rambut keriting yang melangkah berdampingan dengan kedua pria itu. Cara wanita itu berjalan sangatlah unik, setengah melompat-lompat sehingga lipatan lemak di perutnya bergetar. Dia adalah kasir baru pengganti Lita. Namanya? Aku belum tahu.Pak Geri menjelaskan segala sesuatu padanya, mengenai harga setiap barang hingga diajari cara menggunakan mesin EDC. Sesekali pria tua itu melirik jam yang melingkar di tangannya. Saat rapat, sudah beliau beritahukan ka
Bab 11"Ya ampun ... seperti apakah ia menjelma?" tanyaku lagi."Lebih banyak menjadi Kucing hitam. Beberapa kali menjadi ular, tikus dan burung gagak. Pernah juga ia menghilang, menguap tanpa jejak." "Astaga!!" Aku menutup mulut, tak berkomentar lagi. Wanita itu ternyata lebih mengerikan dari dugaanku. Tidak heran jika ia sering lenyap saat jam kerja berlangsung.Aku menatap beku pada botol ramuan yang sejak tadi berdiri anggun di meja direktur. Iblis seperti itu tak cukup dilawan hanya dengan kapur dan garam. Tok ... tok ... tok ....Sigap, aku memasukkan botol ramuan itu kembali ke dalam tas. "Masuk!" seru Kennar, lalu seseorang mendorong pintu.Benar saja!Feli yang mengapit setumpuk laporan, melangkah masuk dengan elegan. Wajahnya? Wajahnya sudah normal lagi. Secepat itukah? Aku menatapnya bingung.Feli memandangku remeh. Ia tersenyum picik dan mengangkat sebelah alis. Mendeklarasikan bahwa dirinya belum terkalahkan."Kalian semakin akrab saja," ucap Feli kecut, ia memperhati
Bab 12"Kak," panggil si gembul lagi. Ia meloncat-loncat sambil memegang perut bagian bawah."Ya, kenapa?" "Bisa antar aku ke toilet?" "Lorong sebelah kanan, lurus, belok kiri, toiletnya terletak di sudut," jawabku ketus.Ia masih terus meloncat dengan wajah memelas. "Ayolah Kak Karinos cokolatos, antar aku sekali ini saja. Aku kan masih baru di sini."Luluh hatiku. Kasihan juga sama karyawan baru. Aku lantas memandu Helga, bersama menuju toilet. Melewati lorong-lorong panjang yang sempit. Apa yang terjadi di tempat ini pada zaman penjajahan Belanda? Pembantaian manusia di film kolonial, terbesit dalam pikiranku.Entah apa yang merasukimu Pak Geri. Bisa saja kau memiliki kantor di tempat seperti ini! Padahal kau punya ratusan hektar tanah kosong dan bisa mendirikan bangunan kantor baru yang lebih modern dan tidak pengap seperti ini."Silakan masuk," ujarku pada Helga, saat sudah di depan toilet. Ia mengeluarkan benda dari saku, menitip dua ponselnya padaku.Tujuh menit berlalu dan
Bab 13Kami berguling di lantai, baku hantam sengit terjadi. Kemudian penghuni kantor berhamburan datang. Jangan ditanya berapa luka cakar di leher dan tangan, hanya karena aku begitu melindungi wajah.Mereka melerai kami. Itu yang kuingat. Setelah itu, gelap total. ***"Kau sudah boleh pulang sore ini," ucap wanita berseragam putih dengan stetoskop menggantung di lehernya. "Bagaimana dengan plester-plester di leherku, Dokter?""Lukanya sudah kering, suster akan segera datang membereskannya," ucap sang dokter dengan senyum ramah. Ia pergi meninggalkanku setelah memberi rentetan obat, lengkap dengan resep.Pintu kembali dibuka dan seseorang masuk. Kennar."Bagaimana dengan Helga?" Aku langsung bertanya."Aku baru saja menyelesaikan administrasinya dan ia juga telah pulang.""Keluarganya?""Mereka bilang, Helga memang mudah kerasukan. Itu kelemahan dia.""Apa dia masih akan bekerja bersama kita?" tanyaku lagi."Kurasa begitu. Ia malah khawatir telah mencederaimu," ucap Kennar sambil
Bab 14Sudah tiga hari aku diganggu Suanggi Feli, tapi ia tak bisa menerobos benteng pertahananku. Jadi, aku masih terbilang aman. Sebenarnya, ada dua hal yang kulakukan. Pertama, menaburi garam dan kapur sirih mengelilingi rumah saat malam tiba, dengan catatan setelah itu tak boleh lagi melangkah keluar rumah atau mengizinkan siapa pun dari luar untuk masuk. Roh Suanggi biasanya menunggu di luar dan akan menempel pada badan siapa saja sebagai jembatannya memasuki rumah. Garam membuat mata Suanggi sulit untuk melihat kita dan kapur sirih mengakibatkan Suanggi melepuh. Cara yang kedua, aku membawa serta tiga siung bawang merah tunggal ke mana-mana, bahkan saat tidur sekali pun. Bawang merah akan membuat mata Suanggi pedih, itu betul. Namun, bawang merah ruas tunggal adalah pilihan yang tepat. Sediakan dalam jumlah ganjil, satu atau tiga cukup.Suanggi selalu kalah pada penglihatan. Jadi jangan heran jika mereka tidak mampu berlama-lama bertatapan dengan kita. Mereka hanya akan memel